Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124807 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasri Bachtiar
"Usaha meringkas pemikiran ekonomi mengenai aspek-aspek yang mempengaruhi migrasi merupakan suatu hal yang tidak mudah. Seringkali ditemui resiko dimana hal-hal yang relevan untuk dianalisa terabaikan. Hal ini memungkinkan karena aspek-aspek yang mempengaruhi kemungkinan orang untuk pindah tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, namun juga ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi. Demikian pula, migrasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan saja, tetapi terutama ditentukan oleh persepsi individu terhadap perbedaan tersebut dan kondisi lingkungan social ekonomi rumah tangga.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemungkinan orang untuk pindah dari Kabupaten ke Kotamadya di Propinsi Sumatera Banat. Dalam hal ini, faktor faktor yang mempengaruhi kemungkinan pindah akan dilihat dari karakteristik individu calon migran itu sendiri, lingkungan sosial ekonomi rumah tangga dan perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan.
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa lingkungan daerah mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah melalui perbedaan potensi sosial ekonomi daerah asal dan tujuan. Perbedaan potensi sosial ekonomi daerah asal dan daerah tujuan mempengaruhi keinginan seseorang untuk pindah melalui persepsinya terhadap kondisi tersebut. Persepsi ini akan positif bila harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik tinggi di daerah tujuan. Seseorang akan memutuskan untuk pindah ke daerah atau lapangan kerja tertentu bila memberikan penghasilan yang lebih tinggi dari keadaan sebelumnya. Seandainya lapangan kerja yang akan dimasuki oleh calon migran tersebut adalah sektor industri di daerah perkotaan, maka calon migran akan pindah dari sektor pertanian di daerah pedesaan ke sektor industri di daerah perkotaan. Oleh karena itu, variabel-variabel seperti proporsi nilai tambah sektor pertanian dan sektor industri serta pendapatan regional per-kapita merupakan variabel-variabel daerah yang mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah.
Lingkungan sosial ekonomi rumah tangga mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah melalui rekasinya terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga dimana individu itu berada. Kondisi sosial ekonomi rumah tangga ini di samping dapat dilihat dari status pemilikan tanah seperti yang telah dikemukakan oleh Suharso (1976) juga dapat dilihat dari jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan rata rata. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga akan menyebabkan semakin berkurangnya keinginan untuk pindah. Hal ini memungkinkan karena individu (kepala rumah tangga) tidak berani mengambil resiko untuk pindah. Sedangkan makin tinggi pendapatan rata-rata di tempat tujuan akan mendorong keinginan individu untuk pindah. dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu, variabel-variabel seperti jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan rata rata merupakan variabel lingkungan sosial ekonomi rumah tangga yang mempengaruhi kemungkinan eseorang untuk pindah.
Meskipun lingkungan sosial ekonomi rumah tangga dan perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan mempengaruhi kemungkinan orang pindah, namun semuanya itu tergantung kepada individu dari calon migran itu sendiri. Oleh karena itu, karakteristik umur dan pendidikan merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kemungkinan pindah, setelah itu baru ditentukan ke arah mana perpindahan tersebut dilakukan.
Hasil temuan emperis membuktikan bahwa migrasi dari Kabupaten ke Kotamadya di Sumatera Barat umumnya bersifat selektif, baik dilihat dari umur maupun pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Kedua hal ini sangat mempengaruhi respon seseorang untuk pindah melalui reaksinya terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga dan daerah dimana ia berada. Secara umum dapat dikemukakan bahwa perpindahan tersebut dilakukan oleh orang orang relatif muda dan mempunyai tingkat pendidikan relatif tinggi. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan pola migrasi yang terjadi pada beberapa Propinsi lainnya di Indonesia.
Indikasi tersebut memperlihatkan bahwa efek dari migrasi dari Kabupaten ke Kotamadya akan menurunkan mutu modal manusia di daerah Kabupaten. Sebaliknya, efek migrasi ini akan meningkatkan mutu modal manusia yang ada di Kotamadya. Kedua hal ini pada gilirannya akan menyebabkan makin tingginya jurang perbedaan antara kualitas manusia antar daerah di Propinsi Sumatera Barat.
Hubungan antara pendidikan dan migrasi memperlihatkan bahwa orang orang yang berpendidikan tinggi mempunyai kemungkinan untuk pindah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sekolah dan orang-orang yang tidak tamat sekolah dasar (SD). Hasil pengujian emperis memperlihatkan bahwa kemungkinan orang untuk pindah pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sekolah dan orang-orang yang tidak tamat SD. Seandainya tingkat pendidikan tersebut dilihat dari lamanya sekolah, maka (orang-orang yang sekolah selama lebih dari 6 tahun mempunyai kemungkinan untuk pindah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang sekolah kurang dari 6 tahun.
Hubungan yang negatif antara rasio pendapatan daerah Kabupaten relatif terhadap pendapatan di Kotamadya terhadap kemungkinan pindah memperlihatkan bahwa para migran sangat respon terhadap perbedaan pendapatan ini. Bagaimanapun juga, hubungan tersebut sangat tergantung kepada umur dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa tingkat pendidikan dan umur seseorang mempengaruhi evaluasinya terhadap perkembangan ekonomi baik di daerah asal maupun di daerah tujuan. Untuk para migran yang relatif muda dan mempunyai tingkat pendidikan yang relatif tinggi mempunyai respon yang relatif berbeda dengan orang orang yang ralatif tua dan mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Dengan kata lain, respon untuk pindah karena adanya perbedaan pendapatan ini mungkin berbeda antara umur dan pendidikan pada kelompok masyarakat tertentu.
Hubungan yang negatif antara jumlah anggota rumah tangga dan migrasi memperlihatkan bahwa para migran sangat respon terhadap keadaan jumlah anggota rumah tangga . Hasil pengujian emperis memperlihatkan bahwa jumlah anggota rumah tangga mampu menahan keinginan untuk pindah. Indikasi ini memperlihatkan bahwa bagi migran yang berstatus kepala keluarga mereka tidak berani mengambil resiko untuk pindah karena tanggung jawab terhadap anggota rumah tangga lainnya (istri dan anak anak).
Indikasi diatas memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga keadaan jumlah anggota rumah tangga juga mempengaruhi evaluasi seseorang terhadap kemungkinan untuk pindah, disamping faktor-faktor lainnya. Hal ini ditunjang pula oleh kondisi social budaya mayarakat minang yang cendrung untuk berpindah dan perpindahan ini tidak hanya dilakukan untuk menghindari ketergantungan kepada anggota rumah tangga yang bekerja tapi juga untuk meningkatkan taraf hidup keluarga secara keseiuruhan. Hal ini diperlihatkan pula oleh hasil temuan dimana pendapatan rata-rata yang diproduksi dari pengeluaran di daerah tujuan mendorong orang untuk pindah. Dengan kata lain makin tinggi pendapatan di daerah tujuan Akan mendorong kemungkinan orang untuk pindah ke daerah tersebut. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Fadillah
"Gerak perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu daerah ke daerah lainnya merupakan suatu bentuk respon atau reaksi dari adanya variasi keadaan dimana mereka berdiam / hidup. Perkembangan sosial ekonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, jarang sekali terjadi kesamaan. ketidaksamaan ini menimbulkan kesempatan--kesempatan yang berbeda untuk masing-masing daerah. Banyak faktor yang mempengaruhi proses migrasi, sehingga permasalahannya makin rumit dan kompleks.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan terungkap bahwa dorongan utama bagi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan migrasi adalah keinginan untuk memperbaiki mutu/taraf hidup, disini tersirat bahwa faktor ekonomi merupakan motivasi yang dominan dalam migrasi. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa faktor-faktor lain diluar faktor ekonomi tidak berpengaruh pada keputusan seseorang untuk melakukan migrasi; seperti persepsi seseorang atas reaksinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lain juga tidak sama. Karena itu biasanya orang akan pindah ke suatu daerah, bilamana daerah tersebut akan memberikan suatu nilai positif bagi dirinya atau keluarganya.
Tesis ini mencoha menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi proporsi tujuan migrasi keluar dari Kalimantan Selatan; yaitu ke Kalimantan Tengah, antar kabupaten dan propinsi lain mengunakan data hasil SUPAS 1985. Data yang digunakan adalah migran berdasarkan tempat tinggal 5 (lima) tahun lalu ( RECENT MIGRANT ). Sedangkan model statistik yang di pergunakan untuk memperkirakan proporsi migrasi adalah Regresi Multinominal Logistik berganda. Variabel babas yang diamati adalah : Variabel ekonomi yang digambarkan melalui PDRB perkapita, Tingkat industri, Variabel sosial demografi, yang meliputi umur, Jenis kelamin, Pendidikan, dan Status Kawin. Selain pengaruh variabel utama tersebut, juga diperhatikan adanya pengaruh variabel interaksi antara umur dan jenis kelamin, PDRB perkapita dengan pendidikan.
Berdasrkan hasil analisa imperensial menggunakan model statistik Regresi Multinominal Logistik berganda, ternyata bahwa aktifitas perekonomian suatu daerah mempunyai pengaruh positif terhadap proporsi migrasi. Hal ini terlihat baik untuk migrasi antar kabupaten, ke Kalimantan Tengah, maupun ke propinsi lain.
Hasil uji statistik juga menunjukkan adanya hubungan positif antara umur dangan proposi migrasi. Pada kelompok umur muda proposi migrasi lebih besar dibanding kelompok umur tua kecuali untuk tujuan antar kabupaten, dimana proporsi migrasi kelompok umur muda sedikit lebih kecil dibandingkan dengan kelompok umur tua. Namun setelah dikontrol oleh variabel kontekstual proposi umur muda menjadi lebih besar.
Berdasarkan model yang telah dianalisa juga diketahui bahwa tiidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap proporsi migrasi. Hal ini menunjukan antara laki--laki dan perempuan mempunyai proposi yang hampir tidak jauh berbeda baik sebelum maupun setelah di kontrol oleh variabel kontekstual.
Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan, baik sebelum maupun sesudah dikontrol oleh variabel kontekstual, proporsi migrasi menunjukan selalu di dominasi oleh kelompok berpendidikan lebih kecil SD ( < SD ) dihandingkan dengan kelompok pendidikan lebih tinggi."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endi Djunaedi
"Konsep Merantau mengacu pada konsep Migrasi Sirkuler, yaitu migrasi tidak tetap. Migrasi Sirkuler didefinisikan sebagai perginya penduduk keluar melewati batas administrasi desa asal pada waktu tertentu untuk mencari pekerjaan tanpa diikuti oleh perpindahan tempat tinggal.
Merantau Masyarakat Dusun Cisayong identik dengan definisi migrasi sirkuler di atas. Merantau masyarakat Dusun Cisayong berkaitan erat dengan tradisi budaya orang Tasik. Tradisi turun temurun dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya. Seseorang perantau tidak saja akan menambah penghasilan, tetapi juga mendudukkan mereka pada strata yang terpandang.
Kajian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor pendorong dan penarik merantaunya masyarakat Dusun Cisayong. Penelitian difokuskan pada satu Dusun (Kampung) dari tiga Dusun yang ada di Desa Cisayong. Penelitian lapangan yang menjadi acuan tesis ini dilakukan di Dusun Cisayong Desa Cisayong Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Lama Penelitian 12 bulan (Februari 1994 - Februari 1995) dengan efektivitas waktu tinggal 12 minggu (satu minggu per bulan). Melalui Pendekatan partisipasi terlibat dan sensus di satu Rukun Tetangga, dapatlah disimpulkan lima faktor pendorong dan satu faktor penarik. Kelima faktor pendorong tersebut adalah faktor ekologis, faktor ekonomi dan demografi, faktor pendidikan, keresahan politik dan faktor sosial. Sementara faktor penariknya adalah daya tarik kota yang menjanjikan harapan memperoleh nafkah.
Letak Dusun Cisayong secara ekologis mudah dicapai kendaraan umum roda empat ke dan dari daerah tujuan mendukung dorongan mereka untuk merantau. Sawah dan ladang yang menjadi tumpuan utama nafkah keluarga di desa makin menciut baik karena perubahan penggunaan untuk non pertanian maupun pertambahan jumlah penduduk, mendorong penduduk Dusun Cisayong untuk merantau.
Terbatasnya sarana pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke luar desa. Keresahan politik akibat pemberontakan DI/TII ditahun lima puluhan sampai tahun tujuh puluhan membawa pengaruh terhadap penduduk untuk merantau (perantau pemula) yang kemudian kebiasaan ini diikuti pula oleh generasi selanjutnya kendati secara politik daerah mereka sudah aman. Kedudukan sosial yang berbeda antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang memiliki sawah dan tidak memiliki sawah, mendorong penduduk untuk merantau, dan kesiapan istri yang akan menggantikaii sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah selama ditinggal merantau, memperbesar semangat suami pergi merantau.
Keberhasilan perantau secara material menarik perhatian calon-calon perantau. Kekayaan dalam bentuk rumah, sawah, kolam ikan dan ternak domba hasil usaha perantau di kota, dan informasi mudahnya mencari nafkah di kota menarik penduduk untuk merantau."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Pribadi
"ABSTRAK
Penyelenggaraan transmigrasi sebagai salah satu program berskala nasional diarahkan dapat membantu memecahkan masalah ketimpangan distribusi penduduk khususnya antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Namun hingga saat ini program pemerintah yang mulai diselenggarakan tahun 1950 tersebut dirasakan belum sepenuhnya berhasil. Ketimpangan distribusi penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terus saja berlangsung. Beberapa hal yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi antara lain adalah masih sedikitnya minat sebagian besar masyarakat untuk bertransmigrasi. Berbagai faktor yang berasal dari tingkatan individu, rumah tangga, dan komunitas, baik secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri mempengaruhi animo bertransmigrasi.
Melalui penelitian ini berusaha dipahami lebih mendalam berbagai faktor yang berpengaruh terhadap animo bertransmigrasi. Untuk itu diuji enam variabel yang diduga mempunyai pengaruh nyata terhadap animo bertransmigrasi. Keenam variabel tersebut diukur melalui proses survei pada calon transmigran yang siap berangkat ke daerah tujuan transmigrasi.
Dari pengujian dengan metode analisa regresi linier berganda, didapatkan hasil bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, dan semakin tinggi beban keluarga, serta semakin rendah pemilikan lahan, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi. Sedangkan informasi dari saudara dan tokoh masyarakat lebih dipercaya dan kuat mendorong dibanding dari petugas pemerintah. Demikian pula semakin tinggi pendapatan keluarga dan semakin rendah kepadatan penduduk, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi.
Mengacu hasil penelitian tersebut, beberapa kebijakan pokok yang perlu ditempuh oleh para perencana dan pelaksana program pembangunan adalah dengan menciptakan wilayah pengembangan ekonomi baru di daerah-daerah potensial di luar Pulau Jawa sebagai daya tarik, selain terus mendorong penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemukiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemuuiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat dan berpendidikan relatif tinggi untuk bersedia bermigrasi ke daerah baru tersebut.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beny Darmawan
"Migrasi (perpindahan penduduk) sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering dijadikan sebagai "center back" (alasan utama) keputusan seseorang untuk melakukan migrasi.
Tujuan dari peneiitian ini adalah untuk mengetahui pola migrasi yang terjadi antar provinsi di Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, yang secara khusus faktor-faktor ekonomi yang digunakan dalam tesis ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Atas Dasar Harga Konstan, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Pengangguran, perlu dilakukan perhitungan terhadap proporsi migrasi yang dipengaruhi faktor-faktor ekonomi tersebut.
Analisis yang digunakan untuk dapat melakukan perkirakan perubahan proporsi migrasi antar provinsi di Indonesia adalah dengan menggunakan Model Hybrida, yaitu model gravitasi yang sudah dimodifikasi sedemikian sehingga analisis hanya berpedoman pada sate perubahan indikator ekonomi saja. Karena data migrasi di Indonesia bersumber dari Sensus Penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang dilakukan diantara dua sensus, maka Model Hybrida yang dikemukakan dalam tesis ini mengacu pada data dengan periode 5 tahunan.
Hasil analisis yang dilakukan untuk masing-masing indikator ekonomi menunjukan ketiganya mempunyai pengaruh yang signifikan dan bila ketiganya dianalisis secara bersama-sama ternyata indikator ekonomi Pengangguran menunjukan pengaruh yang tidak signifikan terhadap migrasi yang terjadi. Namun demikian dari kedua tahap analisis yang dilakukan, indikator ekonomi UMP menunjukan hasil yang sama yaitu tidak sesuai perkiraan semula karena migran justru cenderung menuju provinsi yang mempunyai UMP lebih rendah dibandingkan provinsi asalnya. Hasil itu diduga karena dalam analisis ini migran tidak dikelompokan menurut umur, terutama umur pekerja, disamping itu alasan migran melakukan migrasi seperti alasan pendidikan, pernikahan, keluarga dan lain-lainnya turut mempengaruhi hasil tersebut."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahfirin Abdullah
"ABSTRAK
Saat ini semakin disadari pentingnya penyebaaran kegiatan ekonomi dan pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan kegiatan ekonomi luar Jawa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi perpindahan penduduk ke Palau Jawa yang pada gilirannya akan mengurangi permasalahan kependudukan di Indonesia
Propinsi Lampung sejak lama menjadi daerah tujuan migrasi penduduk Pada jaman penjajahan, Lampung ditetapkan sebagai salah satu daerah kolonisasi oleh pemerintah penjajahan Belanda Pada jaman awal kemerdekaan hingga masa orde baru daerah Lampung juga dijadikan sebagai daerah penempatan transmigran.
Mengingat sejarahnya yang panjang sebagai wilayah penempatan transmigran, di Propinsi Lampung banyak terdapat wilayah dengan mayoritas penduduk pendatang terutama dari Palau Jawa sehingga banyak tempat tempat di propinsi Lampung yang mempunyai nama yang lama dengan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Karena penduduk yang berasal dari daerah lain jumlah cukup banyak, naaka hubungan antara penduduk Lampung dengan penduduk dari daerah lain, khususnya Jawa menjadi sangat intensif. Didukung dengan letak geografis daerah Lampung sangat berdekatan dengan Pulau Jawa, kondisi ini menyebabkan daerah Lampung merupakan salah satu tujuan utama transmigrasi swakarsa dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, walaupun penempatan transmigrasi umum oleh pemerintah ke Lampung telah dihentikan sejak tahun 1980, tetapi penduduk Jawa yang masuk ke Lampung masih tetap besar. Mengingat sumber daya alam dan pembangunan masing-masing daerah atau kabupaten di daerah Propinsi Lampung juga berbeda-beda, maka distribusi atau persebaran penduduk tidak tersebar secara merata.
Melihat kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas, menarik untuk diselidiki faktor apa saja yang mempengaruhi migrasi masuk ke Lampung dan migrasi masuk antar kabupaten di Propinsi Lampung berikut karakteristik migran yang masuk ke Lampung. Dengan itu diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang migran sehubungan dengan karakteristik kependudukan individu migran itu sendiri (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan lain-lain) dan karakteristik latar belakang daerah asalnya. Untuk tujuan itu, dalam penelitian ini digunakan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1985.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memperoleh gambaran mengenai migran yang masuk ke Propinsi Lampung yaitu yang menyangkut karakteristik individu dan latar belakangnya. Kedua, melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi probabilita seseorang untuk melakukan perpindahan ke Propinsi Lampung baik yang berasal dari propinsi lain maupun yang berasal dari Propinsi Lampung sendiri (migrasi antar kabupaten).
Berkaitan dengan tujuan kedua di atas, akan dilihat berapa besar pengaruh dari masing-masing faktor yang bersangkutan dalam hal ini dilakukan dengan analisis inferens. Selain itu juga akan dilakukan analisis deskriptif mengenai karakteristik migran yang ada di Propinsi Lampung. Hal terakhir ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai migran yang ada di daerah tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu analisis deskriptif (analisa tabulasi silang) dan analisis inferens. Analisis inferens dilakukan dengan membuat fungsi multinomial logistic untuk mengetahui probabilita migrasi masuk ke Propinsi Lampung. Variabel babas yang digunakan dalam analisis adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan dua variabel kontekstual yaitu pendapatan per kapita dan peran sektor industri dalam PDRB. VariabeI kontekstual diperoleh dengan satuan analisis kabupaten (wilayah di propinsi Lampung) dan Propinsi untuk wilayah di luar Lampung.
Di antara penduduk muda (berumur di bawah 25 tahun) proporsi bukan migrannya adalah lebih kecil dibandingkan dari pada di antara penduduk tua (berumur 25 tahun atau lebih). Sementara itu proporsi migran antar Kabupaten di antara penduduk muda (di bawa 25 tahun) adalah sedikit lebih tinggi di banding pada penduduk umur tua, namun perbedaan proporsinya relatif kecil
Penduduk yang berpindah dan propinsi lain, baik dari Jawa maupun dari propinsi lainnya nampaknya terdiri dari orang-orang muda yang berumur di bawah 25 tahun. Hal ini terlihat pada beda proporsi migran dari propinsi lain di antara penduduk berumur kurang dari 25 tahun jauh lebih besar dibandingkan dengan yang berumur 25 tahun atau lebih. Pada penduduk muda proporsinya adalah sebesar 0,062 sedangkan pada penduduk tua hanya sekitar setengahnya atau sebesar 0, 031.
Kenyataan ini nampaknya sesuai dengan dugaan kita sebelumnya yang mana migran terdiri dari kaum muda yang produktif. Keputusan migran nampaknya merupakan keputusan ekonomi yang memperhitungkan kemungidnan memperoleh pekerjaan, dan jangka waktu bekerja di daerah tujuan. Pada penduduk muda, masa kerja di daerah tujuan adalah lebih lama dibandingkan dengan penduduk tua Semakin lama masa kerja di daerah tujuan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari perpindahan yang telah dilakukan. Sebaliknya kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk tua adalah lebih kecil, mengingat kemampuan yang semakin terbatas. Sementara itu masa kerja yang mungkin dapat dilakukan oleh penduduk tua lebih sedikit.
Nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan dalam hal proporsi bukan migran. Proporsi bukan migran pada laki-laki adalah 0,880 sedangkan pada perempuan sebesar 0,878. Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk wanita adalah lebih rendah dibandingkan pada penduduk laki-laki, yang mana pada laki-laki proporsinya sebesar 0,081 sedangkan pada wanita sebesar 0,069.
Proporsi migran antar kabupaten pada laki-laki maupun perempuan adalah lebih besar dibandingkan dengan proporsi migran dan luar propinsi. Kendala jarak nampaknya menyebabkan probability pindah antar kabupaten menjadi lebih besar dari pada probability pindah antar propinsi. Selain itu, dalam propinsi yang sama pengetahuan mengenai kondisi daerah tujuan lebih dapat diketahui secara seksama. Sementara itu bagi penduduk asal luar propinsi informasi ini lebih terbatas.
Migran dari luar propinsi Lampung nampaknya lebih banyak yang berstatus belum kawin dari pada yang pernah kawin. Ini terlihat dari migran asal luar propinsi yang mana proporsinya lebih besar dikalangan penduduk belum kawin dibandingkan dengan pada penduduk yang pemah kawin. Pada penduduk yang berstatus belum pernah kawin proporsinya adalah sebesar 0,053 sedangkan pada penduduk yang pernah kawin proporsinya sebesar 0,04.
Kenyataan ini nampaknya berhubungan dengan beban yang harus dipikul dalam bermigrasi. Pada penduduk yang belum kawin beban yang harus ditanggung dalam perjalanan migrasi maupun beban moral dalam meninggalkan daerah asal adalah lebih rendah. Pada penduduk yang berstatus kawin, beban yang harus ditanggung lebih besar, misalnya harus membawa serta anak dan istri. Dalam kondisi yang belum pasti di daerah tujuan, adanya beban tanggungan ini bukan masalah sederhana. Biaya yang harus ditanggung, apalagi apabila migran tidak langsung memperoleh penghasilan yang cukup adanya beban tanggungan akan sangat memberatkan.
Variabel pendidikan formal nampaknya tidak begitu diperhatikan dalam menentukan keputusan migrasi ke dareah lampung. lni terlihat pada tidak adanya perbedaan proporsi migran menurut pendidikan Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk berpendidikan tamat SD atau lebih adalah sebesar 0,074 dan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah adalah sebesar 0,075. Hal yang sama juga terjadi pada proporsi migran asal luar propinsi, yang mana pada penduduk yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD atau tidak sekolah) maupun berpendidikan tamat SD atau lebih sama-sama sebesar 0,045.
Kenyataan ini diduga karena sebagian besar migran yang datang ke Propinsi Lampung tujuannya adalah bekerja di sektor pertanian (perkebunan). Pada sektor pertanian, pendidikan formal bukanlah suatu hai yang penting dalam menentukan penghasilan pekerja. pengalaman bertani dan bercocok tanam malah lebih diperlukan. Selain itu diperkirakan, pendatang ke propinsi Lampung, selain petani adalah pedagang sektor informal, yang mana sama halnya dengan pertanian, pendidikan formal bukan hal yang menentukan penghasilan pekerja.
Setelah kita perhatikan perbedaan proporsi migrasi berdasarkan variabel individu, sekarang mari kita perhatikan pengaruh variabel lingkungan terhadap proporsi migrasi. Keputusan migrasi nampaknya tidak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Bila dibandingkan proporsi migran pada penduduk yang daerahnya mempunyai PDRB perkapita rendah dengan yang tinggi nampak tidak ada perbedaan.
Variabel tingkat industrialisasi nampaknya mempunyai pengaruh yang berbeda antara kelompok migran maupun antara tingkat industrialissisi rendah dan tinggi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa proporsi bukan migran lebih besar pada daerah yang tingkat industrialisasinya lebih tinggi. Sedangkan proporsi migran antar kabupaten daerah yang tingkat industrinya rendah proporsi migrannya tinggi.. Proporsi migran dari luas propinsi ternyata hampir tidak ada perbedaan menurut tingkat industrialisasi. "
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Karib
"ABSTRAK
Penduduk Koto Gadang banyak yang melakukan migrasi ke luar. Hal ini ditandai dengan adanya kenyataan bahwa jumlah penduduk asli lebih sedikit daripada jumlah penduduk pendatang. Jumlah penduduk asli hanya 538 orang. Sedangkan jumlah penduduk pendatang sebanyak 749 orang. Bukti lainnya adalah 161 buah rumah tidak dihuni lagi oleh pemiliknya. Dengan kata lain anggota keluarga dari rumah-rumah yang kosong tersebut telah bermigrasi seluruhnya. Dengan banyaknya penduduk Koto Gadang yang bermigrasi ke luar tersebut, merupakan hal yang menarik untuk diteliti.
Penelitian ini akan menyelidiki, apakah yang menjadi penyebab penduduk bermigrasi dari Kato Gadang ?
1. Apakah lahan pertanian sebagai penyebab penduduk bermigrasi ?
2. Apakah umur seseorang menentukan keputusannya untuk bermigrasi ?
3. Apakah tingkat pendidikan mempengarulii jumlah migrasi ?
4. Apakah sempitnya lapangan pekerjaan penyebab bermigrasinya penduduk ?.
Penelitian ini diawali dengan membahas penggunaan tanah di daerah terpencil yang berdasarkan teori dari Von Thunen (dalam Sandy, 1989: 61). Von Thunen mengatakan bahwa di daerah terpencil pola penggunaan tanah berbentuk sebuah lingkaran konsentrik. Di mana intensitas penggunaan tanah yang paling tinggi terdapat di sekitar pemukiman atau kampung. Makin menjauh dari tempat pemukiman itu, intensitas penggunaan tanah secara bertahap berkurang.
Akan tetapi, gambaran penggunaan tanah Von Thunen itu tidak memperlihatkan dinamika atau perkembangan yang terjadi sesuai dengan waktu dan pertambahan penduduk.
Untuk melihat dinamika penggunaan tanah di suatu lokasi terutama tanah di desa Koto Gadang, maka dipakai teori tahapan-tahapan penggunaan tanah konsepsi wilayah tanah usaha yang dikemukakan oleh Sandy (dalam Sajogyo, 1980: 161).
Berdasarkan teori tahapan-tahapan penggunaan tanah konsepsi wilayah tanah usaha, maka penggunaan tanah di Koto Gadang baru pada tahap G. Tahap penggunaan tanah tersebut dimulai dari tanah masih berupa hutan lebat dan belum ada manusia di situ. Kemudian tanah tersebut digunakan manusia untuk berbagai keperluannya.
Akhirnya penggunaan tanah itu mencapai tingkat penggunaan yang merusak lingkungan (tahap H dan I).
Apabila perjalanan penggunaan tanah di Koto Gadang terus berlanjut, maka kerusakan lingkungan akan terjadi sebagai akibat dari kurangnya tanah usaha bagi petani yang hidup di desa Koto Gadang ini.
Untuk menghindarkan kerusakan lingkungan, penduduk Koto Gadang dihadapkan pada 2 pilihan yaitu: pindah profesi selain petani atau pindah tempat dengan kata lain bermigrasi.
Penduduk Koto Gadang telah melaksanakan kedua hal tersebut. Dalam pindah profesi penduduk ada sebagai pengrajin, pedagang, tukang atau buruh dan pegawai. Akan tetapi penduduk yang telah berubah profesi tersebut tidak dapat menjamin suatu kehidupan yang layak.
Penduduk yang bermigrasi telah diteliti dengan agak rinci. Hasil penelitian itu menuniukkan bahwa:
1. Penduduk yang bermigrasi yang paling banyak berasal dari anggota keluarga yang memiliki lahan sempit (di bawah 0,5 ha).
2. Penduduk yang berpendidikan lebih tinggi lebih banyak bermigrasi darinada penduduk yang berpendidikan rendah. Penduduk Koto Gadang yang bermigrasi yang terbanyak berpendidikan SLTA ke atas.
3. Penduduk Koto Gadang yang bermigrasi kebanyakan mereka belum bekerja atau menganggur.
4. Penduduk yang bermigrasi umumnya yang berusia produktif (15 sampai 39 tahun).
Makna migrasi di sini berbeda dengan transmigrasi. Penduduk yang bermigrasi tidak dibantu oleh pemerintah. Tidak pula migrasi 'bedol deso' dan tidak ada pula pindah satu keluarga sekaligus. Melainkan bentuk migrasi penduduk Koto Gadang ini adalah migrasi swakarsa.
Sebagai akibat penduduk Koto Gadang bermigrasi, tidak kurang dari 161 buah rumah tidak lagi dihuni oleh pemiliknya. Karena penduduk yang tua-tua mungkin sudah meninggal. Sedangkan penduduk yang berumur relatif muda terpaut dengan usahanya di tempat baru.
Akan menjadi penelitian yang baik bagaimana kelanjutan dari kehidupan warga desa Koto Gadang di kemudian hari. Apakah desa itu akan kosong ataukah masih tetap dihuni oleh banyak penduduk asli?
Kasus Koto Gadang mungkin tidak akan merupakan satu-satunya kasus untuk desa-desa yang terpencil di Indonesia. Tidak mustahil kasus seperti di Koto Gadang ini akan terdapat pula pada desa-desa lain, apabila industrialisasi di Indonesia telah mencapai taraf perkembangan yang tinggi.

ABSTRACT
Out-Migration Of West Sumatra Population: Koto Gadang Case StudyA large number of the population of Koto Gadang, a remote village in West Sumatera, had migrated to other places. This can clearly be seen from the ratio between the number of indigenous inhabitants of Kato Gadang used the relatively new arrivals in the village. The number of new arrivals is 749, whereas that of the indigenous people is only 538. There is also the fact that no less than 161 homes have been left empty by their original owners, who moved out. One might wonder why those people left the village which is no less prosperous then other villages around.
This research addressed the following issues:
1. Is agricultural land the cause of this migration ?
2. Does one's age affect one's decision to migrate ?
3. Do educational levels affect the number of migrants ?
4. Does lack of job opportunities lead to migration ?.
This thesis opens with a discussion of land use in remote areas, based on Von Thunen's theory (in Sandy, 1989: 61). Von Thunen argued that the patern of land use in remote areas take the form of a concentric circle in which the highest intensity of land use is found in areas closest to the village. The farther away the areas are from the village, the intensity of land use gradually decreases. Von Thunen's thesis, however, does not take into account the dynamic aspect of settlement based on time and population growth.
The static nature of Von Thunen's model, however has been corrected by Sandy (Saiogyo, 1980: 161) by introducing the time factor and the development of land use due to population growth. According to this theory, land use proceed at several stages of development depending on population growth but in a community consisting of small scale farmers.
In view of this theory, land use in Koto Gadang has now reached stage G. If agriculture continues to expand environment damage is inevitable. To avoid environmental damage, people in the village are faced with the options by either switch trade or migrate. People in Kato Gadang have chosen both which is either switch trade or migrate.
A detailed study has been made of the migrants from Kato Gadang. The results of this study show that:
1. The largest number of migrants came from families having a small area of agricultural land (i.e. less than 0,5a ha.)
2. The higher the level of education of the people of Kota Gadang the more they migrate
3. They also migrate in order to escape unemployment in the village
4. Migrants were mostly of the productive age range (i.e. from 15 to 39 years old).
Migration in this sense is not similar to transmigration in its official meaning of the word. The migration of the people of Koto Gadang is entirely a personal affair. It is not organized nor subsidized by the government, no common plan and no common goal. It is mainly an individual initiative and quite voluntary.
As a consequence of the migration of a substantial part of the population of Koto Gadang, their owners leave no less than 161 homes empty at present.
The question now is: What will happen next ?. Will these homes remain empty forever or what kind of development are going to happen further?
I believe that Kato Gadang will not be alone in its predicament. Industrialization will bring about urbanization. This means that other "Kato Gadangs" will be found elsewhere, which makes the case the more interesting to investigate.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarno
"Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia berasal dari masalah kependudukan. Masalah tersebut terutama berkaitan dengan besarnya jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata.
Propinsi Sumatera Barat mempunyai karakteristik khusus dalam hal budaya merantau juga menghadapi permasalahan kependudukan terutama karena fenomena migrasi tersebut. Perpindahan penduduk itu akan menyebabkan tidak meratanya distribusi persebaran penduduk, dan juga akan mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah serta berpengaruh terhadap pembangunan daerah, karena penduduk hanya akan terkonsentrasi di daerah yang mempunyai daya tarik yang tinggi terutama Kota Padang sebagai ibukota Propinsi. Hai ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antar daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat.
Dengan melakukan analisis interaksi spasial dapat diperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya, sehingga dapat diketahui pola perpindahan penduduk yang cenderung ke daerah yang mempunyai daya tarik yang lebih tinggi.
Hasil penelitian secara empiris dengan menggunakan gravity model menunjukkan bahwa faktor jumlah penduduk di daerah asal dan daerah tujuan serta jarak berpengaruh terhadap migrasi di Propinsi Sumatera Barat, dimana jarak mempunyai pengaruh yang negatif terhadap migrasi, sedangkan jumlah penduduk daerah asal dan daerah tujuan mempunyai pengaruh positif terhadap migrasi. Dan juga diketahui bahwa kesempatan kerja juga berpengaruh terhadap migrasi.
Secara keseluruhan maka daerah yang daya tariknya paling tinggi dengan menggunakan variabel penduduk dan merupakan tujuan utama bagi penduduk Sumatera Barat untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok dan kabupaten Padang Pariaman. Sedangkan daerah yang daya tariknya paling rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto.
Dengan menggunakan variabel kesempatan kerja memperlihatkan pola yang sama dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, dimana tujuan utama penduduk utama untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok.
Dengan menggunakan model Feeney dapat diketahui bahwa sampai periode tahun 2010 daerah yang paling tinggi pertumbuhan penduduknya adalah kota Padang, kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan kabupaten Agam, sedangkan daerah yang pertumbuhan penduduknya rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhanadji
"Tesis membahas tentang migrasi orang Madura ke Surabaya yang dihadapkan kepada suatu tantangan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidup buatan di Surabaya. Agar bisa survive, migran harus dapat mengembangkan strategi adaptasi di Surabaya. Cara mengembangkan strategi adaptasi ini akan lebih banyak diperlihatkan dari perilaku ekonominya. Objek penelitian ini dalah warga masyarakat Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kotamadya Surabaya. Penelitian ini mengacu pada teori Siagel dan Everet Lee tentang Migration theory, Donald Bogue tentang push-pull factor dan Bennet tentang Adaptive Orgamic.
Dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa:
pertama, migrasi orang Madura ke Surabaya melalui expedisi militer telah terhadi sejak sebelum kerajaan Mojopahit berdiri, yaitu : bantuan pasukan Sria Wiraraja dari Madura kepada Raden Wijaya untuk mengusir tentara Tartar (Gina). Setelah jaman kemerdekaan, apalagi setelah pemerintah mencanangkan Repelita tahun 1969 dan kota Surabaya menjadi kota INDAMARDI (Industri, Dagang, Maritim dan Pendidikan) sejak tahun 1971 kepergian orang Madura semakin intensif dan menjadi pola kebiasaan yang terus mengalir melalui saluran (chanel) teman dekat, saudara atau kerabat sekampung. Faktor pendorongnya adalah (1) tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasai, (2) tidak ada hambatan psikologi? sosio dan budaya, (3) cerita sukses yang dibawa orang-orang Madura ketika pulang ke kampung halaman.
Kedua, dalam mengembangkan strategi adaptasi, orang Madura senantiasa melakukan diversifikasi usaha dan memiliki jenis usaha atau profesi yang sesuai dengan tuntutan lingkungan serta sesuai pula potensi yang dimilki oleh orang Madura sendiri.
Tiga, dalam perilaku ekonomi, orang Madura selalu menunjukkan semangat dan gairah yang tinggi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi di Surabaya terutama dalam kegiatan ekonomi sektor informal. Perilaku ekonomi (pola produski, pola distribusi dan pola konsumsi) adalah bagian dari strategi adaptasi mereka dalam upaya mengembangkan kehidupannya sacara wajar di kota Surabaya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chotib
"ABSTRAK
DKI Jakarta yang dikenal sebagai ibukota negara, sekaligus sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan, pusat kebudayaan, selalu mendapat tempat di mata penduduk Indonesia sebagai tempat untuk meningkatkan taraf hidup. Maka tidak heran jika angka migrasi masuk ke DKI Jakarta selama ini terbilang tinggi. Namun sejak tahun 1990, tingginya angka migrasi masuk ke DKI Jakarta ternyata diikuti juga oleh lebih tingginya angka migrasi keluar dari DKI Jakarta. Hal yang sama terlihat pula dari data SUPAS 1995 yang menunjukkan lebih tingginya angka migrasi keluar daripada yang masuk. Selama kurun waktu 1990-1995, jumlah migran risen masuk ke DKI Jakarta mencapai 595.542 orang, dan jumlah migran risen keluar dari DKI Jakarta mencapai 823.045 orang.
Kajian mengenai perilaku migran yang keluar maupun yang masuk dari dan ke DKI Jakarta akan lebih menarik bila dibahas melalui pendekatan demografi multiregional, yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada aspek diriamika penduduk secara spasial. Perhitungan migrasi melalui pendekatan ini dapat diaplikasikan pada Skedul Model Migrasi, yang menggambarkan keteraturan pola migrasi menurut umur.
Temuan menunjukkan bahwa migran masuk ke DKI Jakarta lebih "labor dominant", sedangkan yang keluar lebih "child dependent". Terlihat juga kenaikan angka migrasi pada usia puncak angkatan kerja lebih tajam daripada penurunannya. Sedangkan pada usia pasca angkatan kerja, penurunan angka migrasi dari usia puncak lebih tajam daripada kenaikannya. Temuan lain juga menunjukkan bahwa intensitas migran perempuan sedikit lebih tinggi daripada migran laki-laki; intensitas migran dari dan ke perkotaan lebih tinggi daripada dari dan ke perdesaan; dan intensitas migrasi keluar lebih tinggi pada migran kelahiran luar DKI Jakarta, sedangkan intensitas migrasi masuk lebih tinggi pada migran kelahiran DKI Jakarta.

ABSTRACT
Most human populations have rates of age-specific fertility and mortality that exhibit remarkably persistent regularities. Consequently, demographers have found it possible to summarize and codify such regularities by means of mathematical expressions called model schedules. Although the development of model fertility and mortality schedules has received considerable attention in demographic studies, the construction of model migration schedules has not, even though the techniques that have been succesfully applied to treat the former can be readily extended to deal with the latter.
This research examines spatial population dynamics into and out of DKI Jakarta based on SUPAS 1995 (1995 Intercencal Population Survey). Such an examination is carried out by means of a multiregional approach, that is, an extension of demographic analysis that accounts for population at risk on migration behavior.
Applying model migration schedules, this research characterizes the migration flows between DKI Jakarta and the rest of Indonesia. , It demonstrates that out-migration from DKI Jakarta (to the rest of Indonesia) is more "child dependent", whereas in-migration (out-migration from the rest of Indonesia) to DKI Jakarta is more "labor dominant". The research also finds that the intensity of female migrants is higher than the intensity of male migrants; the intensity of urban to urban migrants is higher than the intensity of urban to rural or rural to urban migrants; and the propensity to move out of DKI Jakarta is three times as high for migrants those born outside DKI Jakarta as for migrants those born in DKI Jakarta; Similarly, the propensity to move out of the rest of Indonesia is almost seven times as high for migrants those born in DKI Jakarta as for migrants those born in the rest of Indonesia.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>