Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Awaluddin
"Permasalahan Undang-undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan suatu permasalahan rumit, dilematis dan bahkan dapat menimbulkan pemasalahan lainnya, terutama yang menyangkut dengan proses pembuatan qanun dan juga realisasi dari qanun itu sendiri. Upaya sosialisasi dan implementasi sudah dilakukan namun sampai saat ini masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga masih saja terjadi perdebatan dikalangan masyarakat termasuk eksekutif dan legeslatif. Disamping itu juga ada beberapa permasalahan dan pasal-pasal dalam UU No. 18/2001 yang diangap masih kontradiksi dengan UU No 22/1999. terutama yang menyangkut dengan pembagian kewenangan antara Bupati dan Gubernur dimana UU No. 22/1999 Otonomi terletak pada daerah tingkat II sedangkan dalam UU No.18/2001 Otonomi terletak pada daerah tingkat I yaitu Provinsi, semua permasalahan tersebut telah menimbulkan konflik pada tingkat wacana dan juga realisasi dari UU No.18/2001 sehingga tingkat efektifitas Undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, dengan menggunakan data primer dan juga data skunder, jadi analisis yang dilakukan adalah analisis kepustakaan dan juga analisis lapangan dimana data yang diperoleh dan pengamatan langsung dan juga informasi dan beberapa informan akan dapat memperkuat penelitian ini untuk mengkaji kondisi ril yang terjadi di anggroe Aceh Darussalam dalam status otonomi Khsus.
Berkenaan dengan berbagai kemungkinan perubahan dan reaksi yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat dan juga struktur masyarakat, dan sejauhmana tingkat partisipasi dan kemampuan masyarakat lokal, dalam hal ini penulis menggunakan teori fungsionalisme Talcott Parson dan Robert K.Merton. namun penulis melihat teorinya Robert k.Merton lebih cocok untuk kasus Aceh karena asumsi dasar dan teorinya menyatakan masyarakat terdiri dari sejumlah komponen struktural yang membentuk satu kesatuan yang sating berhubungan dan ketergantungan, dimana masing-masing komponen ada yang berfungsi dan ada yang disfungsi kondisi ini sesuai dengan realita yang terjadi di Aceh, dimana beberapa elemen masyarakat tidak berfungsi dalam memberikan kontribusi dan solidaritasm dalam sistem perjalanan Otonomi Khusus.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus baik dalam bentuk kebijakan hukum maupun realita dilapangan, sehingga hal tersebut telah membuat Otonomi Khusus belum dapat berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menganggap penelitian ini mempunyai signifikansi tersendiri yaitu dapat membuat sebuah perbandingan antara teori dan realita empirik yang terjadi serta menemuka berbagai macam titik lemah dari.pemberlakuan UU No.18/2001.
Dari hasil pengamatan dilapangan dan juga informasi dari informan penulis menemukan beberapa persoalan yang kiranya menjadi penghambat terhadap pelaksanaan otonomi Khusus secara maksimal. pertama, adanya ketimpangan dan benturan kebijakan antara UU no.18/2001 dengan UU no.22/1999. terutama yang menyangkut kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Kedua, terlambatnya proses pembuatan qanun, sehingga kebijakan yang digunakan cendrung mengunakan kebijakan yang lama. Ketiga, tidak adanya keterlibatan unsur masyarakat dalam menentukan kebijakan qanun yang akan dilahirkan sehingga qanun yang dihasilkan belum mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Keempat, masih adanya perdebatan terhadap pemberlakuan Syriat Islam yaitu terhadap & Brad yang digunakan. Kelima, tidak adanya ketentuan yang tegas dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa untuk Aceh hanya diberlakukan UU No.1812001. keenam, terlambatnya sosialisasi terhadap qanun-qanun yang telah dihasilkan khususnya menyangkut qanun Syari'at Islam dan Mahkamah Syari'ah
Dari berbagai persoalan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan revisi secara lebih konprehensif terhadap UU No.18/2001 sehingga tidak ada aturan lain yang menghambat pemberlakuan Undang-undang Otonomi Khusus secara komplit yang dihasilkan melalui qanun, kemudian dengan berbagai macam persoalan dan kelemahan yang penulis kemukakan diatas telah membuat UU No.18/2001 belum bisa berjalan secara maksimal dan efektif, untuk ini dibutuhkan keterpaduan dan kerjasama seluruh elemen masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus masyarakat Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Aznal Zahri
"Untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia FISIP-UI, penulis meakkukan penelitian dengan judul tersebut di atas dengan tujuan untuk mengetahui dan membahas: Kebijakan Penataan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kebijakan Daerah Dalam Pelaksanaan Syariat Islam, Penyelenggaraan Pendidikan dan Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis pada data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Teknik pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling dan snow ball technique .
Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: terdapat sejumlah Bagian dan Sub Bagian pada organisasi Sekretariat Daerah serta Badan dan Dinas Daerah yang perlu ditiadakan, digabung dan atau disesuaikan. Peniadaan, penggabungan dan atau penyesuaian pada struktur perangkat daerah tersebut merupakan alternatif untuk membangun suatu struktur organisasi perangkat daerah yang ramping, efektif dan mengurangi proses birokrasi yang tumpang tindih, berbelit-belit dan tidak efisien. Oleh sebab itu diperlukan penataan ulang atas struktur organisasi perangkat daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat kontradiksi kebijakan perundang-undangan yang menyebabkan penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengandung sejumlah masalah, kendala dan konsekuensi yang perlu disikapi secara cermat dan bijaksana.
Dalam dimensi kontradiksi kebijakan perundang-undangan tersebut, penyelenggaraan keistimewaan Aceh menjadi kurang efektif dan cenderung melahirkan dualisme, karena pengorganisasian dan manajemen pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999; sedangkan pengorganisasian dan manajemen pemerintahan Daerah Provinsi yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.
Diperlukan suatu Konsep Jalan Tengah yang dapat mengintegrasikan dan tetap mengefektifkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsep Jalan Tengah dimaksud ditetapkan dengan Qanun yang disusun secara bersama-sama oleh perwakilan pemerintahan Provinsi dan perwakilan dari seluruh Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Implementasi Konsep Jalan Tengah tersebut meliputi pelaksanaan otonomi khusus oleh Pemerintah Daerah Provinsi yang meliputi pelaksanaan syariat Islam, penyelenggaraan pendidikan yang berbasis Islam dan penyelenggaraan kehidupan adat yang bernafaskan Islam. Dengan demikian penyelenggaraan keistimewaan Aceh dapat dipandang sebagai faktor perekat dan penguat integritas masyarakat Aceh, tanpa harus terjebak pada permasalahan kontradiksi kebijakan perundang-undangan.
Penyusunan Qanun tersebut di atas perlu didasarkan pada kejelasan dan pengaturan hal-hal sebagai berikut: urusan dan kewenangan yang diintegrasikan; struktur kelembagaan perangkat daerah untuk pelaksanaan urusan tersebut; status kepegawaian pada struktur kelembagaan tersebut; pola pembiayaan untuk melaksanakan urusan tersebut; adanya komisi-komisi khusus pada lembaga legislatif yang membidangi keistimewaan Aceh sebagai mitra kerja lembaga-lembaga perangkat daerah tersebut; adanya kejelasan mengenai tugas pokok dan fungsi pada setiap tingkatan lembaga yang menjamin terlaksananya manajemen pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel; pelaksanaan fungsi pengawasan, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan urusan tersebut.
Pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang meliputi berbagai aspek kehidupan Islam secara kaffah melibatkan seluruh potensi dan partisipasi seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, serta menuntut toleransi pihak pihak non muslim, baik yang berdomisili dan atau yang datang dari luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Toleransi ini penting sekali karena terdapat sejumlah konsekuensi sosial psikologis yang harus diperhatikan oleh semua pihak.
Penyelenggaraan Pendidikan yang dilaksanakan di Aceh secara umum sudah mewakili prinsip-prinsip pelaksanaan syariat Islam. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan dengan pendidikan berjenjang yang menggunakan pengajaran, kurikulum dan aturan-aturan Islam sebagai dasar bagi pelaksanaan pendidikan.
Penyelenggaraan kehidupan adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan dengan berpedoman pads Syariat Islam. Dalam pelaksanaan kehidupan adat, lembaga-lembaga adat tetap dipertahankan, dimanfaatkan, diberdayakan dan dipelihara. Peran pimpinan daerah sebagai Pemangku dan Pembina adat dan dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
"Dengan penerapan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik pada masa pemerintahan Orde Baru telah melahirkan ketidakadilan secara sosial, ekonomi, pemerintahan dan hukum di Daerah Istimewa Aceh yang menyebabkan timbulnya kekecewaan yang sangat mendalam ditengah masyarakat. Salah satu akibat yang ditimbulkannya adalah muncul berbagai tuntutan dan protes dari masyarakat baik( secara diplomasi maupun dengan perlawanan bersenjata yang apabila tidak direspon dengan arif dan bijaksana akan dapat mengancam keutuhan negara Republik Indonesia.
Di penghujung abad kedua puluh Indonesia dilanda oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Sehubungan dengan itu, untuk menyikapi tuntutan reformasi dan untuk meredam konflik di Aceh, MPR-RI telah membuat ketetapan No.IV/MPR-R1/1999 tentang pemberian Otonomi Khusus kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diatur dengan Undang-Undang.
Untuk menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut, DPR-RI bersama pemerintah telah membahas suatu Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yaitu UU No.18 tahun 2001.
Yang menarik untuk diteliti adalah bahwa sebagian besar materi yang dibahas dalam Undang-undang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berasal dari DPRD, Pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat Aceh, yaitu berasal dari bawah. Dan hal ini terjadi diluar kebiasaan dari DPR-RI dalam menetapkan suatu undang-undang.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, sementara untuk menjelaskan pokok perrnasalahan dipergunakan teori konflik, teori konsensus, teori partisipasi dan teori demokrasi.
Dalam penelitian ini ditemukan terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah dengan angota DPR-RI, khususnya anggota DPR-RI yang menjadi angota Pansus RUU NAD yang berasal dari daerah pemilihan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Konflik terjadi dalam banyak masalah, namun yang paling menonjol adalah menyangkut penetapan persentase bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas alam antara pemerintah dengan Daerah Istimewa Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14357
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of this research is to identity the dynamic of policy process at village level, as well as the forms of the policy process itself. This qualitative research look four villages in Sub-district of Padang Cermin as purposive sampling. The research showed that the policy process at four villages represented a policy community because it was encauraged by their cultures, their common values and norms which expressed in their daily life."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the enactment of law No. 22/1999 which is revised by law No. 32/2004 on Regional Government, regional government feels happy and contented because already got the transference of authority from central government to regulates and manages government tasks in an Unitary State System, and also because the decentralization is a fundamental base of regional autonomy implementation. That law orders that the obligatory tasks for the provinces and district/Cities are what indicated by article 13 and verse (1) letters b and j. and article 14 verse (1) letters b and j which are planning , use and controlling of Space Lay Out and Environment. Although it has been called as obligatory task, in fact that , practically, is violated, because, those government tasks are not fully transferred yet. It means that, it has to get license from central government. In order to make law enforcement, that situation causes difficulties for the realization of social since of justice. Actually, in this case, central government only conducts supervision, facilitation and controlling according to the spirit of regional autonomy in Unitary State system implementation Certainly, province and district/city have to obey limitation by law that has been made. Law No. 32/2009 on Protection and management of Environment, chapter I, General Stipulation article 1 no. 1 regulates as following: Environment is a totality of space with all things , energy condition, and creatures, including mankind and its behavior which influence the nature itself and furthermore it is spelled out , more in detail , at Law No. 26/2007 on Space Lay Out, Chapter I General stipulation article, No. 1 as following : Space is a container which embraces land sea and air space including space under the soil as a totality of territory, place of mankind and other creature live, make activity and maintain the perpetuity of their life."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Thahir R.
"Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 (tiga puluh dua tahun) tidak berubah dan cenderung bersifat stagnan. Karena itu perubahan yang terjadi saat ini dipandang sebagai langkah baru menuju terciptanya Indonesia baru dimasa depan dengan dasar-dasar efesiensi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokratisasi menjadi pilihan wajib bagi kegiatan pemerintahan berdasarkan pertimbangan bahwa hanya pemerintahan yang demakratisiah yang dapat menempatkan manusia pada jati dirinya. Proses demokratisasi itu sendiri sedang berlangsung di Indonesia, dimana saluran-saluran yang dulunya dianggap menghambat demokratisasi telah dibuka secara lebar.
Pada masa kurun waktu Pemerintahan Orde Baru proses pelaksanaan sistem pemerintahan dinilai kurang berhasil. Hal ini terlihat dengan munculnya berbagai kondisi ketidakpuasan di daerah yang menuntut agar Pemerintah Pusat dapat lebih bijak dalam menyikapi permasalahan-parmasalahan di daerah. Ada tiga hal yang menyangkut pemerintahan daerah masa lalu yang dapat kita lihat. Pertama, selama masa tersebut (orde baru) penyelenggaraan pemerintahan di daerah terlalu menekankan prinsip sentralistik dalam pelaksanaannya. Dampak dari kondisi ini adalah banyak hal yang seharusnya bisa diputuskan didaerah, namun karena sistem tersebut harus menunggu persetujuan pusat yang tentunya saja harus melalui birokrasi yang panjang serta membuka kemungkinan korosi, kolusi dan nepotisme pada semua tingkatan. Kedua, akibat tingkat pengaturan yang sebegitu ketat dan kuat dari pusat, berakibat pada minimnya tingkat kreativitas daerah sehingga pemerintah di daerah hanya melaksanakan apa yang diperintahkan dan atas, dan banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan. Ketiga, karena aspirasi-aspirasi dari daerah tidak pernah sampai kepusat, maka timbul ketidakpuasan didaerah-daerah yang lama-kelamaan akan menjadi semacam duri dalam daging yang apabila dibiarkan akan menimbulkan sikap berontak terhadap ketidakpuasan tersebut yang bermuara disintegrasi bangsa.
Permasalahan-permasalahan pada sistem pemerintahan yang terjadi pada masa orde baru tersebut merupakan salah satu penyebab lahirnya tuntutan perubahan. Perubahan ini ditandai dengan bergulirnya arus reformasi yang melahirkan otonomi daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan inilah yang selanjutnya akan menjadi dasar penelitian dalam penyusunan tesis ini.
Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk melihat implementasi otonomi daerah di Kota Palembang dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Adapun faktor-faktor dimaksud adalah faktor manusia sebagai pelaksana , faktor keuangan yang cukup , faktor peralatan serta factor organisasi yang baik. Namun dalam penelitian ini penulis akan membatasi tingkat penelitian dengan mengkaji faktor organisasi saja, khususnya dalam hal penataan kelembagaan perangkat daerah Kota Palembang .
Adapun yang menarik perhatian penulis untuk lebih mengkaji faktor tersebut adalah dengan melihat proses perubahan sistem pemerintah daerah yang terjadi saat ini, dimana salah satu akibat dari perubahan ini berdampak pada adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah. Kondisi ini pada satu sisi dapat merupakan berkat, namun pada sisi lain sekaligus merupakan beban yang pada gilirannya menuntut kesiapan dari daerah yang melaksanakannya. Artinya daerah tidak boleh bergembira dengan hadirnya kewenangan baru tersebut. Akan tetapi hams berfikir dan berusaha keras agar urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan rnmah tangga daerah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik atau malah sebaliknya.
Untuk melaksanakan kewenangan urusan pemerintah daerah yang cukup luas tersebut maka diperlukan suatu wadah berupa kelembagaan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan yang dimaksud dengan baik. Untuk mencapai suatu bentuk kelembagaan yang dimaksud maka diperlukan suatu restrukturisasi kelembagaan dari sistem kelembagaan perangkat daerah yang lama yang selanjutnya akan diadakan perbaikan untuk menghasilkan sistem kelembagaan yang baik dan dapat mengakomodasi semua kenbutuhan masyarakat.
Restrukturisasi organisasi tersebut akan dibahas pada ruang lingkup perangkat daerah dalam hal penataan kelembagaan yang didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewengangan-kewenangan ini akan diukur dengan melihat kewenagan yang harus dimilki oleh Pemerintah Daerah dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic services), potensi unggulan daerah (core competencies) dan kewenangan-kewenangan normative dan yang dibutuhkan oleh Pemerintah daerah Kota Palembang.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan terlihat bahwa Pertama, terjadi restrukt ulsasi lembaga perangkat daerah. Restrukturisasi ini merupakan jawaban dari konsekuensi perubahan yang dibawa oleh arus reformasi kearah globalisasi dan masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini masyarakat mulai kristis melihat rantai hirarki dalam organisasi pemerintah daerah yang terlalu panjang dan kadang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih baik (better) dan lebih murah (cheaper). Kedua, secara garis besar lembaga perangkat daerah yang sudah terbentuk sudah sesuai dengan lembaga perangkat daerah hasil analisis yang akan direkomendasikan. Ketiga, terdapat beberapa lembaga perangkat daerah yang belum dibentuk berkaitan dengan fungsi lembaga perangkat daerah untuk melaksanakan kewenangan yang harus dimiliki oleh Pemerintah daerah Kota Palembang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Titi Anggraini
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kerangka hukum pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam kaitan dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu juga menjelaskan tentang proses, mekanisme, dan bentuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung dalam kerangka otonomi khusus sebagaimana diamndatkan UU No. 18 Tahun 2001. Tesis ini juga dibahas tentang apa saja persoalan hukum yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akibat penerapan otonomi khusus sesuai UU No. 18 Tahun 2001.

ABSTRACT
This thesis analyzes the legal framework of the election for head and vice head of region in Nanggroe Aceh Darussalam Province in the relation with the implementation of Law No. 18 Year 2001 on Special Autonomy for Aceh Special Region Province as Nanggroe Aceh Darussalam Province. Beside that this thesis also explaining the process, mechanism, and form of the implementation of direct election for head and vice head of region in the framework of special autonomy in Aceh as mandated in Law No. 18 Year 2001. This thesis also analyzes the legal problems that arise as impact of the implementation of direct election for head and vice head of region in the framework of special autonomy in Aceh as mandated in Law No. 18 Year 2001."
2009
T26173
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"The 1945 state constitution,particularly chapter 18 B, acknowledgws the existence of special regional governments, for example, Nanggroe Aceh darussalam province, which characteristic are specially protected by national laws,namely,law No. 44/1999, Law No.18/2001, and law 11/2006..."
KAJ 13(3-4) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>