Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153484 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Yoesoef
"Latar Belakang
Membaca lakon-lakon Rendra baik asli, saduran maupun terjemahan dan menyaksikan pementasan teaternya merupakan "pertemuan" dengan sejumlah kegelisahan, kekerasan, kelicikan, dan muslihat. Di samping itu juga perjumpaan dengan kepasrahan, kesetiaan, ketabahan, keindahan hubungan manusia. Di sisi lain, dengan membaca lakon dan menonton pertunjukan teatemya kita bertemu pula dengan sejumlah pemikiran Rendra tentang berbagai hal, seperti pemikirannya teatang kebudayaan, tradisi dan inovasi, dan sejumlah masalah kemasyarakatan yang menyangkut persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang ada di sekelilingnya. Dari pertemuan itu lahirlah sebuah dialog yang mengarah pada usaha pemahaman dan upaya menghadapi kemauan serta perkembangan zaman.
Sebagai seorang seniman Rendra adalah seorang saksi. Ia menjadi saksi zaman atas segala persoalan, perkembangan, dan perubahan yang muncul dalam masyarakat. Kesaksiannya itu, lebih tepat jika disebut sebagai sebuah reaksi, ia tuliskan dalam bentuk puisi dan lakon. Selain itu ia wujudkan pula melalui pementasan lakon-lakon karya pengarang asing yang diadaptasinya atau diterjemahkannya.
Persoalan lain yang muncul apabila kita membicarakan Rendra, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teater modern di Indonesia, adalah bahwa kita akan membicarakan seorang pembaharu. Dalam hal ini, ia telah menumbuhkan tradisi pertunjukan teater yang baru di Indonesia. Tradisi baru itu adalah tumbuhnya kesadaran akan perlunya sebuah bentuk teater yang mampu menyampaikan persoalan-persoalan masyarakat modern. Teater tradisional menurut Rendra tidak lagi mampu menjadi media yang efektif untuk menyampaikan dinamika masyarakat modern. Pemikiran ini kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan di pentas teatemya. Dalam mewujudkan pembaharuannya ia juga memanfaatkan unsur-unsur pertunjukan tradisional dalam pertunjukannya, antara lain dalam pementasan Oidipus Sang Raja dan Hamlet yang bergaya kesenian ketoprak pada awal tahun 1970-an. Pemanfaatan unsur tradisi seperti itu barangkali telah disadari dan diinginkan pula oleh dramawan-dramawan lainnya, seperti Suyatna Anirum di Bandung. Akan tetapi, kecenderungan itu belum menggejala dan tidak dipandang sebagai suatu hal yang mengejutkan dalam kehidupan teater modern di Indonesia. Namun, ketika Rendra menggunakan perangkat tradisional dalam teatemya, orang mulai melihat sebuah usaha memodernkan pertunjukan teater dengan tidak meninggalkan unsur tradisi.
Di samping Rendra upaya memodernkan teater Indonesia telah banyak dilakukan orang, antara lain oleh Jim Adilimas di Bandung dan Asul Sani dengan ATNI-nya di Jakarta pada awal tahun 1960-an. Kedua tokoh ini tidak mengambil jalur tradisi dalam memodernkan teater, mereka justru banyak mengambil lakon-lakon dari Eropa dan Amerika sesuai dengan karakter lakon yang dimainkannya. Jim Adilimas, misalnya, banyak mementaskan dan menerjemahkan lakon-lakon karya Iouesca serta memperkenalkan bentuk konsep teater realis yang dikembangkan oleh Stanislavsky. Dari kalangan ATNI antara lain muncul pertunjukan "Monsserrat" dan "Bebek Liar"."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007
899.22 YOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Wahyudi
"Pernyaian Adalah suatu praktek hidup bersama antara wanita pribumi di Indonesia di masa kolonial dengan laki-laki asing-biasanya orang Eropa atau Cina tanpa suatu ikatan perkawinan yang sah. Kehidupan pernyaian di Indonesia, lazimnya selalu dikaitkan dengan masa penjajahan, yaitu suatu masa ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan penjajah Belanda, dan oleh karena itu orang Indonesia umumnya berada dalam posisi inferior dalam segala sektor kehidupan. Akan tetapi, pola hidup bersama tanpa suatu legalitas perkawinan sesungguhnya bukan hanya terjadi pada mas a kolonial saja; di masa kini pun dengan mudah dapat dijumpai adanya praktek hidup bersama semacam ini. Yang kemudian membedakannya adalah pada segi peristilahan saja; sekarang bukan lagi disebut sebagai nyai-untuk pihak wanitanya-melainkan misalnya disebut sebagai "wanita simpanan", "wanita peliharaan", atau "wanita idaman lain"alias "wi I". Dengan adanya kenyataan sosiologis seperti itu, tidaklah mengherankan jika pernyaian pun hanya dapat dijumpai pada karya-karya sastra yang terbit pada masa awal perkembangan Sastra Indonesia, yaitu antara tahun 1890-an sampai dengan tahun 1930- an. Dengan pengertian lain, karya-karya sastra bertemakan pernyaian yang hampir semuanya terbit pada masa-masa ini telah secara tidak langsung merefleksikan suatu kehidupan yang memang marak pada masa-masa kolonial itu. Dengan pengertian lain, karya-karya sastra ini secara diam-diam dan barangkali juga tidak disengaja, telah bertindak sebagai semacam dokumen sosial dari suatu fenomena sosial yang biasa terjadi pada masa itu atau pada masa-masa sebelum karya-karya itu ditulis. Berdasarkan kecenderungan yang unik ini maka kemudian dicoba mengkaitkan an tara kehidupan pernyaian yang terungkap dalam karya-karya sastra tersebut dengan data-data atau catatan-catatan sosiologis at au kesejarahan yang ada. Dari pelacakan dan pembandingan yang dilakukan, pada akhirnya terungkap adanya suatu korelasi antara apa yang tercermin dalam fiksi dengan apa yang terdapat dalam terbitan-terbitan nonfiksi itu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Haryono
Yogyakarta: Kepel Press, 2005
792 EDI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Haryono
Yogyakarta: Kapel Press, 2005
R 792.095 98 EDI m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Herny Mulyani
"Teater merupakan baqian kehidupan manusia yang selalu terkait dan terlibat dalam segala aspek kehidupan. Disadari atau tidak, disengaja ataupun tidak, dari sejarah ketika kehidupan dimulai dan peradaban menyentuh kehidupan manusia, maka terjadilah teater. Bahkan menurut para ahli, teater pada zaman nenek moyang, teater berupa upacara-upacara persembahan, kurban, kelahiran dan kematian. Dalam perkembangannya teater sebagai seni dimulai pada tiga babak, teater tradisional, teater modern dan teater kontemporer. Walaupun sekarang tidak jelas lagi batasan nyata antara ketiganya, Bengkel Teater Rendra dianggap mewakili sebagai bentuk teater modern dan juga kontemporer yang tidak meninggalkan kaidah-kaidah tradisi. Melihat pertunjukkan-pertunjukkan dari Bengkel teater Rendra, dapat dilihat bahwa Rendra dengan kelompok yang diusungnya herusaha untuk menipiskan batas-batas tersebut. Melalui interpretasi subjektif yang' ditangkapnya Rendra berusaha merepresentasikan realitas simbolik yang dianggap mewakili realitas objektif. Salah satu pementasan yang spektakuler adalah "Kereta. Kencana?, sebuah pementasan yang' mengandalkan kepiawaian dua aktor saja dengan setting yang sangat sederhana. Dalam pementasan yang naskah aslinya berbahasa Perancis (les Chaises) dan. ditulis oleh 'seorang' hiran Rumania, terdapat representasi simbolik yang diajukan oleh Bengkel Teater Rendra. Seperti layaknya orang yang bercinta -meminjam istilah rendra- pementasan ini hanyalah Sebuah penawaran, suatu proposal yang diajukan kepada khalayak, sebuah proses kreativitas, dengan pengamatan dan perenungan yang panjang. Apakah khalayak -dalam hal ini penonton akan menerimanya sebagai suatu ajuan, kritik ataupun hihuran, terlepas dari kemampuan interpretasi, pengalaman dan imajinasi penonton sendiri. Seperti sebuah pepatah umum dalam teater, suatu pementasan teater adalah sebuah rumah berpintu banyak, semua tamu dipersilahkan masuk lewat pintu mana saja."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boen Sri Oemarjati, 1940-
Djakarta : Gunung Agung, 1971
899.221 BOE b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Boen Sri Oemarjati, 1940-
Djakarta : Gunung Agung, 1971
899.221 BOE b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Niknik Mediyawati
"Serial Lupus karya Hilman Hariwijaya sebagai hasil karya sastra popular dipilih untuk diteliti dengan tujuan menganalisis:
1) karakter tokoh remaja dalam serial Lupus,
2) cara Hilman Hariwijaya menyajikan serial Lupus sehingga secara tidak langsung dapat menjadi dokumen sosial remaja perkotaan, dan
3) fungsi sosial serial Lupus bagi pembacanya, khususnya remaja perkotaan.
Objek penelitian ini yaitu tiga serial Lupus yang tergabung dalam Trilogi Lupus, yaitu Boys Don't Cry, Bunga Untuk Poppi, dan Candle Light Dinner. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi pustaka, dan dokumentasi. Serial Lupus dianalisis dengan pendekatan Sosiologi Sastra, sebuah pendekatan yang memusatkan hubungan antara karya, pengarang, dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa karakter tokoh remaja dalam serial Lupus mempunyai kemiripan dengan tokoh remaja perkotaan hasil survei Surindo, di antaranya terdapat tipe remaja "funky", "cool", "asal", dan "plin plan'. Tipe "funky" dan "cool" yang diwakili oleh tokoh Lupus dan Poppi adalah remaja yang selalu menghindari hal-hal negatif. Mereka sadar akan kelemahan dirinya, suka bergaul, dan memiliki kepedulian tinggi pada kondisi lingkungan sosial di sekitarnya. Kelompok ini memiliki rencana masa depan yang jelas dan realistis dalam menghadapi persoalan. Menurut penulis penggambaran kedua tokoh tersebut terlalu dibuat-buat sehingga terkesan kurang wajar, tidak sepeti karakter remaja pada umumnya. Lain halnya dengan tokoh seperti Rainbow, Fifi Alone, Adi Darwis, Boim, dan Gusur, mereka justru lebih digambarkan seperti karakter sebagian remaja perkotaan. Mereka mewakili segmentasi remaja "asal", yaitu remaja yang jauh dari orang tua, suka merokok, meminum minuman beralkohol, cenderung memilih sesuatu yang asing, dan kurang peduli terhadap lingkungan. Tokoh Boim dan Gusur juga mewakili segmentasi remaja "plin plan" yaitu remaja yang jauh dari bimbingan orang tua sehingga memiliki kebebasan, tetapi mereka mengandalkan segala sesuatunya dari orang tua. Mereka cenderung kurang peduli terhadap lingkungan sosial, dan mementingkan proses daripada hasil.
Selain mencerminkan karakter remaja di perkotaan, serial Lupus juga mencenninkan gaya hidup remaja perkotaan. Pengarang dengan jeli mengangkat trend yang sedang digemari remaja, khususnya tahun 1999 dan 2000, seperti trend remaja funky, trend waning tenda sebagai tempat bergaul remaja, trend musik mancanegara, trend internet, dan trend bacaan komik Jepang dan Eropa. Jika dihubungkan dengan hasil survei Surindo gaya hidup remaja dalam serial Lupus juga memiliki kemiripan yang membuktikan bahwa remaja di kota besar sangat peduli terhadap penampilan dan cenderung mengikuti trend. Selain itu ditemukan juga bahwa tentang penggunaan uang saku remaja yang banyak dipakai untuk bermain dan belanja di pusat perbelanjaan sekaligus memanfaatkan waktu luang mereka. Melalui gambaran tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa remaja tahun 1999 dan 2000 dapat diidentikkan dengan conspicuous consumption atau remaja yang konsumtif. Melalui penggambaran karakter remaja dan gaya hidupnya serial Lupus diharapkan dapat memiliki fungsi sosial sastra sebagai alat penghibur dan pendidik pembacanya, terutama remaja. Dengan humor dan parodi yang segar, serial Lupus mampu menghibur dan setidaknya bisa menyisakan memori di hati pembaca. Dengan pesan-pesan moral yang komunikatif dan dengan adanya penggambaran tokoh hitam dan putih, serial Lupus dapat juga mendidik pembacanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>