Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11499 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Marida Gahara
"Di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa yang berbeda-beda ini diistilahkan oleh para ahli bahasa dengan variasi bahasa. Variasi bahasa adalah perbedaan ucapan, tata bahasa, atau pemilihan kata dalam satu bahasa. Variasi bahasa dapat berkaitan dengan daerah (dialek), dengan latar belakang kelompok sosial atau pendidikan (sosiolek), atau dengan resmi tidaknya situasi penggunaan bahasa itu (register atau ragam bahasa), seperti yang dikemukakan oleh Ferguson (1971:110-111). Perbedaan itu terwujud, antara lain dalam bidang sosial budaya atau dalam sistem komunikasinya. Jadi, hubungan antara pemakai bahasa dan pemakaian bahasa dapat menimbulkan ragam bahasa.
Sementara itu, situasi kebahasaan berbeda satu sama lain. Secara garis besarnya dapat dikemukan bahwa situasi itu ditentukan oleh tiga unsur, peristiwa atau situasi, siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan. Ketiga unsur ini bersama-sama menentukan ragam yang menyebabkan kata tertentu dipilih untuk mengungkapannya. Dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari variasi itu, dapat dipahami faktor-faktor situasi apa yang menentukan wujud kebahasaan mana yang digunakan oleh pelibat dalam peristiwa bahasa. Jadi, dalam berkomunikasi penutur perlu memilih dan memilah bahasa berdasarkan keperluan apa isi berbicara pada saat itu dengan cara memperhatikan bidang, pelibat, dan sarana (Halliday, 1979:30-31). Moeliono (1989:67) menyebut konsep ini laras bahasa. Selanjutnya, dijelaskan bahwa laras bahasa terutama berbeda dalam segi bentuknya, yaitu di dalam ciri-ciri tata bahasanya dan lebih-lebih lagi di dalam leksisnya. Penggolongan laras menggambarkan tipe situasi yang menjadi ajang peranan bahasa itu sebagai berikut: laras bahasa dari sudut pandangan bidang, laras bahasa menurut sarana pengungkapannya, dan laras bahasa berdasarkan tata hubungan di antara penyerta peristiwa bahasa (Moeliono:166-167).
Demikian pula halnya dengan bahasa upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Batak Angkola yang disebut marsitogol perkawinan. Kiranya akan menarik sekali apabila dilakukan penelitian tentang bentuk bahasa marsi togol perkawinan yang menampilkan sejumlah bentuk kosakata yang diucapkan oleh sejumlah orang dalam upacara perkawinan.
Dalam kepustakaan tentang bahasa Batak Angkola yang pernah saya periksa, belum pernah diadakan penelitian tentang ragam marsitogol ini. Itulah sebabnya, saya tertarik untuk menelitinya. Bahasa Batak Angkola (selanjutnya disingkat dengan BSA) adalah salah satu (ragam) bahasa yang ada di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari dan upacara adat. Bahasa Batak Angkola mempunyal beberapa ragam dan salah satu dari ragam itu disebut Marsitogol.
Marsitogol mempunyai tujuan yang bermacam-macam, sangat bergantung kepada tujuan upacara adat itu: ada marsitogol untuk upacara perkawinan dan upacara menyambut kelahiran bayi (mencukur rambut bayi); dan ada pula marsitogol untuk kematian. Dengan kata lain, marsitogol dapat disampaikan pada upacara gembira yang dalam SBA disebut siriaon dan upacara adat yang sedih disebut silutluton."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leli Nurohmah
"Penelitian ini mengungkapkan pengalaman perempuan dalam menjalani perkawinan poligami. Hal ini digali melalui pemaknaan mereka pada perkawinan poligami dan strategi bertahan dalam perkawinan poligami. Untuk mengetahui makna perkawinan dalam persepsi perempuan dan strategi yang mereka terapkan, penelitian ini menggunakan konsep perkawinan, perkawinan poligami, dan perkawinan menurut perspektif feminis. Selain itu, digunakan teori kuasa Foucault dan teori strategi bertahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berperspektif perempuan dan mengumpulkan data melalui wawancara mendalam. Subjek penelitian berjumlah sepuluh orang perempuan Betawi Cinere yang menjalani perkawinan poligami.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan memberi makna yang beragam pada perkawinan mereka, di antaranya perkawinan sebagai wadah untuk menyatukan rasa cinta, Fase hidup yang harus dilalui sebagai perempuan, pengabdian pada orang tua dengan menerima perjodohan, dan melepaskan status janda. Perkawinan poligami sebagian besar dimaknai sebagai taqdir yang harus mereka lalui. Dalam perjalanannya, perkawinan poligami lebih banyak menimbulkan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, karena perlakuan tidak adil dari suami. Bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak terjadi karena tidak dipenuhinya hak dasar manusia meliputi pemenuhan sandang, pangan, papan dan kasih sayang. Selain itu menimbulkan kekerasan baik kekerasan fisik, ekonomi, psikis, dan seksual. lni menunjukkan bahwa pencapaian keluarga sakinah mawaddah dan rahmah dalam keluarga sangat mungkin tidak tercapai dalam perkawinan poligami.
Dalam menjalani kehidupan tersebut ada strategi yang dilakukan oleh para subjek : pertama, strategi resistensi berupa "perlawanan sehari-hari" walaupun tidak bertahan lama karena sering menjadi stimulus tindak kekerasan suami. Kedua, strategi adaptasi melalui kepasrahan perempuan pada kondisi yang mereka hadapi, sikap menerima, dan mengabdikan diri sepenuhnya pada tugasnya sebagai perempuan ; serta berbaik hati dengan keadaan menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh para subjek agar mereka tetap bertahan dalam menjalani perkawinan poligami.

This research exposes women experience in passing through and living on polygamy marriage. It is explored through their understanding on polygamy marriage and endurance strategies in polygamy marriage. To find out the meaning of marriage in women's understanding and their survival strategies, this research uses the concept of wedding, polygamy marriage, and marriage as indicated by feminist perspective. The authority theory of Foucault and theory of endurance strategy are used, too. This research applies a qualitative approach of women perspective and compiles data through in-depth interview. The research subject is the ten Betawi women in Cinere, which live in polygamy marriage.
The research result said that women have various understanding on marriage, e.g. marriage is such space to share love and affection with her spouse, marriage is part of the living stage that must be passed through as women, and dedication for the parents by accepting the future husband from their parents, or just releasing a widowhood status. Most of women interpret polygamy marriage as destiny that should be passed through. In its implementation, polygamy marriages develop more violence against women and children because they receive injustice treatment from their husband: Violence against women and children is occurred since there is no fulfillment for basic human rights such as clothes, food, home and affection.
It also extends in any physical, economical, psychological and sexual violence. This could be said that to establish a "sakinah mawaddah and rahmah" (peaceful and blessing) family in such polygamy marriage.
In passing through such life, the subjects conduct strategies i.e.: first, strategy of everyday form of resistance. However, it sometimes does not work since this become stimulus for any violence of their husbands. Second, adaptation strategies such as surrender and accept with those conditions, and dedicate totally their nature as women; and be warm-hearted and have forgiving heart with the condition become an effort of the subject to live on polygamy marriage.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun, Tridah
Jakarta: Kesaint Blanc, 1986
306 TRI a (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993
306 ADA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1994
390 IND m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini hendak menunjukkan perjumpaan dua tradisi dan budaya perkawinan yang saling menyuburkan internalisasi status perempuan. Keduanya ialah tradisi liturgi perkawinan dalam gereja dan tradisi perkawinan adat Batak Toba. Tradisi gereja dan tradisi adat datang dari dua dunia yang berbeda. Mereka mempunyai perbedaan latar belakang konteks, tetapi sama-sama menstereotipe dan mensubordinasi perempuan. Teks yang sering dipergunakan dalam tradisi liturgi perkawinan menggambarkan perempuan distereotipe dalam ketundukan kepada suami sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan. Teks tradisi liturgi perkawinan yang patriarki itu hadir di tengah-tengah masyarakat Batak yang juga patriarki. Masyarakat ini sangat kental dengan adat. Salah satunya ialah perkawinan adat Batak Toba dengan sinamot yang diartikan sebagai pembayaran perkawinan. Banyak yang menyebut sinamot sebagai tuhor ni boru, arti harafiah ?uang beli perempuan.?"
305 JP 20:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daulae, H. Porkas
Jakarta: Lembaga Kebudayaan Rakjat, [Date of publication not identified]
305.8 DAU s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Nurseli Debora V.
"Sinamot yang dimaknai oleh orang Batak Toba selama ini sebagai tuhor ni boru membawa ketidakadilan bagi perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan distereotipe sebagai "yang dibeli" menimbulkan posisi subordinat terhadap perempuan. Tesis ini membahas realitas praktik sinamor dan pemaknaan perempuan atas sinamot dan tuhor ni boru dalam perkawinan adat Batak Toba di Jakarta untuk memperlihatkan apakah sinamot yang arti harfiahnya harta sama dengan tuhor ni boru yang arti harfiahnya uang pembeli perempuan. Sinamot dibagikan kepada keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Dengan menggunakan penelitian kualitatif dan perspektif feminis, realitasnya di Jakarta sinamot menjadi sumbangan wajib orang tua mempelai lelaki ketika orang tua mempelai perempuan sebagai penyelenggara pesta perkawinan adat Batak Toba.
Kecenderungan di Jakarta orang tua mempelai perempuan sebagai penyelenggara pesta perkawinan adat, berbeda dengan di Toba. Akibatnya, orang tua mempelai perempuan dan mempelai perempuan "rela berkorban" mengeluarkan dana yang belipat ganda dari jumlah sinamot yang diserahkan orang tua mempelai lelaki.
Peran produksi, reproduksi, dan komunitas perempuan menjadi alasan bahwa perempuan "tidak dibeli". Hasil penelitian ini menyarankan supaya perundingan sinamot membicarakan berapa seluruh biaya pesta, lalu biaya dibagi dua oleh kedua belah pihak sebagai pola dasar pembagian tanggung jawab biaya yang lebih adil bagi pihak perempuan, dan perlu dilakukan sosialisasi kepada berbagai komponen dalam masyarakat, lembaga agama, dan lembaga pendidikan.

Sinamot as purported by the Toba Bataks all this time to mean tuhor ni boru does not bring justice to women. In everyday life women are stereotyped as "bought" and thus is created their position as the subordinate one. This thesis examines the reality of the sinamot practice and women?s purport of sinamot and tuhor ni boru in Toba Batak traditional marriages in Jakarta to reveal whether sinamot which literally means "riches" is synonymous with tuhor ni born which literally means "woman-buying money". Sinamot is shared between the head of family and relatives of both parties. Researched with qualitative methods and feminist perspectives, in reality, in Jakarta sinamot is a compulsory donation made by the groom's parents while the bride?s parents host the traditional Batak wedding.
The tendency in Jakarta is for the bride?s parents to host the traditional wedding ceremony, different to the custom in Toba. Consequently, the bride's parents and the bride are willing to make a ?sacrifice? and spend an amount of money many time over the amount of the sinamot given by the groom?s parents. The productive, reproductive, and community role of women be reasons that women are not "bought".
The results of this research suggests that the sinamot's deliberation should discuss the points of the wedding ceremony?s total cost, and those costs should be divided in two between both parties as a pattern for the allotment of cost responsibilities that is more just towards women. Various components within the people, religious and educational institutions should also be illuminated."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33355
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pelawi, Kencana S.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S7383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>