Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90731 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Sugirilyati
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DED) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, serta sering menimbulkan KLB dan kematian.
Pemerintah telah mengembangkan program untuk mengatasinya melalui Penatalaksanaan Kasus dan Pemberantasan nyamuk penyebar penyakit DBD.Program pemberantasan vektor intensif merupakan upaya dalam memperkecil wilayah ter-Jangkit DBD. yaitu dalam bentuk kegiatan; a. Fogging Massal, b. Abatisasi Selektif. c_ Pemberantasan Sarang Nyamuk.
Kodya Dati II Bogor dengan kondisi lingkungan yang sangat mendukung perkembangan vektor serta lokasi yang bertetangga dengan DKI Jakarta yang mempunyai insiden DBD tertinggi di Indonesia, sedangkan mobilitas penduduk ke DKI Jakarta sangat tinggi, memerlukan kecermatan dan ketepatan program untuk dapat menekan Insiden DBD.
Studi ini bermaksud mengetahui; 1. Kecenderungan masalah penvakit DBD. 2. Perkembangan kegiatan pemantauan vektor, 3. Masalah dalam pelaksanaan program P2.DBD. 4. Dampak program P2 DBD di Kodva Dati II Bogor.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberi masukan dan dasar pertimbangan pemerintah untuk merencanakan metode terbaik guna meningkatkan efektivitas program P2.DBD. khususnya upaya pengendalian vektor Intensif DBD.
Pendekatan yang dipergunakan ialah observasional. dengan masa pengamatan selama empat tahun, yaitu seiak dilaksanakannya program Pemberantasan Vektor Intensif tahun 1991 sampai tahun 1994.
Analisa yang dipergunakan adalah menghitung Cumulatif Incidence Difference dart Incidence Rate (IR) DBD serta House Index (HI) Jentik vektor DBD sebelum dan sesudah perlakuan. Hubungan Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan terhadap kasus DBD dan HI Jentik vektor DBD, serta hubungan HI jentik vektor DBD dengan IR DBD dengan cara melihat korelasinya.
Karena keterbatasan sumber daya Kodya Dati II Bogor tidak melakukan tindakan lengkap kepada seluruh daerah endemic, tetapi memilih daerah perlakuan berdasarkan tingginya insiden. Dengan demikian Kodva Dati II Bogor masuk dalam kategori cakupan program tidak adekuat.
Dari tahun 1991 - 1993 setiap tahun dua Kelurahan mendapat perlakuan lengkap (FM + AS + PSN). tiga Kelurahan mendapatkan perlakuan (FM + PSN). dan 17 Kelurahan lainnva hanya melaksanakan PSN dengan pengawasan melalui kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB). Tahun 1994 tiga Kelurahan mendapat perlakuan lengkap, satu Kelurahan mendapat perlakuan (FM + PSN) sedangkan lB Kelurahan lainnva melaksana kan PSN saja.
Dari hasil studi ini terlihat kesan dari tahun 1991-1994 setiap tahunnya pemberantasan vektor intensif tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan IR DBD tetapi berhubungan bermakna secara statistik dengan HI Jentik Vektor DBD. Secara konsisten PSN menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik dengan HI jentik vektor DBD sebaliknya FM + AS + PSN selalu tidak berhubungan bermakna secara statistik. FM + PSN sate kali (tahun 1993) menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan tidak ada hubungan linier yang bermakna dengan kasus DBD tetapi berhubungan linier bermakna dengan HI jentik vektor DBD. Antara HI jentik vektor DBD dengan Insiden DBD tidak terlihat adanya hubungan linier yang bermakna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program pemberantasan vektor Intensif mempunyai peranan dalam upaya pencegahan DBD melalui pemberantasan jentik vektor. Namun seberapa besar peranan dalam menurunkan insiden DBD perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan. variabel Fogging Focus dan Penatalaksanaan Penderita. dalam kawasan yang lebih luas. Selain itu perlu diteliti kegiatan mana diantara Fogging Massal, Abatisasi Selektif atau PSN yang paling besar kontribusinya dalam pemberantasan vektor Intensif. Upaya untuk menggerakkan masyarakat agar terlibat secara lebih aktif dalam pemberantasan penyakit DBD perlu lebih dioperasionalkan. Namun pemberantasan vektor dengan insektisida masih belum dapat ditinggalkan.

Dengue Haemorhagic Fever is one of the health problem in Indonesia. This disease has increased as rapidly as population density and mobilization. It also often causes an outbreak and high case fatality rate.
Additional note:Example: acceptance note from the faculty.DateCreated*:Example: publishing date, writing date. Format YYYY-MM-DDSourceURL:Internet address from where this document is taken.From where this document was taken:Example: Third Meeting of IndonesiaDLN.LanguageSelect language*:The Indonesian Government has developed a program to deal with ?Casses management and eradication of the vector causes Dengue Haemorhagic Fever (DHF)". Intensive vector eradication programme is an effort to decrease the number of areas infected by Dengue Haemorhagik Fever (DHF). Including in this program are : a. Massal Fogging, b.Selective Abatisation (SA). c. Mosquito's nests Eradication (MNE).
Kodya Dati II Bogor is one of the places that has a big problem in DHF. The environment condition in this area are supporting for vectors to spread rapidly: as well as the location is near by DKI Jakarta, which has the highest incidence of DHF in Indonesia_ Moreover Bogor' s population's mobility is very high, so that we need a punctual and accurate programme to decrease the incidence of DHF.
The purposes of this study are : 1. to measure the inclination of DHF. 2. to monitor vector of DHF by using unfolding activity . 3. to anticipate some problems in DHF eradication programme. 4. to know the impact of DHF Vector Eradication programme especially in Kodya Dati II Bogor.
The result of this study will give a positive input and basic consideration to the government in planning the best method for increasing DHF Eradication programme effectivity. Especially the effort of DHF Vector Eradication programme.
The approach of this study is observational study, which is started in 1991, the time when the intensive vector eradication programme is applied.
In analyzed the study we counted the cumulative Incidence Difference. Incidence Rate (IR) and House Index (HI) of the DHF vector's larva. We looked also the connection between rain pours and the number of rainy days to HI of the DHF vector's larva and IR of DHF. as well as the relationship between HI of the DHF vector's larva to IR of DHF by their correlation. Because of resource limitation. Kodya Dati II Bogor could not run the complete treatment to all of the endemic areas. But they only chose the area that has the highest incidence rate.
From 1991-1993, there were two of the villages that have completed all three treatments which are (MF + SA + NNE). and other three villages only use MF + MNE treatments. However there were 17 villages only use EMN treatment , with temporer monitoring larva inspection. In 1994. only one villages that have completed treatments. Three Villages got MF + MNE treatment. and other 18 villages have EMN treatment only.
From the study we got some results ,that the intensive vector eradication program is not significantly related to the IR of DHF. but there is significant relationship between intensive vector eradication and HI of the vector's larva DHF. Consistently. MNE showed a significant relation-ship to the HI of the DHF Vector's larva. MF + SA + MNE have an insignificant relationship, also in 1993. MF + ,EMN showed an insignificant relationship.
Rainpours and the number of rainy days do not have a significant linear relation to the IR of DHF. but they have a significant linear relation to the HI of DHF vector's larva. There is no significant relation between HI of the DHF Vector's larva. and DHF incidence Rate.
Therefore, we can conclude that Intensive Vector Eradicating Programme is apart of the effort to prevent DHF. However. we need further research. in order to know how useful this program in decreasing DHF incidence by enclosing Fogging Focus variable and patient management in more width area. It is also important to examine which method has a bigger contribution in Intensive Vector Eradication Program me. Whether Massal Fogging, SA or NME. An effort to mobilize the community to join actively in eradicating DHF can also be done. However vector eradication using insecticide still can not be abandoned vet.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chasan Sudjain Kusnadi
"Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menekan penyebaran penyakit DBD, melalui penatalaksanaan kasus dan pengendalian nyamuk penyebar penyakit DBD. Pemerintah telah mengembangkan program pemberantasan vektor intensif dalam usaha memperkecil wilayah terjangkit DBD.
Studi ini bermaksud mengetahui kecenderungan masalah penyakit DBD, perkembangan kegiatan pemantauan vektor, mengetahui masalah dalam pelaksanaan program P2.DBD, mengetahui dampak program P2.DBD di Kotamadya Jakarta Barat. Dipilih Kodya Jakarta Barat bersandar kepada beberapa pertimbangan strategis untuk mencermati masalah-masalah tersebut. Hasil studi ini dan penelitian sejenis diharapkan dapat memberi masukan dan dasar pertimbangan pemerintah untuk merencanakan metode terbaik guna meningkatkan efektivitas program P2.DBD, khususnya upaya pengendalian vektor DBD.
Menggunakan pendekatan observasional dan dengan desain studi penampang (cross sectional), studi ini mengumpulkan data dan informasi sekunder dari responden menggunakan daftar cek dan formulir isian. Angka insidens angka kematian (mortality rate) dan angka kematian kasus (case fatality rate) berfluktuasi dengan pola 5 tahunan (sampai 1988), selanjutnya menjadi berpola dua tahunan. Musim penularan diperkirakan berlangsung pada bulan Maret-Juni.
Pelaksanaan pengendalian vektor intensif mempunyai kecenderungan untuk menurunkan angka insidens DBD, namun masih memerlukan pencermatan dan penelitian dalam kawasan yang lebih luas. Surveilans epidemiologi DBD sangat bermanfaat dalam melakukan perencanaan, implementasi, dan penilaian (evaluasi) program P2.DBD.
Sudah saatnya pemerintah mengupayakan keterlibatan warga masyarakat secara lebih aktif dalam pemberantasan penyakit DBD; dan pendekatan pengendalian vektor dengan menggunakan pestisida sudah waktunya ditinjau kembali. Sebagai alternatif dalam pengendalian vektor DBD dapat digunakan pengendalian vektor berwawasan lingkungan.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) was one of the health problems in Indonesia tends to wider spreader in accordance with the high mobility and dense population. Many efforts have implemented by the government to depressed the widespread of the disease through the cases management and the control of the mosquito?s vector of the disease.
This study tend to characterized the disease trends, the surveillance of vector, to understand the problem faced in the implementation of the DHF control program, and to know the impact of the program within the West Jakarta Municipality. The municipal was chosen based on several strategic considerations to observe the problems. The results of this study and another will gave benefits for the inputs and basic considerations for the government both local and central government, to plan better method for the improvement of effectively of DHF control, especially vector control.
This observational study designed as cross-section using the secondary data and information from the subject of study with a set of checklist and/or forms. The incidence rate, mortality rate, and case fatality rate have a fluctuation and variation in 5 yearly pattern (up to 1988), and two yearly patterns there after. The period of disease transmission estimated on March to June.
The implementation of the intensified vector control program tends to lower or depressed the incidence rate of the disease, but there's still needed to make kin observation and studies in wider areas. The disease surveillance benefit for planning, implementation, and evaluating the disease control program.
It's the time for the government to think (globally) and search for active community participation in the control of the disease; and the pesticides approach to the vector control program is now on the time for reviewed. As an alternative for the vector control we could initiate the new approach named the environmental base vector control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Kamila
"Selama tahun 2010-2014 Kota Semarang selalu menduduki tiga besar rangking Incidence Rate DBD di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan menganalisis pembiayaan program pemberantasan DBD bersumber pemerintah pada tahun 2013-2015 serta kesenjangan sumberdaya. Pendekatan akun biaya kesehatan (health account) digunakan untuk menelusuri pembiayaan menurut sumber, fungsi, penyedia layanan. Hasil studi menunjukkan bahwa total belanja program DBD bersumber APBD tahun 2013 adalah Rp. 4.018.927.020, tahun 2014 sebesar Rp. 4.070.437.715.020, dan tahun 2015 sebesar Rp. 8.889.646.145. Program terutama dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang, dan fungsi layanan kesehatan terutama adalah Surveilans Epidemiologi dan Pengendalian Penyakit Menular. Belanja untuk kegiatan administrasi lebih tinggi daripada belanja untuk program promosi kesehatan dan penangan KLB. Tidak terdapat kesenjangan antara ketersediaan sumber daya yang dipotret dari belanja kesehatan program pemberantasan DBD dengan kebutuhan program berdasarkan perhitungan kebutuhan metode SPM. Namun, terdapat kesenjangan antara ketersediaan sumber daya atau belanja kesehatan dengan perencanaan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Semarang. Disarankan agar perencanaan program lebih berfokus pada kegiatan promotif dan preventif.

During Year 2010 - 2014 Semarang municipality has been stated as the Big Three city with high incidence rate of dengue in Central Java province. This tracking expenditure of DHF Preventive Program has tried to analyze spending by the Local Government for Year 2013-2015, as well as the resources gap. The health account approach was used to analyze spending by source, function, and provider. Total spending for DHF supported by the local government in 2013 was Rp. 4.018.927.020, in 2014 was Rp. 4,070,437,715,020, and in 2015 was Rp. 8,889,646,145. The key player of the program was the Semarang Municipality Health Office. By function, the highest proportion of the spending was for Epidemiological Surveillance and Control of Communicable Diseases. The study also found that higher proportion of spending on administration as compared to direct activities such as community empowerment, and program to solve the outbreak. There was no resources gap if available resources was compared to the nedd according to SPM, however there was a resource gap if compared with the plan developed by the municipality health office. The study suggested to improved planning by focusing more on the direct activities such as promotive preventive."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Agriani Dumbela
"Demam Berdarah Dengue DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh nyamukbetina Ae. Aegypti. Sampai saat ini, belum ditemukan pengobatan yang spesifikuntuk menyembuhkan penderita DBD, meskipun strategi vaksinasi telah dilakukandi berbagai negara tropis. WHO menyatakan bahwa strategi pencegahan palingefektif untuk mengendalikan demam berdarah yaitu dengan mengendalikan vektornyamuk, seperti melakukan intervensi mechanical control, fumigasi dan larvasida.Sebuah model matematika pencegahan Demam Berdarah Dengue DBD denganpopulasi tidak tertutup akan dibahas dalam artikel ini. Intervensi kontrol mekanik,fumigasi dan larvasida diimplementasikan ke dalam model untuk memahami carapaling efektif untuk mencegah Demam Berdarah Dengue DBD. Analisis titikkeseimbangan dan kestabilan lokal serta Basic Reproduction Number R0 ditampilkan secara analitik. Beberapa hasil numerik untuk beberapa skenarioberbeda dilakukan untuk menunjukkan situasi yang mungkin ditemukan dilapangan.

Dengue is a mosquito borne viral disease which spread by female Ae. Aegyptimosquito. Until today, there are no specific treatment to cure people, althoughvaccination strategy are undergo in many tropical countries. WHO stated that themost efective prevention strategy to control dengue spread is by controllingmosquito strategy, such as with mechanical control, fumigation and larvacideintervention. A mathematical model of dengue spread among not closedpopulation will be discussed in this article. Intervention of mechanical control,fumigation and larvacide implemented into the model to understand the mostefective way to prevent dengue spread. Analysis of equilibrium points about theirexistence and local stability criteria along with basic reproductive ratio R0 willbe shown analytically. Some numerical results for some different scenario will beperformed to show a possible situation in the field."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudiono Munada
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Kotamadya Cirebon. Penyebarannya semakin meluas sejalan dengan meningkatnya arus transportasi dan kepadatan penduduk.
Selama tahun 1996 ditemukan kasus sebanyak 195 orang, meninggal dunia 11 orang dari jumlah penduduk sebanyak 277.985 orang. Dari data tersebut Incidens Rate sebesar 70,17 per 100.000 penduduk, CFR = 5,6 % dan angka bebas jentik = 86,42 %. Sedangkan target program pernberantasan penyakit DBD pada akhir Pelita VI adalah :
- lncidens Rate < 30 per 100.000 penduduk.
- CFR < 2,5 %
- Rata--rata Angka Bebas Jentik = 95 %.
Cara efektif untuk menanggulangi penyakit ini adalah dengan memberantas jentik Aedes Aegypti melalui peran serta masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD). Gerakan ini dikoordinaskan oleh Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) DBD Tingkat II Kotarnadya Cirebon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi Pokjanal-DBD Tingkat II Kotamadya Cirebon dengan pendekatan sistem, yaitu:
- Input Struktur organisasi, legal aspek, kepemimpinan, dana dan sarana.
- Proses Koordinasi, perencanaan, supervisi, bimbingan teknis dan pelaporan.
- Output Frekwensi penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
Penelitian bersifat kualitatif, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara mendalam dengan pengelola program pemberantasan penyakit demam berdarah dengue khususnya Kelompok Kerja Operasional Demam Berdarah Dengue (Pokjanal-DBD). Sedangkan data sekunder didapat dari Dinas Kesehatan Kotamadya DT. II Cirebon. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisa isi (content analysis).
Hasil penelitian dari seluruh variabel menunjukkan bahwa Pokjanal-DBD Tingkat II Kotamadya Cirebon kurang berfungsi optimal sebagai organisasi bila dilihat dari input, proses, maupun output.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pokjanal-DBD Tingkat II Kotamadya Cirebon belum maksirnal dalam menggunakan masyarakat untuk melaksanakan PSN-DBD, bila dilihat dari data dan indikator keberhasilan penggerakan PSN-DBD yaitu angka bebas jentik (ABJ) tahun 1996 sebesar 86,42 %.

The Observation Of The Operational Workforce Group Rinction Of Dengue Hemorrhage Fever In The Action For Euminating Dengue Hemorrhage Fever Breeding Sites In Cirebon Municipality In 1996Dengue Hemorrhage Fever (UHF) is one of the public health problems in Cirebon Municipality. The spread is extending in compliance with the in crease of transport current and population growth.
It has been recorded 195 cases and 11 persons died out of a population of 277,9'85: -From the above data, the incidence rate is 70.17 per 100,000 inhabitants, CFR = 5.6 % and the figure free from mosquito larva 86,42 %. While the elimination program for DHF disease at the end of Pelita VI is :
- Incidence Fate < 30 per 100,000 inhabitants.
- CFR < 2_5 %_
- The average figure for being free of larva : 95 %.
The effective method to overcome this disease is to eliminate the Aedes aegypti larva with the participation of the people in the action for eliminating Dengue Hemorrhage Fever site. The action is coordinated by the DHF Operational Workforce Group in the second level territory in Cirebon Municipality.
This study is intended to understand the effectiveness of the DHF Operational Workforce Group function at the second level territory in Cirebon Municipality, by means of approaching system:
- Input : Organization structure, the legal aspect, management, finance and infra-structure.
- Process : Coordination, budget, supervision, technical advice and reports
- Output : The frequency in activating people with regard to Elimination Dengue Hemorrhage Fever breeding site.
This study has a quality approach using main data and second data. The main data is obtained from deep interview with the program management in charge of eliminating dengue hemorrhage fever disease in connection with the Operational Workforce Group of Dengue Hemorrhage Fever. While the second data is obtained from the health service of the Cirebon Municipality at the second level territory. The main and second data are analyzed by using the content analysis technique.
The result of the whole study shows that Operational Workforce Group of DHF, in Cirebon Municipality has not been optimally got functioned yet as an organization, in view of input, as well as output process.
It can be concluded that Operational Workforce Croup of DHF at second territory level has not reached the optimal result with regard to the activity of the people to eliminate DHF Breeding Site, when it is considered from the data and indicator regarding the result of making activity for the elimination DHF Breeding Site in respect of being free from (mosquito) larva for the year 1996 amounting to 86,42 %.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Wati Soetojo
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pertama kali dilaporkan tahun 1968 sampai dengan sekarang telah menyebar ke sebagian besar kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Selama periode 1992-2002 terdapat 69.330 kasus di wilayah DKI Jakarta, dengan jumlah kematian 595 orang, sedangkan untuk Jakarta Pusat selama tahun 2000-2003 terdapat 4.905 kasus dengan jumlah kematian 23 orang, rata-rata IR 121,44 dan ABJ (Angka Bebas Jentik) 92.3%.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue (Type 1, 2, 3 dan 4) dan ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegtpti, ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik-bintik perdarahan, lebam atau roam, kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun/shock. Disamping virus dan agent, faktor-faktor risiko seperti iklim (suhu, curah hujan, kelembaban), faktor demografi (kepadatan penduduk), serta faktor geografi (penggunaan tanah) dalam satu kesatuan ekosistem dapat mempermudah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Study ekologis time trend (kecenderungan waktu) terhadap faktor-faktor risiko tersebut diatas dan melalui pendekatan spasial, dilakukan untuk melihat gambaran fenomena kejadian penyakit DBD. Pemakaian Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View 32, dapat memperjelas gambaran penyebaran kejadian penyakit DBD selama tahun 2000 - 2003 per-kecamatan di Jakarta Pusat.
Pada tahun 2000-2003, rata-rata suhu udara minimum-maksimum (26,6 - 29,2°C) curah hujan (0 - 23,2 mm) dan kelembaban (66,9 85,9 %). Sebaran tertinggi selama tahun 2000 - 2003 yaitu pada kecamatan Kemayoran, Tanah Abang, Senen, Johar Baru. Lokasi-lokasi tersebut permukiman dan penduduknya padat, akibatnya faktor kelembaban dapat meningkat pada tempat tersebut, dan kondisi ini membuat nyamuk Aedes aegypti hidup serta berkembang biak dengan baik. Sebaran kejadian terlihat mulai meningkat pada akhir musim penghujan, dan sebaran kejadian pada musim kemarau lebih tinggi dari pada musim penghujan.
Melihat fenomena yang digambarkan dalam peta, bahwa kejadian penyakit lebih banyak pada permukiman dan penduduk yang padat dan jumlah kejadian penyakit DBD pada musim kemarau lebih banyak dan musim penghujan, serta jumlah kejadian meningkat pada akhir musim penghujan, maka untuk mengantisipasi peningkatan kejadian disarankan kepada Sudinkesmas setempat, untuk meningkatkan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat agar berperan aktif dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), serta perlu pengembangan SIG dan analisa spasial serta peningkatan epidemiologi kesehatan lingkungan.

Spatial Analysis of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Incidence in Central Jakarta District on 2000-2003Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) continues to be serious public health problems and major cause of hospitalization and death in Indonesia. The epidemiological dimensions of the disease continue to increase across rural and urban areas in Indonesia since first time DHF was reported in 1968. During the period 1992 - 2002, several outbreaks have occurred in Jakarta Capital of Territory (DKI-Jakarta) with a total incidence of 69,330 cases and with total number of 595 deaths, parts of the above number whereas 4,905 cases in the Central Jakarta Municipality for year 2002-2003 with total number of 23 deaths, IR 121.44 and Larvae Free Index (ABJ) was 92.3 %.
Transmitted by the main vector, the Aedes aegypty mosquito these are four distinct, but closely related viruses that cause dengue (Type 1, 2, 3 and 4). DHF is characterized clinical manifestations: high fever, hemorrhagic phenomena, often with hepatomegaly and in, severe cases, signs of circulatory failure. Such cases may develop hypovolaemic shock resulting from plasma leakage. Beside agent and virus, other risk factors such as climate (temperature, rain drop, humidity), demography, and geographic (land use) in one ecosystem could easier the spread of disease DHF.
Time trend in ecological study with risk factors above and using a spatial approach, is used in this study to find out the phenomena of DHF. Using the Geographical Information System (GIS) with ArcView 3.2, could bold the view of DHF spread during 2000-2003 for each sub districts in Central Jakarta Municipality.
In year 2000-2003, the average of the minimum-maximum temperature was (26.6 - 29.2 °C), rain drop was (0 - 23, 2 mm) and humidity was (66.9 - 85.9 %). The highest spreading of DHF in 2000-2003 was in Kemayoran Sub District, Tanah Abang Sub District, Senen Sub District, lobar Baru Sub District. The above areas which have housing with high density population have relation to increase the humidity then the high humidity could become a reinforcing factor for Aedes aegyply growing and living. The occurrence of DHF tends to increase at the end of rain season, and spreading of disease in dry season does higher compare to rain season.
From the phenomena on the map in this study, the incidence of DHF occurred more at housing with high density population and DHF occurrence in dry season highest compare to rain season, and the number of incidents was increased in at the end of rain season. It is suggested that the Central Jakarta Municipality Health Office needs to increase the health education which emphasize the environmental health aspects such as Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) and Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), and need to develop GIS with spatial analysis and increasing the epidemiology for environmental health.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainudin
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat dan cenderung semakin luas wilayah penyebarannya sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Timbulnya penyakit DBD merupakan kontribusi spasial sebagai faktor risiko seperti perubahan iklim, topografi, cakupan program, dan perilaku. Besamya faktor risiko tersebut berperan terhadap bertambahnya populasi nyamuk Aedes aegypli sebagai vektor penyakit DBD. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan kontribusi spasial dengan kemungkinan terjadinya penyakif DBD selama 60 bulan (1997-2001), gambaran kepadatan jentik dan perilaku pengelola tempat-tempat umum (TTU) di Kota Bekasi. Disain penelitian adalah studi korelasi.
Untuk mengetahui gambaran kepadatan jentik dan perilaku dilakukan survai dengan junilah sampel 292 TTU yang diperoleh secara sistematik random sampling. Data dianalisis untuk mengetahui distribusi frekuensi (univariat) dan hubungan antar variabel (bivariat) dengan menggunakan uji korelasi Product Moment Pearson dan uji anova. Variabel independen penelitian adalah curate hujan, suhu udara, kelembapan, pengelompokan wilayah, cakupan PSN-DBD, dan perilaku. Pengolahan data spasial dan pemetaan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran waktu penyebaran penyakit DBD memiliki sildus empat tahunan yang temp dan selama lima tahun terakhir diketahui pusat penyebaran penyakit berada di dua kelurahan yaitu Jati Waringin dan Jaka Sempurna. Hasil survai menunjukkan bahwa angka bebas jentik (ABJ) di TTU barn sebesar 72,60% dan proporsi pengelola TTU yang berpartisipasi dalam PSN-DBD kurang dari separuhnya (43,49%).
Analisis bivariat menunjukkan curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan cakupan PSN-DBD selama lima tahun secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna untuk terjadinya penyakit DBD p=0,111, p'J,486, dan Hubungan yang bermakna hanya terlihat antara suhu udara dengan kejadian penyakit DBD pada tahun 1998 (p O,002). Analisis bivariat antara pengelompokan wilayah dengan kejadian penyakit DBD juga menunjukkan hubungan yang bermakna (p),000), yang berarti terdapat perbedaan kejadian penyakit DBD di wilayah perkotaan, peralihan dan perdesaan. ABJ tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan curah hujan, suhu udara, kelembapan, dan cakupan PSN-DBD (p-0,760, p=0,214, p 0,616, dan p-A),283).
Untuk mewaspadai siklus empat tahunan dan dalam rangka meneegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD, disarankan perlu adanya petugas lapangan (Jura Pemeriksa Jentik) di setiap Puskesmas Pembantu (DesalKelurahan) yang akan melakukan pemeriksaan jentik di rumah penduduk di bawah koordinasi Puskesmas, meningkatkan kemampuan petugas puskesmas dalam mengelola wilayah kerjanya untuk mengurangi wilayah endemis, kegiatan PSN-DBD agar diprogramkan secara rutin (terjadwal) dalam ekstra kurikuler sekolah, dan perlu meningkatkan upaya penyuluhan kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik.
Daftar Pustaka: 54 (1987-2003)

A Spatial Analysis of DHF Incidents in An Urban Setting of Bekasi 2003 Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a public health problem and tends to spread out by the increasing mobility and density of people population. The emergence of DHF disease is a spatially contributed from several risk factors such as climate changes, topography, coverage programs, and people's habit. The magnitude of the risk factors is responsible for the increasing of Aedes Agepty population as a vector DHF disease.
The main objectives of this research are to find out the relationship between a spatial contribution and the possibility of DHF incident within 60 months period from 1997 to 2001, the illustration of mosquito larva density and the behavior of sanitation authority of public places in Bekasi. The model use in this study is a correlation study. The surveys are done in 292 public places by a systematic random sampling method to illustrate Aedes larva density and people behavior in that area.
Data are analyzed to find the frequency distribution (univariat) and intervariable correlation (bivariat) by using Product Moment Pearson correlation test and Analysis of Varian test. The independent variables are the amount of rainfall, temperature, relative humidity, regional zoning, management of source reduction campaign of DHF, and the behavior of sanitation authority. Analyzing spatial data and mapping utilize the geographical information system (GIS).
The result shows that a shifting time of DHF distribution is observed in a regular four-year cycle, and in the last five years it has been known that the central of disease distribution can be found in two district areas, Jati Waringin and Jaka Sampuma. The result also shows that the larva free index (ABJ) in public places is 72,60% and a proportion of management public places in source reduction campaign DHF is less than a half of it (43,49%).
Bivariat analysis shows that a rainfall amount, temperature, relative humidity, and management of source reduction campaign DHF in statistics have no correlation with DHF disease incident within the last five years (p=. 772, p 0.111, p'O. 486, p=0.266. A significant correlation can be proven between temperature and DHF disease incident in 1998 (p4l.002). The bivariat analysis between several regions and DHF disease incident shows a significant correlation (p=x.400), so there are different DHF disease incidents among rural, transition and urban areas. ABJ does not show a significant correlation with rainfall amount, temperature, humidity, and management of source reduction campaign DHF (p=-0.760, 170.214, p=0.616 and p=0.283).
To increase an awareness of the four-year cycle and to prevent the outbreak of DHF disease incident, firstly, staff that examine larva should be positioned in each public health center (Puskesmas) in the village. This staff is obliged to periodically examine larva in every house within his area and coordinates with the Puskesmas officers within his district. Secondly, the knowledge of district area public health staff should be improved to manage his region in minimizing the regional endemic. Thirdly, the source reduction campaign of DHF must be done periodically at schools and mass media.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriyetti
"Penelitian ini bertujuan mencari pola hubungan variasi cuaca secara spasial dengan kejadian DBD. Studi ini merupakan studi ekologi campuran berdasarkan tempat dan waktu yang dilakukan di DKI Jakarta, mengunakan data sekunder kasus DBD dan data cuaca/iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari) tahun 2000-2009. Dilakukan analisis spasial menurut tahun, bulan, kota administrasi dan kecamatan. Pengolahan data spasial yaitu dengan overlay peta antara variabel cuaca hasil interpolasi dengan kasus DBD per kecamatan, dengan grafik untuk data per kota administrasi dan didukung dengan uji statistik korelasi.
Korelasi antara curah hujan, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari dengan kasus DBD, masing-masing r nya adalah 0,515, 0,304, 0,396, -0,082, -0,392 dengan p< 0,05. Berdasarkan kota administrasi Jakarta Pusat, masing-masing memiliki r 0,615, -0,329, 0,378, 0,274, -0,499; Jakarta Utara masing-masing 0,438, -0,360, 0,618, -0,414, 0,320; Jakarta Selatan, masing-masing 0,441, -0,289, 0,392, 0,091, -0,414; Jakarta Barat dan Jakarta Timur hanya menganalis curah hujan, suhu udara, kelembaban dan kecepatan angin, r untuk Jakarta Barat masing-masing 0,497, -0,042, 0,136, -0,280; Jakarta Timur masing-masing 0,502, 0,522. -0,148, 0,293.
Berdasarkan analisis spasial dengan model grafik dan peta overlay, curah hujan dan kelembaban menunjukkan pola hubungan yang sama dengan pola kasus DBD dan suhu udara, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari menunjukkan pola hubungan yang berbeda dengan pola kasus DBD. Disimpulkan bahwa variasi cuaca memiliki pola hubungan secara spasial dan berkorelasi secara statistik dengan kejadian DBD di DKI Jakarta.

This study aims to find patterns of weather variations in spatial relationship with the incidence of DHF. This study is based on a mixture of ecology and which takes place in Jakarta, using secondary data of DHF and weather/climate data (rainfall, air temperature, humidity, wind speed and solar radiation) in 2000-2009. Spatial analysis by year, month, city and district administration. Spatial data processing is to overlay a map of interpolated weather variables with DHF cases per district, with graphs for data per city administration and supported by statistical correlation.
Correlation between rainfall, air temperature, humidity, wind speed and solar radiation with DHF cases, each with its r is 0.515, 0.304, 0.396, -0.082, -0.392 with p <0.05. Based in Central Jakarta city administration, each having r 0.615, -0.329, 0.378, 0.274, -0.499; North Jakarta respectively 0.438, -0.360, 0.618, -0.414, 0.320; South Jakarta, respectively 0.441, -0.289 , 0.392, 0.091, -0.414; West Jakarta and East Jakarta only to analyzed the rainfall, air temperature, humidity and wind speed, r for West Jakarta respectively 0.497, -0.042, 0.136, - 0.280; East Jakarta respectively 0.502, 0.522. -0.148, 0.293.West Jakarta respectively 0.497, -0.042, 0.136, -0.280; East Jakarta respectively 0.502, 0.522. - 0.148, 0.293.
Based on spatial analysis with charts and map overlay model, rainfall and humidity showed the same pattern of relations with the pattern of dengue cases and the air temperature, wind speed and solar radiation showed a different pattern of relationships with the pattern of DHF cases. It is concluded that weather variation in spatial patterns and relationships are statistically correlated with the incidence of dengue in Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T30820
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Agustini Munggaran
"Propinsi DKI Jakarta adalah daerah endemis DBD. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah pcnyakit DBD namun belum menunjukan hasil yang diharapkan hingga pada akhimya Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit Demam Bcrdarah Dengue (DBD) yang diberlakukan sejak 11 Juli 2007. Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui implementasi Perda tersebut menggunakan metode kualitatif dan pendekatan hulcum normatifl Data primer dan sekunder mengenai pedoman, sumbcr daya dan manajemen pelaksanaan didapat melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan telaahan dolcumen dari informan yang meliputi; Biro Hukum, Dinas Kcschatan, Dinas Ketentraman dan Ketertiban, Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD), Askesmas Walikota Jakarta Timur Serta Suku Dinas Kesehatan, Kecarnatan, Kelurahan, Jmnantik dan masyarakat di Wilayah Jakarta Timur.
Hasil penelitian yang dilakukan pada April minggu ke-4 hingga Juni Minggu ke-1 menunjukan bahwa pcraturan Gubemur sebagai petunjuk pelaksanaan belum tcrsusun, sumber daya yang rneliputi petugas, fasilitas penunjang, sumber dana dan peran serta masyarakat maupun manajemen pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharupkan. Ketidalctcrsediaan dan ketidaksesuaian pelaksanaan dengan muatan yang diatur dalam Perda menggambarkan belum kuatnya komitmcn Pemerintah Daerah dalam menegakkan suatu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit DBD hingga berdampak pada belum tercapainya sasaran yang diharapkanya dalam menurunkan kasus DBD.

The province of DKI Jakarta is an endemic area of dengue fever. Several attempts have been conducted to overcome the problem of dengue fever by the local government but have not yet shown any good result as expected, so the government of DKI Jakarta province finally issued the provincial regulation no.6 in 2007 about the control of dengue hemorrhagic fever (DHF), which has been implemented since july 11, 2007. The research conducted to tind out the implementation of this regulation is done by using qualitative method and normative law approach. Primary and secondary data about the guideline, resource and management of the implementation are obtained through in depth interview, focus group discussion and document review, informes, which are legal bureas, health department, public order department, local house representatives, mayor of east jakarta and the municipallity office of health, Kecamaran, Kelurahan, observer of mosquito larva (Jumantik), as well as residents in region of east Jakarta.
The result of the research conducted in the 4th week of April to the lst week of June demonstrated that the govemortarial regulation as implementation instruction has not been formed as well as resources such as man power, supporting facilities and finance, community participation and implementation management have not been met as expected. The abstinance of and inappropriatness ofthe implementation as ordered in the provincial regulation shows that the commitment of the local government is not strong enough to uphold the provincial regulation no. 6 in 2007 about the control of dengue fever, resulting in not being able to meet the objective to reduce the number of cases of dengue fever.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T34392
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Trimoyo
"Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang berdampak luas bagi kehidupan adalah timbulnya penyakit pada seseorang yang dapat merugikan bagi penderita, keluarga dan ekonominya. Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang sering menyerang masyarakat yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Di Kabupaten Lampung Utara, setiap tahun terjadi kasus DBD secara berflutuaksi. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 jumlah kasus sebanyak 79 penderita dengan kematian/penderita CFR (1,27 %). Walaupun kasusnya reatif kecil namun faktor risiko terjadinya kejadian luar biasa (KLB) sangat mungkin, karena Kabupaten Lampung Utara merupakan perlintasan dari pulau Jawa ke Sumatera, mobilisasi penduduk yang tinggi, kepadatan penduduk, curah hujan tinggi (192,8 mm), perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) khususnya pembuangan sampah sembarangan (83,3 %) dan adanya wilayah endemis DBD.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran rinci tentang penggunaan anggaran program pemberantasan DBD tahun 1999-2004, serta pengobatan penderita tahun 1999-2004, dan komitmen pejabat yang berwenang dalam kebijakan anggaran.
Desain penelitian ini adalah riset operasional untuk mengetahui dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kasus DBD juga mengetahui komitmen pejabat tentang pedoman program dikaitkan dengan usulan untuk dana pengobatan kasus.
Dari analisis diperoleh bahwa pendanaan anggaran program pemberantasan DBD tahun 1999-2004 terbesar bersumber dana dari APBD II sebesar Rp. 141.943.000,00 (70,7%), kemudian APBN sebesar Rp 43.637.000,00 (21,74 %), dan PLN sebesar Rp 15.180.000,00.
Dana pemberantasan yang bersumber APBD II selalu tersedia setiap tahun, ini menunjukkan adanya konsistensi dari Pemda untuk program tersebut.
Pada analisis kasus diketahui bahwa pada tahun 2004 di Kabupaten Lampung Utara terdapat 3 Kelurahan endemis diwilayah satu kecamatan sehingga terdapat satu kecamatan endemis yaitu kecamatan Kotabumi Selatan. Berdasarkan umur pada tahun 1999-2003 risiko untuk terserang kasus pada usia sekolah (5-14 th) yaitu sejumlah 50 penderita, sedangkan untuk tahun 2004 pada usia produktif (15-44 th) sebesar 88 penderita, berdasarkan jenis kelamin tahun tahun 1999-2003 resiko terserang penyakit DBD lebih besar pada laki-laki 44 penderita sedang perempuan 35 penderita, untuk tahun 2004 (Januari-Juni 2004) risiko terserang hampir sama laki-laki 80 penderita perempuan 82 penderita.
Perawatan penderita dilaksanakan di tiga tempat perawatan yaitu RSU May.Jend.HM.Ryacudu, RS Swasta Handayani, dan Balai Pengobatan M. Yusuf yang semuanya berdomisili di Kotabumi.
Hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa dana program DBD dan sangat layak untuk dialokasikan dan dana pengobatan setuju untuk diusulkan dalam program pemberantasan penyakit DBD, akan tetapi dana program DBD terbesar hanya untuk kegiatan kuratif, sedang dana untuk promotif dan preventif relatif sangat kecil.
Biaya yang harus dikeluarkan penderita rata-rata Rp. 770.200,00 sedangkan Upah Minimum Regional; (UMR) sebesar Rp. 377.500,00. Apabila seorang diserang DBD (usia produktif), maka keluarga tersebut akan kehilangan penghasilan sebesar 2,04 bulan (tidak mempunyai penghasilan).
Proporsi antara dana pengobatan dibanding dana pemberantasan adalah 4 dibanding 1, sedangkan perkiraan pendanaan untuk program DBD tahun 2005 sebesar Rp. 48.604.600,00.
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa pendanaan program pemberantasan penyakit DBD terbesar bersumber APBD II, dari 16 Kecamatan di kabupaten Lampung Utara 15 Kecamatan (93,8 %) terserang DBD, pada tahun 2004 terjadi peningkatan kasus yang sangat bermakna terjadi KLB, komitmen pejabat Pemda mendukung anggaran program pemberantasan DBD dalam alokasi pendanaan baik untuk pemberantasan maupun pengobatan.
Disarankan untuk Dinas Kesehatan dan RSU meningkatkan koordinasi kepada instansi terkait bahwa penyakit DBD yang mempunyai dampak luas bagi kehidupan masyarakat. Demikian juga bagi Pemerintah Daerah agar memenuhi apa yang menjadi komitmen, sehingga penyakit Demam Berdarah tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Lampung Utara.
Daftar bacaan 37 (1983-2003)

Analysis of Financing Program and Dengue Diseases Medication in North Lampung Sub-district in the Year 1999-2004 One of the public health problems that have a great impact to life is the incidence of infecting by disease, which can harm to patients, their family and their economic. Dengue is a contagion that is often attack public, which until now still becomes the problem of public health in Indonesia.
In North Lampung Sub-district, happened Dengue case by fluctuated every year. From 1999 until 2003 there are 79 patient with one death of CFR patient (1,27%). Although the case is small, but the risk of extraordinary occurrence is very possible, because North Lampung Sub-district is a trajectory from Java to Sumatra, high civil mobilization, civil density, high rainfall (192,8 mm), clean life behavior, and healthy especially throwing garbage promiscuously (83,3%), and Dengue endemic area.
This research aim to get a detail vision about the use of Dengue eradication program budget in the year 1999-2004, and also patient medication in the year 1999-2004, and authority caretaker commitment in budget policy.
This research design is an operational research to know and to evaluate program execution and Dengue case also knowing the caretaker about guidance program correlated with suggestion for case medication budget from the analysis got that the highest budget program for Dengue eradication in the year 1999-2004 stemming from APBD II budget in amount of Rp_ 14I.943.000,- (70,7%), and then APBN in amount of Rp. 43.637.000,- (21,74%), and PLN in amount of Rp. 15.180.000,-.
Eradication fund, which is stemming from APBD II always provided every year, it showing the consistent from District Government for that program.
In a case analysis, known that in the year 2004 in North Lampung Sub-district there are 3 chief of village endemic in one sub-district area so that got one endemic chief of village which is South Sukabumi sub-district. Based on age in the year 1999-2003 risk of infected by the case in school age (5-14 years) is 50 patients, in the year 2004 for productive age (15-44 years) is 88 patients. Based on gender in the year 1999-2004 the risk is higher in men than women which is men 44 patients and women 35 patients, for 2004 the risk is almost at the same rate which is men 80 patients and women 82 patients.
Patient treatment conducted in three treatments place that are RSU May.Jend.HM.Ryacudu, RS Swasta Handayani, and M. Yusuf medication hall, which all are in Kotabumi.
From interview result got information that Dengue program fund and very proper to allocate and medication fund accept to be proposed in Dengue eradication program, however the biggest Dengue program fund is just for curative activity, while promotion and prevention fund is relatively small.
Fund which has to be taken by patients is Rp. 770.200,- while UMR is Rp. 377.500,-. If someone got Dengue (productive age) so the family will lose earnings in amount of 2,04 months (don't have an earn).
The conclusion is the biggest Dengue eradication program budgeting is stemming from APBD II, from I6 sub-district in North Lampung chief of village 15 sub-district (93,8%) got Dengue. In the year 2004 there's an improvement of case, which is quite significant, happened KLB, District Government caretaker commitment supporting Dengue eradicating program budget in allocation of budgeting whether for eradicating or medicating.
It suggested to Health District and RSU to improve the coordination to the related institution that Dengue has large affect to public life. In addition, the District Government to obey what has to be a commitment, so Dengue disease will no longer become the health problem for public in North Lampung sub-district.
Bibliography: 37 (1983-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>