Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tanzil, Ricky Effendi
"Memasuki era perdagangan dan investasi bebas baik dalam kerangka AFTA maupun APEC, semua Rumah Sakit di Indonesia harus meningkatkan efisiensi pelayanannya kepada masyarakat untuk memenangkan persaingan. Salah satu parameter efisiensi pelayanan rumah sakit selain BOR dan TOI adalah LHR (lama hari rawat) yang penting bagi manajemen RS untuk kualitas pelayanan. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah salah Satu penyakit degeneratif yang makin banyak terdapat akhir-akhir ini, sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup, meningkatnya pencemaran udara akibat industrialisasi, meningkatnya mobilisasi, serta perubahan gaya hidup masyarakat. RSUP Persahabatan Jakarta yang merupakan pusat rujukan paru nasional dan sebagai Rumah Sakit Unit Swadana, mencoba menerapkan delapan strategi manajemen diantaranya dengan lebih mempersingkat lagi lama hari rawat rata-rata. Masalahnya selama 1 tahun terakhir (1 Desember 1994 sampai dengan 30 November 1995), di Ruang Rawat Soka RSUP Persahabatan Jakarta, masih terdapat sebanyak 20 kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik atau 40% dari sebanyak 50 pasien yang pulang hidup, mempunyai LHR lebih lama dari 14 hari sesuai standar rumah sakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan LHR PPOK yang diperkenankan pulang setelah dirawat di Ruang Rawat Soka RSUP Persahabatan Jakarta selama 1 tahun penuh ( 1 Desember 1994 s/d 30 Desember 1995 ) dan menganalisa hubungannya. Disain penelitian adalah cross sectional memakai data sekunder dari rekam medis, deskriptif statistik memakai tabel distribusi frekuensi dan areal isa statistik memakai tabulasi silang dengan uji statistik chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua faktor-faktor internal rumah sakit tidak ada yang mempunyai hubungan dengan LHR PPOK, sedang dari faktor-faktor eksternal rumah sakit, hanya faktor- kelas perawatan yang dipilih pasien mempunyai hubungan dengan LHR PPOK. DisimpuIkan, penelitian ini tidak menjawab sebagian besar faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan LHR PPOK, serta disarankan agar diadakan penelitian lanjutan dengan memakai disain penelitian kohort, sehingga dapat menerangkan hubungan sebab akibat.

Following to the AFTA and APEC era in the near future, support hospital management concern in Indonesia to improve their efficiency, effectiveness of the service. Inpatient's Length of Stay in a hospital is one of the hospital efficiency indicators as well as Bed Occupancy Rate and Turn Over Interval, and it is important to the hospital management to indicate the quality of service. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is one of the increased degenerating diseases following to social economic condition such as life expectancy rates, air pollution due to industrialization, public mobilization and changing in the way of life. Persahabatan General Hospital is a centre of excellent in pulmonary disease, and a partially self financing hospital since 1492, apply the eight strategic management policy to improve it efficiency, and one of these strategic is shortening the Average Length Of Stay. The problem is, there are 20 cases or 40% of all allowed discharged COPD cases in Persahabatan General Hospital, have Length Of Stay more longer than the hospital's standard for the last one year. The aims of the research is to describe and to analyze factors which is be estimated relating to Length Of Stay of all allowed discharged COPD cases for last one year in Persahabatan General Hospital. The methodology of this research is a cross sectional study of allowed discharged COPD cases for one year period and research sample used data is secondary data which given by medical record department. Statistical analysis use tables of frequency, distribution and descriptive statistic for univariate analysis and chi square test for bivariate analysis. The results is, only one variable of the external factors have a statistically significance related to Length Of Stay, but the other variables show non significances. The conclusions is, the research concept actually cannot prove allowed discharged COPD's most relating factors to Length Of Stay in Persahabatan General Hospital as reported by references or prior researchers and suggest to follow through this research by difference concept to know other variables relating to Length Of Stay of allowed discharged COED, and developed another research to explore causes factors such as kohort study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Akza Putrawan
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid yang sering terjadi dan menjadi penyebab kematian pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit kardiovaskular menjadi salah satu faktor prediksi tahan hidup pasien PPOK. Pemeriksaan echocardiography merupakan pemeriksaan yang akurat dan menyediakan informasi untuk evaluasi fungsi jantung.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi jantung pasien PPOK berdasarkan temuan echocardiography di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan.Penelitian dilakukan dari Januari-Juni 2017. Subjek yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis, spirometri dan echocardiography.
Hasil: Sebanyak 70 pasien ikut serta dalam penelitian ini dan dilakukan echocardiography. Usia rerata subjek adalah 65,68 ± 7,65. Subjek terbanyak adalah laki-laki (95,7%). Pada penelitian ini ditemukan 5,7% subjek memiliki gagal jantung kiri, 11,4% memiliki gagal jantung kanan, 30% hipertensi pulmoner, 8,6% mengalami dilatasi ventrikel kanan dan 11,4% mengalami pembesaran ventrikel kiri. Analisis statistik menemukan hubungan bermakna antara tricuspid annular plane excursion(TAPSE) dengan eksaserbasi pada PPOK(p<0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kontraksi ventrikel kanan, hipertensi pulmoner dan dilatasi ventrikel kanan. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara derajat keparahan PPOK dengan dimensi, tekanan dan kontraksi jantung.
Kesimpulan: Prevalens gangguan fungsi jantung tinggi pada pasien PPOK dan memiliki hubungan dengan eksaserbasi pada PPOK. Pasien dengan fungsi paru rendah memiliki kecenderungan untuk memilki gangguan di jantung.

Background/Aim: Cardiovascular disease is a frequent comorbidity and cause of death in chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Cardiovascular disease is one of predictive of survival in COPD. Echocardiography provides accurate and rapid information to evaluate cardiac function. The aim of this study is to elucidate the cardiac function based on echocardiography findings in stable COPD patients in the Persahabatan Hospital Jakarta.
Methods: This study is a cross sectionalstudy among stable COPD patients who visit asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospitals from January to June 2017. Interview, spirometry dan echocardiography perform to all subject who meet the ctiteria.
Results: A total 70 subject with COPD perform echocardiography with mean ages 65,68 ± 7,65. Most of subject were men (95,7%). In this study found 5,7% subjects with left ventricle failure, 11,4% with right ventricle failure, 30% with pulmonary hypertension, 8,6% with right ventricle dilatation and 11,4% left ventricle hypertrophy. Statistic analysis have found significant association between tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) and exacerbation in COPD patient (p<0,05). In this study found significant relationship between body mass index (BMI) and right ventricle contraction, pulmonary hypertension and right ventricle dilatation. There were no significant relationship between COPD severity and cardiac dimension, pressure and contraction.
Conclusion: Prevalence of cardiac function abnormality were high in COPD patient and have relationship with exacerbation of COPD. Patient with lower lung function tender to have cardiac problem."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kematian akibat PPOK ini menyumbang 6% dari semua kematian secara global. Data prevalensi spesifik untuk PPOK di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yaitu 3,7 per seribu orang. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih efektif-biaya apabila dibandingkan dengan terapi formoterol-budesonid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya yang lebih baik antara terapi terapi salmeterol-flutikason dan terapi formoterol-budesonid pada pasien PPOK rawat jalan di RSUP Persahabatan tahun 2021-2022. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai COPD Assesmen Test (CAT), jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya jasa tenaga kesehatan, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 64 sampel, yang terdiri atas 32 sampel terapi salmeterol-flutikason dan 32 sampel terapi formoterol-budesonid. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 46,9%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp11.561. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk terapi salmeterol-flutikason adalah sebesar Rp982.164 /unit efektivitas dan untuk terapi formoterol-budesonid adalah sebesar Rp2.287.610/unit efektivitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih memiliki efektivitas-biaya dengan nilai rasio inkremental efektivitas-biaya terapi sebesar Rp247/unit efektivitas.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by airflow limitation that is not completely reversible. The total number of deaths from COPD reaches 6% of all deaths globally. Specific prevalence data for COPD in Indonesia are based on Basic Health Research (RISKESDAS) data in 2013 is 3.7 per thousand people. Previous research in Indonesia stated that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective than formoterol-budesonide therapy. The purpose of this study is to analyze the better cost-effectiveness between salmeterol-fluticasone therapy and formoterol-budesonide therapy in COPD outpatient at Persahabatan General Hospital in 2021-2022. This retrospective study is an observational study with cross-sectional study design using patient medical record data, which consisted of COPD Assessment Test (CAT) scores, gender, age, and comorbidities. In addition, patient billing data is used from a hospital perspective which consisted of drug costs, other drug costs, laboratory fees, health worker service fees, and total medical costs. There were 64 samples used in this study, consisting of 32 samples from salmeterol-fluticasone group and 32 samples from formoterol-budesonide group. Based on results of the study, the increased effectiveness value between the two therapies was 46,9%. Then, the incremental cost value between the two therapies was obtained at IDR11.561. Meanwhile, based on calculations, the average cost-effectiveness ratio (ACER) for salmeterol-fluticasone therapy was IDR 982.164/effectiveness unit and for formoterol-budesonide therapy was IDR 2.287.610/effectiveness unit. Based on the research, it can be concluded that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective with an incremental cost-effectiveness ratio is Rp247 per unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Anissa
"Latar Belakang: Komorbiditas depresi pada PPOK dapat memengaruhi kepatuhan pengobatan, hospitalisasi dan kualitas hidup. Salah satu target tatalaksana PPOK adalah meningkatkan kualitas hidup penderitanya. Pasien PPOK dengan gangguan depresi memiliki kualitas hidup yang buruk dibandingkan pasien PPOK tanpa gangguan depresi. Untuk itu perlu diketahui perbedaan rerata skor kualitas hidup pasien PPOK dengan gangguan depresi dan pasien PPOK tanpa gangguan depresi.
Metode: Penelitian potong lintang deskriptif-analitik pada 40 pasien PPOK dengan gangguan depresi dan 40 pasien PPOK tanpa gangguan depresi di klinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan menggunakan Mini-International Neuropsychiatric Interview International Classification Of Diseases (MINI ICD 10) dan instrumen World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF.
Hasil: Terdapat perbedaan median skor kualitas hidup pada pasien PPOK dengan gangguan depresi dan pasien PPOK tanpa gangguan depresi berdasarkan domain kesehatan fisik (p = 0,005), domain relasi sosial (p < 0,001) dan domain lingkungan (p = 0,005). Tidak terdapat perbedaan median skor kualitas hidup berdasarkan domain kesehatan psikologis ( p = 0,421) namun rerata skor domain kesehatan psikologis pasien dengan PPOK lebih rendah dibanding pasien tanpa gangguan depresi.
Simpulan: Pasien PPOK dengan gangguan depresi cenderung memiliki rerata skor kualitas hidup yang lebih rendah pada domain kesehatan fisik, kesehatan psikologis, relasi sosial, dan lingkungan dibandingkan pasien PPOK tanpa gangguan depresi.

Background: Comorbid depression in COPD affects patient’s medical adherence, hospitalization and quality of life. One of the COPD management is improving the patient’s quality of life. COPD patients who have depression disorder have lower quality of life scores compared to COPD patients who do not have depression disorder. We investigated the difference quality of life scores in COPD patients who have depression disorder and COPD patients who do not have depression disorder.
Methods: The study was cross-sectional descriptive-analytic in 40 COPD patients who have depression disorder and 40 COPD patients who do not have a depression disorder in the Asthma and COPD Clinic RSUP Persahabatan using the Mini-International Neuropsychiatric Interview International Classification Of Diseases (MINI ICD 10) and World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF.
Results: There is a score difference between COPD patients who have depression disorder and COPD patients who do not have depression disorder based on physical health domain (p = 0.005), social relationship domain (p < 0.001) and environment domain (p = 0.005). There is no score difference between COPD patients who have depression disorder and COPD patients based on psychological domain (p = 0,421). COPD patients who have depression disorder have lower mean score compared to COPD patients who do not have depression based on psychological domain.
Conclusion: COPD patients who have depression disorder tend to score lower quality of life in the domains of physical health, psychological health, social relationships, and environment than COPD patients who do not have depression disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusalena Sophia Indreswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Eksaserbasi pada PPOK mempunyai kontribusi yang besar terhadap derajat keparahan dan progresivitas PPOK. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi PPOK banyak diteliti di luar negeri. Dengan mempertimbangkan terdapatnya perbedaan karakteristik pasien di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pada pasien PPOK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi eksaserbasi pada pasien PPOK di RSCM selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2012 serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pasien-pasien PPOK yang berobat di RSCM baik rawat jalan maupun rawat inap.
Metode: Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang pada pasien PPOK yang berobat di RSCM selama tahun 2010–2012. Data klinis dan penunjang selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, riwayat merokok, komorbiditas, derajat PPOK, riwayat pengobatan dengan kortikosteroid, dan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun sebelumnya.Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 184 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Didapatkan prevalensi eksaserbasi PPOK sebesar 70,7%. Derajat PPOK , riwayat perokok, frekuensi eksaserbasi satu tahun sebelumnya, pengobatan kortikosteroid sistemik, dan komorbid merupakan variabel yang berbeda bermakna pada analisis bivariat. Faktor risiko independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah frekuensi eksaserbasi PPOK dalam satu tahun sebelumnya ≥ 2 kali (OR 27,39; IK 95% 3,30 sampai 227,29; p = 0,002), perokok aktif (OR 5,11; IK 95% 1,07 sampai 24,35; p = 0,041), PPOK derajat III dan IV (OR 4,71; IK 95% 1,59 sampai 13,97; p = 0,005), dan komorbid dengan nilai Charlson Comorbid Index lebih dari dua (OR 4,09; IK 95% 1,37 sampai 12,18; p = 0,011). Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK (OR 0,12; IK 95% 0,03 sampai 0,54; p = 0,006).
Simpulan: Prevalensi eksaserbasi pasien PPOK di RSCM pada tahun 2010 sampai dengan 2012 adalah 70,7%. Faktor risiko eksaserbasi PPOK adalah frekuensi eksaserbasi PPOK pada satu tahun sebelumnya lebih dari sama dengan dua kali, perokok aktif, PPOK derajat III dan IV serta komorbid dengan Charlson Comorbid Index . Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK.

ABSTRACT
Background. Exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease (COPD) contributes greatly to the severity and progression of COPD. Identification of factors associated with exacerbation of COPD has widely studied abroad with varying results. Due to difference in patient characteristic, it is necessary to study on the factors associated with exacerbation of COPD in Indonesia.
Aim.To determine the prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 until 2012. And to identify factors associated with exacerbation of COPD patients who seek treatment at Cipto Mangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient.
Methods. This study was a cross sectional study design in COPD patients who seek treatment at CiptoMangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient, during 2010-2012. Clinical data, supportive data, and outcome (exacerbation or stable) data during treatment were obtained from medical records. Bivariate analyses were performed on age, history of smoking, comorbidity, severity of COPD, history corticosteroids treatment, and frequency of exacerbations in the previous year. Variables that were eligible would be included in the multivariate analysis in the form of logistic regression.
Results. A total of 184 patients enrolled in this study. Prevalence of COPD exacerbation was 70.7%. Severity of COPD, history of smoking, frequency of previous exacerbations, history of systemic corticosteroid treatment, and comorbidity were variables found to be significantly different in bivariate analysis. Independent risk factors that were found to be significant in multivariate analysis were ≥ 2 times of COPD exacerbation in the previous year (OR 27.39; 95% CI 3.30 to 227.29; p = 0.002), current smoker (OR 5.11; 95% CI 1.07 to 24.35; p = 0.041), grade III and IV of COPD (OR 4.71; 95% CI 1.59 to 13.97; p = 0.005), and comorbid with charlson comorbid index value more of two (OR 4.09; 95% CI 1.37 to 12.18; p = 0.011). While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations (OR 0.12; 95% CI 0.03 to 0.54; p = 0.006).
Conclusion. The prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 to 2012 is 70.7%. Risk factors for COPD exacerbation are more than or equal to two times of COPD exacerbation in the previous year, current smokers, grade III and IV of COPD and comorbid with charlson comorbid index value more of two. While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tresnasari Satya Putri
"Pada tahun 2011, 235 juta orang di dunia menderita asma (WHO, 2011). Di Indonesia, prevalensi asma terus mengalami peningkatan yaitu sekitar 4,0% (Kemenkes, 2008). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya perawatan pasien asma di RSUP Persahabatan. Desain penelitian adalah potong lintang (cross sectional). Sumber data primer didapatkan dari catatan rekam medik pasien. Sampel pada penelitian berjumlah 41 orang. Penelitian ini melibatkan 41 pasien terdiri dari 29 orang (70,7%) perempuan dan 12 (29,3%), 58,5% pasien tidak bekerja, 53% pasien menggunakan askes. Sebanyak 31,7% pasien asma menderita penyakit penyerta non TB dimana 36,6% pasien dirawat di kelas 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan total biaya perawatan pasien asma di RSUP Persahabatan adalah cara pembayaran, kelas perawatan, dan lama hari rawat.

In 2011, as many as 235 million people worldwide suffer from asthma (WHO, 2011). In Indonesia, the prevalence of asthma is increasing at about 4.0% (Ministry of Health, 2008).The general objective of this study was to analyze the factors associated with patient care costs of asthma in the department of Friendship.The study design was cross-sectional (cross-sectional). Sources of primary data obtained from the patient medical record. The samples in this study amounted to only 41 people. The study involved 41 patients, including 29 men (70.7%) women and 12 (29.3%) of men who had an average age of 43.60 years. 58.5% of patients did not work, 53% of patients using the health insurance payment. A total of 31.7% of patients with asthma suffer from comorbidities non TB where 36.6% of patients admitted to class 1. Factors associated with the total cost of patient care in the department of Friendship asthma among other means of payment, classroom maintenance, and long day care.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>