Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teguh Soedarsono
"ABSTRAK
Cita-cita dan tujuan dibentuknya pemerintah negara Republik Indonesia secara normatif ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945, di mana dinyatakan bahwa pemerintah dibentuk antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari norma tersebut terkandung makna kewajiban negara untuk melaksanakan perlindungan (proteksi) terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup rakyat dan wilayah Indonesia, dan makna perlindungan tersebut secara umum juga meliputi perlindungan terhadap ancaman dan gangguan yang mempengaruhi keberadaan sumberdaya alam serta ekosistemnya, sehingga untuk mewujudkan norma tersebut dihadapkan tiga faktor penentu yang harus diperhatikan, yakni bumi tempat berpijak, jiwa manusia yang hidup di atasnya serta lingkungan hidup yang berpengaruh.
Kebijakan untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup diwujudkan dengan diberlakukannya beberapa Undang-undang, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang merupakan petunjuk pelaksanaannya, di mana semuaketentuan tersebut akan bermakna bila norma dan kaedahnya mampu diterapkan dan dilaksanakan sesuai maksud dan tujuannya, sehingga untuk mewujudkan keadaan tersebut diperlukan peran aktif setiap pihak dalam keberadaan, fungsi dan tugasnya.
Sesuai ketentuan Undang-undang Nomer 20/Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomer 8/Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dinyatakan bahwa POLRI bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan keamanan dan ketertiban umum serta bertindak sebagai aparat negara penegak hukum yang bertugas menegakkan dan melaksanakan semua ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan, oleh karenanya POLRES Pandeglang sebagai salah satu Kesatuan Operasi Dasar POLRI wajib melaksanakan peran dan fungsinya sebagai unsur pelindung dan pengamanan sumberdaya alam serta ekosistem alam lingkungan di daerah hukumnya, yang bertugas antara lain melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus kerusakan kawasan Ujungkulon sesuai dengan konsep pengelolaannya yang beerbentuk Taman Nasional.
Pengelolaan konservasi kawasan dengan konsep Taman Nasional mempunyai makna pengelolaan yang di dalamnya terdapat "aspek pengelolaan obyek yang menyangkut kepentingan umum", sehingga dalam pengelolaannya harus selalu mengarah kepada upaya untuk mewujudkan keadaan yang tertib, tentraman, dan aman, yang mengarah terhadap upaya terbentuknya kesatuan bangsa, kemakmuran hidup masyarakat di sekitarnya, dan perlindungan terhadap nilai kemanusiaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Manusia penyebab kerusakan lingkungan hidup dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu yang pertama adalah golongan manusia yang menjadikan kerusakan karena ketidaktahuannya bahwa segala kegiatan yang dilakukan dapat merusak lingkungannya, yang kedua adalah golongan manusia yang merusak karena dorongan kebutuhan hidup yang sangat mendesak, dan yang ketiga adalah golongan manusia yang menjadikan kerusakan karena dorongan nafsu untuk pemenuhan kepuasan diri dan/atau kelompoknya.
Secara faktual terlihat telah terjadi penurunan kualitas tanah di beberapa lokasi, di mana terlihat air laut terinterusi dan terabsorbsi ke area terestrialnya, dari keadaan tersebut telah mempengaruhi keseimbangan sumberdaya dan ekosistemnya dengan dibuktikan semakin sulitnya kehidupan beberapa spesis vegetasi yang biasanya tumbuh di kawasan tersebut, dan bahkan beberapa habitat dari kehidupan satwa langka sudah sulit diketemukan lagi, oleh karena itu untuk mengantisipasi keadaan tersebut diperlukan suatu upaya nyata dari semua pihak, khususnya dalam pencegahan dan penanggulangannya.
Dengan ruang lingkup kajian yang berkisar pada upaya penanggulangan kasus perusakan kawasan lindung Ujungkulon, khususnya terhadap pelaksanaan tugas POLRES Pandeglang dalam upaya dukungannya terhadap pengelolaan TN Ujungkulon tersebut, maka topik bahasannya menyangkut keadaan sosial masyarakat penduduk yang bermukim di sekitar kawasan lindung Ujungkulon, berbagai kebijakan dalam upaya pengelolaan TN Ujungkulon, dan konsep operasional kepolisian yang diterapkan dalam mendukung upaya pengelolaan TN Ujungkulon.
Dengan topik bahasan tersebut di atas dilakukan penelitian terhadap hasil pengelolaan kawasan lindung tersebut, yang dilakukan melalui pengamatan langsung di lokasi kerusakan, menggunakan kuesioner dan acuan kepustakaan, dilakukan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan TN Ujungkulon dan pelaksanaan peran serta tugas POLRI setempat dalam mendukung upaya pengelolaan kawasan lindung tersebut, selain itu juga dievaluasi tingkat persepsi masyarakatnya terhadap kebijakan dan kegiatan pengelolaan kawasan lindung tersebut.
Untuk mengevaluasi tingkat persepsi masyarakat menyangkut faktor-faktor tingkat pengetahuan, tanggapan, adaptasi dan partisipasi sosial masyarakat terhadap obyek, sehingga dengan mengetahui keadaannya tersebut dapat diketahui juga tingkat keberhasilan dalam pengelolaan kawasan lindung tersebut, dan dari hasil evaluasi tersebut dapat diasosiasikan dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap keberhasilan pihak pengelola kawasan tersebut.
Dengan menggunakan beberapa variabel dan indikator yang telah ditentukan, dan dengan mendasari pada acuan teori mengenai adaptasi dan partisipasi sosial, dilakukan pengukuran terhadap tingkat persepsi masyarakat terhadap obyek tersebut.
Kuesioner ditujukan kepada warga masyarakat di sekitar kawasan lindung, terutama yang dalam keberadaannya masih menyandarkan kebutuhan hidupnya pada keberadaan kawasan tersebut, sehingga dengan memperhatikan derajat keragaman dan normalitas populasinya maka kuesioner disebarkan secara non random untuk 100 responden, di mana sampel respondennya ditentukan dengan cara penjatahan yang dilakukan dengan perincian :
a. Untuk sampel dari masyarakat umum ditentukan 73 % dari seluruh jumlah responden, yang penjatahannya terbagi untuk 10 s warga masyarakat yang bekerja di bidang pemerintahan, 10 % warga masyarakat yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat, 20 % warga masyarakat yang bekerja di bidang pendidikan, 20 % untuk yang bekerja di bidang keagamaan, serta 40 % untuk warga masyarakat awam yang bekerja sebagai petani dan/atau nelayan.
b. Untuk sampel dari personil pelaksanaan peran dan tugas PDLRI ditentukan sejumlah 27 % dari keseluruhan jumlah responden, yang terbagi 20 % untuk golongan Perwira sebagai kelompok penentu kebijakan dan 80 % untuk golongan Tamtama dan Bintara sebagai pelaksana tugas di lapangan.
Dengan asumsi bahwa keseluruhan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka pengukuran tingkat keberhasilan pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan dengan metoda Total quality control, yang pengukuran dan analisisnya mendasari pada Environmental Quality Analysis Method, di mana tingkat kualitas suatu keberhasilan dinyatakan dengan prosentase hasil perbandingan antara "nilai besaran" dengan "Nilai kepentingannya" yang diukur dari nilai modes data kuesioner, yang proses penghitungan statistiknya dilakukan dengan menggunakan program SPSS/PC+ dan yang selanjutnya dalam mengidentifisir dan menganalisis datanya dengan menggunakan Matrik Morfologi atau Tabel dampak silang.
Hipotesis dalam tesis ini menggunakan hipotesa kerja, yaitu :
a. Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah akan mempengaruhi cara hidup dalam memanfaatkan sumber daya lingkungannya, dan nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat akan mempengaruhi tingkat kerusakan kawasan di lingkungannya.
b. Intensitas bimbingan aparat pengelola akan berpengaruh terhadap kadar kepatuhan masyarakat setempat, karena upaya rekayasa sosialnya dalam menggerakan masyarakat akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam pola pendayagunaan sumberdaya alam, yang sekaligus juga akan memberikan dampak positif bagi terbinanya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di lingkungannya.
c. Oleh karenanya kemampuan dukungan POLRI terhadap upaya pengelolaan kawasan lindung sangat menentukan.
Dari hasil analisisnya dapat dibuktikan kebenaran seluruh hipotesis, di mana dalam kesimpulannya dinyatakan juga bahwa pengelolaan kawasan lindung sebagai suatu obyek yang mempunyai aspek kepentingan umum dalam kegiatannya tidak akan dapat dilepaskan dari pelaksanaan peran dan tugas POLRI, sehingga untuk upaya pengelolaan suatu kawasan lindung akan diperlukan kemampuan dukungan POLRI beserta aparat pendukung lainnya.

ABSTRACT
The ideal and aims of the establishment of the Government of the Republic of Indonesia wich was normatively decided in the Preamble of the 1945 Constitution, in wich was set forth that the Government was established, inter alia - to protect the whole Indonesian People and the entire Indonesian Archipelago along with improving the general welfare, increasing the people's life and together to take part in the world's order, based on the independence, eternal peace and social justice.
From the above said norms - which are containing of significant meaning, there is an obligation of the State to provide protection to the existence and the continuity of the people's way of living and the Indonesian Archipelago, protection which is normally, covering of protection against the influencing threat and disturbing factors toward the natural resources and its ecosystem, so that to realize said norms, three main factors should be taken into account, inter alia - the earth to stand on, the spirit of the human being which is living thereon and its environmental.
The protection policy to the living environment as realized in some Laws, Decree of the President an Decision of the Minister which form a Guideline of the implementation, determinations of which should be faithfully obeyed by the whole people in order that its significant meaning and its legal norms can be implemented according the purpose and objective and therefor that everyone is required to take part actively, pursuant to his function and duty.
Pursuant to the Law No. 20/1982 concerning the Fundamental Defence and Security of Republic of Indonesia, and Law No. 8/1981 concerning law of criminal procedure, in which is set forth - that POLRI is responsible in performing of law and general order and shal act as the state's apparatus in order to carry out the law enforcement which is in effect, therefor that POLRES of Pandeglang as one of the Task Force's of POLRI's Basic Operational Unit is compulsory to carry out its role aand function as a protection and security factor on natural resources and ecosystem of its natural environment in their territory, and in their capacity to provide prevention and observation against the damages of the National Park of Ujungkulon according to their management concept.
Management of concervation territory with its National concept has its special management meaning therein to "handle the management object involving the public interest", sothat, in its process - it should always be directed to any effort to create law and order, security, peaceful condition to enter into the formulation of the National Unity, environmental welfare of the community and protection of humanity value along with its social way of living of the community.
The cause of damages of the environmental living by human being can be categorized or classified into three categories, namely, group of human being which has no awareness of, what have been damageg, secondly, doing something wrong to fulfil their needy which is inevitably, and, thirdly, group of human being which is intentionally hunting for obtaining satisfaction and/or to gain any profit for their group.
In fact, it can be proved by the decrease of the quality of land occuring at some locations, seawater has been absorbed and polluted to their terrestrial, causing of imbalance of the resources and its ecosystem sothat the existence of some species of vegeterian which are growing in said area, and in fact, it is difficult to find some habitations of fauna, so that, in order to anticipate the said condition, certain effort should be taken in maintaining the preservation/prevention and to cope with its condition.
Based on the scope of this case study comprising to the effort to scope with the damaged preserved area of Ujungkulon, especially to the implementation of POLRES of Panndeglang in its effoer to support the management of the Nastional Park of Ujungkulon, its topic is involving the condition of social aspect of the people living surrounding said National Park, several policies of its management and the operational concept of the Police Corp which has been adapted to support said management.
With said topic study a research has been conducted on the result of said protected area management, with performing of direct observation at the damaged location, using of questionaire and reference of literature, evaluation has been made to the result of management of Ujungkulon National Park together with all participants and local Police Force in supporting said protected area, and besides, evaluation has also been made to the level of the community's perception of its activity policy.
To evaluate the level of its community's perception, involving their knowledge factors, response, adaptation and participation 8of the social living of the obyect, in order to be familiar with the result of the management of said protected area in association with the level of the community's perception.
Using of some variable and indicator along with adapting to the theory of pointing at the adaptation and social participation, measurement has been conducted toward the level of community's perception of said object.
Questionnairs were directed to all people living around said protected area, mainly, which is inn their existence still relying their necessary of life on said protected area, sothat, the questionnair circulated to the people to notice the degree of its uniformity and normality of population, non-randomly circulated to 100 respondents, sample of the respondence which is determined according the distribution with the following specification :
Sample from the general public society is determined to 73 % from total respondents and its distribution is divided into or for 10 % of people working with the Government, 10 % for people working at the private institution of the community, 20 % of people working in the field of Religiuous Movement and 40 % for people living as farmer and/or fishery.
Sample for the executive personals and the task of POLRI is determined to 27 % of total respondents, divided into 20 % for the Officers as the policy-maker group, and 20 % for lowrangking and uncommissioned personals as the task executors or fiel implementors.
With assumption that the whole samples originated from the population with normal distribution, therefor that, measurement of the level of result of the protected area management using of Total Quality Control Method, based on Environmental Quality Analysis Method, where the quality level of the result is stated with procentage of the comparison result between "larger value" and "interest value" as measured from the value of the questionnair data modes, with a statistical calculation process performed, using of SPPS/PC+ program and which in the identification and data analysis further, using of Morphologic Matrix or Crosss Ref. Table.
Hypothesis in this thesis is using the working hyphotesis, namely :
a. The degree of knowledge of the community which is low will affect their way of life in benefiting the environmental resources, and the values of the community social way of living will effect the level of the damaged area of the environment.
b. The intensity of guidance of the management apparatus will affect the degree of the local community's obedience, because their social effort in activating the community will affect the way of life of the community's conceptional pattern in using of the natural resources and all at once also to provide a positive result to their safety and orderly condition of the environmental community.
c. Therefor that the capability of POLRI to support the management effort of the protected area is of most determined.
From the result of said analysis. it can be proved the correctness of all the hypothesis, where in its conclusion is stated also that the management of the protected area as an object with public interest in its activity can not be separated from the execution of task and role of POLRI, sothat, to manage certain protected area, special capability and skill is required from the POLRI together with all other supporting apparatus.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Kristiana Widyaningrum
"ABSTRAK
Sustainable financing atau pembiayaan berkelanjutan untuk kawasan konservasi telah menjadi bahan perdebatan bagi para ahli konservasi. Sebagian besar kawasan konservasi termasuk taman nasional, dalam pengelolaannya didanai oleh pemerintah. Namun, tren global saat ini menunjukkan kondisi yang berlawanan dimana meningkatnya jumlah taman nasional dihadapkan pada dana pemerintah yang terbatas, serta menurunnya pendanaan eksternal. Menyadari hal tersebut, pemerintah Indonesia mendorong taman nasional untuk memiliki pendanaan mandiri melalui penetapan 21 taman nasional model pada tahun 2006.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pendanaan untuk konservasi taman nasional di Indonesia, dan melihat peluang untuk mengembangkan pendanaan mandiri bagi taman nasional tersebut. Study yang lebih mendalam di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan untuk mencari kemungkinan kekurangan anggaran, dan efektivitas serta efisiensi dalam penggunaan dana konservasi. Studi ini menggunakan data dari sumber resmi, dan dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dengan teknik Exploratory Data Analysis (EDA).
Hasil studi ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah taman nasional, pemerintah Indonesia tidak serta merta menurunkan besarnya pendanaan. Namun, proporsi dana yang dialokasikan untuk taman nasional terhadap GDP, serta terhadap total belanja negara relatif rendah. Data dari TNGHS menunjukkan adanya kekurangan anggaran, dan adanya penggunaan dana yang tidak tepat waktu yang dapat menyebabkan in-efektivitas dan in-efisiensi dalam penggunaan dana. Meskipun demikian, inisiatif di tingkat lokal seperti komitmen untuk melakukan kerjasama program atau partnership, penyusunan rencana bisnis dan mekanisme pendanaan yang jelas dalam skema trust fund melalui lembaga independen dan terpercaya dapat membantu menyelesaikan beban keuangan di taman nasional.

ABSTRACT
Sustainable financing for protected areas (PAs) has currently become the subject of debates. Most of PAs including national parks (NPs) were financed by the governments. Nevertheless, current global trends contrast the increasing number of NPs with the limited government budget as well as the decreasing trend of external funds. Realizing such issue, Indonesian government promoted NPs to be self-financed through designation of 21 NP models in 2006.
This paper aimed to look at the financing mechanism for conservation of NPs in Indonesia, and see the potentials to support for self-financing. A more focus study in GHSNP is also discussed to look at the likely budget shortfall, and the effectiveness and efficiency use of the funds. The study uses a set of secondary data from official sources, and chooses Exploratory Data Analysis (EDA) technique as a quantitative approach to reveal the data.
The results indicate that by increasing the number of parks, Indonesian government does not necessarily lessen the budget support. However, the proportion of budget allocated for NPs to GDP and to total government expenditure is relatively low. There were budget shortfalls in GHSNP, and it is not allocated in timely manner, which somehow led to ineffective and inefficiency use of the funds. Even so, local initiatives such as commitment to cooperation programs or partnerships, creating a business plan and a clear financing mechanism through an independent and trustworthy institution, seem help to solve the financial burden."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Aminuddin Haroen
"Skripsi ini mengkaji pengaturan mengenai hak, kewajiban, serta tanggung jawab hukum perawat di masa pandemi Covid-19 dan perlindungan hukum bagi perawat di masa pandemi Covid-19 menggunakan metode yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif, data penelitian dikumpulkan melalui data sekunder yang terdiri dari bahan hukum, serta data primer melalui wawancara mendalam dengan Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Simpulan penelitian ini adalah: pengaturan mengenai hak, kewajiban, serta tanggung jawab perawat secara umum terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pada masa pandemi Covid-19 terbit pula peraturan khusus yang terkait dengan perawat, antara lain Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/327/2020 tentang Penetapan Covid-19 Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik, Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Bentuk perlindungan hukum bagi perawat di masa pandemi Covid-19 adalah dengan terpenuhinya seluruh hak perawat yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menyarankan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk mengupayakan perlindungan bagi perawat agar terhindar dari penularan Covid-19 dengan cara menyediakan sarana dan prasarana bagi perawat, antara lain dengan penyediaan alat pelindung diri, memberikan suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh perawat, serta melaksanakan vaksinasi kepada perawat.

This thesis examines the regulation of rights, obligations, and legal responsibilities of nurses during the Covid-19 pandemic and legal protection for nurses during the Covid-19 pandemic using juridical-normative methods, with descriptive research type, research data was collected through secondary data consisting of legal material, and primary data through in-depth interviews with Chairman of Persatuan Perawat Nasional Indonesia. The conclusions of this study are: the regulation regarding the rights, obligations and responsibilities of nurses in general is contained in Law Number 36 of 2014 concerning Health Workers, Law Number 38 of 2014 concerning Nursing, and Regulation of the Minister of Health No. HK.02.02/148/2010 concerning Licensing and Implementation of Nurse Practices. Special regulations on Covid-19 related to nurses were also issued, including the Minister of Health Regulation No. 48 of 2020 concerning the Implementation of Vaccinations in the Context of the Covid-19 Pandemic, Decree of the Minister of Health No. HK.01.07/MENKES/327/2020 concerning the Determination of Covid-19 Due to Work as a Specific Occupational Disease, Decree of the Minister of Health No. HK.01.07/MENKES/413/2020 concerning Guidelines for the Prevention and Control of Covid-19. Legal protection for nurses during the Covid-19 pandemic is the fulfillment of all nurses' rights which have been regulated in various laws and regulations. This research suggests the Ministry of Health of the Republic of Indonesia to seek protection for nurses to avoid Covid- 19 transmission by providing facilities for nurses, including by providing Personal Protective Equipment, providing supplements to increase nurses' immune system, and vaccinating nurses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufalarizqa Ramadha Meisa Putra
"[Sistem pembangkitan merupakan sumber utama penghasil energi listrik ,baik untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan publik lainnya. Dari pembangkit listrik didistribusikan ke sistem interkoneksi se-Jawa-Bali melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi 500 kV. Namun dalam kenyataannya, sistem pembangkitan sering mengalami gangguan, salah satunya yaitu gangguan ketidakseimbangan beban dan gangguan sistem itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mencegah gangguan tersebut diperlukan adanya sistem proteksi yang memenuhi persyaratan dan semuanya bergantung pada ketepatan penyetelan peralatan proteksinya. Peralatan proteksi untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan beban dan gangguan sistem itu sendiri yaitu rele urutan fasa negatif dan rele gangguan stator-ground. Penyetelan yang baik untuk rele urutan fasa negatif yaitu ketahanan generator untuk menahan arus urutan negatif secara kontinyu adalah 8% dan nilai K adalah 10,serta setting arus untuk definite time sebesar 0,827 kA dan setting arus untuk inverse time sebesar 0,946 kA. Rele 27TN memproteksi generator dari 0-30%. Pada generator ini, keluaran dari rele berupa alarm. Proteksi yang kedua adalah rele tegangan lebih netral 59N, rele ini memberikan proteksi 90% sehingga secara perhitungan bahwa kombinasi kerja dari rele 27TN dan 59N akan memberikan proteksi 100% pada stator. Penyetelan rele 59X sebagai proteksi backup adalah 28.95% yaitu 55 V dengan waktu tunda 6 detik ditujukan untuk berkoordinasi dengan rele 59N. Rele urutan fasa negatif dan rele gangguan stator ground mempunyai persentasi kesalahan yang sangat kecil, yaitu berkisar antara 0 -1.67%.

, Generation system is the main source of electrical energy producer, both for industry and other public needs. From distributed power generation systems to interconnect Java-Bali through extra high voltage overhead line 500 kV. But in fact, the generation system is often disturbance, one of which is a load imbalance disorders and disorders of the system itself. Therefore, to prevent such disturbance is necessary to meet the requirements of the protection system and everything depends on the precision of protection equipment settings. Protection equipment to prevent the occurrence of load imbalance and disturbance of the system itself that is negative phase sequence relay and stator ground fault relay. The good setting to relay negative phase sequence generator that resistance to withstand the continuous negative sequence current is 8% and the value of K is 10, and the current setting for the definite time of 0.827 kA and the current setting for inverse time amounted to 0,946 kA. 27TN relay protects the generator from 0-30%. At this generator, the output of an alarm relay form. The second protection is more neutral voltage relay 59N, these relays provide protection of 90% so that the calculations that combined the work of rele 27TN and 59N will provide 100% protection on the stator. Setting relay 59x as backup protection is 28.95%, ie 55 V with 6 seconds delay time is intended to coordinate with the relay 59N. Rele rele sequence and negative phase stator ground disturbance has the percentage of error is very small, ranging between 0 -1.67%.
]
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62246
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhatmansyah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor penentu peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan, (2) mengindentifikasi peran kelembagaan, (3) mengetahui peranan tokoh informal dalam menggerakkan peranserta masyarakat agar mau dan mampu melaksanakan penghijauan secara swadaya, (4) merumuskan penataan kelembagaan dalam pelaksanaan penghijauan, serta (5) memberikan masukan bagi penyempurnaan materi penyuluhan penghijauan dari penyuluh kepada kelompok tani.
Metode penelitian yang diterapkan adalah studi kasus di kecamatan Cempaka dengan objek penelitian peserta penghijauan di Desa Margaluyu, Susukan, Girimukti, Cidadap, Wangunjaya, dan Karyamukti yang terletak dalam wilayah Kabupaten daerah tingkat II Cianjur, Jawa Barat.
Pengumpulan data dilakukan dengan empat cara yaitu, wawancara berstruktur dengan 90 orang responden petani peserta penghijauan, wawancara tidak berstruktur dengan sejumlah tokoh informal, pengamatan di lapangan, dan penelaahan dokumen yang telah ada.
Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif, dimaksudkan agar peneliti lebih banyak mempunyai kebebasan untuk mengadakan interprestasi dari data yang dikumpulkan melalui wawancara tidak berstruktur dan pengamatan dilapangan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data dari hasil wawancara berstruktur dengan mempergunakan metode statistik.
Penghijauan dalam arti luas adalah segala upaya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi lahan kritis di luar kawasan hutan, sehingga berfungsi secara optimal sebagai unsur produksi, media pengatur tata air dan perlindungan alam lingkungan, dengan tujuan :
1. Mengendalikan erosi dan mencegah banjir.
2. Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
3. Merubah perilaku petani menjadi pelestari sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Peranserta masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan akan menentukan dalam pencapaian tujuan penghijauan.
Dari uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
1. Peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan di daerah penelitian cukup baik.
2. Faktor yang menentukan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan adalah kelembagaan, tokoh informal, penyuluhan dan pendidikan.
Untuk menguji hipotesis dilakukan uji regresi berganda secara simultan variabel X1 tokoh masyarakat, X2 kelembagaan, X3 pendidikan dan X4 penyuluhan terhadap Y peranserta masyarakat, serta secara parsial. Kemudian dilanjutkan dengan uji F dan t pada taraf nyata 5 persen.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, peranserta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan penghijauan cukup tinggi. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kegiatan penanaman, kebiasaan masyarakat menanam pohon pada lahan kritis, serta pengawasan/pengamanan tanaman di areal penghijauan terhadap gangguan penggembalaan liar, serta intensitas petani mengikuti penyuluhan. Sedangkan dalam bidang perencanaan belum terdapat indikasi peranserta positif masyarakat yang memadai.
Tingginya peranserta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan penghijauan di wilayah penelitian ditentukan oleh faktor pendidikan, penyuluhan, dan kelembagaan. Penyuluh dengan pendekatan personal yang baik dan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat, sehingga terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam perlakuan pengolahan dan pemanfaatan lahan. Petani yang telah mendapatkan pelatihan dapat dijadikan kader penyuluh lokal untuk membantu tenaga penyuluh yang secara kuantitatif masih kurang. Petani yang mendapatkan pelatihan mempunyai kemampuan yang cukup dalam teknologi RLKT, dan mampu mengembangkan hasil bantuan penghijauan. Penyuluhan sebagai salah satu upaya pembinaan peranserta masyarakat sangat mendukung tercapainya perubahan perilaku masyarakat menjadi pelestarian sumberdaya alam hutan, tanah dan air.
Pada wilayah penelitian yang menjadi kendala adalah bahwa para penyuluh berfungsi ganda, yaitu sebagai penyuluh dan sebagai aparat proyek, yang terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga yang tersedia dalam program penghijauan. Keadaan ini telah lama terjadi sehingga didalam pelaksanaan sulit membedakan fungsional penyuluh dengan tenaga teknis proyek. Koordinasi penyuluhan belum berjalan karena Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai wadah untuk mengkoordinasikan kegiatan dan tempat penyuluh melakukan pelatihan tidak berfungsi, sehingga program penyuluhan kurang terpadu, karena berjalan sendiri-sendiri.
Kelembagaan sosial desa secara umum sudah berfungsi, tetapi belum optimal. Belum ada mekanisme dan pembagian tugas secara jelas dan operasional sampai ke tingkat Desa. Peningkatan peranserta dari faktor kelembagaan digerakkan oleh Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) serta Kepala Desa.
Birokrasi penghijauan belum memfungsikan tokoh informal secara maksimal, sehingga tokoh informal belum banyak terlibat dalam program bantuan penghijauan.
Tokoh informal di wilayah penelitian seperti mantan kepala dukuh, tokoh agama, pendidik adalah panutan bagi masyarakat yang mempunyai kharisma tersendiri, sehingga keterlibatan tokoh informal mempunyai pengaruh positif terhadap peranserta masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis statistik, tokoh informal, kelembagaan, pendidikan dan penyuluhan secara bersamasama dapat menentukan peranserta masyarakat. Pada taraf nyata 5 persen diperoleh koefisien determinan (R) sebesar 0,4664 dimana F hitung=9,995 > F tabel=3,92. Secara simultan terdapat pengarub yang nyata dari uji statistik antara variabel bebas (X1, X2, X3, X4) terhadap variabel terikat (Y). Sedangkan secara uji parsial faktor pendidikan, kelembagaan dan penyuluhan dapat menentukan peranserta masyarakat. Berdasarkan hasil analisis tidak terdapat pengaruh nyata tokoh informal terhadap peranserta masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan:
1. X1, X2, X3, dan X4 variabel bebas yang diteliti secara bersama-sama dapat menentukan variabel terikat (Y), artinya tokoh masyarakat, kelembagaan, pendidikan dan penyuluhan dapat menentukan tingkat peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan. Pengaruh variabel bebas tersebut terhadap Y Baling terkait satu sama lain.
2. Peranserta masyarakat dalam penghijauan pada daerah penelitian cukup tinggi, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan masyarakat menanam pohon pada lahan kritis.
Berdasarkan kesimpulan di atas langkah-langkah pengembangan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan disarankan sebagai berikut:
a. Pengembangan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan perlu memperhatikan keinginan kelompok tani, meningkatkan intensitas penyuluhan serta memperkuat lembaga kelompok tani.
b. Pengembangan kelembagaan dengan membentuk struktur organisasi pelaksana di tingkat kecamatan. Dengan struktur tersebut jangkauan pembinaan dan pengawasan kepada masyarakat akan lebih mudah, tugas dan fungsi kelembagaan formal maupun non formal yang telah ada akan lebih meningkat. Untuk mengurangi birokrasi, tugas Tim Pembina Penghijauan di tingkat II dapat diserahkan kepada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Tingkat II. Untuk membantu menampung dan memasarkan hasil-hasil usaha tani perlu dikembangkan kelembagaan ekonomi desa, misalnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
c. Proses komunikasi perlu dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan para penyuluh melalui pelatihan yang dibutuhkan, sehingga diharapkan penyuluh dapat menjembatani kemauan petani dengan program pemerintah. Kegiatan penyuluhan terpadu perlu ditingkatkan dengan metode kerja latihan dan kunjungan.
d. Input strategis yang diberikan kepada kelompok tani perlu diperbaiki dengan input yang dibutuhkan oleh petani dan dapat dirasakan manfaatnya, seperti pengadaan sarana produksi, bibit unggul dan dana pemeliharaan.
e. Tokoh informal sebagai tokoh panutan perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan bantuan penghijauan.

ABSTRACT
Determinant Factors Influencing Community Participation on the Implementation of Regreening. (A Case Study in Cempaka Sub-District, District of Cianjur, West Java)The objectives of this research is to know the roles of informal leaders in developing community participation in order to be willing and capable to do regreening by self-reliance, to identify institutional roles to know determinant factors influencing community participation on the implementation, and to complete regreening extension materials from extension workers to the farmer groups.
The research method used is a case study in Cempaka Sub-District, and the research objects are regreening participants in Margaluyu, Susukan, Girimukti, Cidadap, Wangunjaya, and Karyamukti Villages in District of Cianjur, West Java. Data were collected according to four methods, structured interview of respondents of regreening participant farmers, non-structured interview for a number of informal leaders, field observations, and analyzing existing documents.
The data are analyzed qualitatively and quantitatively. Qualitative analysis is used so that the research is free to interpreted the collected data by non-structured interview and field observations. Quantitative analysis are carried out by processing data of structured interview using statistical methods.
The broad meaning of regreening is all efforts to recover, to maintain and to enhance the conditions of critical area outside the forest area, so that it can function optimally as production factors, media for water regulation, and environment protection, with the goals as follows:
1. To control erosion and to avoid flood.
2. To increase land productivity and farmers income, the changes of human behaviour toward nature resource and optimal environment.
3. To change farmers attitude to sustain natural resource.
Community participation on planning, implementation and controlling determine the success of the regreening objective.
From the above description, hypothesis could be proposed, which are:
1. Community participation on regreening implementation in the field is good enough.
2. The factors determining the regreening implementation are; institution, informal leaders, extension and education.
To test the hypothesis a multiple correlation analysis was carried out simultaneously from variables XI until X4 against Y and partially, which later will be continued with testing F and t-test on 5 percent significance level.
The research results indicate that the community participation and the implementation and control of regreening is high enough and this situation can be seen on the implementation activities of planting, community habit on planting trees and critical land and supervision of land on regreening area from wild shepherding and the farmers intensity to follow the extensions, while in the planning aspects there is not yet much role of the community.
The height of the community participation in the implementation and supervision on regreening in the research area were determined by the factors of education, extension and institution. Extension with the human approach system can touch the social community needs, so that a change in community attitude can happen in the soil tillage and land utilization. Farmers which have obtained training can become cadre for local extension to assist the extension workers which quantitatively is not adequate. Farmers which have been trained have enough capability and the technology of RLKT and is capable to develop the result of the regreening program. Extension as one effort to provide guidance for community participation is very much supporting in obtain in the changes of community attitudes in sustaining the forestry, land and water resources.
In the research area the constraints are that extension workers have double functions which are as extension worker and as project staff. This has happened because the limitation of extension workers to provide guidance and train the farmers. This system has been carried out for a long time which make it difficult to differentiate between the functional extension workers and the project technical staffs. Coordination of extension workers does not work because DPP (Dalai Penyuluh Pertanian) as home base to coordinate the activities and the location to carry out training is not functioning, with the result that extension program become less integrated and were carried out in according to their sectors.
Institutions in general have been in function but not yet at maximum level, because there is no clear job description, for which regulation is needed to regulate clearly the task and authority of institutions involved, and their operational until to the village level. The increase in participation from the institutional factors will be moved by Dinas PKT (Perhutanan dan Konservasi Tanah) and the village head.
The regreening bureaucracy has not yet make the informal leaders function to the maximum level, so that these informal leaders are not yet much involve in regreening progress.
In fact the availability of informal leaders of the research area like retired Dukuh Head, religious leaders, and teachers are figures to the community which have own charisma, so that the involvement of these informal leaders will have influence for community participation.
Based on the statistical analysis, together the informal leaders institutions, teachers, and extension can determine community participation, at the level 5% confident will be obtained coefficient determinants (R) as much as 0.4664, where calculated F > F table. While according to partial test the factors of education, institutions, and extension can determine community participation. While informal leaders have not yet functioning in the implementation of regreening, and from the result the analysis were not obtain the real influence of informal leaders for community participation.
Based on the research of the result of data analysis it can concluded:
1. The five variables which studied together can determine community participation in the implementation of regreening, and those variables are involved each other, this condition can work on by increasing the channel of coordination.
2. Community participation in regreening on the research area is high enough.
Based on above conclusions, steps need to be taken to develop community participation in the implementation of regreening are as follows:
a. The development of community participation in the implementation of regreening need to consider the dynamic characteristics of farmer groups, land holding, extension, traditional binding which have institutionalized in the farmer group.
b. Institutional development with the formation of the Organization Structure for implementation: at the Kecamatan level to make easier the reach of guidance and supervision for the community and to increase the available task and function of formal and non-formal institutions. To reduce bureaucracy the task of Tim Pembina Tingkat II can be transfered to Dinas PKT, while to collect and market the farm production, a village economic institution need to be developed, for example the Lembaga Perkreditan Desa (LPD), so that the continuation of farmers system can be sustained or guaranteed.
c. Process of communication need to be developed by improving the knowledge of extension workers through the required training, so that extension workers can be expected to bridge the farmers need with the Government program. Integrated extension activities need to be improved with the training and visit systems.
d. Strategic inputs which were provided to the farmer groups need to be improved with inputs which are needed by farmers and that the benefit can be obtained.
e. The informal leaders as the figures need to be involved in very activity of regreening program.
Total pages xxv 4-112, 27 Tables, 9 Pictures and 7 Pages of Photos about Field Condition.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Nur Ramadhan
"

Petir merupakan fenomena alam yang sambarannya dapat terjadi sewaktu-waktu dan tidak dapat dicegah kedatangannya. Sambaran petir memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi manusia dan bangunan tinggi. Terlebih lokasi geografi dari Indonesia menjadikan negara memiliki tingkat curah hujan dan sambaran petir yang tinggi. Oleh karena diperlukan instalasi sistem proteksi petir eksternal yang sesuai standar untuk menjamin kehandalan dari sistem proteksi petir eksternal dalam melindungi manusia dan bangunan dari bahaya sambaran petir. Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem proteksi petir eksternal yang telah terpasang pada kawasan pabrik Karawang Plant PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia agar dapat sesuai dengan standar.

Analisis kebutuhan bangunan terhadap proteksi petir eksternal memberikan hasil bahwa lokasi membutuhkan level proteksi kelas I. Kondisi sistem proteksi eksisting menggunakan sistem non konvensional yang diatur pada standar NF C 17-102 dengan jumlah masing-masing 12 ESEAT, 12 konduktor penyalur, dan 12 titik pentanahan. Hasil evaluasi adalah dengan menambah jumlah komponen menjadi 18 ESEAT, 31 konduktor penyalur, dan 25 titik pentanahan. Penulis juga memberikan opsi untuk melakukan evaluasi dengan menggunakan standar konvensional (IEC 62305, SNI 03-7015-2004, NFPA 780) dengan mengganti seluruh ESEAT menjadi 473 terminasi udara batang konduktor, 290 konduktor penyalur, dan 25 titik pentanahan dengan konduktor horizontal mengelelilingi setiap bangunan.


Lightning is a natural phenomenon whose strikes can occur anytime and cannot be prevented. Lightning strikes have a very dangerous impact on humans and tall buildings. Moreover, the geographical location of Indonesia makes the country have a high level of rainfall and lightning strikes. Therefore, it is necessary to install an external lightning protection system that meets the standards to ensure the reliability of the external lightning protection system in protecting people and buildings from the dangers of lightning strikes. Aim of this final project is to evaluate the external lightning protection system that has been installed in the factory area of Karawang Plant PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia so that it complies with the standards.

Analysis of building requirements for external lightning protection shows that the location requires a class I protection level. The condition of the existing protection system uses a non-conventional system regulated by the NF C 17-102 standard with 12 ESEAT each, 12 down conductors, and 12 ground points. The evaluation result is to add the number of components to 18 ESEAT, 31 down conductors, and 25 grounding points. The author also provides an option to evaluate using conventional standards (IEC 62305, SNI 03-7015-2004, NFPA 780) by replacing all ESEAT with 473 air termination conductor rods, 290 down conductors, and 25 grounding points with horizontal conductors surrounding each building.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdjati
"Ringkasan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang partisipasi masyarakat Betawi pada upaya pelestarian lingkungan, dengan mengambil studi kasus di kawasan Cagar Budaya Condet. Penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang berpengaruh dalam partisipasi tersebut serta implikasinya terhadap upaya pelestraian lingkungan.
Terjadinya proses pembangunan yang cepat di dalam mempertahankan kelestarian dalam wujud aslinya sehingga lahirlah lingkungan baru buatan manusia.
Dalam mengembangkan lingkungan buatan manusia ini harus diperhitungkan kelangsungan fungsi hidup alam agar peruuahan yang terjadi tidak sampai merugikan manusia. Karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, perlu dimanfaatkan faktor-faktor dominan seperti faktor demografi, sosial dan budaya, faktor geografi, hidrografi, geologi dan topografi, faktor klimatologi, faktor flora dan fauna, dan faktor-faktor kemungkinan perkembangannya. Berbagai faktor ini merupakan faktor komponen lingkungan hidup yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan.
Kawasan Condet yang terletak di daerah pinggiran kota Jakarta terdiri dari tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Balekambang, Batuampar dan Kampung Tengah. Pada awal tahun 1975, daerah tersebut merupakan daerah yang didominasi oleh Masyarakat Betawi yang hidup dari pertanian buah-buahan, yaitu salak dan duku. Keasrian lingkungan yang masih merupakan perkebunan buah-buahan beserta budayanya yang khas Betawi Condet saat itu, merupakan salah satu asset Pemerintah DKI Jakarta yang potensial untuk dilestarikan. Karena itu pada tahun 1975 Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijaksanaan yang pada dasarnya untuk melindungi eksistensi sektor agraris serta mempertahankan budaya Betawi.
Pada saat ini, 20 tahun kemudian setelah dikeluarkannya kebijaksanaan pertama yang menyangkut pengaturan pola tata guna tanah di kawasan Condet, lingkungan Condet sudah jauh berbeda dari tujuan yang diharapkan. Dibangunnya jalan Raya Condet serta pengaruh perkembangan dan pembangunan kota Jakarta merupakan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya penduduk pendatang, baik dari dalam kota maupun luar kota, masuk ke Kawasan Condet ini. Keadaan ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan, yang semula didominasi oleh tanaman buah buahan, menjadi pemukiman yang padat lengkap dengan fasilitasnya. Peningkatan kebutuhan masa ini yang berkembang sejalan dengan arus pembangunan, menyebabkan Kawasan Condet makin berubah, jauh dari tujuan pelestariannya. Meskipun demikian Pemerintah Daerah DKI Jakarta tetap berusaha agar kawasan Condet tetap dapat dipertahankan sebagai daerah pertanian buah-buahan melalui berbagai kebijaksanaan.
Penelitian ini akan mendiskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat Betawi di Condet dan sejauh mana implikasi dari sikap partisipasi itu dalam upaya pelestarian lingkungannya. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan, tingkat penghasilan, luas kepemilikan lahan sebagai faktor sosial dan ekonomi, sedangkan sebagai faktor budaya adalah kebiasaan pengalihan hak oleh ,masyarakat Betawi yang dalam hal ini berupa cara waris atau hibah kepada sanak keluarganya. Sampel yang diambil adalah sebanyak 74 sampel dari 123 Kepala Keluarga Betawi Condet pemilik lahan perkebunan buah-buahan atau setidaknya masih mempunyai pohon buah-buahan di halaman rumahnya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan di lapangan, teknik wawancara dan quesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif dari hasil tabulasi silang (cross tabulation); dan untuk menguji hubungan variabel digunakan uji statistik non parametric dengan menggunakan metode chi-square ( }C2 ) dan perhitungan koefisien kontingensi C.
Sebagai variabel bebas dipilih faktorfaktor (fungsi dari variabel) sebagai berikut . (1) tingkat peradidikan sebagai faktor sosial, (2) tingkat penghasilan sehubungan dengan jenis pekerjaan dan (3) luas kepemilikan lahan sebagai faktor ekonomi, serta (4) kebiasaan dalam pengalihan hak atas lahan yang dimiliki sebagai faktor budaya. Sebagai variabel terikat adalah partisipasi masyarakat yang meliputi (1) perilaku terhadap lahan yang dimiliki, (2) motivasi responden, yaitu keinginan responden untuk menjual lahannya kepada pihak ketiga, serta (3) sikap pemilik lahan terhadap peraturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian.
Karena satu variabel dependen dihubungkan dengan dua atau lebih dari dua variabel independen, maka metode analisa yang digunakan adalah teknik regresi berganda atau multiple regression.
HASIL PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di ketiga kelurahan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan yang berhubungan serta luasnya lahan yang dimiliki, merupakan variabel yang mempunyai korelasi positif dengan partisipasi masyarakat yang menyangkut sikap terhadap pemeliharaan lahan. Kecuali itu tingkat pendidikan juga mempunyai korelasi yang positif dengan motivasi masyarakat pada sikap adaptif terhadap lingkungan, dengan perkataan lain, makin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki, keinginan responden untuk menjual lahannya juga makin kecil. Keadaan ini dapat diartikan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar yang diharapkan dari partisipasinya terhadap upaya lingkungan. Tetapi sebaliknya upaya pelestarian tidak memberi pengaruh terhadap sikap masyarakat dalam keiinginannya untuk menjual lahannya.
2. Peran budaya pewarisan, yaitu yang berhubungan dengan cara pengalihan hak atas lahan yang dimiliki, kepada sanak keluarganya merupakan kondisi yang tidak menunjang upaya partisipasi, dalam arti bahwa tindakan demikian akan mengurangi luas kepemilikan lahan perkebunan yang dimiliki perorangan
3. Upaya pelestarian yang dilaksanakan melalui kebijaksanaan serta peraturan-peraturan di Kawasan Condet sampai saat ini makin jauh dari yang diharapkan. Kurang berfungsinya faktor-faktor penguat (reinforcement) yang berupa ganjaran, tindakan hukum dan lain-lain,mengurangi timbulnya sikap partisipasi masyarakat dalam menunjang upaya pelestarian.
KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Suatu hasil penelitian adalah untuk mencari suatu kebenaran dan pemberi artian yang terus menerus diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perumus kebijaksanaan dalam menentukan peraturan selanjutnya yang menyangkut upaya pelestarian di Kawasan Condet. Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan maka disarankan untuk membentuk suatu badan khusus yang tugas pokoknya
adalah menyelenggarakan usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya pelestarian di kawasan Condet ini. Badan tersebut hendaknya membuat suatu konsep rencana pengadaan yang terarah dan operational untuk meningkatkan nilai tambah pelestarian lingkiingan dan budaya masyarakat Betawi Condet. Di samping itu dalam rencana kerjanya dimasukkan rencana untuk membantu meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat petani buah-buahan. Hal ini juga untuk mengurangi keinginan untuk rnengalihkan lahannya kepada orang lain.
Untuk mempertahankan eksistensi kebun buah-buahan serta mengembangkan seni-budaya masyarakat Betawi, pada saat ini masih dimungkinkan untuk mengalokasikannya di Wilayah Balekambang, terutama disekitar pinggir sungai Ciliwung yang masih memiliki areal kebun buah-buahan yang masih cukup lugs.

Summary
This essay is based on research into the Hetawi ethnic participation toward environmental preservation efforts, which conducted by making a case study in the cultural preservation area of Condet in East Jakarta. This study also discusses the factors which influence the participations on the environmental preservation efforts.
The rapid development of a city always makes it' difficult to maintain its existing ecosystem. Therefore a new human made environment is often created. In order to expand this human made environment, one has to maintain the functions of the natural environment so that the adverse impact of the changes can be minimized. This means that to improve the prosperity of the community, factors as demographic, social and cultural, hydrographic, geology and topographic, and factors such as development possibility can be useful.
In 1975, the Condet area in Jakarta Metropolitan City, which consists of three kelurahan, was one of Jakarta's fringe rural villages. The inhabitants of Condet, who for generation had been ethnically Betawi, still depended for their livelihood on fruit cultivation.
During this time, Condet was identified as one of many government assets with Potential for preservation. So in 1975 the DKI Jakarta government issued a regulation which established the Condet Cultural Preservation Project.
The objectives of the project were agricultural sector and the Betawi's culture. Nowadays, twenty years after the first rule on land use planning in the Condet area was made, the Condet environment has become very different from one which was expected. The construction of new asphalted Condet main road, connecting the center of the city and Condet village, and its subsequent influence on urban growth, has been the main factor which has caused these changes. City residents were attracted to move to this village, ruining its green-agricultural environment and making Condet increasingly urbanized. The natives of Condet are being progressively displaced by newcomers from the city center, and the amount of land owned by the indigenous population and used for cultivation has become less and less.
This is happening even though the DKI Jakarta Government still wants Condet to retain its fruit cultivation and preserve the native traditions of Condet, through some regulation.
This research will describe the extent to which the participation effort has been affected by the social and cultural lives of the natives and the implication to the environmental preservation. The factors which have affected their participation in this environment preservation are, the level of education, occupation and level of income, the quantity of land owned, and cultural role in Condet society. The research uses a sample of 74 responden taken from 123 Household Heads of the Betawian and who have their own land and stay in Kelurahan Balambang and Batuampar. Data used in this research were obtained by using observation technique, interviews, and questionnair. Data analysis is carried out descriptively by means of cross tabulation. To test the relationship between variables, this research uses statistical techniques such as chi-square and coeffisient contingency C. The dependent variables are (1) level of education as social factors, (2) ocupation, (3) land ownership as economic factors and (4) traditional behavior to transfer their land as part of cultural role. The independent variables are the participation of the inhabitants i.e., (1) the behaviour to the land owned, (2) the motivation to sell the land and (3) the behavior to the laws in connection with the preservation
Multiple regression technique is used because one dependent variable is related to two or three independetn ones.
RESULT OF THE RESEARCH
The research was made in three kelurahan in Condet and give results as follows :
1. Level of education, occupation and land ownership are the factors that have positive corelations with public participation on land conservation. In addition, level of education has positive relationship with the motivation of the population towards environment preservation. In other words, the higher the educatioon the more reluctant the landowners to sell their land.This phenomenon also indicates that the higher educated inhabitants would contribute more to the efforts on the environment conservation. However, conservation efforts have relationship with the attitude of the people to sell their land.
2. The system of inheritance on how the land should be subdivided between the heirs, constrains the efforts to increase public participation because the size of the parcels to be cultivated would be reduced.
3. Conservation efforts carried out through the implementation of policy as well as regulations are not really effective. The lack of law enforcement such as penalty, legal punishment, etc. reduces the inhabitants' participation on the preservation initiatives.
FUNCTION OF RESEARCH RESULT]
The research results are expected to be used as inputs by policy makers in developing the Condet preservement law in the future. To achieve such results the following considerations need to be taken into account: there has to be a committee in charge of the implementation for the action in Condet preservation, in which one of the program is making efforts to increase the income of the Betawi ethnics inhabitants.
Furthermore, the existence of fruit plantation in Condet area can still be maintained at Kelurahan Balekambang, along the Ciliwung river which still has more parts of green areas.
"
1996
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Horas Pardamean
"Program peningkatan sumber daya personil Polri merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup yang akhir-akhir ini kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat. Pembangunan berwawasan lingkungan menuntut partisipasi semua pihak, termasuk didalamnya Polri, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Hal ini merupakan kendala terciptanya pembangunan berwawasan lingkungan, kasus-kasus percemaran lingkungan hidup yang selama ini sulit tertangani akibat kurangnya perhatian pemerintah. Berbagai fakta menunjukkan pelaksanaan dan penegakan hukum tidak memberikan hasil yang memuaskan karena timbulnya berbagai persepsi yang keliru dalam penyelesaian kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup oleh sebagian besar aparat penegak hukum dan masyarakat. Sulitnya proses pembuktian disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum, serta mahalnya biaya finansial dan sosial (Financial and social cost) yang harus dipikul masyarakat umumnya memiliki posisi sosial ekonomi lemah, rumitnya birokrasi peradilan untuk kasus lingkungan sebagai kendala non-yuridis para korban percemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu partisipasi Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup sangat diharapkan terutama dalam hal memberikan penyuluhan, kegiatan lingkungan, penaatan, pencegahan, teguran dan tindakan hukum.
Untuk menjelaskan informasi tentang bagaimana peranan Polri dalam menangani kasus-kasus percemaran lingkungan hidup, maka dilakukan penelitian tentang "Otimalisasi peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup", dengan tujuan mempelajari faktor -faktor yang mempengaruhi peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup. Faktor-faktor apa sajakah yang perlu diprioritaskan didalam mengoptimalkan peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan lingkungan hidup.
Hipotesis penelitian ini adalah peningkatan pemahaman tentang aspek lingkungan hidup, pemahaman peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dan kemitraan polisi dengan instansi terkait, masyarakat serta dukungan sarana laboratorium lingkungan hidup mempengaruhi terhadap optimalnya peranan polisi dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup. Lokasi penelitian ditentukan di Polres Jakarta Timur, yang merupakan salah satu Kepolisian Resort yang ada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk mencapai tujuan penelitian dibuat kerangka konsep penelitian yaitu dilakukan pemahaman hubungan antara variabel-variabel yang berpengaruh.
Di dalam penelitian ini ditentukan variabel penelitian sebanyak 92 variabel yang dikelompokkan dalam:
1. kelompok variabel terkait pemahaman tentang lingkungan hidup.
2. kelompok variabel yang terkait dengan pemahaman peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.
3. kelompok variabel yang terkait dengan kemitraan responden dengan instansi terkait dan masyarakat.
Populasi penelitian adalah personil Polri sebagai responden yaitu Kepolisian Resort Jakarta Timur, dengan sampel 50 responden yang dipilih di setiap fungsi-fungsi yang ada di tingkat Polres. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur, observasi lapangan, wawancara dengan instansi terkait, masyarakat dan studi literatur.
Data dianalisis secara deskriprif dengan pendekatan kualilatif dan kuantitatif, hipotesis diuji dengan menggunakan Analisis Faktor. Faktor Analisis atau analisis komponen utama (principal component analysis) yang merupakan salah satu metode analisis variabel banyak (multivariate analysis). Data diolah dengan program SPSS for Windows.
Berdasarkan hasil pengelolaan data dari 92 (sembilan puluh dua) variabel yang diasumsikan terkait dengan tujuan penelitian, diperoleh 23 (duapuluh tiga) faktor utama yang memberikan kontribusi penelitian. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum faktor-faktor yang berpengaruh dan perlu dipertimbangkan di dalam mengoptimalkan peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup sebagai berikut:
1. Aspek pemahaman tentang lingkungan hidup.
Responden harus mengetahui kosep-konsep ekologi, dan dapat mengaplikasikan di wilayah tugas responden serta dapat mengidentifikasi dampak-dampak lingkungan yang dihasilkan oleh limbah industri maupun rumah tangga dan daerah yang sering tercemar dan rawan banjir.
2. Aspek pemahaman Peraturan Perundang-Undangan tentang Lingkungan hidup.
Responden harus mampu dan dapat menerapkan undang-undang tentang lingkungan hidup serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, jumlah penyidik bidang lingkungan hidup kurang memadai, informasi tentang lingkungan hidup, dan seringnya tidak tertangani akhirnya dilimpahkan ke instansi yang lebih berkompeten.
3. Aspek kemitraan responden terhadap instansi terkait dan masyarakat. Responden belum terlihat optimal untuk bekerja sama dengan instansi terkait dan masyarakat, terlebih dalam memprakarsai kegiatan-kegiatan tentang lingkungan.
4. Pengadaan Laboratorium Lingkungan hidup di tingkat Kepolisian Resort dalam mendukung peranan Polri menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup di Tempat Kejadian Perkara dalam menemukan bukti permulaan.
Dalam hal ini responden masih cenderung bersifat menunggu laporan dari masyarakat. Responden diharapkan dalam melaksanakan tugas seharusnya mengutamakan tindakan preventif daripada represif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disarankan untuk:
1. Mengadakan pelatihan, pendalaman tentang lingkungan hidup secara rutin dan terpadu antara Polri, Jaksa, Hakim, LSM, Instansi terkait untuk menciptakan satu visi tentang lingkungan hidup.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana di tingkat Polres seperti membuat identifikasi lingkungan hidup atau laboratorium lingkungan.
3. Personil Polri diharapkan lebih proaktif dalam melakukan tindakan pencegahan yaitu melalui penyuluhan, bimbingan, kegiatan-kegiatan lingkungan, pemantauan, patroli, dan penegakan hukum.

The Optimallization of Police Role in Handling Living Environment Pollution Cases (A Case Study on Living Environment Pollution Cases Handling at East Jakarta Resort Police Jurisdiction]The empowerment program of Policemen is one of the alternatives to solve environmental cases that recently increased fast both in its quality and quantity. Development based on environmental insight requires the involvement of all the Indonesians including the Police Force to take care of the sustained capability of environment through environmental management. Development activities is not giving positive impact only but also negative impact This become the constraint to create development based on environmental insight and it can be observed during the times where many cases of environment pollution can not he handled well by the government. The facts indicated that the implementation of law enforcement still not giving satisfied results because of wrong perception in handling environment pollution by law enforce apparatus and community. The difficulties to proof environment pollution resulted by many factors for example weakness of law enforce apparatus professionalism, expensive of financial and social cost that must be carried by the people, and complexity of judicature bureaucracy where sometimes it becomes non juridical constraint for environment pollution victims. Therefore participation of police in this case is really required particularly in giving information, arrangement, prevention, warning, and law action.
To explain how police role in handling living environment pollution cases, research was done with title "The Optimallization of Police Role in handling Living Environment Pollution Cases (a case study on living environment pollution cases handling at East Jakarta Timur Resort Police jurisdiction)". The objective of this research was to know what factors influence police role in handling living environment pollution cases and what factors must be the priority to increase police role in handling living environment pollution cases.
The research hypotheses was increasing of living environment understanding, living environment regulations and partnership with related instances, community and supporting of environment laboratory were very influence to the optimally of police role in handling living environment pollution cases. East Jakarta Resort Police was chosen as the research location with consideration this Resort Police is one of the biggest Resort Police in DKI Jakarta. To achieve the research objective, researcher made a research concept frame that is relationship understanding among influenced variables. There are 92 research variables that divided into 3 groups namely:
1. Variables that related with living environment understanding
2. Variables that related with living environment regulations understanding
3. Variables that related with partnership among respondent, community and related instances.
50 respondents were chosen randomly at all function level of East Jakarta Resort Police. Data collecting conducted by field observation, structured interview with respondents, related instances and community. The obtained data were analyzed descriptively by qualitative and quantitative approaches and hypotheses were tested by factor analysis. Analysis factor or principal component analysis is one of the multivariate analysis methods.
According to data processing output from 92 variables that assumed have relation with research objective, 23 main factors obtained giving significant influence, Research result concluded that generally there are 3 main factors influenced the optimally of police role in handling living environment pollution cases, they are:
1. Living environment understanding aspect
Respondent must understand ecology concepts and able to apply it in his/her duty area, able to identify environmental impacts produced by industrial waste and domestic waste and flood sensitive area.
2. Living environment regulations understanding
Respondent must able to apply the regulations of living environment. number of environment investigator still not enough; little information of living. environment make police often to delegate living environment pollution cases to the competent instance,
3. Partnership aspect among respondent. related instance and community Respondent do not yet make optimal partnership related instance and community particularly to initiative living environment activities.
4. It is needed to build an living environment laboratory at Resort Police level to support polices' role in handling living environment pollution cases to find initial evidences
In this case respondent still waiting the report from community. Respondent must doing preventive action than repressive action.
Based on these results, it was suggested:
1. To make an integrated regular training about living environment among police, lawyer, attorney, NGO and related instances to create one vision about living environment management,
2. To increase the infrastructures at Resort Police level for example build an environment laboratory.
3. Police must more proactive in doing prevention action through giving information, guidance, monitoring, patrol and enforcement."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Metrianda A. Utomo
"Aktifitas manusia yang berlebihan akan menimbulkan tekanan-tekanan terhadap lingkungan dan lebih jauh akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Untuk menjaga kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan serta menghindari kerusakan lebih lanjut yang dapat membawa kepada masalah lingkungan lain yang lebih serius, indikasi kerusakan harus diketahui lebih awal. Untuk itu diperlukan data dan informasi yang aktual, akurat, dan cepat bagi pengambilan keputusan.
Untuk membantu upaya pengendalian dan pengawasan serta penanggulangan keadaan darurat (Contingency Planning) di kawasan Kepulauan Seribu, penelitian ini mencoba mencari metode dan cara yang dapat secara cepat dan tepat menginformasikan tingkat kepekaan lingkungan yang disajikan secara spasial dalam bentuk peta indeks kepekaan lingkungan.
Peta indeks kepekaan lingkungan, dengan bantuan teknologi penginderaan jauh dan sistim informasi geografis, memperlihatkan tingkat kepekaan lingkungan di suatu wilayah dengan informasi yang dapat diperbaharui secara kontinu. Untuk menentukan indeks ini, tahapan pekerjaan dilakukan dalam 4 (empat) tahap yaitu: pengumpulan data primer dan sekunder, pembangunan basis data sistem informasi geografis, penyajian peta tematik dan penyajian peta IKL.
Daftar Kepustakaan : 45 (1974-2000)

Human activities that are excessive yield to pressures on the environment, any damages to it will affect the various aspects of life. To preserve the environment, maintain a sustainable development, and guard against further damages that might result in serious environmental problems, indicators on level of damages to be handled should be developed. To do this, there is a need for data and information that are easily obtained and up to date to support any decisions on the planning process and management of that area. In this study, the area of interest is the Thousand Islands Marine National Park.
The above mentioned data and information are given in the form of an Environmental Sensitivity Index Map which presents levels of environmental sensitivities for an area. This map may be continuously updated using technologies of remote sensing and geographic information systems.
Mapping of the Environmental Sensitivity index through geographic information systems technology supported by remote sensing technology will help in the acquisition and the storing of data more efficiently and accurately, which help in monitoring for the continuous changes and giving current information.
Number References 45 (1974-2000)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T14623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Amarina Aswonoputro
"The existence of the National Payment Gateway (NPG) program in Indonesia is a major effort for the development and progress of the payment system in Indonesia. Unfortunately, there are many obstacles and weaknesses in their implementation that have caused difficulties and losses for consumers, both based on direct and / or indirect impacts. This undergraduate thesis aims to analyze how the National Payment Gateway is implemented, executed, and refers to aspects of consumer protection in Indonesia. This document discusses the different conditions of payment systems in Indonesia before and after the National Payment Gateway was established, and links it to the provisions in the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and with Bank Indonesia Regulation No. 16/1 / PBI / 2014 concerning Consumer Protection in the Payment System. This is a normative juridical research approach, using secondary sources including interviews with 3 (three) informants who received a direct impact from the National Payment Gateway. Research shows that compatibility between the National Payment Gateway and the Consumer Protection Act and Consumer Protection Regulations in the Payment System needs to be adjusted and reviewed in its implementation. In conclusion, after identifying the implementation of the National Payment Gateway that affects customers, traders and banks, it was found that in implementing the National Payment Gateway, Bank Indonesia needs to pay attention to these consumer protection principles: (i) benefits; (ii) fairness; (iii) balance; (iv) security; (v) legal certainty, (vi) fairness and reliability; (vii) transparency; (viii) data protection and / or consumer information; and (ix) effective handling and resolution of complaints.

Keberadaan program National Payment Gateway (NPG) di Indonesia merupakan upaya utama untuk pengembangan dan kemajuan sistem pembayaran di Indonesia. Sayangnya, ada banyak kendala dan kelemahan dalam implementasinya yang telah menyebabkan kesulitan dan kerugian bagi konsumen, baik berdasarkan dampak langsung dan / atau tidak langsung. Tesis sarjana ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana National Payment Gateway diimplementasikan, dieksekusi, dan mengacu pada aspek perlindungan konsumen di Indonesia. Dokumen ini membahas berbagai kondisi sistem pembayaran di Indonesia sebelum dan setelah National Payment Gateway didirikan, dan menghubungkannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 16/1 / PBI / 2014 tentang Perlindungan Konsumen dalam Sistem Pembayaran. Ini adalah pendekatan penelitian yuridis normatif, menggunakan sumber sekunder termasuk wawancara dengan 3 (tiga) informan yang menerima dampak langsung dari National Payment Gateway. Penelitian menunjukkan bahwa kompatibilitas antara Gateway Pembayaran Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perlindungan Konsumen dalam Sistem Pembayaran perlu disesuaikan dan ditinjau dalam implementasinya. Kesimpulannya, setelah mengidentifikasi implementasi Gateway Pembayaran Nasional yang mempengaruhi pelanggan, pedagang dan bank, ditemukan bahwa dalam mengimplementasikan Gateway Pembayaran Nasional, Bank Indonesia perlu memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen ini: (i) manfaat; (ii) keadilan; (iii) keseimbangan; (iv) keamanan; (v) kepastian hukum, (vi) keadilan dan keandalan; (vii) transparansi; (viii) perlindungan data dan / atau informasi konsumen; dan (ix) penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>