Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80137 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanna Djumhana
"ABSTRAK
Penelitian ini bertolak dari suatu fenomena kehidupan yang menimbulkan rasa ingin tahu yaitu adanya pribadi-pribadi dengan pengalaman musibah tertentu yang menimbulkan penderitaan berat berkepanjangan dan penghayatan diri tak bermakna, tetapi ternyata mereka mampu mengatasinya dengan baik dan berhasil pula mengembangkan kehidupan mereka secara normal dan bermakna. Bahkan musibah dan penderitaan itu mereka tanggapi sebagai suatu hikmah yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Ini merupakan keberhasilan memenangkan perjuangan hidup: Mengubah nasib buruk menjadi baik, dan mengubah penghayatan diri tak bermakna menjadi bermakna.
Fenomena ini sangat relevan untuk diteliti guna menemukan prinsip-prinsip yang ada di balik keberhasilan itu. Dan temuan mengenai prinsip-prinsip itu sangat penting tidak saja untuk memperluas wawasan dan teori psikologi, tetapi terutama untuk dapat diamalkan di lingkungan psikologi klinis dalam membantu mereka yang mengalami penderitaan serupa dan belum berhasil mengatasinya.
Pokok-pokok kajian teori:
Untuk menunjang penelitian dilakukan kajian teori mengenai:
Logoterapi dan pandangannya mengenai makna hidup Kualitas-kualitas insani (transendensi, humor dan ketawa, pengenalan dan pengembangan diri) dan pemanfaatannya dalam proses penemuan makna hidup Encounter sebagai ragam kebersamaan yang mengembangkan dan menunjang kehidupan bermakna Fenomenologi dan pendekatannya terhadap penderitaan.
Kajian-kajian teori tersebut menunjukkan adanya suatu proposisi teoretis, -yakni prinsip-prinsip yang secara teoretis mendasari masalah yang diteliti-, yang terdiri dari komponen-komponen dan proses yang menentukan keberhasilan pengubahan diri dari kondisi tak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful).
Komponen-komponen keberhasilan yang dijabarkan dari kajian teori itu adalah:
Pemahaman diri (Self insight)
Makna hidup (The meaning of life)
Pengubahan sikap (Changing attitude)
Keikatan diri (Self commitment)
Kegiatan terarah (Directed activities)
Dukungan sosial (Social support).
Dijabarkan dari kajian teori, proses keberhasilan mengubah hidup tak bermakna menjadi bermakna terdiri dari urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:
Pengalaman tragic
Penghayatan tak bermakna
Pemahaman diri
Penemuan makna dan tujuan hidup
Pengubahan sikap
Keikatan diri
Pemenuhan makna hidup
Hidup yang bermakna kebahagiaan.
Rancangan penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana terdapat kesesuaian, penambahan, pengurangan, atau pertentangan antara proposisi teoretis dengan pengalaman empirik para responden yang telah berhasil mengubah kondisi hidup dari tak bermakna menjadi bermakna.
Untuk itu disusun rancangan suatu penelitian dengan judul "Keberhasilan Pengembangan Hidup Bermakna: Studi kasus atas pada pribadi-pribadi dengan pengalaman tragik dengan menggunakan metode studi kasus tipe " Holistic & Multiple-case Design". Dalam penelitian ini data diperoleh melalui wawancara mendalam non-psikoanalisis terhadap para responden yang benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Hasil penelitian:
Hasil temuan studi kasus menunjukkan kesesuaian dengan proposisi-teoretis mengenai komponen-komponen dan proses keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakna, bahkan ditemukan komponen-komponen baru lainnya yang melengkapi proposisi teori. Ini berarti ada suatu pola tertentu yang mendasari komponen dan proses keberhasilan itu.
Komponen yang ditemukan dalam studi ini adalah unsur-unsur psikososial yang secara potensial dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan kehidupan bermakna sejauh hal itu direalisasikan.
Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi semuanya dapat dikategorikan dalam empat dimensi yaitu: dimensi personal, dimensi sosial, dimensi spiritual, dan dimensi nilai-nilai.
Adapun unsur-unsur yang merupakan komponen dimensi personal adalah: pemahaman diri, dan pengubahan sikap, sedangkan dimensi sosial mencakup: dukungan sosial, faktor pemicu kesadaran diri, dan model ideal pengarahan diri. Adapun dimensi nilai-nilai mencakup: pencarian makna hidup secara aktif-kontemplatif, penemuan makna hidup, keikatan diri terhadap makna hidup, kegiatan terarah pada tujuan, tantangan, dan keberhasilan memenuhi makna hidup. Dan komponen dimensi spiritual adalah keimanan sebagai dasar dari kehidupan beragama.
Unsur-unsur tersebut bila disimak dan direnungkan secara mendalam ternyata semuanya merupakan kehendak, kemampuan, sikap, sifat, dan tindakan khas insani yakni kualitas-kualitas yang dianggap terberi pada eksistensi manusia semata-mata.
Seperti halnya komponen keberhasilan, hasil temuan studi kasus yang menunjang dan meneguhkan proposisi-teoretis ini menunjukkan adanya pola tertentu pada dimensi proses. Ini berarti usaha seseorang yang berhasil mengubah penghayatan hidupnya yang tak bermakna menjadi bermakna ternyata melalui berbagai ragam kegiatan dan pengalaman unik yang secara keseluruhan seakan-akan ada polanya yaitu ada tahaptahap tertentu menuju ke arah penghayatan hidup bermakna.
Temuan studi kasus menunjukkan adanya tiga tahap pengalaman diantara bentangan kutub kondisi hidup tak bermakna (The meaningless life) dengan kutub kondisi hidup bermakna (The meaningful life), yang seakan-aakan menjembatani kedua kutub itu. Ketiga tahap pengalaman itu adalah:
Tahap penerimaan diri (The phase of self acceptance),
Tahap penemuan makna hidup (The phase of discovering meaning)
Tahap pemenuhan makna hidup (The phase of fulfilling meaning).
Selanjutnya penelitian ini menunjukan adanya bermacam-macam peristiwa, pengalaman, dan kegiatan yang dapat dikategorikan pada ketiga tahap pengalaman ini. Tahap penerimaan diri mengandung di dalamnya proses-proses: pemahaman diri, pengubahan sikap, dan faktor pemicu, sedangkan dalam tahap penemuan makna hidup ada pencarian aktif dan penemuan makna hidup. Dan setelah makna hidup ditemukan, kemudian dilanjutkan dengan upaya yang sadar dan terarah untuk memenuhinya berupa: keikatan diri (self commitment) terhadap makna hidup, melakukan kegiatan terarah pada tujuan hidup, dan harus menghadapi berbagai tantangan-tantangan, sebelum mencapai keberhasilan memenuhi makna hidup itu.
Kesimpulan:
Dengan merujuk kepada hasil-hasil temuan studi kasus yang menunjukkan bahwa komponen keberhasilan dan proses keberhasilan sama-sama memiliki pola tertentu dan sama-sama pula meneguhkan proposisi-teoretis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai pola keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakna:
Keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dilakukan dengan jalan menyadari dan mengaktualisasikan potensi- potensi kualitas-kualitas insani yang diarahkan pada pemenuhan makna hidup.
Komponen keberhasilan dalam mengembangkan penghayatan hidup bermakna berupa kualitas-kualitas insani yang bersumber pada dimensi ragawi, dimensi personal, dimensi sosial, dimensi spiritual, dan dimensi nilai-nilai sebagai kesatuan dimensional eksistensi manusia.
Proses keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakna merupakan aktualisasi dari potensi kualitas-kualitas insani melalui berbagai kegiatan yang terarah pada pemenuhan makna hidup.
Komponen keberhasilan dan proses keberhasilan merupakan kesatuan yang saling menunjang satu dengan lainnya dalam pengembangan diri pada umumnya, dan pengembangan penghayatan hidup bermakna pada khususnya.
Proses mengembangkan penghayatan hidup tak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful) menjalani tiga tahap pengalaman, yaitu: tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, dan tahap pemenuhan makna hidup.
Dukungan sosial, -yakni hadirnya pribadi-pribadi lain yang akrab dan dikasihi-, dan rasa keimanan berfungsi hampir pada seluruh tahap proses pengembangan hidup bermakna, terutama pada waktu seseorang ada dalam tahap penderitaan, yaitu saat-saat mengalami peristiwa tragis dan menghayati hidup tak bermakna serta pada waktu menghadapi tantangan-tantangan dalam memenuhi makna hidup.
Pada akhimya intisari dari keenam basil temuan tersebut dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut:
Keberhasilan mengembangkan hidup bermakna dicapai dengan mengaktualisasikan secara sadar potensi-potensi dan kualitas pribadi dengan pengarahan kepada pemenuhan makna hidup. Proses ini akan lebih efektif bila berlangsung dalam relasi sosial yang supportif Lebih-lebih lagi bila dilandasi dengan keimanan mendalam.
Perlu dijelaskan bahwa sekalipun ditemukan adanya semacam pola, komponen, dan tahap-tahap dalam proses keberhasilan mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, tetapi keunikan pribadi dalam memilih komponen dan menjalani proses keberhasilan itu tetap diakui dan diutamakan.
Implikasi
Hasil penelitian mengenai keberhasilan mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna dapat diterapkan sekurang- kurangnya untuk dana kegiatan psikologi klinis, yakni Konseling Individual dan Latihan Pengembangan Pribadi bagi mereka yang menghayati diri tak bermakna setelah mengalami musibah tertentu sebelumnya.
Konseling individual bagi mereka yang menghayati hidup takbermakna tujuannya selain untuk menguasai cara-cara mengatasi sendiri gejala-gejalanya, juga terutama untuk membantu lebih menyadari sumber-sumber makna hidup yang ada di sekitar mereka sendiri, lalu menentukan pilihan secara bebas, kemudian memenuhinya.
Selain itu temuan dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pelatihan pengembangan pribadi dengan jalan lebih menyadari nilai-nilai yang menjadi sumber makna hidup dan menentukan secara bebas hal-hal yang bermakna baginya. Dalam hal ini unsur-unsur dinamika kelompok seperti: dukungan kelompok (group support), ungkapan diri (self disclosure), umpan balik (feedback), dan kesediaan berbagi pengalyman (sharing), serta suasana akrab (encounter) merupakan sarana efektif dalam proses penemuan dan pengembangan makna hidup melalui pelatihan dalam kelompok."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hong, Euny
"Nunchi, indra keenam orang Korea untuk membaca keadaan dan memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, telah dipraktikkan selama lebih dari 5.000 tahun dan diyakini telah melambungkan Korea dari salah satu negara termiskin menjadi salah satu negara paling maju di dunia. Para orangtua di Korea percaya bahwa mengajarkan nunchi pada anak mereka sama pentingnya dengan mengajari anak mereka menyeberang jalan dengan selamat. Nunchi adalah suatu bentuk kecerdasan emosional yang dapat dipelajari siapa pun. Yang kita butuhkan hanyalah mata dan telinga untuk memperhatikan orang lain, bukan menonjolkan diri sendiri. Buku ini akan menunjukkan caranya."
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2022
155.25 HON n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Newmark, Amy
"Apa yang pertama kali muncul di benakmu ketika mendengar sup ayam? Mungkin yang ada di bayanganmu adalah makanan berkuah yang gurih dan lezat. Namun, sup ayam yang dimaksud disini bukan sup pengisi perut, melainkan ‘sup’ pengisi jiwa. Sesuai dengan judul buku yang diulas kali ini, yaitu Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Bersyukur. Berterima kasih atau bersyukur merupakan rahasia hidup yang bahagia dan berhasil. Daftar konsekuensi yang mengikuti rasa syukur begitu panjang dan menakjubkan, seperti usia yang lebih panjang, semangat dan optimisme yang lebih tinggi, sistem imun yang lebih tinggi, dan toleransi yang lebih besar. Itulah ajaibnya rasa syukur. Kisah-kisah dalam buku ini semuanya memperlihatkan saat-saat penuh rasa syukur. Ada yang luar biasa—tetapi sebagian besar merupakan bagian dari hidup sehari-hari. Sesungguhnya hal-hal kecillah yang berperan penting. Kita akan secara alami terbiasa “memandang segala sesuatu dari sisi terangnya.” Mensyukuri berkat yang kita peroleh juga membuat suasana hati semain baik, yang dapat mengurangi dampak dari stres, dan menghadirkan kehidupan yang lebih bahagia dan bermakna. Itulah ajaibnya rasa syukur. Semua kisah yang dimuat di buku terbitan Gramedia tahun 2016 ini akan mengajak kita untuk melihat sisi positif dari semua peristiwa yang dialami. Seperti hikmah yang dipetik dari perjalanan naik bus, tetap merasa bersyukur meski baru dipecat dari pekerjaan, merasa bahagia walau tinggal di lingkungan yang kurang sempurna, dan lain sebagainya."
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2023
155.25 NEW c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Welvina Poulika T.
"Tujuan dari dibuatnya skripsi ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Sistem Perilaku Positif (The Behavioral Activation System) dan Sistem Perilaku Negatif (The Behavioral Inhibition System) Terhadap Hedonic Shopping Value (HSV). Penelitian ini menggunakan studi kasus pada Ace Hardware di Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 234 orang. Data penelitian ini diolah dengan software Lisrel 8.51, menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa The Behavioral Activation System (BAS) terbukti memberikan pengaruh terhadap Hedonic Shopping Motivations (HSM) sedangkan The Behavioral Inhibition System (BIS) tidak terbukti mempengaruhi HSM. Terbukti bahwa HSM berpengaruh terhadap HSV. BAS dan BIS tidak terbukti berpengaruh terhadap HSV. Pengaruh BAS dan BIS terhadap HSM pada wanita tidak terbukti lebih besar daripada pria, sedangkan pengaruh BAS dan BIS terhadap HSV pada wanita terbukti lebih besar daripada pria.

The purpose of this paper is to determine the effect The Behavioral Activation System and The Behavioral Inhibition System towards Hedonic Shopping Value. This study uses a case study on Ace Hardware in Jakarta with the number of respondents is 234 people. The research data was processed with 8:51 Lisrel software, using Structural Equation Modeling (SEM). The results of data processing show that the Behavioral Activation System (BAS) give effect to the Hedonic Shopping Motivations (HSM) but The Behavioral Activation System (BIS) does not affect the HSM. Proved that the HSM effect on HSV. BAS and BIS are not shown to affect the Hedonic Shopping Value (HSV). The influence of BAS and BIS on HSM in women not proved greater than men, while the influence of BAS and BIS towards HSV in women proved greater than men."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S45960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichwan Rizal
"Nilai memegang peranan penting dalam keseharian karena menjadi kriteria bagi individu dalam memilih dan membenarkan tingkah laku serta mengevaluasi tindakan orang lain, termasuk diri sendiri dan peristiwa (Schwartz, 1992). Selain itu, nilai juga sangat berhubungan dengan salah satu komponen resiliensi keluarga, yakni sistem keyakinan keluarga. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Penelitian dilakukan pada 315 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Potrait Values Questionnaire (PVQ) untuk mengukur nilai dan Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ) untuk mengukur resiliensi keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kontribusi nilai tradition dan achievement terhadap resiliensi keluarga. Berdasarkan analisis tambahan ditemukan beberapa hasil, yakni (a) adanya pengaruh jenis kelamin terhadap nilai conformity, benevolence, universalism, dan power, (b) adanya pengaruh pendidikan Ayah terhadap nilai security dan hedonism, (c) adanya pengaruh usia terhadap nilai hedonism, dan (d) adanya pengaruh pendapatan terhadap nilai conformity dan hedonism.

Values are important in people live because values can be criterion for choosing, judging, and evaluating behavior or event (Schwartz, 1992). Moreover, values are also highly correlated with one of family resilience’s component’s that is family belief system. This research aims to know the contribution of values toward family resilience of college students who lives in poverty. Total participant are 315 college students who receive Bidikmisi scholarship. Portrait Values Questionnaire (PVQ) is used to measure values and Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) to measure family resilience.
The results showed that values related to tradition and achievements are contributed to family resilience.Moreover, the additional analysis upon demographic data showed several results: (a) gender has a significantly influence values related to conformity, benevolence,universalism, and power, (b) father’s educational background significantly influence values related to security and hedonism, (c) age significantly influence values related to hedonism, and (d) family income also significantly influence values related to conformity and hedonism.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debi Zahirah Hariwijaya
"Kecurangan pada mahasiswa erat kaitannya dengan konteks kecurangan akademik. Namun, terdapat kecurangan pada konteks lain yang juga bisa terjadi pada mahasiswa. Dengan berbagai peranan yang dimiliki mahasiswa, munculnya kecurangan dapat menimbulkan banyak dampak buruk dalam jangka pendek ataupun di masa yg akan datang. Trait kepribadian menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya kecurangan pada konteks akademik, di mana konteks ini cukup banyak terjadi pada mahasiswa. Identitas moral diduga memoderasi hubungan antara keduanya. Peneliti ingin melihat pengaruh dari trait kepribadian terhadap kecurangan pada lingkup mahasiswa di Universitas Indonesia dengan melibatkan identitas moral sebagai moderator yang dapat memperkuat ataupun memperlemah munculnya kecurangan pada mahasiswa. Penelitian mengambil mahasiswa yang berkuliah di Universitas Indonesia sebagai partisipan dengan jumlah 196 mahasiswa. Penelitian ini menggunakan The Mini-IPIP untuk mengukur trait kepribadian, Moral Identity Questionnare (MIQ) untuk mengukur identitas moral dan Tugas Matriks Angka untuk mengukur kecurangan. Hasil menunjukkan terdapat pengaruh dari trait conscientiousness terhadap kecurangan dengan arah pengaruh yang sejalan dengan munculnya kecurangan (r=0,126 p<0,05) dan identitas moral terbukti secara signifikan memoderasi hubungan antara trait conscientiousness terhadap kecurangan pada mahasiswa, di mana identitas moral melemahkan munculnya kecurangan dengan skor trait conscientiousness yang tinggi pada mahasiswa.

Dishonesty in college student is closely related to academic dishonesty. Personality trait often associated as one of the factors that influence the emergence of academic dishonesty. However, there is another dishonesty contexts that can also occur in students. With the various roles that college student have, the emergence of dishonesty can cause many effects in the short term or in the future. Personality trait is one of the factors that influence the emergence of dishonesty in the academic context, where this context occurs quite a lot in college student. Moral identity is alleged to moderate the relationship between the two variables. The study was conducted to find the effect of personality traits to dishonesty among college student with moral identity as moderator in Universitas Indonesia. The Participant consist of 196 Universitas Indonesia students. This study used The Mini-IPIP to measure personality traits, Moral Identity Questionnare (MIQ) to measure moral identity and Matrix Task to measure dishonesty. The result showed that there was an effect between conscientiousness and dishonesty with positive relationship (r=0,124; p<0,05) and moral identity proved to significantly moderate the relationship between conscientiousness and dishonesty among college student, where moral identity weaken the emergence of dishonesty."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Kusumaatmaja
"ABSTRAK
Dalam kehidupannya, manusia selalu mengejar prestasi berdasarkan
kemampuan dan bidangnya masing-masing. Menurut Robinson (dalam
http://www-mcnair.berkeley.edu/97joumal, 1997) tinggi rendahnya prestasi di
pengaruhi oleh kemandirian seseorang. Menjadi anak bungsu, seringkali
mendapat anggapan sebagai anak yang manja dan tidak mandiri. Gunawan (dalam
Gunarsa & Gunarsa, 2000) mengatakan bahwa posisi anak sebagai anak sulung,
bimgsu, dan tunggal sedikit banyak dapat berdampak pada pembentukan
kepribadiannya. Oleh karena kemandirian juga merupakan salah satu aspek dari
kepribadian, maka posisi anak juga berdampak terhadap kemandiriaimya.
Kemandirian mempakan salah satu aspek kepribadian yang penting (Conger,
1991), terlebih bagi remaja usia 17-19 tahun, pada saat memasidd jenjang
perguruan tinggi, remaja mulai dituntut untuk menjadi sosok yang mandiri
(Ganda, 1992). Sebagai mahasiswa fakultas yang memiliki daya saing yang
cukup ketat dalam penerimaan mahasiswa, mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia (UI) dituntut untuk memiliki prestasi yang baik agar
nantinya tidak dikeluarkan (putus studi). Pada penelitian ini peneliti ingin melihat
bagaimana kemandirian dan prestasi akademik remaja bungsu serta melihat
apakah ada hubungan kemandirian dengan prestasi akademik remaja bungsu di
perguman tinggi?.
Penelitian ini dilakukan pada 75 orang subyek yang terdiri dari 22 subyek
laki-laki dan 53 subyek perempuan, yang bemsia 18-19 tahun dan merupakan
mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Pemilihan subyek dilakukan dengan
menggunakan teknik incidental sampling. Setiap subyek dalam penelitian ini,
mendapatkan kuesioner yang telah disusun oleh peneliti berdasarkan lima aspek
kemandirian. Untuk memperoleh data prestasi akademik, subyek diminta untuk
menuliskan Indeks Prestasi Kumulatif terakhir yang diperolehnya dan peneliti
mencek kembali kepada sub bagian akademik mahasiswa Fakultas Psikologi UI.
Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik koefisien alpha dan
korelasi Pearson product-moment yang ada pada program SPSS for MS Windows
Release 10.0. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Remaja bungsu pada fakultas
psikologi UI yang mendapatkan skor kemandirian rendah, lebih banyak dari pada
yang mendapatkan skor kemandirian tinggi. Walaupim deraikian, perbedaan
jumlah remaja bungsu yang mendapatkan skor kemandirian tinggi -dengan skor
kemandirian rendah, hanya terpaut 1,3 % saja. Jumlah remaja bungsu pada
Fakultas Psikoiogi UI yang memiliki prestasi akademik buruk, lebih banyak dari
pada yang memiliki prestasi akadeniik baik. Namun hal tersebut tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa mahasiswa bungsu Fakultas Psikologi
memiliki prestasi akademik yang buruk, mengingat perbedaan antara responden
yang memiliki prestasi akademik baik dengan responden yang memiliki prestasi
akademik buruk hanya terpaut 9,3 % saja. Selain kedua hal tersebut, juga dapat
diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan
prestasi akademik remaja bungsu di Fakultas Psikologi UI. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh karena masih banyak faktor lain yang turut mempengaruhi
prestasi akademik seseorang yang tidak terukur dalam penelitian ini. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah bakat khusus, motivasi untuk berprestasi, harga diri
akademik, lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan faktor situasional (Syah,
2000).
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lain sehubungan dengan
penelitian ini antara lain adalah untuk menguji validitas internal dan ekstemal dari
instrumen pengukuran, sebaiknya faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi
prestasi akademik dan kemandirian perlu diikutsertakan. Meskipun hasil
penelitian menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kemandirian
dengan prestasi akademik remaja bungsu pada perguruan tinggi, aspek tanggung
jawab terhadap diri sendiri dan orang lain memiliki hubungan yang signifikan
dengan prestasi akademik. Oleh karenanya, disarankan bagi para orang tua untuk
memupuk tanggung jawab pada anak bungsu mereka sejak dmi agar dapat
memaksimalkan prestasi akademik anak bungsunya."
2002
S2865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didy Indriani Haryono
"ABSTRAK
Selama seperempat abad terakhir ini, peranan sumber daya manusia dalam proses pembangunan masyarakat di berbagai negara semakin disadari, sehingga upaya-upaya pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangannyapun terus ditingkatkan.
Sebagai negara berkembang yang memasuki era industrialisasi, pola pembangunan Indonesia juga menekankan pentingnya peranan potensi sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dan aset bagi proses pertumbuhan dan peningkatan taraf hidup masyarakat (Pola umum pelita IV, 1984).
Pengembangannya secara makro dilandasi asumsi bahwa, sumber daya manusia (termasuk angkatan kerja) yang merupakan sumber daya terbanyak dinegara berkembang belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan efektif dan optimal. Juga sebagian besar upaya-upaya pengembangannya masih jauh dibawah potensi dan kualitas yang diharapkan. (Gunawan Wardana, 1980; Knudson, 1967).
Pada tingkat organisasi (mikro), proses pengembangan sumber daya manusia dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan, sedangkan pada tingkat individu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pelaksanaan kerja dan pencapaian kepuasan kerja. Dalam pencapaian tujuan pembangunan dan maksud pengembangan tersebut, maka kontribusi nyata sumber daya manusia sebagai subyek utama penggerak pertumbuhan diberbagai sektor adalah aktivitas kerja, usaha dan karyanya (Departemen Tenaga Kerja RI, 1925).
Adalah suatu kenyataan bahwa bekerja merupakan aktivitas sentral manusia, oleh karenanya "kerja" menjadi titik pusat perhatian dalam pengalaman hidup sehari-hari. (Rambo, 1982; Seeman, 1974; Davies dan Shackleton, 1975; Hackman dan Suttle, 1978; Warr, 1971; Davis, 1965).
Pada hakekatnya makna "kerja" berkaitan erat dengan "aktivitas" dan "ruang". Sebagai "aktivitas", maka "kerja" melibatkan unsur tugas-tugas yang akan mengungkapkan kemampuan dan energi seseorang, serta karakteristik kepribadian dan identitas dirinya. Sebagai "ruang", makna kerja menyangkut lingkungan sosial dan interpersonal serta organisasi tempat aktivita berlangsung. (Rambo, 1982; Super, 1957; Holland, 1966).
Dari kenyataan tersebut, konsekuensi logisnya adalah bahwa terdapat interaksi yaitu saling berhubungan, antara faktor-faktor individu (dengan segala aspek yang melekat padanya), tugas pekerjaan yang dilaksanakannya serta lingkungan kerja/organisasi kerjanya.
Karena itulah seperti dinyatakan oleh Gunawan Wardana, 1982; dan Hidayat, 1979; Sondang Siagian, 1985; Udai Pareek 1984, bahwa berbagai fenomena dan permasalahan yang timbul dalam lingkup individu dan lingkungan/organisasi kerja, mendukung berkembangnya pemikiran dan penelitian-penelitian sumber daya manusia, khususnya perilaku individu dalam organisasi.
Lagi pula aspek individu dalam organisasi merupakan unsur terpenting sehingga pendekatan-pendekatan perilaku perlu di lakukan, sebab perilaku individu dalam organisasi itulah yang akan menentukan berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuan. Pembentukan sikap dan perilaku dalam organisasi, menurut Duncan (1981) merupakan perpaduan antara pengalaman masa lampau, dan pengaruh lingkungan masa kini, yang meliputi: lingkungan kelompok kerjanya, nilai-nilai kerja serta aspirasi individu terhadap pekerjaan.
Para ahli dibidang organisasi dan perilaku, juga berpendapat senada tentang adanya kaitan erat antara sikap perilaku individu dengan lingkungan organisasi, bahkan keduanya saling mempengaruhi. (Howell, 1976; Shackleton, 1975; Wexley dan Yuki, 1977; Davies, 1985; Hackman, 1978). Aktivitas kerja dan peranan kerja bagi individu-individu anggota masyarakat tidak hanya berlaku dalam arti ekonomis, tapi justru yang lebih mendasar adalah peranannya sebagai sarana sekaligus wahana pemenuhan kebutuhan psikologis. Dan hal ini nampak tercermin dalam sikap, dan persepsi individu terhadap pekerjaannya. Secara spesifik, sikap dan persepsi tersebut dinyatakan dalam berbagai bentuk reaksi/respons. (Roe, 1978; Kendall dan Hulin, 1969; Gibson dan Klein, 1971; Rambo, 1982).
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arga Rizkiyatsa
"Isu sosial seperti ekstrimisme, radikalisme, atau terorisme menjadi isu yang cukup besar di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Namun penelitian terkait isu ini masih terbilang jarang dilakukan, terkhusus di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih jauh hubungan antara kepribadian (DT), motif, dan pola pikir ekstrimis militan (MEM), serta peranan motif sebagai mediator antara hubungan kepribadian gelap (DT) dengan pola pikir ekstrimis militan (MEM). Partisipan penelitian berjumlah 304 orang, terdiri dari 121 laki-laki (39.8%) dan 183 perempuan (60.2%) dengan rentang umur berkisar dari (18-40 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian gelap berkorelasi positif dengan pola pikir ekstrimis militan (r = .230, p < .01). Lebih lanjut, ditemukan motif thrill (β = .063, SE = .028, CL[.014, .124]) dan revenge (β = .088, SE = .030, CL[.034, .152]) memiliki efek mediasi (secara penuh) yang signifikan. Dapat dikatakan, penelitian ini mengindikasikan bahwa ciri kepribadian gelap dapat memprediksi kerentanan individu untuk mengadopsi pola pikir ekstrimis. Kemudian, hubungan tersebut juga dimediasi oleh motif seseorang untuk balas dendam dan mencari excitement. Penelitian ini melengkapi hasil penelitian terkait hubungan antara kepribadian gelap terhadap pola pikir ekstrimis militan dengan motif sebagai mediator. Temuan ini memberikan implikasi berupa petunjuk lebih lanjut mengenai bagaimana seseorang dapat/rentan mengadopsi pola pikir ekstrimis dari lajur kepribadian.

Social issues such as extremism, radicalism or terrorism are quite big issues in various countries, including Indonesia. However, research related to this issue is still relatively rare, especially in Indonesia. This research aims to look further at the relationship between dark personality (DT), motives, and militant extremist mindset (MEM), as well as the role of motives as a mediator between the relationship between dark personality (DT) and militant extremist mindset (MEM). There were 304 research participants, consisting of 121 men (39.8%) and 183 women (60.2%) with an age range of (18-40 years). The results showed that dark personality was positively correlated with militant extremist mindset (r = .230, p < .01). Furthermore, it was found that the motives of thrill (β = .063, SE = .028, CL[.014, .124]) and revenge (β = .088, SE = .030, CL[.034, .152]) have a significant mediating effect on the relationship between DT and MEM. That said, this research indicates that dark personality traits can predict an individual's susceptibility to adopting extremist mindset. Furthermore, this relationship is also mediated by a person's motive for revenge and seeking excitement. This research complements research results regarding the relationship between dark personality and militant extremist mindset with motives as mediators. These findings provide implications in the form of further clues regarding how someone can/is susceptible to adopting extremist mindset from the personality path."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Bennedict Austin Timothy
"Penelitian ini menguji interaksi antara traits kepribadian gelap (machiavellianisme, narsisisme, psikopati, dan sadisme) dan kehilangan signifikansi dalam memprediksi agresi. Riset meta-analisis menunjukkan bahwa kepribadian gelap merupakan faktor signifikan yang penting terkait dengan agresi. Penelitian eksperimental ini dilaksanakan menggunakan video game Mobile Legends: Bang Bang. Studi dilakukan kepada 30 partisipan pemain game Mobile Legends: Bang Bang. Partisipan dialokasikan secara acak ke dalam kelompok manipulasi (15 partisipan) atau kelompok control (15 partisipan) untuk bermain game sebanyak 2 match. Manipulasi dilakukan dengan menciptakan kondisi kehilangan signifikansi, pada match pertama kelompok manipulasi, yang diakibatkan oleh kegagalan, penghinaan, dan penolakan. Hasil analisis One-Way ANOVA menunjukkan bahwa kehilangan signifikansi signifikan memprediksi agresi terhadap out-group F(1,28) = 8.028, p < 0,01. Data statistik post-match juga menunjukkan bahwa kehilangan signifikansi memprediksi agresi, dilihat dari peningkatan GPM (Gold per Minute) dan DPM (Damage per Minute), serta penurunan DTPM (Damage Taken per Minute) dari match pertama ke match kedua kelompok manipulasi. Sementara itu, hasil analisis regresi PROCESS Model 1 Hayes menunjukkan bahwa orang yang narsisistik cenderung untuk tidak melakukan agresi terhadap in-group sebagai bentuk pencarian signifikansi mereka Penelitian ini melengkapi hasil penelitian terkait teori pencarian signifikansi dan pengaruhnya terhadap agresi. Hasil dari penelitian ini menambahkan wawasan bahwa pencarian signifikansi dapat divisualisasikan menggunakan video game. Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian bidang psikologi sosial selanjutnya yang juga menggunakan video game sebagai media penelitian.

This study examined the interaction between dark tetrad personality traits (Machiavellianism, narcissism, psychopathy, and sadism) and loss of significance in predicting aggression. Meta-analysis research showed that dark personality is an important significant factor related to aggression. This experimental research was carried out using the video game Mobile Legends: Bang Bang. The study was conducted on 30 participants who played the game Mobile Legends: Bang Bang. Participants were randomly assigned into manipulation group (15 participants) or control group (15 participants) to play the game for 2 matches. Manipulation is carried out by creating conditions of loss of significance, in the first match of the manipulation group, caused by failure, humiliation, and rejection. The results of the One-Way ANOVA analysis showed that loss of significance significantly predicted aggression towards out-group F(1,28) = 8.028, p < 0.01. Post-match statistical data also showed that loss of significance predicts aggression, seen through the increase in GPM (Gold per Minute) and DPM (Damage per Minute), as well as the decrease in DTPM (Damage Taken per Minute) from the first match to the second match of the manipulation group. Meanwhile, analysis of the results of Hayes' PROCESS Model 1 regression showed that narcissistic people tend to not to carry out aggression against the in-group as a form of their quest for significance. This research complements the results of research related to the quest for significance theory and its effect on aggression. The results of this research added insight that the quest for significance can be visualized using video games. This research can be used as a reference for further research in the field of social psychology which will also use video games as its media."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>