Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
NUR Shifa Illaty
"Representasi gender dalam Hubungan Internasional menjadi gagasan yang penting untuk hadir, terlebih ketika kajian ini berupaya untuk menjadi ranah keilmuan yang bersifat gender-blind. Feminisme kemudian datang sebagai kajian yang memperlihatkan gagasan serta ruang baru yang sebelumnya tidak tersentuh pada kajian HI, yaitu kaitan antara dinamika HI dan isu perempuan, termasuk di dalamnya isu mengenai hak politik perempuan. Pada tahun 2010, kawasan Asia Tenggara hadir dengan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) untuk juga dapat meneruskan ide besar dalam jaminan hak perempuan, tidak terkecuali hak politik. Sayangnya, kehadiran badan tersebut tidak serta-merta meluruhkan gagasan patriarki yang hadir bagi ranah politik perempuan di Asia Tenggara. Kajian literatur ini secara lebih jauh bertujuan untuk dapat merangkum kajian dan memberikan pencerahan baru mengenai hak politik perempuan di negara-negara Asia Tenggara. Kajian literatur ini mencakup 43 literatur yang terdiri atas buku, bab dalam buku, serta artikel jurnal. Melalui metode taksonomi, kajian literatur ini mengelompokkan literatur yang ditemukan ke dalam empat tema utama, yaitu (1) adopsi norma hak politik perempuan di negaranegara Asia Tenggara; (2) implementasi jaminan hak politik perempuan di negara-negara Asia Tenggara; (3) hambatan perempuan dalam meraih hak politik di negara-negara Asia Tenggara; serta (4) isu dalam hak politik perempuan di negara-negara Asia Tenggara. Kajian literatur ini juga berupaya untuk memetakan konsensus, perdebatan, serta kesenjangan di dalam tema kajian yang ada. Tulisan menemukan bahwa dinamika antara adopsi norma dan implementasi di dalam kebijakan merupakan suatu ranah yang cukup bergejolak di Asia Tenggara. Selain itu, tulisan juga menemukan bahwa masih diperlukan pemetaan hambatan utama agar pencarian jalan keluar yang solutif juga dapat dipetakan secara seksama. Hal serupa juga hadir pada ranah isu mengenai hak politik perempuan di Asia Tenggara yang dinilai masih belum menemukan jalan keluar.

Gender representation in International Relations is essential, primarily when this study seeks to become a gender-blind scientific field. Feminism then emerged as a study that showed span-new ideas and spaces previously untouched in IR studies, namely the link between the dynamics of IR and women's issues, including women's political rights. In 2010, the Southeast Asian region developed the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) to continue guaranteeing women’s rights, including its political sphere. Unfortunately, the presence of this body does not necessarily eradicate the patriarchal ideas that exist in the realm of women's politics in Southeast Asia. This literature review aims to summarize studies and provide new enlightenment regarding women's political rights in Southeast Asian countries. This review includes 43 pieces of books, book chapters, and journal articles. Using the taxonomy method, this literature review groups the literature found into four main themes, namely (1) adoption of women's political rights norms in Southeast Asian countries; (2) implementation of guaranteed women's political rights in Southeast Asian countries; (3) obstacles for women in achieving political rights in Southeast Asian countries; and (4) issues in women's political rights in Southeast Asian countries. This literature review also attempts to map consensus, debate, and gaps in existing study themes. The paper finds that the dynamics between norm adoption and policy implementation are volatile in Southeast Asia. Apart from that, the article also finds that mapping the main obstacles is still needed so that the search for a solution can also be mapped carefully. A similar thing is also present in issues regarding women's political rights in Southeast Asia, which still have not found a solution."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Valeska Liviani Priadi
"Adanya dominasi ideologi patriarki telah melahirkan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang meluas dan tengah menjadi isu global adalah perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan merupakan isu yang sangat kompleks, karena aspek di dalamnya mencakup ketenagakerjaan, migrasi, kemiskinan, serta kejahatan. Kawasan Asia Tenggara, yang mayoritas negaranya merupakan negara berkembang, merupakan kawasan dengan perdagangan perempuan paling marak di dunia. PBB, melalui UNODC dan UNIAP, telah melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Namun, upaya pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara tidak cukup hanya diselesaikan oleh PBB, selaku organisasi internasional global, saja. ASEAN, selaku organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara, juga melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Dalam mengkaji peranan ASEAN tersebut, penting untuk mengetahui ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, bentuk-bentuk usaha ASEAN dalam memberantas perdagangan perempuan, serta penerapan ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, yang mengacu pada Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, dalam peraturan perundang-undangan nasional masing-masing negara anggota ASEAN. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijawab melalui penelitian yuridisnormatif sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ASEAN harus mendorong penerapan standar prinsip hak asasi manusia internasional di kawasan Asia Tenggara guna memberantas perdagangan perempuan.

The domination of patriarchy has resulted in discrimination, exploitation, and violence against women. One of the form of a wide-spread violence against women that has become a global issue is women trafficking. Women trafficking is a very complex issue, because its aspects involve labor, migration, poverty, and crime. Southeast Asia, which is populated by developing countries, is the region where women trafficking is most-spread. United Nations, with its UNODC and UNIAP projects, has been making efforts to suppress the women trafficking in Southeast Asia. However, the effort to suppress the women trafficking in Southeast Asia are not relayed solely upon United Nations. ASEAN, as the regional international organization, also makes efforts to suppress the women trafficking in Southeast Asia. In studying the role of ASEAN in suppressing the women trafficking in Southeast Asia, it is important to know the rule of international law regarding the suppression of women trafficking, ASEANs efforts in suppressing the women trafficking in Southeast Asia, and the application of the rule of international law regarding the suppression of women trafficking, based on Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, in each ASEAN member states legislation. These problems will be answered through a juridical-normative research, thus it can be concluded that ASEAN must support the implementation of international human rights principles in Southeast Asia that will suppress the women trafficking."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gde Parimartha
Jakarta: Djambatan, 2002
959.85 IGD p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
SDANE 2006/2007/2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
650.095 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Myland, Kim
"Para bajak laut Jepang atau yang dikenal sebagai Wakō, mulai aktif sejak abad ke-13 hingga abad ke-16 di sepanjang semenanjung Korea dan pantai selatan Cina. Aktifitas mereka menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam bidang ekonomi, baik di Korea maupun di Cina. Kondisi ini menyebabkan Korea dan Cina beberapa kali mengirim utusan ke Jepang untuk mengatasi keberadaan Wakō, namun baru mendapat perhatian serius setelah Istana Utara dan Istana Selatan di Jepang berhasil disatukan, khususnya setelah Ashikaga Yoshimitsu memutuskan untuk berdagang secara resmi dengan pemerintah Ming di Cina pada tahun 1401. Tindakan kriminal para bajak laut ini dipicu oleh masalah ekonomi. Musim panas pada tahun 1222 menyebabkan kekeringan melanda daerah asal mereka di Tsushima, Iki, Goto dan Matsura. Di saat yang sama, kondisi politik Korea dan Cina pun sedang mengalami kekacauan akibat serangan bangsa Mongol di utara Korea dan usaha pemberontakan rakyat Cina untuk menjatuhkan dinasti Yuan, pemerintahan bangsa Mongol di Cina. Akibatnya, para bajak laut ini memanfaatkan situasi politik Korea dan Cina untuk menjarah wilayah selatan mereka yang lemah.

The Japanese pirates, known as Wakō, active since the 13th century until the 16th century along the Korean peninsula and the southern China coast. Their activities cause unrest and chaos in the economic field, both in Korea and in China. This condition led to Korea and China several times to send their envoys to Japan to overcome Wako existence, but they got serious attention after the North Castle and South Castle in Japan managed to put together, especially after Ashikaga Yoshimitsu officially decided to trade with the Ming government in China in 1401 . Criminal action of these pirates was triggered by economic problems. The summer in 1222 caused drought. This led to their home areas in Tsushima, Iki, Goto and Matsura. At the same time, political conditions of Korea and China are also mess due to Mongol attacks in northern Korea and China business a popular uprising to overthrow the Yuan Dynasty, the Mongol rule in China. As a result, these pirates take advantage of the political situation of Korea and China to plunder the weak southern region.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Seda, Joanessa Maria Josefa Sipi
"Masalah kewarganegaraan etnis Cina di luar Cina merupakan masalah yang sangat pelik, bagi pemerintah Cina dan pemerintah di negara-negara Asia Tenggara. Masalah ini muncul sebagai akibat dari adanya upaya pemerintah Cina, dari jaman dinasti Qing sampai jaman pemerintah RRC, untuk mengklaim potensi ekonomi dan sumber daya manusia yang dimiliki etnis Cina di luar Cina, bagi kepentingan dalam negerinya. Maksudnya ini diwujudkan pemerintah Cina dalam bentuk peraturan dan hukum kewarganegaraan, yang berpegang pada asas ius sanguinis. Sedangkan pada saat yang bersamaan, etnis Cina tersebut, yang sudah menetap di Iuar Cina, terutama di negara-negara Asia Tenggara, juga sudah diklaim sebagai warganegara dari negara-negara di mana mereka menetap, melalui peraturan dan hukum kewarganegaraan di negara mereka masing-masing, yang juga berpedoman pada asas ius sanguinis. Akibat dari adanya peraturan-peraturan dan hukum kewarganegaraan ini ialah munculnya masalah dwi kewarganegaran bagi etnis Cina di luar Cina, yang kemudian menimbulkan benturan kepentingan antara pemerintah Cina dengan negara-negara Asia Tenggara. Masalah ini akan semakin berlarut-Iarut, seandainya pemerintah RRC tidak terdesak oleh kepentingan luar negerinya, untuk membiarkan etnis Cina di luar Cina, memilih kewarganegaraan mereka, atas kemauan sendiri, melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan 1955, yang kemudian lebih ditegaskan dalam bentuk Undang-Undang yakni Undang-Undang Kewarganegaraan RRC. Karena dengan adanya Undang-Undang ini, berarti pemerintah RRC tidak dapat Iagi secara legal, memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki etnis Cina di luar Cina, demi kepentingan dalam negerinya, sehingga masalah dwi kewarganegaraan dari etnis Cina di luar Cina, dapat dikatakan sudah teratasi.
Namun, dilancarkannya gerakan modemisasi di RRC, yang merupakan dampak dari berkembangnya globalisasi ekonomi di dunia internasional, menyebabkan meningkatnya kebutuhan pemerintah RRC akan modal finansial serta sumber daya manusia yang potensial pula, bagi pembangunan dalam negerinya. Oleh karena itu, pemerintah RRC memutuskan untuk menjalankan dua kebijakan yang, saling bertentangan tetapi juga saling menguntungkan, pada saat bersamaan. Di satu pihak, pemerintah RRC tetap mempertahankan isi dari Undang-Undang Kewarganegaraannya. Namun di lain pihak, ia tetap mendorong etnis Cina di luar Cina, hingga scat ini, untuk terus mengkontribusikan potensi mereka bagi kepentingan dalam negeri RRC, melalui kcbijakan-kebijakan yang bersifat memupuk patriotisme yang tinggi di kalangan mcreka. Nampaknya, masalah kewarganegaraan etnis Cina di luar Cina ini, tidak akan pernah tuntas, selama pemerintah RRC, tidak dapat melepaskan anggapan mereka bahwa etnis Cina di luar Cina bukan lagi merupakan bagian integral dari bangsa Cina. Dengan kata lain, masalah kewarganegaraan etnis Cina di luar Cina, tidak akan berhenti menjadi masalah bagi hubungan RRC dengan negara-negara Asia Tenggara, selama pemerintah RRC tidak dapat melepaskan anggapannya bahwa etnis Cina di luar Cina adalah nationals-nya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>