Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185754 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Isman Pratama
"Beberapa literatur yang ditulis oleh orang asing seperti Vredenbregt (1973), Bruinesseen (1984,1995), dan yang ditulis oleh orang Indonesia, seperti Aminuddin (1993) dan Tim Studi Pengembangan Kesenian Tradisional Serang (1989), memperlihatkan bahwa debus adalah suatu permainan yang telah berkembang sejak masa Kesultanan Banten Sultan Ageng Tirtayasa (abad 17), dengan tujuan membangkitkan moral pasukan Banten dalam melawan VOC.
Dalam perkembangannya, debus ini hanya dimiliki oleh sekumpulan orang Banten yang tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan -- Islam, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Rifaiyah. Kehadiran dan perkembangan kedua tarekat ini berhubungan dengan munculnya fenomena debus di daerah Banten. Dalam hubungan itu, tampak bahwa debus dan tarekat merupakan dua hal yang saling berkaitan. Di dalam tarekat terdapat seorang pimpinan yang biasa dikenal dengan sebutan syekh atau kiai. Ketiga hal tersebut, yaitu debus, Islam dan kiai merupakan kajian dalam tesis ini, dengan memfokuskan pada studi kasus di desa Tegal Sari, kecamatan Walantaka Serang.
Kiai adalah seorang pimpinan suatu pondok pesantren yang memiliki ilmu agama cukup dalam. Dalam pelaksanaannya, kiai mempunyai kemampuan tertentu di luar kemampuan manusia biasa. Kiai yang memiliki kemampuan itu, biasanya berasal dari tarekat Qadiriyah dan Rifaiyah yang berkaitan dengan debus. Hubungan antara debus dengan kiai dan Islam inilah yang menjadi kajian tesis ini. Melalui penelitian yang sifatnya kualitatif dilakukan pengamatan langsung dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk deskripsi analisa.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa debus memiliki makna atau gagasan yang dilandasi pada latar sejarah orang Banten, yang sering berhadapan dengan peperangan atau pemberontakan melawan bangsa asing atau penjajah, yang tercermin dalam watak orang Banten yang keras dan berani. Sehingga ungkapan untuk Banten dikenal sebagai bangsa yang nilai patriotisme dan heroisme nya menonjol.
Debus juga berkembang dari hasil upaya kiai dan tokoh agama, khususnya dan tarekat Qadiriyah atau Rifaiyah, berupa permainan yang memperlihatkan kekebalan tubuh pemain dari benda tajam, sebagai akibat pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa melalui suatu proses ritual tertentu.
Pada masa kini debus, dikenal sebagai suatu permainan kekebalan yang digemari masyarakat, dan menjadi ciri khas budaya Banten. Rentang waktu yang cukup lama ini dan tetap ada debus hingga kini, memperlihatkan bahwa debus itu dapat bertahan dalam masyarakat Banten. Daya tahan Debus inilah yang mendorong untuk dipahami, dengan memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalam debus, dan menelusuri fungsi-fungsinya pada masa kini, serta kaitannya dengan peranan Islam dan kiai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Akkas
"Ketika pemekaran kota Jakarta mulai dicanangkan 1965 lalu diikuti pengembangan Jabotabek 1975, maka sejak itu pula pertumbuhan populasi kota mulai meledak (atau jauh sebelumnya urbanisasi sudah dimulai dart kolonial). Sehingga kehidupan masyarakat Kampung Makasar (orang Betawi) yang berada di pinggiran kota Jakarta harus mengalami proses penyesuaian dengan situasi-situasi yang terus berubah dalam mana mereka semakin termarjinalkan.
Semakin menguatnya pengaruh budaya kota akibat modernisasi, maka mau atau tidak, kehidupan masyarakat Betawi-yang notabenenya agamis dan fanatik-semakin tidak lagi dapat mempertahankan sebagian praktik sosial yang sebelumnya bisa dilakukan menurut liabitus dan arena tradisionalnya. Modal-modal sosial tradisional yang sudah dimiliki tidak sepenuhnya memadai untuk mempertahankan keberadaannya. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengembangkan strategi penyesuaian yang dipercaya dapat membuatnya tetap bertahan dan keberadaannya dapat diakui oleh pihak-pihak lain.
Tesis ini menjelaskan pilihan-pilihan strategis orang Kampung Makasar untuk memperoleh pengakuan sosial di lingkungannya. Mereka secara terus menerus mengkonstruksikan persepsi untuk mendefenisikan kembali identitas, gaya hidup agamis dan lingkungannya, melalui budaya haji yang kontemporer, yang dipenuhi dengan praktik-praktik simbolik dalam kehidupan sosial mereka.
Dalam kaitan itulah, 'haji' dalam tesis ini disebut sebagai simbol. Haji, dilihat sebagai struktur wilayah simbolis yang ditandai oleh serangkaian praktik-praktik yang terbangun melalui gaya hidup (life-style), terdefinisikan secara objektif maupun subjektif dalam relasi sosial. Melalui hubungan dialektika antara 'haji' dan pengaruh sosialnya yang berlangsung secara terus-menerus itulah, kemudian membentuk struktur-struktur baru.
Ketika orang-orang Kampung Makasar telah menyandang 'haji', dengan demikian dia telah memiliki semacam modal simbolik yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi status kelas sosialnya dan atau pengkondisian sosial yang melingkupinya. Terutama ketika kapital ekonomi yang dimiliki tidak mempunyai pengaruh kuat dalam interaksi sosial dan tidak dapat berfungsi sebagai alat untuk memperoleh pengakuan sosial-karena statusnya yang dinomorduakan dalam strata sosial akibat modernisasi, kemudian terkonversi kepada kapital simbolis-'haji' menjadi suatu kehormatan. Untuk itu, menjadi salah satu modal agama (religious capital) yang memiliki kekuatan dan legitimasi dalam arena pertarungan di Kampung Makasar, dan digunakan sebagai strategi untuk memperoleh pengakuan sosial di lingkungannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Pradoko
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi serta makna-makna simbolik gamelan sekaten bagi masyarakat pendukungnya dalam upacara Garebeg Mulud di Yogyakarta.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan holistik. Pengumpulan data diperoleh melalui: studi literatur, wawancara dan observasi partisipasi serta perolehan data melalui camera video dan foto. Teknik analisa data dengan interpretasi makna, fungsional, dan causal serta analisis isi dari permainan musik gamelan serta teknik garap gendhingnya hingga menemukan inferensi-inferensi. Hasil inferensi-inferensi ini kemudian divalidasikan dengan para tokoh masyarakat pendukungnya serta key informan.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut:
Ternyata gamelan berfungsi bagi raja, ulama serta bagi masyarakat. Fungsi gamelan bagi Raja adalah: 1. Sebagai pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan raja. 2. Sarana memperkokoh kerajaan serta kolektifitas sosial. Sedangkan fungsi gamelan sekaten bagi Ulama adalah: Sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam, syiar Islam. Fungsi bagi masyarakat adalah: 1. Mendapatkan kesejahteraan ekonomi, kesehatan badan dan jiwanya. 2. Sarana untuk hiburan dan rekreasi.
Gamelan sekaten merupakan sub sistem simbol yang mewujudkan gambaran kolektif masyarakat pendukungnya yang memiliki makna proyektif tentang ajaran-ajaran untuk berperilaku dalam masyarakatnya. Gamelan sekaten memiliki makna ajaran-ajaran tentang: Ketuhanan, asal dan tujuan hidup manusia (sang/can paraning dumadi), harmonis , rukun, olah kanurasan, sabar, tepo seliro, go tong royong serta tatanan sopan santun yang sesuai dengan cara pandangan masyarakat pendukungnya untuk berperilaku dalam menanggapi kehidupannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Filsafat empirik John Lock dan fisika Newton menjadi jiwa Eropa dalam membangun sains dan teknologi. Produk-produknya mempermudah kehidupan, hingga manusia semakin yakin bahwa hanya fenomena empirik yang layak dijadikan pijakan untuk memaknai kehidupan. Maka dunia modern hidup dengan jiwa yang mengandung dua unsur berlawanan. Manusia modern enggan ke gereja yang dianggap penuh mitos, sementara positivisme-materialisme tidak punya visi filosofis yang dapat mencerahkan rohani. Dilema ini coba dipecahkan eksistensialisme, dengan menyangkal eksistensi Tuhan dan mengagungkan kebebasan. Akibatnya manusia modern menjadi penguasa tunggal dunia, tanpa punya visi metafisis. Hidupnya berkutat seputar materi dengan jeritan rohani yang kian nyaring mengekspresikan kehampaan makna hidup. Negara kita juga mengalami krisis spiritual, ditunjukkan dengan meningkatnya kuantitas, kualitas, dan modus operandi tindak kemungkaran. Selama ini Tuhan didengar hanya dengan telinga, dipelajari dengan otak, dan disebut dengan lisan tanpa pernah singgah dalam hati. Sebab itu kaum sufi mengajak kita untuk menghidupkan kembali visi metafisis dan mistis."
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Khoirul Rifa`i
"The strategy of boarding school in increasing the quality of santri. The survival of pesantren/islamic boarding school is the proudness for moslem, especially pesantren environment. Pesantren/Islamic boarding school teaches kitab kuning/yellow books until now, neverthless most of the people assume that the method is conservative and out of date. This studi aimed to increase the quality of santri in pesantren education as an alternative or model. The effort of PPHM asrama putri (dormitory for female students) sunan pandanaran Tulungagung to increase the quality of santri is based on societal need. Thus, the output of Islamic boarding school (pesantren) competitively in society."
Tulungagung: Lembaga Penelitian, Pengabdian dan Penerbitan ( LP3M) STAIN Tulungagung, 2013
JDP 13:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Iskandar
1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Khaeroni
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa strategi pembangunan top down (dari atas ke bawah) sebagaimana diterapkan pada era Orde Baru dinilai tidak banyak memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas dan daya kreasi masyarakat. Oleh karena itu, program desa binaan yang menggunakan pendekatan community development dan bertumpu pada religion-based development, perlu dikaji sejauh mana mobilisasi dan kecenderungan partisipasi santri dan abangan dalam pelaksanaan program desa binaan.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalalh secara kuantitatif dan dilengkapi metode kualitatif. Sampel yang diambil sebagai responden sebanyak 60 orang dari 2.630 jumlah populasi. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara quotum berdasarkan geografis. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah melalui kuesioner, wawancara, dan observasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi partisipasi responden dalam memberikan sumbangan pemikiranlide pada pelaksanaan program desa binaan relatif tinggi (0,70). Dilihat dari sosio-religius, tampak di sini bahwa responden santri lebih aktif (0,79) dibandingkan dengan responden abangan yang hanya sebesar 0,53, dengan rasio kecenderungan (RK) kalangan responden santri 3,06 kali lebih besar dari pada kaum abangan. Besarnya proporsi dan peluang responden dalam memberikan sumbangan pemikiran/ide berhubungan dengan status sosio religiusnya, sekalipun tidak begitu besar atau hanya sebesar 0,54 (sedang).
Proporsi responden dalam memberikan sumbangan materi berada pada kategori sedang atau 0,48. Dilihat dari sosio religius, responden santri lebih aktif memberikan sumbangan materi, dengan jumlah sebesar 0,53 (sedang) dibandingkan dengan abangan yang hanya sebesar 0,35 (rendah), dengan rasio kecenderungan partisipasi responden santri 2,09 kali lebih besar dari pada responden abangan. Namun demikian, derajat hubungan antara variabel sosio religius dan partisipasi relatif rendah atau hanya 0,36. Sedangkan dalam bentuk sumbangan tenaga, proporsi partisipasi responden tergolong sangat tinggi (0,82). Di lihat dari latar belakang sosio-religius, responden santri memberikan sumbangan tenaga lebih tinggi yakni sebesar 0,88 (sangat tinggi) dibandingkan abangan yang hanya sebesar 0,65 (tinggi), dengan rasio kecenderungan responden santri 3,67 kali lebih besar dari pada responden abangan. Adapun derajat hubungan antara variabel sosio-religius dan variabel partisipasi sebesar 0,61 (tinggi). Sementara itu, dalam bentuk pemanfaatan pelayanan pembangunan, proporsi partisipasi responden tergolong sangat tinggi (0,93). Di lihat dari latar belakang sosio-religius, responden santri memberikan sambangan tenaga lebih tinggi yakni sebesar 0,98 (sangat tinggi) dibandingkan abangan yang hanya sebesar 0,82 (sangat tinggi), dengan rasio kecenderungan responden santri 10,75 kali lebih besar dari pada responden abangan. Adapun derajat hubungan antara variabel sosio religius dan variabel partisipasi sebesar 0,80 (sangat tinggi). Tingginya tingkat partisipasi responden pada pelaksanaan program desa binaan adalah karena adanya faktor-faktor: Pertama, adanya aktifitas kehidupan beragama yang relatif baik. Kedua, adanya hubungan intern umat beragama yang baik. Ketiga, adanya jalinan hubungan sosial yang baik, dan keempat, adanya kesamaan visi. Sementara itu, faktor yang menghambat partisipasi responden adalah: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan. Kedua, rendahnya Tingkat Kehidupan Ekonomi. Ketiga, longgarnya nilal-nilai keagamaan, dan keempat, terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk program desa binaan.
"
2000
T3513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syaoqie
"Latar belakang penelitian ini adalah selama ini penelitian tentang pesantren masih jarang yang meniliti pesantren yang berbasis Muhammadiyah. Kebanyakan yang diteliti adalah pesantren berbasis NU yang secara historis merupakan milik pribadi seorang kyai. Model seperti itu berkaitan dengan sistem kepemimpinan tradisional yang lebih mengandalkan kepada kharisma yang dimiliki kyai. Kyai adalah orang yang memiliki peranan besar dalam menentukan mekanisme institusional dalam mengelola pesantren. Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat dan proses perubahan sosial yang cepat, pesantren mengalami perubahan serta perkembangan pesat. Berkaitan dengan perubahan model kepemimpinan, seorang kyai tidak lagi mengurusi semua hal, ia hanya dijadikan manajer Namun, proses perubahan pesantren menjadi lembaga formal ke dalam bentuk yayasan yang berbadan hukum serta struktur organisasi yang lebih modern, pada realitasnya tetap tidak merubah kesan bahwa pesantren merupakan properti keluarga. Karena proses pelembagan pesantren menjadi yayasan tetap mendudukan keluarga kyai terdekat sebagai pemegang kebijakan.
Oleh karena itu, sangat relevan untuk melihat dan menganalisis pola kelembagaan dan mekanisme penyelenggaraan serta sistem kepemimpinan dari sebuah pesantren yang didirikan bukan atas dasar inisiatif mandiri dari kyai, akan tetapi pesantren yang didirikan sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan dari organisasi Muhammadiyah. Pesantren Muhammadiyah kebanyakan berdiri atas kebutuhan organisasi terhadap kelangkaan ulama yang ada di Muhammadiyah, sehingga pesantren yang berada dibawah asuhan Muhammadiyah sangat berorientasi kepada persyarikatan guna menjawab kebutuhan organisasi. Segala kebijakan, aturan dan mekanisme yang dibangun akan disesuaikan dan selaras dengan cita-cita persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi yang membidani kelahiran pesantren tersebut.
Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut adalah pesantren yang didirikan oleh lembaga (Muhammadiyah) dengan memakai pola yayasan yang memakai struktur organisasi modern. Status pesantren ini adalah milik Muhammadiyah. Hal ini terlihat dari proses berdirinya yang dibangun secara bersama-sama oleh para anggota Muhammadiyah Garut. Oleh karena pesantren ini bukan milik pribadi melainkan milik lembaga, maka peran lembaga Muhammadiyah dalam menentukan gerak dan langkah pesantren sangat besar. Sistem dan mekanisme aturan yang ada ditetapkan secara bersama-sama sesuai dengan aturan yang ada dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai pemilik pesantren menunjuk beberapa orang sebagai badan pengelola yang bertugas menjalankan roda keseharian pondok pesantren dengan dipimpin oleh seorang mudir. Dalam menjalankan pengelolaan pondok, badan pengelola diberi kewenangan secara otonom dan penuh. Sedangkan untuk mengawasi dan mengontrol setiap kebijakan dan pengelolaan pondok, Muhammadiyah menunjuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Garut sebagai badan pengawas. Sistem yang ada akan berjalan secara efektif kaiau semua unit melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing. Tapi, kalau salah satu tidak berjalan maka akan terjadi disfungsi. Walaupun secara model kelembagaan, pesantren Darul Arqam Muhammadiyah memakai pola kelembagaan yang berbentuk yayasan, namun karena PDM sebagai badan pengawas tidak berfungsi maka terjadi pergeseran menjadi kelembagaan yang didominasi oleh seseorang.
Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, sebagai pesantren yang didirikan oleh lembaga, memiliki kekhasan yang menjadi ciri dan identitas lembaga yang mendirikannya, Panama, tujuan pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut dirancang khusus untuk mencetak kader-kader ulama persyarikatan yang berwawasan luas, mandiri dan kreatif sesuai dengan kepribadian Muhammadiyah. Kedua, pada aspek kurikulum selain mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama (Tsanawiyah dan Aliyah), Departemen Pendidikan Nasional (SLTP dan SMU), dan pesantren secara umum, juga memiliki kurikulum yang berbau idialogis, yaitu dengan memasukan mata pelajaran kemuhammadiyahan dan ketarjihan sebagai mata pelajaran wajib. Ketiga, secara pengelolaan di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, ada keterlibatan organisasi Muhammadiyah sebagai pemilik dengan menunjuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Garut sebagai badan penyelenggara yang bertugas dan bertanggungjawab mengawasi perkembangan pesantren.
Secara paralel ketika pala kelembagaannya berjalan secara modern, maka pola kepemimpinannya pun berjalan secara modern. Pala kepemimpinan yang bersifat kolektif yang dibangun diatas struktur organisasi yang modern, yang tidak memfigurkan dan memberikan kewenangan hanya kepada satu orang, melainkan diemban oleh beberapa orang secara bersama-sama. Dalam struktur dan gaya kepemimpinan seperti itu, mudir dibantu oleh pembantu pimpinan dan para pembina berusaha bersama-sama untuk mewujudkan proses pendidikan dan pembinaan ke arah calon ulama tarjih Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan kolektif bergeser meniadi kepemimpinan yang kharismatis ketika sistem yang ada tidak berjalan, dan kelebihan-kelebihan individu seorang pemimpin muncul ke permukaan. Sehingga muncul model kepemimpinan kharismatis yang tersentral kepada seorang mudir dan mengabaikan prosedur serta aturan yang berlaku. Walaupun begitu, model kepemimpinan kharismatis yang ada di Darul Arqam berbeda dengan pesantren yang secara kelembagaan unsurnya masih sederhana. Pada pondok pesantren yang memfigurkan seorang kyai, gaya otoriter/paternalistik dilakukan dengan mudah, karena ia sekaligus penguasa tunggal dan pemilik pesantren yang memimpin, mengontrol maupun mencita-citakan harapannya. Kehendak kyai langsung dilaksanakan tanpa menghiraukan pihak-pihak lain, yang memang tidak ada tokoh yang setaraf. Sedangkan di Darul Arqam tidak sesederhana tersebut, karena ia memiliki lembaga yang mengawasi seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh mudir serta aturan formal yang mengikat kepemimpinan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Syahria Wijayati
"ABSTRAK
Hukum Perkawinan Islam pada prinsipnya sama bagi seluruh umat islam di Indonesia, bahkah sama pula bagi seluruh umat Islam di dunia. Hanya di dalam pelaksanaannya sering dijumpai perbedaan-perbedaan yang merupakan keanekaragaman, terutama di dalam melangsungkan peminangan dan perayaan perkawinan yang disebabkan. karena pengaruh adat istiadat atau kebiasaan masing-masing daerah, suku, bangsa ysng ber1ain—1ainan ataupun agama nenek moyang. mereka. Penulis menjumpai keunikan, tersendiri di Desa Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur, di mana yang melakukan peminangan adalah pihak. perempuan, sedangkan masyarakatnya menganut sistem kekerabatan bilateral. Begitu pula halnya dengan perayaan perkawinan, di mana perayaan perkawinan diadakan lebih dari dua kali bagi masyarakat yang mampu, sedangkan, masyarakat di Desa Paciran hampir seluruhnya adalah pemeluk Agama Islam yang taat Melihat permasalahan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian serta membahas sampai sejauh mana kebolehan seseorang menye1enggarakan perayaan perkawinan dan bagaimana tata cara peminangan menurut syariat Islam. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>