Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92882 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irzanti Sutanto
"Berdasarkan penelitiannya dalam berbagai bahasa, (termasuk bahasa Perancis), Cowrie (1976:51) berpendapat bahwa bila sebuah verba yang bercorak peristiwa telis mendapat keaspekan imperfektif maka makna keseluruhan verba tersebut tidak mengimplikasikan tercapainya titik akhir alamiah yang merupakan syarat corak peristiwa telis. Carl Bache (1982:68) sependapat dengan Comrie Maingueneau (1981:48) mempunyai pandangan yang lebih tegas daripada kedua linguis di atas: Dengan mengambil contoh dari bahasa Perancis, ia menyatakan bahwa sebuah verba hanya dapat dikatakan bercorak peristiwa telis apabila berkeaspekan Pfk. Pemikiran-pemikiran tersebut patut dikaji kembali kebenarannya secara empiris.
Dengan demikian dapat dipertanyakan, khususnya dalam bahasa Perancis, apa yang terjadi secara semantis pada sebuah verba dengan corak peristiwa telis bila verba itu berkeaspekan imperfektif. Apakah keaspekan imperfektif lebih dominan daripada corak peristiwa telis? Apa sebabnya?
Penelitian ini bertujuan memerikan ada tidaknya pengaruh imperfektif terhadap corak peristiwa telis dalam bahasa Perancis dan peranti pengungkap corak peristiwa telis dalam bahasa tersebut.
Penelitian dilakukan dengan mengubah keaspekan Pfk menjadi Ipf untuk menguji ketelisan yang dikandung verba (dan konstituen lain), serta menggunakan kuesioner mengenai 114 buah data tulis dan penutur asli sebagai informan yang menjawab kuesioner tersebut. Unit analisis adalah kalimat yang mengandung verba bercorak peristiwa telis dan berkeaspekan imperfektif dan perfektif. Pertanyaan didasarkan pada tes yang dibuat oleh Howard Garey (Brinton 198B: 26). Tes Garey adalah tes yang bertujuan menguji ketelisan peristiwa yang terkandung dalam makna sebuah verba. Caranya.secara garis besar adalah dengan mengajukan pertanyaan berikut: Apakah berlangsungnya suatu peristiwa dapat dikatakan telah selesai apabila terjadi penyelaan? Apabila jawaban adalah ya, verba yang bersangkutan bercorak peristiwa atelis; apabila jawaban adalah tidak, verba yang bersangkutan bercorak peristiwa telis.
Jawaban informan atas kuesioner memperlihatkan bahwa keaspekan imperfektif tidak mempengaruhi corak peristiwa telis. Peristiwa tetap dianggap bercorak telis oleh informan meskipun verba berkeaspekan imperfektif.
Corak peristiwa telis terdapat inheren di dalam verba-verba tertentu atau ditentukan oleh konstituen lain, yaitu artikula takrif untuk frasa nominal berfungsi objek, keterangan ukuran takrif, ciri semantic 'insan' atau acuan insan dari frasa nominal berfungsi subjek, dan ciri semantic 'konkret' dari nomina yang berfungsi objek. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebutan makna inheren verba yang mengenai corak peristiwa telis tidak tepat.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa dalam bahasa Perancis penggunaan keaspekan imperfektif ditentukan oleh konstituen lain, yaitu konstituen yang tidak mengandung makna 'besaran waktu skalar atau limitatif. Padahal, konstituen tersebut adalah salah satu unsur pembentuk corak peristiwa telis."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaqiatul Mardiah
"Konsep semantik modus, keaspekan dan waktu kebahasaan dalam bahasa Arab mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Bahasa arab memiliki dua bentuk verba untuk mengungkapkan ketiga konsep tersebut, yakni verba ma:di dan verba mUda: ri'. Penggunaan bentuk verba tertentu dalam sebuah kalimat lebih banyak disebabkan oleh penekanan pada fungsi verba dalam menemtkatkan peristiwa pada garis waktu, baik secara internal maupun secara eksternal. Dikatakan secara internal karena tidak memiliki pusat deiktis, tetapi berkaitan dengan konstituen waktu sebuah situasi yang terjadi. apakali situasi itu sedang dilakukan ataukah sudah selesai dilakukan, Adapun dikatakan secara eksternal karena penempatan peristiwa mengacu pada sebuah rujukan waktu yang pada umumnya berupa ?moment of speaking''. Artinya, kalau memiliki pusat deiktis. Lain halnya dengan modus. Di dalam bahasa Arab, modus dinyatakan hanya Lila bentuk verba muda: ri '.
Untuk mengkaji mengapa sebuah bentuk verba digunakan dalam sebuah kalimat dan mengapa bentuk yang lain tidak digunakan, penelitian ini memakai teori uji penyulihan yang dikemukakan oleh Bache (1997: 108-1 10). Dari uji penyulihan tersebut diperolch empat tipe kalimat, yaitu:
(1) kalimat yang tidak dapat disulih karena tidak mempunyai bentuk variannya;
(2) kalimat yang tidak gramatikal;
(3) kalimat yang mengalami perubahan makna; dan (4) kalimat yang mengalami perubahan makna secara halus. Tipe kalimat yang terakhir inilah yang dipakai untuk menjauhu makna dasar sebuah kalegori dan makna hasil interaksinya. Dari sinilah dipcroleh informasi tentang waktu kebahasaan dan keaspekan dalam sebuah kalimat. Begitu Pula dengan modus ataupun modalitasnya.
Makna dasar terbagi dua, yaitu makna dasar keaspekan dan makna dasar waktu kebahasaan atau kekataan. Apabila sebuah kalimat disulih dengan kalimat varian yang berbeda aspeknya rnenghasilkan perubahan hanya pada makna keaspekannya, hal ini disebut makna dasar keaspekan. Apabila yang berbeda kalanya dan mengakibatkan perubahan hanya pada makna kekalaan, hal ini disebut dengan makna dasar kekalaan. Makna hasil interaksi merupakan makna yang dihasilkan dari sebuah uji penyulihan yang berakibat bukan hanya pada perubahan satu kategori saja, melainkan pada lebih dari satu kategori secara bersamaan: misalnya berakibat pada perubahan makna kekalaan dan aksionalitas atau berakibat pada perubahan makna keaspekan dan keakalaan.
Data yang digunakan dalam karya ini berupa novel dan ayat Al Quran, sedangkan metodenya adalah metode penelitian struktural normatif, Dengan menggunakan metode penelitian tersebut, kajian ini memandang satuan bahasa sebagai unit analisis dalam struktur kalimatnya dan makna merupakan titik total: analisis data. Selain ilu, penelitian ini juga hendak menerapkan kaidah-kaidah semesta tentang pengungkap modus, keaspekan, dan waktu kebahasaan ke dalam bahasa Arab; antara lain konsep Sislem Rujukan Waktu (SRW) yang dikernukakan Hoed (1993) dan meta kategori kala, aspek, dan aksionalitas yang ditulis oleh Bache (1994).
Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab-ditinjau dari segi bentuk-mengenal dua bentuk, yakni bentuk lampau dan tak lampau. Namun, dilihat dari konsep semantis waktu kebahasaan bahasa Arab mengenal waktu kebahasaan absolut, yaitu waktu lampau, kini, dan rnendatang. Waktu kini dan ntendalarlg dinyatakan dengan menggunakan verba muda:rii sedangkan waktu lampau diungkapkan dengan mcnggunakan verba ma:di dan unsur leksikal berupa verba bantu/ka:nal, serta konteks kalimat. Ditinjau dari konsep semantis keaspekan, bahasa Arab memiliki dua macam keaspekan, yaitu imperfeklilitas dan perfektifitas. Perfektilitas dinyatakan oleh bentuk verba ma:di, sedangkan Imperfektifitas dinyatakan oleh bentuk verba muda: ri'.

Mood, Asexuality, and Temporality in Arabic Language The semantic concept of mood, aspectuality, and temporality in Arabic language is uniquely different from other languages. Arabic has two verb forms to discover these three concepts, which are ma: di and muda: ri?. The use of that verb in a sentence depends on temporal constituency of it rather another function, internally and externally. It is said internally because it has no deictic center, but is associated to constituent of time of the occurrence of a situation, either the situation is being done or has been done. It is said externally because the placement of event refers to some other time, usually to the moment of speaking. We mean that kala has deictic center. It is different to mood. In Arabic, mood is expressed by the verb form muda:ri' only.
This investigation uses substitution test theory of Bache (1997: 108 - 110) to study why a form of verb is used in a sentence and the other is not used in. From the test, we obtain four types of sentences; those are:
(1) a sentence we cannot substitute because it has no variance form;
(2) an ungrammatical sentence;
(3) a sentence that is experiencing a meaning change; and
(4) a sentence that is experiencing a smoothly meaning change. The latest type of sentence is used to understand the definition level of a category and the function level of it. From this process, it will be obtained information on temporality and aspectuality in a sentence. Mood or modality of sentence will also be obtained.
The definition level is divided into two forms, that are the definition level of aspectuality and temporality or tense, When a sentence is substituted with a variant of sentence, that is in different aspect, produce a change only in its aspect meaning, it is said the definition level of aspectuality. When the difference is in its tense and this cause a change only in the meaning of tense, it is called the definition level of temporality. The function level result is produced by a substitution test that has an impact not only on the change of one category but also on the change of temporality meaning and actionality, or has an impact on the change of aspectualtity and temporality.
We use novel and ayat Al Quran as resources of data, and normative structural as a research method. Based on the research method, this study views constituent as a unit of analysis in a sentence structure and the meaning is the starting point of data analysis. This research will also apply the mechanism of universe on the discovery of mood, aspectuality, and temporality into Arabic; some of those are the concept of The Time Benchmark System (SRW) of Hoed (1993) and the metacategory of tense, aspect, and actionality of Bache (1994).
The results of analysis revealed that Arabic - in term of form -- has two forms, which are the past and not the past forms. Meanwhile, according to semantic concept, the temporality of Arabic acknowledges the absolute temporality, which is past, present, and future times. The present and future times is expressed by using a verb muda: ri ', but the past time is expressed by using a verb ma: di and the lexical item that is modal /ka:na/, and a sentence context. From the view of aspectuality semantic concept, Arabic has two types, which are imperfectivity and perfectivity. Perfectivity is expressed by a verb form ma: di, meanwhile imperfectivity is expressed by a verb form muda: ri?.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T12108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danihar Irawati Is. Gunawan
"Pembahasan deskriptif sufiks nominalisator bahasa Perancis dilakukan karena jumlah dan macamnya yang banyak, di mana setiap macam memiliki satu nilai atau lebih. Deskripsi ini bertujuan untuk memerikan macam macam sufiks nominalisator tersebut dan nilai yang dimiliki oleh setiap macamnya. Pembahasan sufiks nominalisator ini dilakukan berdasarkan teori linguistik aliran fungsional, khususnya yang menyangkut morfologi. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan kamus ekabahasa Petit Robert 1, Dictionnaire de ia Langue Francaise. Sufiks nominalisator yang dapat bergabung dengan verba ada 17 buah, dengan adjektiva hanya 3 buah dan dengan keduanya ada 14 buah. Hasilnya menunjukkan bahwa pembentukan nomina melalui proses afiksasi atau derivasi, cenderung terjadi pada verba. Penambahan sufiks nominalisator pada sebuah verba dapat menghasilkan bermacam-macam nilai, dan nilai terbanyak adalah nilai tindakan. Dari 33 sufiks nominalisator yang ada, sufiks nominalisator, yang produktif adalah sufiks nominalisator -ment mencapai jumlah 1024 (18.08%)."
Depok: Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
V. Ronauli Ilyawati
"Setiap bahasa mempunyai system semantis yang berbeda. Yang dibahas dalam sistem semantis ini antara lain medan makna. Medan makna suatu unsur leksikal dalam bahasa yang satu memang jarang sekali yang identik dengan medan makna unsur sejenis dalam bahasa lain. Adanya perbedaan medan makna antara unsur leksikal dan padanannya merupakan titik tolak penelitian ini. Selain perbedaan medan makna, masalah lain yang akan dibahas adalah teknik penerjemahan dan sifat padanan. Karena penelitian ini berfokus pada adanya perbedaan medan makna dalam sebuah karya terjemahan maka sejumlah konsep mengenai semantik dan terjemahan digunakan sebagai dasar penelitian.
Data yang berhasil dikumpulkan berjumlah 61 buah. 24 buah di antaranya termasuk dalam kategori semantis objek sedangkan sisanya, yaitu 37 buah termasuk dalam kategori semantis peristiwa.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan medan makna antara BI dan BP disebabkan oleh faktor kebudayaan, yaitu kebudayaan matari1 (2 data), kebudayaan sosial (3 data), religi (3 data) dan bahasa (4 data). Sebab lainnya adalah masalah pilihan kata, maksudnya dalam sejumlah data penerjemah memilih unsur leksikal yang bermedan makna luas sebagai padanan unsur leksikal yang bermedan makna sempit.
Dilihat dari teknik penerjemahan, sebagian besar teknik yang ditempuh adalah modulasi sebagian untuk keseluruhan dan jumlahnya mencapai 38 buah atau 62,2%. Sisanya terbagi dalam padanan berpenjelasan 11 data, modulasi dinamis-statis 1 data, modulasi wadah isi 1 data dan modulasi 10 data.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa, walaupun ada perbedaan medan makna antara unsur leksikal BP yang dipadankan dengan unsur leksikal BI, sebagian besar merupakan padanan memadai. Yang lainnya adalah padanan kurang memadai 7 buah dan padanan tidak memadai 5 buah."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S14536
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Soesmoyo
"Bahasa Rusia modern adalah bahasa Rusia yang di_gunakan pada tahun tujuh puluhan - delapan puluhan abad KK. (Rozental, 1984:9). Dalam arti luas, yang disebut bahasa Rusia Modern pada mulanya adalah bahasa Rusia yang digunakan pada periode Pushkin sampai dengan periode Gorki. Kemudian pada masa Lenin, jangkauan periodesasinya diperluas menjadi dari periode Pushkin sampai saat sekarang. Dalam suatu negara yang secara sosial beraneka ragam, biasanya timbul masalah kebahasaan. Negara Uni Republik-republik Soviet Sosialis (selanjutnya disebut Uni Soviet) adalah negara yang penduduknya terdiri dari keanekaan etnis dan budaya. Karena itu, diperlukan alat komunikasi yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, baik untuk pergaulan dan kerja sama antar sesama warga, maupun untuk keperluan komunikasi resmi kenegaraan. Untuk keper_luan itu, pemerintah Uni Soviet telah menetapkan bahasa Rusia modern sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dengan kata lain, secara politis bahasa Rusia modern adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Uni Soviet_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1986
S15103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Soesmoyo
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manuputty, Stephannie Anastasha
"Wacana yang memenuhi syarat ialah wacana yang masing-masing unsur pembentuknya memiliki kaitan makna satu sama lain. Kaitan semantis itu, atau yang disebut kohesi, ditandai oleh unsur-unsur formal, baik itu unsur leksikal maupun unsur gramatikal. Oleh sebab itu Halliday dan Hasan, ahli linguistik yang menulis buku Cohesion in English, membagi kohesi menjadi dua macam, yaitu kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Kohesi yang dibahas dalam skripsi ini ialah kohesi gramatikal, khususnya jenis substitusi, dalam bahasa Perancis. Sejauh ini teori mengenai kohesi gramatikal, khususnya jenis substitusi, hanya mengenai bahasa Inggris.
Tiga masalah yang diangkat dalam skripsi ini ialah apakah ada konsep substitusi dalam bahasa Perancis? Jika ada, apa saja yang menjadi alat substitusi dalam bahasa Perancis? Bentukan apa saja yang dapat disubstitusi?
Ketiga masalah tersebut dijawab dengan melakukan penelitian atas teks-teks yang terdapat dalam dua novel dan enam majalah berbahasa Perancis. Penelitian didasarkan pada teori kohesi dari Halliday dan Hasan, dan konsep Krenn.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis hubungan leksikogramatikal yang terdapat di dalam kalimat-kalimat yang mengandung gejala substitusi, serta sistem perujukan tekstual maupun non tekstual."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S15544
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Octaviana
"Masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah apa dan bagaimana padanan presentatif bahasa Perancis dalam bahasa Indonesia. Konsep-konsep yang digunakan dalam analisis terbagi atas wawasan terjemahan dan wawasan sintaksi. Wawasan terjemahan meliputi konsep perpadanan, pergeseran dan probabilitas perpadanan. Wawasan sintaksi mencakup konsep hierarki sintaksi, presentatif bahasa Perancis dan fungsi-fungsi sintaksi bahasa Indonesia. Korpus yang berhasil dikumpulkan berjumlah 321 kalimat yang terdiri atas 7 kalimat yang mengandung presentatif voila, 8 kalimat yang mengandung presentatif voici, 157 kalimat yang mengandung presentatif il y a, 112 kalimat yang mengandung presentatif c;est dan 37 kalimat yang mengandung presentatif il est. Setelah melakukan analisis terhadap korpus yang terkumpul, penulis berkesimpulan bahwa meskipun sistem dan istilah presentatif tidak terdapat dalam bahasa Indonesia namun hal tersebut tidak menghambat penerjemahan presentasif bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia. Mayoritas padanan presentatif voila dan voici dalam bahasa Indonesia adalah demonstrativa ini/inilah. Mayoritas padanan presentatif il y a dalam bahasa Indonesia adalah verba yang ada. Presentatif c'est sebagian besar berpadanan dengan partikel -llah di dalam bahasa Indonesia, sedangkan mayoritas padanan presentatif il est dalam bahasa Indonesia adalah padanan nil. Sebagian besar padanan formal (59,83%) presentatif bahasa Perancis dalam bahasa Indonesia mengisi fungsi predikat dalam kalimat bahasa Indonesia. Pergeseran struktur kalimat merupakan pergeseran yang paling banyak terjadi dalam penerjemahan presentatif bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S14266
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendi Wijaya
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji verba bahasa Enggano dalam hubungan keaspekan. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian deskriptif dengan pendekatan fungsional sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Data penelitian ini adalah berupa data lisan berupa tuturan bahasa Enggano yang dituturkan oleh penutur asli bahasa daerah tersebut. Tuturan tersebut diambil dengan menggunakan instrumen gambar yang kemudian direkam, ditranskripsi, dan ditransliterasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perihal seluk-beluk verba khususnya verba transitif bahasa Enggano dalam hubungan keaspekan dan menjawab bagaimana proses gramatikalisasi pada verba transitif bahasa Enggano terjadi, serta bagaimana pengaruh pemunculan bentuk kata leksikal penunjuk keaspekan tersebut. Penelitian hanya dibatasi pada penelisikan terhadap pemarkah aspek perfektif dan imperfektif serta proses morfofonemik yang terjadi pada verba transitif bahasa Enggano. Dalam hal ini, peneliti menggunakan teori aspek yang dikemukakan oleh Comrie 1976 untuk menemukan pemarkah aspek perfektif dan imperfektif verba transitif bahasa Enggano dan teori pembentukan kata dengan model proses IP yang digunakan oleh Kridalaksana 2010 . Hasil dari penelitian ini adalah bahwa bahasa Enggano adalah bahasa yang memiliki aspek perfektif dan imperfektif yang ditandai dengan prefiks. Aspek perfektif bahasa Enggano dimarkahi dengan ho- dan hodeher yang disertai dengan proses morfologis dan sebagian verba mengalami proses morfofonemik dalam proses pembentukan katanya. Sementara aspek imperfektif ditandai dengan prefiks ka-, kah-, dan ki-. Di sisi lain, proses morfofonemik juga terjadi pada verba transitif bahasa Enggano, antara lain; proses perubahan fonem, pelesapan fonem, dan penambahan fonem. Dari hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar dilakukan kajian lebih jauh terkait morfologi dan morfofonemik verba dalam bahasa Enggano.

ABSTRACT
This thesis studied the verbs of Enggano language in aspect relations. This research uses a descriptive research methodology with a functional approach and a qualitative design as the method of the research. The data used in this research is an oral data sourced from the speech of the Enggano language produced by the native speaker. The speeches were taken by a picture as an instrument of the researcher, then it was continued to be recorded, transcribed, and translated. This research aims to explain the details of the verbs especially on the transitive verb of Enggano language in aspect relation and to answer how the grammatical process of the transitive verb of Enggano language is formed and to see the effects of inferential lexical word form aspect emergence. The research limited only to investigating the perfective and imperfective signifiers, and the process of morphophonemic appear on the transitive verbs of Enggano language. In this research, the researcher used the theory of aspect proposed by Comrie 1976 to find the signifier of the perfective and imperfect aspect of Enggano transitive verbs and the word formation theory with the IP model process used by Kridalaksana 2010 . The result of this research shows that the Enggano language is a language which has perfective and imperfective aspects signed by the prefixes. The perspective aspect of Enggano language signified by ho and hodeher accompanied by its morphological process and numbers of verbs encountered morphophonemic process on its word formation. Besides, the imperfective aspect signified by the prefixes ka , kah , and ki . On the other hand, the morphophonemic process also appears on the transitive verbs of Enggano language, such as the process of phoneme transformation, the phoneme vanishing, and the phoneme inclusion. Based on the result of the research, researcher suggests to expandingly study morphology and morphophonemic verbs in Enggano Language."
2018
T49482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>