Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97931 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mudjahirin Thohir
"ABSTRAK
Desa Sukodono, Jepara (87 km sebelah timur laut kota Semarang) luas wilayahnya 182 ha. Tahun 1990, berpenduduk 3879 jiwa, dengan kepadatan rata-rata per km2 2131 jiwa.
Sebagai daerah pesisir, masyarakat desa Sukodono ini bersikap terbuka, dalam bertutur kata nampak kasar, serta memiliki etos kerja yang tinggi. Sedang dalam hal religi (kepercayaan), masyarakat desa ini lebih cocok sebagai masyarakat Kejawen. Jenis agama yang dipilih, menunjukkan keragaman, yaitu sebagian Islam, Kristen, dan sebagian Budha, di samping masih banyak yang menjadi penganut kepercayaan lokal (agami Kodono).
Masyarakat yang berciri demikian ini, mata pencahariannya secara umum bergerak di bidang industri kerajinan mebel ukir, baik sebagai pengrajin, pengusaha, maupun sebagai tukang.
Industri kerajinan ukir yang diusahakannya itu, mengalami perkembangan pesat mulai sekitar awal tahun 1980-an, yaitu sejak barang-barang mebel ukir dijadikan salah satu komoditi ekspor ke luar negeri.
Kegiatan ekonomi pengrajin desa ini memiliki hubung-kait dengan sistem sosio-budayanya. Oleh karena itu, untuk memahami seberapa jauh peranan wong pinter dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat ini, diperlukan data-data etnografis, data-data yang berkaitan langsung dengan industri kerajinan, serta data-data tentang wong pinter menyangkut pandangan hidup dan kontribusinya terhadap pengrajin.
Setelah sekitar setengah tahun penulis melakukan studi lapangan, dapat dijelaskan temuan-temuan berikut:
1. Ketrampilan membuat perabot rumahtangga dari bahan kayu sudah dijadikan identitas masyarakat Jepara. Pengakuan ini bisa bersumber dari cerita rakyat setempat,dan dari kenyataan empiris yaitu banyaknya usaha mebelair yang dikembangkan oleh orang-orang Jepara.
2. Dalam rangka pengembangan usaha tersebut, rata-rata pengrajin setempat, membutuhkan bantuan yang bersifat spiritual dari wong pinter seperti pengujub kyai dan dukun. Bantuan yang diminta dari mereka bersifat berjenjang, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan tuntutan yang dikehandaki .
3. Untuk menjalankan perannya itu, pengujub umumnya memberi sarana berupa penentuan waktu yang dianggap paling cocok untuk memulai membuka usaha serta memimpin upacara Selamatan Rasulan; para kyai memberi sarana berupa doa, rajah dan semisalnya; dan dukun memberikan sarana-sarana yang beragam menurut keahlian dukun sendiri atau atas permintaan kliennya.
4. Bantuan spiritual dari wong pinter seperti itu, penilaiannya tidak selalu diukur dari peningkatan ekonomi. Keberhasilan dalam kegiatan ekonomi perseorangan, banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti motivasi, modal, dan ketrampilan, baik dalam aspek teknologis, manajerial, sampai pemasaran. Padahal ciri-ciri umum pengrajin industri di desa Sukodono ini, justru faktor-faktor penentu itu yang masih lemah.
Oleh karena itu, pemerintah daerah seharusnya secara moral merasa terpanggil untuk ikut membantu pengembangan kegiatan ekonomi mereka secara lebih konkrit.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Sumartono
"ABSTRAK
Berawal dari suatu kondisi masyarakat desa dengan latar belakang kehidupan pertanian yang sederhana, masyarakat Desa Sukodono, Jepara, Propinsi Jawa tengah, berkembang menjadi kelompok masyarakat pengrajin seni kerajinan meubel ukir kayu yang handal. Dalam tesis ini hendak dijawab pertanyaan, berkaitan dengan pernyataan di atas, yaitu: Mengapa mereka memilih usaha di bidang seni kerajinan ukir kayu sebagai mata pencaharian pokoknya; bagaimana potensi mereka sehingga mampu mengembangkan kreativitasnya di bidang itu; bagaimana kaitannya dengan sumber daya lingkungan yang ada dan dapat dimanfaatkannya; bagaimana bentuk desain-desain ukir yang diciptakannya, dan; bagaimana fungsi seni kerajinan ukir kayu itu dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Untuk mengkerangkai penjelasan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan digunakan konsep kebudayaan, kesenian, kreativitas dan kreativogenik seni, serta desain dalam seni ukir. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya metode etnografis. Sasaran penelitian mengacu kedua arah yaitu kehidupan para perajin seni kerajinan ukir kayu di Desa Sukodono dan desain ukir yang diciptakannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pengrajin Desa Sukodono mengawali usahanya sebagai buruh serabutan, tukang kayu atau tukang ukir di industri-industri kerajinan meubel ukir kayu di wilayah kota Jepara. Akan tetapi, karena pada tahun 1965 sampai tahun 1972 mengalami persaingan yang ketat untuk memperoleh peluang pekerjaan tersebut di wilayah kota Jepara, mereka mengambil alternatif untuk pergi merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya untuk bekerja di bidang yang sama di perusahaan industri meubel besar di kota-kota besar tersebut.
Pengalaman pergi merantau di kota-kota besar merupakan pengalaman yang berharga, dan sekaligus menjadi modal besar, bagi masyarakat Desa Sukodono untuk mendirikan usaha industri kerajinan meubel ukir kayu di desanya sendiri. Selanjutnya, industri kerajinan meubel ukir kayu di Desa Sukodono berkembang pesat membentuk sistem jaringan pekerjaan yang dapat memberikan peluang kerja yang menguntungkan bagi warga masyarakat desa. Dengan demikian perekonomian masyarakat setempat pun ikut berkembang dengan baik.
Lingkungan alam yang ada cukup mendukung usaha di bidang kerajinan ukir kayu. Walaupun sekarang bahan alam sudah tidak semelimpah pada waktu.yang lampau, tetapi tampaknya kayu jati dan mahoni masih tetap dapat diperoleh dari wilayah sekitar Jepara, yang relatif kaya akan hutan kayu jati. Selain itu, faktor kesejarahan telah melekat dalam kesadaran orang-orang Sukodono yang merasa bahwa keahlian membuat ukiran kayu merupakan keahlian warisan dari nenek-moyangnya, yang secara khusus merupakan keahlian orang Jepara pada umumnya.
Desain ukir yang berkembang dan dirancang oleh para pengrain Desa Sukodono pada awalnya adalah desain khas Jepara. Namun, sekarang untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meluas, mereka juga membuat berbagai desain dan corak tradisional berbagai daerah di Indonesia, bahkan corak Eropa, Cina, dan Jepang pun sudah mulai dibuatnya. Barang yang dihasilkan juga semakin beragam. Industri kerajinan ukir Jepara, khususnya Desa Sukodono, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupari sehari-hari masyarakat Desa Sukodono. Industri kerajinan ukir fungsional bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka, baik secara ekonomi maupun estetis, dan fungsional pula bagi pemenuhan berbagai kebutuhan lainnya.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Subiyantoro
"ABSTRAK
Seni ukir adalah aset bangsa, bukan hanya dari segi budaya tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, Sehingga harus dilestarikan bahkan dikembangkan untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan masyarakat dan derajat kehormatan bangsa, sebagaimana yang diamanatkan pasal 32 UU 1945. Untuk mewujudkan amanat tersebut sangat berkaitan dengan kegiatan enkulturasi, yang memerlukan, pewaris-pewaris kreatif yang mampu meneruskan pengetahuan-pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap serta nilai-nilai seni ukir kepada generasi berikutnya secara berkesinambungan. Apalagi pada masa-masa seperti sekarang ini, laju modernisasi telah menuntut pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Masalah penelitian yang dikaji adalah bagaimana proses enkulturasi seni ukir berlangsung, meliputi: unsur-unsur maupun proses-proses dan cara-cara serta pola-pola enkuturasi (pembudayan) dari generasi ke generasi terhadap berbagai sarana atau instisirsi sosial yang terkait satu sama lain dalam kerangka kebudayaan masyarakat setempat.
Penulisan ini bersifat deskripstif dan analisis. Model penjelasan mengacu pada konsep enkulturasi (Herkovits, 1964: 325; Theodorson, 1979: 131; Seymour, 1992: 92-93) kerangka proses enkulturasi konsep Fortes (dikutip Koentjaraningrat, 1990: 229-231) dan teori pola enkulturasi ((Devault, 1971: 315; Baumrind,1963: 479; Jaeger, 1977: 96).
Penelitian bersifat kualitatif, dilakukan dengan field voile research, menggunakan metode survey, pengamalan dan pengamatan terlibat (participant observation) serta wawancara mendalam (indepfh interview) terutama dalam menghimpun individual life history.
Hasil studi menunjukkan bahwa
1. Hal-hal yang melatarbelakangi proses enkulturasi nilai seni ukir berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi, telah didasari oleh motif ekonomi dan kesadaran sosial terutama para pewaris (pihak pembudaya) yang dilandasi oleh faktor historis masyarakat setempat (budaya).
2. Sarana proses berlangsungnya enkulturasi dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah proses enkulturasi yang bersifat langsung (eksplisit) dan golongan kedua adalah proses enkulturasi yang bersifat tidak langsung (implisit). Sarana proses enkulturasi yang bersifat langsung terjadi di sekolah dan di tempat magang seni ukir. Samua proses enkulturasi yang bersifat tidak langsung terjadi melalui: institusi keluarga, kelompok sebaya atau peer group, tempat pekerjaan, lembaga agama seperti masjid, dan media massa.
3. Sistem magang merupakan sarana proses berlangsungnya enkulturasi secara langsung dan efektif yang membentuk pribadi perajin seni ukir, Nilai-nilai seni ukir yang dienkulturasikan pada instltusi ini ada empat, yakni nilai keindahan, nilai teknik dan nilai kegunaan yang dilandasi oleh nilai ekonomi. Proses enkulturasi melibatkan dua peran, pertama peran orang yang belajar yaitu melalui tahapan: meniru [mitas), identifikasi, internalisasi dan eksternalisasi; kedua peran pendidik ukir sebagai, pembimbing yang memberikan: instruksi, persuasi, rangsangan dan hukuman. Cara enkulturasi melibatkan anak langsung ke dalam kegiatan praktek sehari-hari di tempat magang, baik sistem magang model ginaon maupun model ngenek,
4. Keseluruhan dalam proses mengenkulturasikan nilai-nilai, pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dalam proses pembudayaan seni ukir, pola yang diterapkan adalah bervariasi dan cenderung berbeda pada setiap model sistem magang. Pola enkulturasi merupakan perpaduan, dan bukannya menggambarkan pada satu pola tertentu. Pola-pola tersebut adalah: (1) pola otoriter demokratis, (2) pola otoriter-dominan demokratis (3) pola demokratis. Pola yang diterapkan pada pewaris generasi terdahulu dengan pola enkulturasi yang diterapkan pada generasi sekarang telah mengalami perubahan, yakni dari pola yang semula demokratis bergeser ke pola perpaduan antara otoriter demokratis, hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang merupakan motif dominan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan melalui seni ukir sebagai medianya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Dinas pariwisata , 2005
304.2 KEA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dono Karmadi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985
730 AGU s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan , 1991
745 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmono Widagdo
"Kehadiran kader mutlak dibutuhkan dalam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM), yaitu suatu upaya yang dilandasi peran-serta masyarakat, adalah suatu strategi untuk memelihara kelangsungan hidup di samping untuk membina tumbuh kembang anak secara sempurna baik fisik maupun mental. Dari berbagai kepustakaan diperoleh informasi bahwa peran-serta masyarakat khususnya sebagai kader tidak dapat timbul begitu saja tetapi harus ada motivasi dari pihak lain yang sifatnya terus menerus. Motivasi tersebut dapat berasal dari lingkungan, yaitu pemerintah atau swasta, dan dapat juga berasal dari masyarakat sendiri. Motivasi yang berasal dari pemerintah atau swasta lebih bersifat temporer sedangkan motivasi yang berasal dari masyarakat, antara lain seperti sumber daya manusia termasuk tokoh masyarakat atau kepala desa (kades) diharapkan akan menjadi motivator yang sifatnya lebih berkesinambungan. Namun, dalam pelaksanaannya, posyandu banyak mengalami kendala dan kegagalan walaupun ada juga yang berhasil. Kegagalan tersebut disebabkan antara lain karena di sana-sini banyak terjadi angka putus (drop-out) kader karena kurang/tidak adanya motivasi dari kades. Penelitian kualitatif telah dilakukan untuk mendapatkan ciri kepemimpinan, sementara telah dilakukan pula penelitian yang bersifat kuantitatif secara cross sectional untuk membuktikan bermakna tidaknya pengaruh kepemimpinan tersebut. Hasil analisis penelitian ini, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, memperlihatkan adanya hubungan antara kepemimpinan dengan sikap kader; demikian juga kehadiran kader di Posyandu secara signifikan. Dapat disimpulkan bahwa adanya angka putus kader (drop-out) adalah karena kepemimpinan kades yang tidak berjalan dengan semestinya, yang juga sangat berpengaruh, baik terhadap sikap kader maupun kehadirannya di Posyandu/peran-serta masyarakat.

Village Head and Village Leadership: Posyandu Cadre Perseption in Mlonggo Subdistrict, Jepara District, Central Java, 2000. The presence of kaders in the integrated health and family planning services (Posyandu) form one of the community based health efforts and was a strategy to ensure child survival as well as their mental and physical development and protection. Secondary research indicates that community participation couldnot rise by itself and that it must be continuously motivated by other parties.These include the government and non-government organizations, as well as from within the communities. Motivations from government and non-government organizations are often temporary, while motivations from the community are often expected to be sustainable. In its implementation, however, the presence of kader in Posyandu often face many barriers and failures, though some have been successful. One of the main failures is reflected in the drop-out rates of the village kader due to the lack of motivation especially from the village heads (kades). The qualitative research was done in stages focusing on characteristics of leadership, while a quantitative analysis through a cross sectional survey was done to show the significance of such leadership. The results both qualitative and quantitative analysis shows a relation between leadership and kaders attitude and a relation between leadership and the presence of kader of Posyandu programs significantly. It means that drop-out rates of kaders are indeed affected by kades leadership which also affects the overall performance of the Posyandu, include the presence of the kaders."
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Indrahti
"Perkembangan industri kerajinan ukir di Jepara tahun 1945 - 2001 memberikan pengaruh pada orientasi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Terutama setelah terjadinya promosi pemasaran pada pesanan internasional pada sekitar periode tahun 1980-an. Industri kerajinan ukir telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Jepara meskipun pemanfaatan laharnya lebih banyak pada bidang pertanian. Kemampuan menampung angkatan kerja yang ada sebanding dengan semakin meningkatnya angka eksportir. Menandakan bahwa dari segi kuantitas tampak bahwa industri kerajinan ukir mengalami perkembangan yang pesat terutama setelah datangnya eksportir ke daerah produsen (Jepara). Upaya antisipasi perlu dilakukan rnenyangkut hak paten, ketersediaan bahan-bahan dasar untuk produksi, keterampilan tenaga kerja serta jaringan pemasaran yang memadai.
Pendekatan historis pada penelitian ini digunakan untuk memahami perkembangan industri kerajinan seni ukir Jepara tahun 1945 - 2001. pendekatan historis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang berbagai kondisi yang melatarbelakangi proses perkembangan itu sendiri, serta dampak dari perkembangan bagi masyarakat pendukungnya secara khsus dan umum.
Pada periode tahun 1945 - 1979, perkembangan kerajinan ukir masih dalam lingkup lokal, terutama untuk memenuhi permintaan pasaran dalam negeri. Hal ini disebabkan keterbatasan modal, promosi serta jaringan pema saran. Wilayah kecamatan yang ada di kabupalen Jepara, hanya tiga kecamatan yaitu Tahunan, Jepara dan Batealit yang menjadi aktivitas kerajinan ukir.
Ketiga kecamatan tersebut menjadi tempat memproduksi kerajinan ukir sekaligus memasarkannya. Pada tahun 1980 - 1990 terjadi pertambahan wilayah produksi yang hampir merata pada seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Jepara. Perkembangan ini juga ditandai dengan semakin berperannya eksportir dan PMA. Lonjakan perkembangan sangat cepat pada periode tahun 1991 - 2001, terutama akibat krisis moneter. Peningkatan jumlah eksportir dan PMA diikuti dengan peningkatan jumlah volume dan nilai ekspor. Keberhasilan ini berpengaruh dalam nilai total ekspor di Jawa Tengah.
Upaya menumbuhkan mitra kerja antara PMA dan pengusaha lokal di lakukan oleh pemda dan masyarakat, dengan strategi, PMA yang melakukan aktivitas produksi di Jepara harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Pengusaha lokal meningkatkan sikap yang lebih aktif untuk mengambil peluang-peluang yang ada terutama alih teknologi, promosi dan pema saran Dari segi modal, keterampilan, teknologi serta desain maka dapat dikatakan bahwa PMA mempunyai keunggulan dibanding dengan pengusaha lokal. Di sisi lain pengusaha lokal juga menguasai keterampilan di bidang pengembangan keterampilan ukir. Kedua kelebihan tersebut apabila dipadukan, maka dapat menghasilkan mitra usaha yang baik.

The development of carving industry in Jepara 1945 - 2001 influenced the orientation of economic activities of the local society. Especially, after marketing promotion, international orders increased in 1980-s period. Carving industry had been the main work of Jepara society although agriculture used more lands. The capacity of receiving workers was in line with the increase of export rate. Quantitatively, it seemed that carving industry developed rapidly especially after the exporters had come to the producers' area, Jepara. To anticipate the development, it is necessary to handle copyrights, raw material supplies, workers' skill, and marketing networks.
Historical method used in this research is to understand the development of carving art in Jepara 1945 - 2001. By using this method it is expected to give a comprehensive understanding on several conditions that had been the background of the development process itself, and the impact of the development on the supporting society in part and in general.
In 1945 - 1979 periods, the development of carving industry was still in the local scope, especially to fulfill domestic orders. It was caused by the limited capital, promotion and marketing network. The carving activities in Jepara Regency were held only in three sub-districts -Tahunan, Jepara and Batealit.
In 1980 - 1990 periods, the production areas extended to all sub-districts of Jepara Regency. It was also signed by the participation of exporters and foreign investments. The development increased rapidly in 1991 - 2001 because of monetary crisis. The quantitative increase of exporters and foreign investments implicated to the quantitative increase of export volumes and values. This success influenced on the total export values in Central Java.
In order to develop join venture between foreign investment and local businessmen was done by the local govemment and society. E.g., the foreign investors who hold production activities in Jepara should obey the given rules. The local businessmen should increase their business manner more actively to take opportunities such as technology, promotion, and marketing. In dealing with captal, skill, technology, and design, it could be concluded that the foreign investors had more superior qualities than those of local businessmen did. On the other hand, the local businessmen had good skills of carving. lf both of the excellent qualities unite, they will be a good join venture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T3095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartini
"Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkap dan menjelaskan aspek kepemimpinan pada eksistensi wong pinter di Temenggung Jawa Tengah. Alasan mengapa diambil wong pinter di Temanggung Jawa Tengah adalah karena istilah wong pinter pada masyarakat ini memiliki arti khusus. Implisit di dalam istilah wong pinter adalah menjunjung tinggi moralitas dan nasihat sehingga di dalamnya terdapat aspek kepemimpinan. Berdasarkan hasil analisis melalui pendekatan beberapa teori kepemimpinan, wong pinter mempunyai kontribusi sebagai pemimpin informal individual yang mampu memberikan contoh dan mempengaruhi masyarakat dengan nasihatnya. Wong pinter biasanya tidak menonjolkan kelebihannya. Wong pinter bukanlah pemimpin manajer atau eksekutor yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu masalah dan melakukan suatu tindakan karena pada umumnya mereka bukan pemimpin formal, melainkan berkontribusi dalam memberikan pertimbangan kepada masyarakat termasuk para pemimpin mengenai suatu keputusan yang sebaiknya diambil."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D I Yokyakarta , 2015
JANTRA 10:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>