Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Ketut Ariawan
"Bali sebagai daerah yang hukum adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam hukum daerah tersebut, yang kesemuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara berdampingan dan saling mengisi dengan agama (Hindu). Diterimanya unsur-unsur agama ke dalam hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat yang lebih banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian, maka berfungsinya hukum delik adat tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan hidup berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain seperti kesadaran anggota masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib. Dapat diidentifikasi beberapa delik hukum adat, yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap: harta benda; kepentingan orang banyak; kepentingan pribadi seseorang; kesusilaan; dan pelanggaran lain yang sifatnya ringan. Dalam praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusan hakim didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan dengan kewajiban hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
Ditemukan putusan yang bervariasi dalam penanganan kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan pula putusan hakim yang menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP. Eksistensi delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, paling tidak mematahkan kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupun dalam implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya. Dalam era implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan peluang keberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam konsep KUHP yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5. Langkah tepat para perancang konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik hukum adat dalam implementasi hukum pidana mendatang telah menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang yuridis dogmatis menuju pada pandangan yang sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukum adat tentu berkait pula dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah potensial dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktor-faktor yang ada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Serikat Putra Jaya
"Latar Belakang Penelitian
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan di Indonesia di bawah Pemerintah Orde Baru adalah Pembangunan Negara dan Bangsa di segala bidang kehidupan yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, lahiriah dan bathiniah berlandaskan Pencasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan secara harfiah pada hakekatnya adalah suatu kegiatan yang bersifat merubah keadaan dari yang lama menjadi baru, yang dapat dilaksanakan secara bertahap. Karena sasaran pembangunan adalah manusia Indonesia, maka perubahan yang diinginkan itu selain tertuju kepada kebutuhan juga akan merubah sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri. Dalam hal ini, maka sasaran perubahan yang dimaksud tidaklah dapat terlepas dari masalah-masalah yang menyangkut tata nilai yang hidup dalam masyarakat yang pada hakikatnya menuntut pula adanya keteraturan.
Oleh karena itu pelaksanaan pambangunan perlu ditunjang oleh hukum sebagai pengarah dan sarana menuju masyarakat Pancasila, yang kita cita-citakan,berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan itu dalam masa pembangunan ini sebenarnya hukum tidak hanya diharapkan akan dapat berfungsi sebagai sarana penunjang, akan tetapi sekaligus dapat berfungsi pula sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom masyarakat. Dengan perkataan lain hukum tidak lagi hanya mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi tampil di depan memberi arah pada pembentukan suatu masyarakat yang dicita-citakan. Sehubungan dengan hal tersebut, hukum perlu dibangun secara terencana, agar hukum sebagai penunjang ataupun hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, mempersiapkan masyarakat agar dapat melaksanakan pembangunan nasional pada umumnya dalam suasana keteraturan, amen, tertib, adil dan damai.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Djamanat, 1959-
"Analysis on adat law in Indonesia"
Bandung: Nuansa Aulia, 2013
340.57 SAM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispinus Boro Tokan
"ABSTRAK
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1951, maka timbul anggapan seolah-olah hukum adat< idelik tidak
mempunyai tempat lagi dalam dinamika hukum pidana positif
di Indonesia. Namun kalau diteliti pasal 5 ayat (b)
UU tersebut, maka sebenarnya hanya dihapus hukum formil
(beracara) adat. Dalam arti hukum adat delik materiil masih
tetap berlaku.
Asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana positif
di Indonesia, secara serta merta menumbuhkan sikap
apriori para penegak hukum, bahwa dengan demikian hukum
delik adat tidak diterapkan lagi. Tentunya hal ini bertentangan
dengan dinamika beberapa peraturan perundang-undang
an yang menunjukkan esensi dan eksistensi hukum delik adat
di Indonesia.
Esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia,
paling tidak mematahkan kekakuan dinamika hukum pidana positif
yang menganut asas legalitas. Walaupun dalam imple -
mentasinya, hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan
kekakuannya.
Menggembirakan bahwa dalam kandungan konsep Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Nasional 1982/1983 tetap memberikan
peluang keberadaan hukum delik adat di Indonesia ,
seperti dalam pasal 1 ayat (4), pasal 57 ayat (3) butir 5.
Dalam menyonsong peluang keberadaan hukum delik adat
yang tetap dijamin dalam era implementasi hukum pidana nasional
di masa mendatang, maka pada tempatnya dikemukakan
pertanyaan : apakah setiap reaksi masyarakat terhadap delik
adat dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman?
Tentunya tidak secara serta-merta setiap reaksi masyarakat
terhadap delik adat diterima untuk melengkapisuatu
penghukuman. Melainkan harus melalui filter penyaring,
yakni Pancasila dan UUD 1945. Selain itu dalam batang tubuh
konsep KUHP nasional masih dapat diangkat Tujuan Pemidanaan
(pasal 43) sebagai alat ukur untuk mempertanyakan
apakah reaksi masyarakat terhadap delik adat dapat
dijadikan pelengkap penghukuman.
Dengan demikian tidak semua reaksi adat dapat diterima
sebagai pelengkap penghukuman, namun harus dikaji dan
disaring terlebih dahulu. Di sini dituntut kepekaan para
penegak hukum dalam menjiwai hukum delik adat suatu masyarakat.
oleh karena itu tidak terelakkan tuntutan akan
suatu pengetahuan hukum adat yang memadai serta penjiwaan
yang mendalam dari para penegak hukum mengenai hukum adat,
tidaklah dapat ditawar-tawar di era implementasi KUHP nasional
kelak. Dalam konteks di atas, maka penegak hukum jangan hanya
jadi corong atau mulut undang-undang belaka. Sebab kalau
penegak hukum memposisikan diri hanya sebagai trompet
dari UU, maka akibat hasil kerjanya tidak luput dari kekecewaan
pencari keadilan. Pencari keadilan merasakan bahwa
keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
tidak mendapatkan sahutan dari para penegak hukum
dalam setiap tahapan proses kerjanya.
Proses kerja para penegak hukum ini, berangkat dari
suatu sistem kerja yang dikenal dengan Sistem Peradilan
Pidana (SPP); SPP memperkenalkan dua model kerja, yakni
'crime control model' dan 1due process model' ( CCM dan
DPM) .
CCM, antara lain menghindari adanya 'second opinion'
(pendapat kedua), sehingga penegak hukum yang memposisikan
diri sebagai mulut undang-undang belaka, secara apriori
menutup diri terhadap dinamika hukum sosiologis yang
tidak atau secara kabur-kabur diatur dalam perundang - undangan.
Sedangkan DPM antar lain mengandalkan chek and
re-chek, sehingga menjadi suatu keharusan hadirnya 'second
opinion'. Hadirnya second opinion memberikan peluang pemerhatian
akan rasa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang
dalam nurani masyarakat. Dalam arti peluang hukum
delik adat sebagai hukum tidak tertulis tetap ada dalam
proses kerja SPP yang menggunakan model DPM.
Dalam konsep KUHP nasional mengenai ‘penghukuman'dikenal
'double track system' (sistem dua jalur); yaitu 'straf'
(pidana) dan 'maatregel' (tindakan).
Benang merah yang membedakan straf dan maatregel, ada
lah pada orientasi penghukumannya. Straf bermaksud menderitakan
setiap pelaku kejahatan karena berangkat dari
1backwardlooking', yakni hanya melihat perbuatan pelaku
itu saja (berorientasi ke belakang), sehingga pelaku kejahatan
dihukum setimpal dengan besarnya kesalahan. Sedangkan
maatregel tidak bermaksud menderitakan pelaku melainkan
mendidik (edukatif), yakni bertolak dari 'forwardlooking',
yang mempertimbangkan manfaat dan kegunaan sanksi
itu bagi masa depan setiap pelaku kejahatan.
Menjadi pertanyaan sekarang, reaksi adat dimasukkan
ke dalam straf atau maatregel? Hemat penulis reaksi adat
digolongkan ke dalam maatregel, karena reaksi adat itu sebenarnya
tidak bermaksud menderitakan pelaku tetapi merupakan
suatu upaya pemulihan kembali hubungan masing - masing
pihak, pengharmonisan kembali suasana masyarakat yang
tegang (kacau) karena adanya pelanggaran adat.
Dengan demikian reaksi masyarakat itu dapat dijadikan
pelengkap dalam penghukuman, apabila reaksi masyarakat adat itu bersikap mendidik, bukan menderitakan. Dengan
perkataan lain reaksi masyarakat adat itu harus merupakan
konkritisasi sahutan pl.aham 'utilitarian model',
yang menekankan adanya kegunaan yang maksimal dari penghukuman
bagi masa depan si pelanggar. Oleh karena itu
reaksi masyarakat adat yang bermaksud menderitakan, menyalahi
norma sosial, bersifat pemborosan, tidak diandalkan
sebagai suatu bentuk penghukuman.***"
1990
T36489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Agung, Proyek Penelitian Hukum Adat, 1999
340.5707 IND p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adelia Hanny Rachman
"ABSTRAK
Masifnya penggunaan plastik sekali pakai pada tahun 1950-an hingga saat ini dalam segala sektor kehidupan masyarakat semakin memperburuk persoalan sampah yang ada, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat hukum adat di Desa Adat Kuta, Legian, dan Seminyak, Bali. Persoalan sampah muncul sebagai suatu problem sosial dan ekonomi. Sampah menjadi perhatian ketika plastik juga menjadi material yang dominan dalam komposisi sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Jumlah produksi sampah plastik yang besar dan tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah secara tepat membuat sampah plastik mengalami kebocoran dan masuk ke lautan. Eksistensi sampah plastik ini sangat membayakan bagi bumi dan manusia. Guna mengetahui implementasi hukum terkait persampahan dan perilaku masyarakat dalam upaya mengatasi persoalan sampah plastik, dilakukan penelitian dengan metode sosiolegal. Dalam penelitian ini dilakukan studi hukum normatif dengan menganalisis peraturan hukum terkait sampah sekaligus studi hukum empiris melalui kegiatan observasi dan wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian, hukum positif Indonesia sejatinya telah mengakomodir perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta pengelolaan sampah. Meskipun masih terdapat beberapa hal yang membuat masyarakat diposisikan dalam kondisi yang dilematis, seperti: a) ketiadaan hukum yang secara khusus mengatur sampah plastik, dan b) inkonsistensi substansi dalam hukum positif yang mengatur pengelolaan sampah. Sehingga kesadaran masyarakat atas pentingnya pelestarian lingkungan itu kurang tercermin dalam sikap dikarenakan pola pikir antroposentris seolah mewajarkan penggunaan plastik yang berlebih dan tanpa diimbangi pengelolaan sampah yang baik. Anggapan bahwa pengelolaan sampah masih menjadi tanggung jawab pemerintah menjadikan implementasi aturan hukum beserta himbauan terkait pengelolaan sampah kurang efektif berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan adat berupa perarem yang mengatur secara spesifik pengelolaan sampah plastik sehingga dapat mengikat masyarakat secara adat, termasuk pendatang untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan

ABSTRACT
The massive use of disposable plastics in the 1950s till date in all sectors of people's lives has further exacerbated the existing of (solid) waste problem, including the Adat Law Communities (Balinese) in the Adat Villages of Kuta, Legian, and Seminyak, Bali. The waste problem appears as a social and economic problem. Waste is being a concern when plastic becoming a part of the dominant material in the composition of household waste and household-like waste. A large amount of plastic waste production which is not balanced by proper waste management made those plastic waste leaked and getting into the ocean. The existence of plastic waste jeopardizes the planetary and humanity. In order to know the implementation of waste regulations and the behavior of the Balinese in an effort to overcome the problem of plastic waste, the socio-legal studies were conducted. In this research, normative legal studies were conducted by analyzing legal regulations of household waste and household-like waste as well as empirical legal studies through observation and in-depth interviews. Based on the results of the study, Indonesia's positive law has actually accommodated the protection and preservation of the environment, the right to a good and healthy environment, and waste management. Although, there are still a number of things that make the Balinese positioned in the dilemmatic conditions, inter alia: a) the void of law which specifically regulating the plastic waste, and b) the inconsistent legal substance in the waste management regulations. So, the public awareness of the importance of environmental preservation is not reflected in the societies' behavior because the anthropocentric mindset seems to justify the use of excessive plastic and also waste mismanagement. The notion that waste management is the responsibility of the government makes the implementation of the rule of law along with the policies regarding waste management less effective in the community. Therefore, we need a customary law in the form of perarem that specifically regulates the management of plastic waste so that it can customarily bind the Balinese, including the incomers to be responsible for their waste"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryanti Widyastuti
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Alumni, 1989
345 HIL h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>