Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122715 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Dharma Setiawan
"Tesis ini menggunakan perspektif realis untuk mengkaji fenomena kebijakan Amerika Serikat dalam Konflik Israel-Palestina di masa Pemerintahan Clinton II (periode 1996-2000). AS menyadari bahwa dunia semakin multipolar dan interdependen, tak ada satu negara mana pun yang mampu sendirian menentukan segala sesuatunya. Mengingat AS selama ini aktif dalam perumusan terms of peace di Timur Tengah sampai pada tingkat tertentu yang dapat diterima oleh negara-negara Arab, dukungan yang aktif terhadap Israel dan disisi lain AS juga menginginkan dukungan dan kerjasama negara-negara sekutu terhadap kepentingan strategis akan kebutuhan minyak di Timur Tengah.
AS mencoba menerapkan empat skenario strategi untuk mengamankan "kepentingan politis" tersebut, yaitu: Pertama, membangun pengaturan bersama di kawasan Teluk. Kedua, memperkuat usaha-usaha untuk mengendalikan proliferasi berbagai senjata pemusnah massal (weapon mass-destruction). Ketiga, meningkatkan pembangunan ekonomi. Keempat, memanfaatkan berbagai kesempatan baru dalam usahanya mencapai situasi damai dan aman dalam proses perdamaian dan keamanan Arab-Israel.
Sebagai negara dengan kekuatan terbesar di dunia dan pemimpin di dalam masyarakat internasional, maka Clinton ingin menciptakan, mendukung dan memimpin persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga yang memajukan kepentingan nasional AS dan kepentingan bersama para mitra internasional AS.
Akhir dari Perang Dingin menampilkan Clinton kepada adanya suatu peluang bersejarah untuk memperbarui dan meluaskan persekutuan AS dengan membangun Eropa yang damai, tak terpecah-belah, dan demokratis. Yakni, dengan membentuk suatu masyarakat bangsa-bangsa Asia dan Timur Tengah yang lebih stabil, lebih terbuka dan demokratis, seperti yang dilakukan di Eropa. Ditegaskan pula oleh Clinton, bahwa dalam mewujudkan tujuannya lebih di tekankan kepada demokrasi daripada penggunaan kekuatan militer, namun, selalu siap menggunakan kekuatan militer jika diperlukan untuk mempertahankan kepentingan nasional AS.
Namun, sesuatu hal yang tak akan pernah berubah, AS akan terus mempertahankan, bahkan dengan segala cara, hegemoninya di berbagai kawasan, khususnya di kawasan Timur Tengah. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor; Pertama, minyak, seperti diketahui 25% suplai minyak dunia berasal dari Timur Tengah dan kawasan ini menyimpan 2/3 cadangan minyak dunia. Jika suplai minyak Timur Tengah berhenti, maka tidak hanya memperburuk ekonomi AS sendiri, melainkan dapat mengulang resesi ekonomi dunia di tahun 1930-an. Kedua, faktor geostrategis kawasan Teluk antara Asia Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan Dimana AS memandang kepentingannya di wilayah ini sudah cukup dalam dan lama, sehingga AS tidak akan dengan mudah mundur dan menyerahkan begitu saja kepada negara lain yang ikut berkepentingan di wilayah tersebut.
Dalam tujuan nasionalnya, AS mempunyai minat serius dalam menyelesaikan perdamaian yang adil, menyeluruh dan kekal dalam konflik Timur Tengah, dalam hal ini memastikan kesejahteraan/kesehatan dan keamanan Israel, membantu negara-negara Arab yang menjadi sekutu AS, dan menjaga kestabilan harga minyak pada harga yang pantas. Strategi AS mencerminkan tujuan yang akan dicapai dan mengadaptasi karakteristik wilayah di Timur Tengah dalam pencapaian tujuan perdamaian dan stabilitas kawasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dionnisius Elvan Swasono
"Israel pada masa pemerintahan Yitzhak Rabin yang kedua (1992-1995) cukup menarik untuk diamati karena selama tiga tahun masa pemerintahan tersebut Israel banyak mengeluarkan kebijakan yang cukup kondusif bagi perdamaian di Timur Tengah. Salah satu kebijakan Israel tersebut adalah kesediaannya mengadakan perundingan damai secara Iangsung dengan PLO, organisasi yang selama ini dipandangnya sebagai organisasi teroris. Perundingan ini menghasilkan Declaration of Principles (DoP) yang ditandatangani di Washington DC, AS pada ianggal 13 September 1993, Masyarakat dunia berharap DoP dapat menjadi latigkah awal bagi peayelesatan konflik Israel-Palestina secara menyeluruh. Poin penting dari DoP adalah kesediaan Israel memberi otonomi kepada Otoritas Palestina di Jalur Gaza dan kota Jericho. Otonomi ini juga akan diberlakukan di wilayah-wilayah Tepi Barat lainnya. Berdasarkan pada teori kebijakan luar negeri yang mengatakan bahwa faktor pemimpin sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri (foreign policy decision making), maka permasalahan utama yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor infernal dan ekstemal apa saja yang telah mendorong Yitzhak Rabin sehingga pada masa pemerintahannya yang kedua dia banyak mengeluarkan kebijakan yang cukup kondusif bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya dalam konteks penyelesaian konflik Israel-Palestina. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis case studies. Paradigma penelitian ini adalah konstruktivisme. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi. Data-data tersebut kemudian dianalisa dengan metode hermeneutic interpretative. Dalam penelitian studi hubungan intemasional dikenal tiga tingkatan analisa yaitu reduksionis, korelasionis, dan induksionis. Dalam penelitian ini, tingkat analisa yang dipakai adalah tingkat analisa reduksionis. Dan data-data yang ada, dapat diketahui bahwa terdapat empat faktor penting yang mendorong Yitzhak Rabin memberikan konsesi otonomi kepada pihak Palestina yang merupakan bagian dari kebijakan pro perdamaiannya, yaitu: faktor prinsip tanah untuk perdamaian (land for peace); faktor adanya keiiiginan untuk menjaga kernumian Israel sebagai negara Yahudi yang demokratis; faktor keamanan; dan dukungan publik Israel."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Endiyani
"Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang sarat akan konflik dan salah satunya adalah konflik Israel-Palestina. Konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut kemndian meneniukan titik terang. Pihak Israel dan Palestina bersedia berunding untuk pertama kalinya dan melahirkan Kesepakatan Oslo pada September 1993. Dalam proses perandingan tersebut, Amerika Serikat berperan sebagai fasilitator sebagai upaya menjaga perdamaian dunia. Sayangnya pelaksanaan kesepakatan tersebut tidak berjalan mulus sehingga mengalami stagnansi di awal tahun 1997.
Melihat fakta ini, Amerika Serikat pada masa pemerintahan Clinton berinisiatif menghidupkan kembali proses perandingan dengan mengupayakan suatu proposal perdamaian bagi kedua belah pihak. Pada perundingan damai kali ini, Amerika Serikat tidak hanya sebagai fasilitator namun berperan lebih aktif sebagai mediator yang berusaha mencari suatu kesepakatan bersama. Amerika Serikat sebagai pihak penengah melainkan. proses negosiasi yang kemudian menghasilkan Wye River Agreement Kaput-man AS untuk terlibat dalam proses perundingan dipengarahi oleh faktor-faktor tertentn yang berasal dari lingkungan eksternal dan internal Amerika Serikat. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengajukan pertanyaan riset, yaitn: Mengapa Amerika Serikat memainkan peran sebagai mediator dalam proses perundingan damai Israel Palestina di Wye River?
Dalam penelitian ini, penulis menetapkan batasan-batasan waktu dari awal 1997, berkaitan dengan masa administrasi kedua Clinton dan dimulainya kembali proses perundingan damai hingga dihasilkannya Wye River Agreement pada Oktober 1998.
Untuk menjawab pertanyaan riset di atas, penulis menggunakan beberapa tahapan untuk menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan Amerika Serikat dalam perundingan damai Israel-Palestina di Wye River. Yaitu dengan menganalisa luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Clinton dengan melihat penerapan prinsip-prinsip politik luar negeri AS serta pelaksanaan kepentingan nasional AS di kawasan Timur Tengah. Pada penyelesaian konflik Israel-Palestina ini, Amerika menggunakan instrumen politik luar negeri berapa diplomasi publik dan bantuan luar negeri. Kemudian penulis menjabarkan proses negosiasi yang dilaksanakan para pejabat pemerintah AS hingga menghasilkan Wye River Agreement. Terakhir, penulis menggambarkan peran aktif AS sebagai mediator dalam perundingan Wye River.
Berdasarkan sistematika penelitian yang telah diuraikan secara singkat di atas, penulis menyimpulkan bahwa: peran mediasi Amerika Serikat dilandaskan pada strategi global AS dan sebagai penerapan prinsip-prinsip politik luar negeri yang telah ditetapkan oleh administrasi Clinton. Kemudian sistem internasional yang berciri multipolar dan kondisi regional Timur Tengah dimana terjadi konflik Israel-Palestina menjadi faktor.
The Mediation Role of the United States of America in the Israeli-Palestine Peace Process in Wye River (1998) Middle East is described as the region full of conflicts and one of them is the Israeli-Palestine conflict. The conflict that has been going on for years finally comes to a solution. The Israeli and the Palestine have both agreed to meet and settle the conflict by signing the Oslo Declaration of Principles in September 1993. In the peace process, the United States acted as a facilitator in a way to keep the world peace. However, the implementation of the Oslo Treaty did net succeed well and came to a dead end in early 1997.
Seeing the fact, the United States during the Clinton administration had initiated to bring back the peace process on the right track by endorsing a peace proposal. In the recent peace process, the United States has actively participated as a mediator in making the final peace talk resolution. The United States has conveyed a negotiation process to both parties which resulted in the Wye River Agreement The U.S government decision to be involved in the peace process is influenced by several factors drawn from its external and internal environment Due to this point of view, the writer raises a research question: Why the United States of America participates as a mediator in the Israeli-Palestine peace process in Wye River peace talk?
The writer has determined the research range from early 1997, related to the second Clinton administration and the beginning of the reactivation of the peace process to the result ofthe Wye River Agreement in October 1998.
In order to answer the research question raised above, the writer will explain the answer in a few steps. That is to analyze the United States foreign policy during Clinton administration by examining the implementation of the foreign policy principles and the United States national interest in the Middle East. In order to reach the snccess of the peace talk, the U.S. government utilizes the instrument of public diplomacy and foreign aid. Next, the writer will elaborate the negotiation process conducted by the U.S_ government officials to result in the Wye River Agreement. Last, is to describe the active role of the United States as the mediator in the Wye River peace talk
Based on the systematically explanation above, the writer has come to conclusion that the mediation role of The United States is based on-the U.S. global strategy and the foreign policy principles set by the Clinton administration. Then the international system of multipolarity and the regional condition in the Middle East where the conflict occurs are considered as the dominant external factors. While keeping the U.S. national interest in the Middle East, especially the oil asset and the intensive Jewish lobby within the body of the U.S. government are the dominant internal factors. Those factors are above have influenced the mediation role of the United States of America in the Israeli-Palestine peace process in Wye River (1998).
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11954
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Sukaniasih
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
S8023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu Suryade
"Kunjungan Ariel Sharon ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem pada 28 September 2000 menimbulkan gelombang kekerasan Israel-Palestina. Peristiwa tersebut mendorong munculnya gerakan perlawanan Intifadah II yang lebih dikenal dengan sebutan "Intifadah Al-Aqsa". Meskipun terjadi gelombang kekerasan dan memunculkan gerakan Intifadah Al Aqsa, Sharon justru mencapai puncak karirnya dengan menjadi perdana menteri setelah memenangkan pemilu 6 Pebruari 2001.
Selama masa pemerintahannya, Sharon tidak melanjutkan proses perundingan damai dengan Palestina, sebagaimana yang pernah diupayakan perdana menteri sebelumnya, sejak Yitzhak Rabin hingga Ehud Barak. Kebijakan politik luar negerinya dalam menghadapi Palestina bersifat unilateral dan menggunakan kekerasan militer (use of force). Tetapi, dalam pemilu yang dipercepat pada 28 Januari 2003, Sharon kembali mengalahkan kandidat Partai Buruh dalam perebutan jabatan perdana menteri.
Kebijakan unilateral dan penggunaan kekerasan militer yang dilakukan PM Ariel Sharon didukung setidaknya oleh lima faktor, yaitu: pertama, ideologi Zionisme yang mematok target mendapatkan "Eretz Yisrael" dengan Yerusalem sebagai ibukota abadi dan tak terbagi. Kedua, adanya tekanan politik domestik dengan kecendrungan menguatnya kelompok kanan dan bangkitnya fundamentalisme Zionis Yahudi yang tidak menghendaki pemberian konsesi apapun bagi Palestina, termasuk tanah yang diduduki pada perang 1967. Ketiga, adalah efek kampanye "Global War against Terrorism". Kampanye yang dikumandangkan oleh Presiden AS, George W. Bush menjadi legitimasi dan pembenaran yang lebih kuat bagi Israel untuk melakukan tindakan unilateral dan "use of force". Keempat, merupakan faktor politik strategis Israel untuk meningkatkan bargaining politik, dan melemahkan posisi politik Palestina. Dan, faktor kelima adalah adanya hambatan psikologis antara Ariel Sharon dengan Yasser Arafat yang sejak lama terlibat dalam permusuhan politik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mantri Karno Diharjo
"Pada masa pemerintahan Bill Clinton II, AS melakukan dua kebijakan yaitu kebijakan politik yang di rebut dengan kebijakan strategic ambiguity dan kebijakan militer yang disebut dengan kebijakan dual deuerence. Kebijakan dual detterence itu terdiri dari tiga aspek yaitu kernitrnen AS terhadap pertahanan Taiwan. penjualan persenjataan AS ke Taiwan dan transfer teknologi militer AS ke RRC.
Setelah krisis 1995-1996 kebijakan dual detterence telah membuat instabilitas di kawasan Selat Taiwan yaitu dengan kebijakan AS mengirimkan dua kapal induk untuk merespon ujicoba peluru kendali yang dilakukan oleh RRC di daerah dekat pantai Taiwan. Dalam tesis ini penulis ingin membahas alasan Clinton melakukan kebijakan dual detterence dan implikasi kebijakan dual deterrence terhadap konflik RRC-Taiwan.
Konsep yang digunakan untuk menelaah masalah adalah konsep security dilemma.Dunia internasional yang anarki dan saling ketidak percayaan, membuat negara-negara berada dalam security dilemma. Merasa terkepung oleh musuh dari berbagai penjuru. suatu negara berusaha meningkatkan kekuatan militernya. Tujuan utamanya adalah untuk bertahan. Namun oleh negara-negara lain mungkin saja upaya seperti itu justru di anggap sebagai persiapan perang, sekurang-¬kurangnya sebagai ancaman. Negara-negara itu juga meningkatkan kekuatan militernya. yang terjadi kemudian adalah meningkatkan kekuatan militer antara pihak yang saling tidak percaya satu dengan lain. Upaya yang pada mulanya di maksud untuk memperkuat diri ternyata justru menjadikan suasana lebih genting.
AS masih mempertahankan kebijakan dual detterence, karena AS melihat bahwa militer RRC lebih superioritas di banding Taiwan akan memudahkan RRC memaksa Taiwan untuk melakukan negosiasi unifikasi. AS melakukan kebijakan ini juga supaya isu Taiwan dapat diselesaikan dengan jalan damai. Dengan melakukan kebijakan dual detterence AS mengharapkan terjadinya military balance antara RRC dan Taiwan.
Implikasi kebijakan dual detterence AS pada masa pemerintahan Bill Clinton lI (1996-2000) terhadap konflik RRC-Taiwan adalah memperkuat security dilemma dan perlombaan senjata antara RRC dan Taiwan. RRC dan Taiwan melanjutkan modernisasi strategi dan sistem utama persenjataan konvensional, tetapi semua kapabilitas sedikit berubah sejak krisis 1996. Sejak krisis 1996 baik RRC maupun Taiwan memodernisasi persenjataan bukan lagi berdasarkan kuantitas tetapi pada level kualitas, yang mana angkatan bersenjata yang kecil akan tetapi efektif dan berteknologi canggih. RRC tahu bahwa secara kualitas tertinggal dari Taiwan, oleh sebab itu RRC terus melakukan perubahan secara signifikan terhadap kekuatan angkatan darat, laut dan udara. Taiwan juga merespon hal yang sama dengan memodernisasi kekuatan angkatan darat, laut dan udaranya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Maria Renata
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap masalah nuklir Korea Utara, khususnya pada masa pemerintahan Clinton kedua dengan implementasi Kerangka Kesepakatan. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana faktor eksternal, yakni dinamika politik keamanan di Semenanjung Korea dan faktor internal, yakni sikap Kongres AS terhadap isu nuklir Korea Utara mempengaruhi kebijakan luar negeri Clinton.
AS mempunyai kepentingan untuk mempertahankan wilayah Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Kapabilitas nuklir Korea Utara tidak hanya membahayakan kawasan regional dengan adanya kemungkinan perlombaan nuklir di Asia Timur; tetapi juga membahayakan rejim non-proliferasi internasional.
Pembahasan permasalahan tesis ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran : Russet dan Starr mengenai konsep kebijakan luar negeri; pemikiran Holsti mengenai pengaruh lingkungan internal dan eksternal terhadap implementasi kebijakan luar negeri; dan pemikiran Kegly dan Wittkopf mengenai peranan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
Hasil dan penelitian bahwa kebijakan luar negeri AS adalah mempertahankan kawasan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dengan upaya meminimalisir ancaman yang ditimbulkan dengan keberadaan kapabilitas nuklir Korea Utara. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Kerangka Kesepakatan merupakan upaya yang paling rasional untuk menangani isu nuklir tersebut. Baik Jepang dan Korea Selatan, sebagai sekutu-sekutu AS, maupun kalangan Kongres sebagai faktor politik domestik yang mempengaruhi implementasi Kerangka Kesepakatan, ternyata mendukung implementasi kesepakatan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simela Victor Muhamad
"ABSTRAK
Kebijakan Amerika Serikat menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi menempati posisi penting dalam kebijakan politik luar negeri pemerintahan Presiders Bill Clinton. Kebijakan pemerintahan Clinton terhadap Haiti pada tahun 1993-1994 adalah contoh kasus yang nyata dan terang-terangan dalam upaya Amerika mempromosikan demokrasi. Pemerintahan Clinton memandang bahwa rejim militer Haiti yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang sah hasil pemilihan demokratis merupakan pengingkaran terhadap aspirasi liberal bangsa Amerika yang sangat menjunjung tinggi kehidupan demokrasi. Oleh karena itu, pemerintahan Clinton merasa perlu melakukan upaya pemulihan dan promosi demokrasi di negara Kawasan Karibia tersebut. Misi Amerika di Haiti tersebut tidak semata-mata menyangkut promosi demokrasi, tapi juga dikaitkan dengan upaya Amerika memperluas pasar bebas (free market). Karena bagi pemerintahan Clinton, kebijakan demokrasi harus dikaitkan Pula secara terpadu dengan upaya memperluas pasar bebas. Pelaksanaan kebijakan ini sesungguhnya terkait dengan kepentingan nasional Amerika Serikat dan juga merupakan bagian dari strategi Amerika untuk menciptakan perdamaian di dunia yang didasarkan atas terciptanya pemerintahan demokratis di mana-mana."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>