Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67135 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haru Setyo Anggani
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ukuran Dento Kranio-Fasial Jurusan Vertikal pada populasi mahasiswa FKG-UI yang memiliki wajah selaras; proporsional, tidak ada disharmoni fasial, belum pernah dirawat ortodonsi serta mempunyai hubungan gigi geligi yang baik. Selain itu juga untuk mengetahui, apakah ada perbedaan ukuran tersebut di antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya diharapkan dapat dikembangkan pada populasi yang lebih luas sehingga akhirnya diperoleh norma-norma ukuran sefalometri komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang sesuai dengan morfologi kranio-fasial berbagai populasi di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sefalometri. Pada gambar hasil penjiplakan pada sefalogram, diukur 12 komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang kemudian dihitung nilai-nilai Mean, Range dan Standard Deviasinya. Kedua belas komponen Dento Kranio-Fasial tersebut adalah: Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas, Tinggi wajah anterior bawah, Tinggi ramus naandibula, Tinggi wajah total posterior, Tinggi wajah posterior atas, Tinggi wajah posterior bawah, Tinggi dentoalveolar anterior atas, Tinggi dentoalveolar anterior bawah, Tinggi dentoalveolar posterior atas, Tinggx, dentoalveolar posterior bawah dan sudut antara bidang Mandibula dan garis SN.
Di antara laki-laki dan perempuan, ternyata terdapat perbedaan bermakna pada ukuranukuran Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas dan Tinggi wajah total posterior. Diduga hal ini karena adanya dimorfisme seksual dalam ukuran. Sedangkan perbedaan bermakna ukuran Tinggi wajah posterior atas. dan Tinggi dentoalveolar posterior bawah kemungkinan lebih merupakan akibat tidak langsung adanya dimorfisme seksual dalam hal pola bentuk kranio-fasial. Secara garis besar, bila dibandingkan dengan norma-norma ras Kaukasoid, terlihat bahwa sampel penelitian ini lebih retruded. Hal tersebut terlihat pada isyarat-isyarat kecenderungan pola pertumbuhan yang lebih ke arah vertikal, tinggi dentoalveolar anterior atas dan bawah yang sedikit lebih panjang dan besarnya sudut SN-Hp."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audiawati
"Cases of oral candidiasis are commonly found, both in healthy individuals and immunecompromise patients, however publications of Candida carrier in the oral cavity of healthy population and risk factors for colonization in Indonesia are hardly available. Objective : This study was aimed to analyze the type and number of Candida colonies and identify risk factors in the oral cavity of apparenthly health FKG UI students. Material and methods : the specimens were taken from 195 subjects with oral rinse technique for identification using culture medium CHROMagar® and Sabaraoud dextrose agar. Results and discussion : Candida species were found in the 107 subjects oral cavity (54.87%), being Candida albicans was is the predominant species (52.33%). Some 88 subjects (82.24%) was dominant in the number of colonies <400 CFU/ml, while the rest had colony of >400 CFU/ml (17.76%). Candida colony grew dominantly in single colony (90.65%), and the others showed multi-species colonies (9.34%). Risk factors identified included age; gender; hormonal; blood type O; denture; orthodontic appliances; unstimulated salivary flow; pH of saliva; smoking, alcohol and oral cleaning habit; and oral health status. By using a statistical Pearson chi-square test, no significant relationship was found between risk factors and number of Candida colonies in the oral cavity p<0.05. Conclusion : there was no one single risk factor for Candida colonization, but combination of various risk factors for demographis, local and systemic was observed."
Jakarta: Universitas Yarsi, 2015
362 STK 2:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Titi S. Soebekti
"ABSTRAK
Memilih ukuran gigi anterior atas dalam pembuatan Gigi Tiruan Penuh, memerlukan ketrampilan tersendiri.
Pada penelitian ini dicari tanda-tanda anatomik di wajah yang mungkin dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan ukuran gigi anterior atas. Tanda-tanda anatomik yang digunakan adalah ukuran lebar sayap hidung dan ukuran lebar Sudut mulut.
Sampel yang digunakan adalah mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu, serta memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan antara ukuran lebar gigi anterior atas dengan ukuran lebar sayap hidung, dan ukuran lebar sudut mulut.
Selain itu hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu lebih lebar dari ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG di Inggris dan populasi di Colorado. Sedang ukuran gigi anterior atas tidak menunjukkan adanya perbedaan. Sehingga pedoman yang umumnya digunakan dalam pembuatan gigi tiruan, khususnya Gigi Tiruan Penuh, bahwa garis yang ditarik dari tepi sayap hidung sejajar dengan garis tengah muka, akan melalui puncak tonjol kaninus atas, belum sepenuhnya dapat diterapkan."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rinati Adrin
"ABSTRAK
The aim of this study was to determine the difference of oral hygiene and teeth caries in children with asthma bronchiale, age 3-6 years with several levels of frequency of asthma attack. Fifty children with asthma bronchiale were chosen from Pulmonology Clinic University of Indonesia RSCM. This study used Green and Vermillion to asses the oral hygiene and def-t index for measured caries. The frequency of asthma attack was the amount of attack of children using drugs per year. The sample was divided into 3 groups. The first group consists of children with asthma 2-6 attacks per year. Second group with 7-12 attacks per year and the third group more than 12 times per year. One way ANOVA test showed that the oral hygiene and def-t had significant differences between the three groups (p<0.001). Tukey test showed that oral hygiene had significant differences between the group I-II and I-III (p<0.001). In Tukey test for def-t showed there was a significant difference between the group I-II, I-III, II-III respectively (p<0.001). There was a strong correlation between oral hygiene and frequency of asthma attack (r=0.68), def-t and frequency of asthma attacks (r=0.75), and oral hygiene and caries (r=0.85)."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Rahardjo
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
PGB 0583
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Herniyati
"ABSTRAK
This investigation conducted to evaluate the relationships between the size of teeth and carabelli's cups from 120 students of the Faculty of Dentistry a average of age of 20 years. The data of the size teeth and the carabelli's cups of the first permanent upper molars were obtained from the upper arch printing. In addition, corresponding measure meats were also mode is the mesio-distal and bucco palatal teeth. The scores of the carabelli's cups were based on the Dalberg's classification. The results showed that the number of the teeth which had score I with grooves were high (48; 40%), then followed by score 0 (the average of mesio palatal cups) Which comprised of 44 teeth (20%), score 3 (there were depressions shaped as a small "Y" alphabet) were 19 teeth (15,83%), score 5 (there were small cups), score 6 (three were medium cups), score 2 (there were pits) and score 4 (there were depression shaped as big "Y" alphabet which each comprised of the 12 teeth (10%); 7 teeth (5,83%); 6 teeth (5%) and 4 teeth (3,33%). None of the teeth had carabelli's cup with score 7 (there were cups with big size). The results of the measurements on mesio-distal and bucco palatal teeth were variable. The smallest mesio-distal and bucco-palatal teeth were 0,20 mm and the largest were 12,80 mm. In size showed that there was a significant relationship between the teeth size and carabelli's cups which the size of carabelli's cups was always in line the teeth size."
Journal of Dentistry Indonesia, 2004
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Widurini Djohari
"BASTRAK
Kerusakan gigi molar satu rahang atas frekuensinya Cukup tinggi dan sering disertai kelainan pulpa. Perawatan saluran akar pada gigi ini memerlukan keterampilan yang ditunjang oleh pengetahuan anatomi dan morfologi a.l. panjang gigi, bentuk penampang saluran akar, jumlah akar, jumlah saluran akar, dan letak orifis. Dalam perawatannya sering dijumpai kesulitan menentukan letak apeks, karena pedoman ukuran yang ada berdasarkan ukuran gigi orang Amerika atau Eropa. Belum ada pedoman yang berdasarkan ukuran gigi orang Indonesia.
Dari sampel 50 gigi molar satu atas yang dicabut dari klinik gigi di Jakarta, diukur panjang gigi dari masing-masing apeks akar Palatal, Mesio Bukal, Disto Pukal ke bidang oklusal dengan mikrometer. Dihitung jumlah akar, jumlah saluran akar, dan dicatat bentuk penampang saluran akar 5 mm dari apeks, dan konfigurasi letak oriifis.
Dari hasil pengukuran diperoleh panjang gigi rata-rata dari apeks akar palatal 19,47 mm, dari apeks akar mesio bukal 19,14 mm dari apeks akar disto bukal 18,41 mm. Dari hasil pengamatan, semua gigi mempunyai tiga akar, dan diperoleh lebih banyak gigi dengan tiga saluran akar (98 %). Dari gambaran konfigurasi letak orifis diperoleh bentuk "7" (60 %),lebih banyak dibanding bentuk "Y" (16 %) dan bentuk "T" (18 7.). Dari pengamatan bentuk penampang saluran akar, terbanyak diperoleh bentuk bulat pada akar disto bukal (82 7.), dan bentuk Blips pada akar palatal (36 %). Selain itu diperoleh pula bentuk ginjal pada akar disto bukal (4%), dan bentuk pipih pada akar mesio bukal (14 %).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa
"Latar Belakang: Prakiraan usia memiliki peran yang sangat penting dalam dunia hukum dan forensik terkait permasalahan kasus eksploitasi anak di bawah umur di Indonesia. Prakiraan usia menggunakan gambaran radiologis tulang vertebra servikalis pada sefalometri dengan menilai prakiraan usia skeletal telah dilakukan oleh beberapa penelitian terdahulu, namun belum pernah dilakukan pada populasi di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian prakiraan usia skeletal vertebra servikalis dan usia gigi terhadap usia kronologis subjek penelitian. Metode: Pengukuran parameter dilakukan pada sampel data sekunder gambaran radiografis sefalometri dan panoramik pada dua kelompok sampel, yaitu sebanyak 100 orang dengan rentang usia 9-18 tahun dan kelompok kedua sebanyak 10 orang dengan rentang usia 9-11 tahun, dimulai dengan rumus prakiraan usia skeletal vertebra servikalis yang dihasilkan melalui regresi linier berganda pada kelompok pertama (n=100 orang). Selanjutnya dilakukan uji perbedaan one-way ANOVA dan uji kesesuaian Bland Altman terhadap prakiraan usia skeletal vertebra servikalis dan usia gigi terhadap usia kronologis serta pengujian selisih prakiraan usia pada kelompok kedua(n=10 orang) Hasil: Uji One-way ANOVA menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik antar semua pengukuran usia (p<0.05), sedangkan hasil uji Bland Altman menunjukkan selisih rerata antara prakiraan usia skeletal vertebra servikalis dan usia kronologis sebesar 0,0000 ± 1,34 tahun, lebih kecil jika dibandingkan dengan selisih rerata antara prakiraan usia gigi dan usia kronologis sebesar 0,0937 ± 1,37 tahun pada kelompok pertama. Hasil uji t tidak berpasangan pada nilai selisih rata-rata vertebra servikalis sebesar 1,04 tahun dan usia gigi pada 2,52 tahun. Kesimpulan: Prakiraan usia skeletal vertebra servikalis menunjukkan kesesuaian yang lebih baik terhadap usia kronologis dibandingkan usia gigi terhadap usia kronologis.

Background: Age estimation plays important role in law enforcement and forensics related to the under age / children exploitation issue in Indonesia. Age estimation using radiographs of cervical vertebrae in cephalometry by estimating its skeletal age had been carried out in several previous studies, but has never been done in populations in Indonesia. Objective: To study the agreement of cervical vertebrae skeletal age estimation and dental age with the chronological age of the research subject. Methods: Measurement of parameters was performed on secondary data samples of cephalometric and panoramic radiographs consist of two groups. The first group were 100 people with 9-18 year old range and the second group were 10 people with 9-11 year old range. Starting from the skeletal age estimation of cervical vertebrae was generated using multiple linear regression analysis (n=100 people). Furthermore, a one-way ANOVA and Bland Altman's agreement test were conducted to the cervical vertebrae skeletal age estimation, dental age, and chronological age. Independent t test was conducted to test the delta of the second group (n= 10 people) Results: One-way ANOVA test showed no significant differences statistically among all age estimations (p <0.05), while the Bland Altman test showed mean difference of 0.0000 ± 1.34 years between the skeletal age estimation of cervical vertebrae and chronological age, which is lower compared to the mean difference between the dental age estimation and chronological age 0.0937 ± 1.37 years from the first group. Followed with independent t test from the delta of skeletal-chronological was 1,04 years and dental-chronological was 2,52 years. Conclusion: The skeletal age estimation of cervical vertebrae shows better agreement with chronological age compared to dental age with chronological age."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destiana Nur Fithri
"Latar Belakang:.Pembedahan kepala dan leher merupakan tindakan yang kompleks dan penuh tantangan karena berhubungan dengan pencernaan dan pernapasan. Dengan angka kejadian komplikasi yang cukup tinggi yaitu 17%, dibutuhkan tolok ukur yang dapat memprediksi komplikasi pascabedah terutama di bidang bedah mulut dan maksilofasial. Sistem skoring APACHE II pada penelitian terdahulu terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabedah reseksi dan rekonstruksi mandibula. Tujuan Penelitian: Mengetahui efektivitas sistem skoring APACHE II sebagai prediktor komplikasi pascabedah reseksi dan rekosntruksi tumor jinak mandibula. Metode Penelitian: Studi retrospektif tahun 2015 – 2020 pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Data diambil dari rekam medis pasien baik tertulis maupun digital. Analisis variabel kategorik dengan Uji Chi Square. Uji Mann-Whitney U untuk perbandingan rerata skor dua kelompok. Efektivitas skor APACHE II dinilai berdasarkan kurva ROC dan luas area dibawah kurva. Hasil: Dari 62 subjek penelitian, sebanyak 6 responden (9.7%) mengalami komplikasi pascabedah. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara semua variabel independen yang duji dengan peningkatan skor APACHE II (nilai p > 0.05). Rerata skor pada kelompok komplikasi lebih tinggi (4.83) namun pada Uji Mann-Whitney U nilai p > 0.05. Analisis ROC pada studi ini memiliki sensitivitas 50% dan spesifisitas 78.6% dengan nilai cut off point 5.5 dan luas area dibawah kurva ROC sebesar 0.558. Kesimpulan: Sistem skoring APACHE II terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabdedah reseksi dan rekonstruksi tumor jinak mandibula.

Background: Head and neck surgery is a complex and challenging procedure because it affect the digestion and respiration organ system. With a fairly high incidence of complications, namely 17%, an indicator is needed to predict postoperative
complications, especially in the field of oral and maxillofacial surgery. The APACHE II scoring system in a previous study proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after mandibular resection and reconstruction. Objective: To determine the effectiveness of the APACHE II scoring system as a predictor of postoperative complications of mandibular resection and reconstruction of benign tumors. Methods: Retrospective study on subjects who met the inclusion criteria in the period of 2015 – 2020. The data is collected from the patient's medical record, both written and digital. Categorical variable is being analyze with Chi Square Test. While Mann-Whitney U test analyzing the comparison of the mean scores of the two groups. The effectiveness of the APACHE II score was assessed based on the ROC curve and the area under the curve. Results: Of the 62 research subjects, 6 respondents (9.7%) experienced postoperative complications. There was no significant difference between all tested independent variables with an increase in the APACHE II score (p value > 0.05). The mean score in the complication group was higher (4.83) but in the Mann-Whitney U test the p value was > 0.05. The ROC analysis in this study has a sensitivity of 50% and a specificity of 78.6% with a cut off point value of 5.5 and an area under the ROC curve of 0.558. Conclusion: The APACHE II scoring system proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after surgical resection and reconstruction of benign mandibular tumors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>