Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28911 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Tirto Nugroho
"Berkernbangnya dunia usaha jasa penyiaran stasiun televisi swasta yang dapat memberikan penghasilan kepada pengelola stasiun swasta, industri rumah industri, artis juga bermanfaat bagi masyarakat luas dalam memberikan pengetahuan, hiburan, informasi, dll. Sedangkan bagi pemerintah, siaran televisi stasiun swasta berdampak besar terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini seiring dengan tuntutan kemandirian pembiayaan pembangunan nasional, maka sektor pajak sebagai ujung tombak sumber penerimaan APBN memerlukan langkah-langkah pengamanan. Salah satu langkah pengamanan penerimaan dengan intensifikasi adalah melakukan pengawasan pembayaran pajak terhadap transaksi pengadaan acara/film asing yang dilakukan stasiun televisi swasta. Pengadaan acara/film merupakan unsur biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk kelangsungan jalannya operasi televisi. Atas penayangan acara/film asing didalamnya terutang :
· Hak tayang/siar film yang merupakan obyek royalti PPh Pasal 26 sebesar 20% (tarif sesuai Tax Treaty)
· Pemanfaatan/konsumsi hak tayang oleh stasiun televisi swasta di Indonesia yang merupakan obyek PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri sebesar 10%.
Untuk mengetahui pengawasan pembayaran pajak terhadap transaksi pengadaan acara/film asing, maka dirumuskan pokok permasalahan penelitian, yang terdiri dari :
1. Apakah pengawasan atas transaksi pengadaan acara/film asing yang didalamnya menyangkut obyek PPh Pasal 26 dan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sudah dilakukan secara maksimal dalam rangka pengamanan penerimaan negara
2. Adakah faktor yang mendukung atau menghambat pelaksanaannya
3. Apakah efektifitas dari pelaksanaan peraturan yang ada dapat secara optimal menunjang penerimaan negara
Untuk menjawab permasalahan optimalisasi pengawasan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak digunakan teknik Korelasi Product Moment dari data hasil jawaban kuesioner yang disebarkan kepada Pegawai bagian pajaklakuntansi di 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta dan Pegawai di lingkungan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Kuesioner bagi Pegawai bagian pajak/akuntansi stasiun televisi swasta ditujukan untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran dan pelaporan pajak, sedangkan kuesioner bagi Pegawai di lingkungan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar digunakan untuk mengetahui tingkat pengawasan yang dilakukan aparat pajak.
Dari hasil perhitungan, terdapat hubungan positif sebesar 0,825 antara kepatuhan dan pengawasan. Berdasarkan pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi 0,825 masuk kategori sangat kuat. Hasil uji signifikansi korelasi product moment terhadap hipotesa menghasilkan terdapat hubungan antara optimalisasi pengawasan dengan penerimaan negara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan atas transaksi acara/film asing meliputi :
· transaksi yang terjadi adalah baranglharta tidak berwujud yang dalam hal ini hak siar 1 tayang;
· sulitnya melakukan equalisasi antara antara pelaporan PPN (SSP BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean) dengan PPh Pasal 26 (bukti pemotongan);
· perlunya dukungan sistem administrasi perpajakan yang memadai untuk melakukan pengawasan secara optimal.
Peraturan perpajakan yang ada saat ini, seperti KMK Nomor 568/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995, KMK Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 bisa mengakibatkan perbedaan Masa Pajak untuk pelaporan bukti potong PPh Pasal 26 dan SSP PPN BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean atas sebuah transaksi pengadaan acara/film asing. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi efektifitas pengawasan terhadap Wajib Pajak yang dapat berdampak terhadap kepatuhan untuk pengamanan penerimaan negara. Sebenarnya, peraturan perpajakan yang ada sudah cukup baik untuk menjaring penerimaan negara, sedangkan langkah-langkah yang diperlukan adalah mengoptimalkan pengawasan terhadap stasiun televisi yang dilakukan aparat pajak yang ada di Kantor Pelayanan Pajak.
Hal-hal yang diperlukan untuk mengoptimalkan pengawasan diantaranya :
· Diperlukan dukungan sistem perpajakan yang memadai.
· Menggalakkan himbauan kepada KPP untuk melakukan equalisasi atas kewajiban obyek PPh Pasal 26 dengan kewajiban PPN.
· Diperlukan penyempurnaan aturan untuk memudahkan pengawasan bagi aparat pajak serta kemudahan penyetoran dan pelaporan bagi Wajib Pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Nurina Ayuningtyas
"Media Industry in Indonesia nowadays has grown so fast, one of these Industries is TV Station. TV Station usually does not make its own program, that's why they need production house to make the program. The program that was made by the production house was sold to the TV station to get broadcasted. On it's principle, the object of this transaction is same product, the TV program. But to decided whether the program is an object of VAT and when the VAT owed depends on the contract that was made by the production house and the TV Station.
The method of the research is qualitative approach with descriptive method. The purpose of the research is to find a detailed comprehension about the determination of the obligation of the VAT from the deliverance of the program, especially about the object classification and when the VAT owed. Information was collected using library, field research, and interview with General Tax Directory (DJP), PPFI, 'XX Creative' Production House and 'QQ Cinema' Production House.
From the research on the production house, the deliverance mechanism that has been done by the production house and TV Station can be divided into 5 (five); they are fixed purchase system-object of this transaction is the taxable goods; an owed order of service system-object of this transaction is the taxable services; profit sharing system-object of this transaction on tangible and intangible object; rent system-object of this transaction is intangible object; and blocking time-object of this transaction on tangible and intangible object. The selling transaction of this TV program can be defined as VAT owed.
To determined the VAT object of the program, can be done by reviewing the article on the contract that regulate the right to have the copyright of the program and when the program was made. If the copyright of the program belong to TV Station, the VAT owed for the tangible object, but if the copyright belong to the production house, the VAT owed for the intangible object. If the program was made by an order from the TV station, the VAT owed for services object. Next, to determine when the program was VAT owed is adjusted with the article on the contract that regulate the deliverance and the payment mechanism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Herawati
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1982
S16740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiasmo
Yogyakarta: Andi, 2011
336.2 MAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Risna Nadia Mellysa
"Skripsi ini membahas tentang pemenuhan kriteria asas-asas perpajakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui asas-asas perpajakan apa saja yang terpenuhi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan design deskriptif. Pemberlakuan surut Peraturan Pemerintah Nomo 51 Tahun 2008 menimbulkan banyak kerugian bagi Wajib Pajak. Mereka diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang bukan pada waktu memperoleh penghasilan (prinsip ability to pay tidak terpenuhi). Perubahan-perubahan peraturan perpajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi merepotkan Wajib Pajak karena membuat mereka harus berulang kali mengajukan permohonan pemindahbukuan pajak yang telah dibayar. Pengenaan PPh final bagi seluruh Wajib Pajak usaha konstruksi juga sangat tidak adil karena pengenaan pajak tidak lagi memperhatikan keadaan Wajib Pajak sedang untung atau rugi. Revenue adequacy principle terpenuhi dalam peraturan ini. Equity principle tidak terpenuhi. Certainty principle terpenuhi karena dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 pengenaan PPh final atas usaha jasa konstruksi menjadi pasti, tapi convinience sebagai salah satu unsur dari certainty tidak terpenuhi.

This thesis discusses about the fulfillment of the criteria of the principles of taxation in Government Regulation No. 51 of 2008. The purpose of this study is to determine the principles of taxation what is fulfilled in Government Regulation No. 51 of 2008. The method used is descriptive qualitative research design. Enabling ebb Government Regulation No. 51 Year 2008 caused much loss to taxpayers. They are required to pay the tax due is not earning at the time (the principle of ability to pay is not met). Changes in tax regulations on business income taxpayers inconvenient construction because they must repeatedly make the transfer request is filed taxes already paid. Imposition of the final income tax for the entire construction business taxpayers also very unfair because the taxation is no longer concern the taxpayer is lucky or loss. Revenue-adequacy principle is fulfilled in this rule. Equity principle is not fulfilled. Certainty principle is fulfilled because the Government Regulation Number 51 Year 2008 final imposition of income tax on construction services business to be sure, but convenience as one element of certainty is not met."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Bagiono
"ABSTRAK
Salah satu masalah yang timbul dari aktivitas komersial antar anggota grup suatu perusahaan multinasional adalah penentuan harga tranfer atau imbalan yang tidak wajar (non arm's length price) yang dikenal sebagai transfer pricing . Transfer pricing atas transaksi antar anggota grup suatu perusahaan multinasional merupakan topik dalam penulisan tesis ini dengan studi kasus yang berjudul "Aspek Hukum Perpajakan atas Transfer Pricing Perusahaan Multinasional di Indonesia (Studi Kasus: Direktur Jenderal Pajak vs. PT. Tyrolit Vincent). Sengketa pajak antara Direktur Jenderal Pajak vs. PT. Tyrolit Vincent, merupakan kasus sengketa atas koreksi peredaran usaha PT. Tyrolit Vincent Tahun Pajak 2000 oleh otoritas pajak Indonesia terhadap transaksi yang dilakukannya dengan induk perusahannya di Italia (Tyrolit Vincent Italy). Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan penghitungan kembali kewajaran harga jual (arm's length price) atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (related parties). Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam putusannya nomor Put-018671PPIM.1111512003 tanggal 14 November 2003, mengabulkan upaya hukum banding PT. Tyrolit Vincent, dengan pertimbangan bahwa harga jual atas produk yang sama kepada induk perusahaan di Italia (related parties) dengan harga yang berbeda Iebih murah dibandingkan dengan harga jual kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa (third parties), memutuskan tidak terbukti sebagai transfer pricing yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menghindar dari pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas putusan tersebut adalah: (1) Tarif tertinggi pajak penghasilan di Italia adalah 37%, lebih tinggi dari tarif tertinggi pajak penghasilan di Indonesia yaitu 30%; (2) PT. Tyrolit Vincent masih mendapat margin keuntungan, demikian pula Tyrolit Vincent Italy masih mendapat labs, sehingga kedua perusahaan tersebut harus membayar pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan tarif yang berlaku di negara masingmasing; (3) Motivasi non arm's length price oleh PT. Tyrolit Vincent kepada Tyrolit Vincent Italy dilatarbelakangi untuk menjaga kelangsungan jalannya perusahaan karena kondisi pasar di Indonesia tidak dapat menyerap produknya untuk menutup biaya operasional perusahaan. Dengan demikian, pola transaksi dengan adanya kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement, APA) merupakan mekanisme yang dapat digunakan di mass mendatang untuk meminimalisasikan sengketa pajak terkait dengan transfer pacing, yang sampai saat ini belum dilaksanakan karena peraturan pelaksanaannya belum ada."
2007
T19912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kukuh Yogieiswantoro
"The currency or foreign exchange (FX) market is the largest financial market in the world, with trading volumes surpassing $1,9 trillion a day. Although primarily dominated by a worldwide network of interbank traders, a new era of internet-base communication technologies has recently allowed individual investors to gain direct access to this popular and profitable market. Trading in the foreign exchange market is an alternative tool for investment other than investing in stock market.
The tax issues on gain from foreign exchange trading tend to be disorienting since there are no tax circular that regulates the implementation of foreign exchange trading in Indonesia. Since the absence of specific income tax law on gain from forex trading, this research attempts to explain the nature of foreign exchange trading itself, then it will describe the difference between the US Income tax treatment and the Indonesian income tax treatment on gain on forex trading followed by the conclusion to propose the right alternative tax treatment to be implemented in Indonesia. This research uses qualitative approach with descriptive technique. Library study, field study and benchmarking are chosen to gather the information. The field study is executed by interviewing tax officers, brokers, and academic scholar. While as the benchmarking is being executed by comparing with tax rule in the United State of America to propose the right tax treatment to be implemented in Indonesia.
Forex trading is traded in the Over the Counter Market where there are no centralized exchanges. The nature of forex trading is to speculate in buying or selling foreign currency contract in the spot market. According to the Indonesian income tax regulation article 4(1) leter l stated that gain on foreign exchange are treated as an taxable object whilst loss on foreign exchange principally could be recognized as deductible expense. Since the absence of specific regulation relating to the tax treatment on forex trading therefore the general rule may apply, the general rule stated forex trading falls under business income category and that all increase in economic capability originating from Indonesia as well as from offshore shall be accumulated and taxed according to article 17 tax rate.
Differ from the Indonesia tax law, the US tax law on profit from the fluctuation in foreign exchange rates are treated differently from foreign exchange trading. The fluctuation in foreign exchange rate as as part of their normal course of business fall under IRC Section 988. Gains and losses from foreign exchange (such as buying and selling of foreign goods) are treated as interest income or expense and get taxed accordingly. Since forex traders are also exposed to daily exchange rate fluctuations, their trading activity falls under the provisions of Section 988. These daily fluctuations can be considered part of a currency trader's assets in the normal course of his business; the IRS gives the trader the option of rejecting (opting out) of Section 988 and electing that the gains be taxed under the favorable 60/40 split of IRC Section 1256. Under IRC Section 1256, forex traders can have a significant advantage over stock traders. Forex traders are allowed to split their capital gains using a 60% / 40% split. This means that 60% of the capital gains are taxed at the lower, long-term capital gains rate (currently 15%) and the remaining 40% at the ordinary or short-term capital gains rate, which depends on the tax bracket the trader falls under (as high as 35%). This results in an average rate of 23%, which is 12% less than the regular (short-term) rate.
From the comparative study between the US tax laws on foreign exchange trading, this research propose an alternative tax policy on forex trading in Indonesia. One of the alternative is only net gain are calculated and tax. The second alternative to be implemented in the form of withholding final tax payment from every realize transaction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyudi
"Periode 1997-1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang hebat akibat turunnya nitai tukar mata uang rupiah secara drastis. Anjloknya rupiah menyebabkan pasar uang dan pasar modal rontok serta bank-bank nasional dalam kesulitan besar. Pemerintah terpaksa melakukan tindakan likuidasi beberapa bank tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, walaupun ada jaminan simpanan nasabah. Kepanikan nasabah menyebabkan rush, sumber cash bank menjadi kosong. BI menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Namun suku bunga BLBI yang tinggi menciptakan beban tambahan karena bank juga dalam keadaan negative spread. Pemilik bank juga tak berdaya, bangkrut karena telah menyalurkan kredit dalam jumlah besar yang disalurkan ke kelompok sendiri, sehingga terjerat kredit macet.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet, tanpa melakukan pre-audit. Akibatnya banyak bank tidak mampu mengembalikan BLBI, diambil alih oteh pemerintah dan dimasukkan dalam program rekapitalisasi penyehatan perbankan (rescue program). Pemerintah terpaksa mengeluarkan ratusan triliun rupiah metatui suntikan dana BLBI, penerbitan obligasi Negara, SUN dan program penjaminan perbankan. Menurut data Pusat Manajemen Obligasi Negara Depkeu RI, selama periode 1998-2002 hutang DN Indonesia naik Rp 551,767 triliun akibat program ini. Tahun 2002 Pemerintah membayar bunga obligasi rekap Rp 59,5 triliun, atau setara dengan 17.3% pengetuaran APBN. Periode 2003-2006 pemerintah mengeluarkan rata-rata Rp 53 triliun/tahun. Kewajiban pelunasan pokok obligasi rekapitalisasi dan SUN tak kalah memusingkan. Periode 2004-2006 pemerintah rata-rata mengetuarkan Rp 34 triliun/tahun. Kemampuan pemerintah membayar obligasi jatuh tempo ini diragukan karena kondisi keuangan negara sendiri sangat terjepit. Sekedar ilustrasi, BPPN memperkirakan beban pembayaran obligasi rekap bisa membengkak hingga Rp 7.000 trityun, bahkan Rp 14.000 trilyun, jika pemerintah melakukan roll-over pembayaran satu termin saja. Karenanya APBN mungkin dapat menjadi unsustainable dalam satu atau dua dekade ke depan karena jebakan hutang ini.
Pendanaan pembayaran bunga dan pelunasan obligasi negara dapat diatasi antara lain melalui privatisasi dan penerimaan pajak. Namun kontribusi privatisasi tidak tertalu besar dalam APBN, dan tidak bersifat recurring. Sedangkan pajak adalah iuran dari warga negara untuk membiayai pengeluaran negara. Kontribusinya dalam APBN 2004 mencapai 78%. Namun hal ini berarti perilaku fraud segelintir pengusaha atau konglomerat dalam kasus BLBI menjadi tanggungan dan beban bersama jutaan warga negara pembayar pajak.
PT Bank Tbk, bank swasta terbesar di Indonesia, merupakan salah satu penerima BLBI sehingga bisa survive hingga kini. Bantuan yang diterima berupa pinjaman BLBI sebesar Rp 29,9 triliun yang kemudian dikonversi menjadi penyertaan modal pemerintah sebesar nominal Rp 1,365 triliun (dan laku dijual sekitar Rp 7,053 triliun). PT Bank Tbk juga menerima bantuan berupa obligasi negara Rp 52 trilyun yang cukup ditukar dengan asset bernilai pasar Rp 20 triliun saja (sesuai due diligence PT Hakim). Dalam perhitungan kasar, loss pemerintah pada kasus PT Bank Tbk mencapai lebih dari Rp 62 triliun belum termasuk kewajiban pembayaran bunga sedikitnya Rp 5 triliun per tahun. Jika penerimaan perpajakan nasional tahun 2004 berjumlah Rp 278 triliun, berarti loss pemerintah pada kasus PT Bank Tbk mencapai 25% dari total penerimaan pajak nasional tahun 2004.
Secara garis besar terdapat 4 transaksi besar dalam kasus PT Bank Tbk :
a. Pengucuran BLBI, kuasi reorganisasi sampai dengan divestasi saham.
b. Pembagian dividen setelah divestasi.
c. Penerbitan obligasi pemerintah, MSAA, recovery rate, dan bunga obligasi.
d. Pengambilalihan hak tagih non performing loan dengan nilai nihil oleh pemerintah.
Tujuan penulisan ini adalah membahas perbandingan antara loss pemerintah dalam kasus ini dengan jumlah PPh yang seharusnya terhutang oleh pihak-pihak yang menerima keuntungan terkait dengan penerimaan BLBI sesuai Pasal 4 UU Nomor 17 Tahun 2000, dan kontribusi pembayaran pajak para pihak tersebut. Kesimpulan tulisan dapat merupakan masukan bagi pemerintah untuk tidak membiarkan potensi pajak tersebut terabaikan, dan untuk membangun kesadaran masyarakat membayar pajak dan law enforcement. Ke depan nanti diharapkan tulisan ini memberikan sumbangan pemikiran dan secara tidak langsung membantu upaya pemerintah mewujukan masyarakat sadar dan peduli pajak."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Adi Syani
"Kepatuhan Bendaharawan Pemerintah sebagai pemungut/pemotong pajak sangat penting artinya dalam rangka mengamankan penerimaan negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dan memberikan rekomendasi dalam meningkatkan kepatuhan bendahara pemerintah pada aspek perpajakan.
Penelitian ini dilakukan pada Bendahara UIN Jakarta. Metode yang digunakan adalah studi kasus. Melalui pengolahan data, diperoleh tingkat kepatuhan pajak hanya sebesar 65%. Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kapatuhan pajak bendahara UIN Jakarta masih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pemahaman bendahara, belum adanya sistem pengelolaan pajak yang baik, dan tidak diterapkannya sanksi perpajakan.
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan kepatuhan antara lain memperbaiki sistem pengelolaan perpajakan, meningkatkan fungsi pengawasan, dan meningkatkan pemahaman bendahara pada aspek perpajakan.

Tax compliance of state treasurers as tax collector/holder is very important in order to secure the state revenues. This study aims to determine the level of tax compliance of state treasurers and to provide recommendations for improving the tax compliance of state treasurers.
This research was conducted on the treasurers of State Islamic University of Jakarta. The methods used are case study analysis. Through data processing was obtained the tax compliance rate is only 65%. It can be concluded that the tax compliance level of the treasurers of UIN Jakarta is still low. It can be caused by the low level of understanding of the treasurers, the lack of a good tax management system, and the denial of tax penalties.
Recommendations that can be given to improve tax compliance are, among others, by improving the tax management system, improving the monitoring system, and increasing the understanding of the treasurers on tax laws.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waluyo
Jakarta: Salemba Empat, 2002
336WALP001
Multimedia  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>