Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47458 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ridwan Effendi
"Rahman Arge merupakan seniman terkemuka di Ujungpandang serta telah mempunyai nama di tingkat Nasional. Dalam perjalanan panjang karir kesenimanannya, 1950-an hingga 1990-an, ia sudah menghasilkan sejumlah besar puisi, cerpen, esai, kritik seni, dan drama. Arge juga dikenal sebagai sutradara dan aktor teater yang handal, pendiri Teater Makassar (TM), dan pemain film. Di samping itu, ia pernah memimpin Dewan Kesenian Makassar (DAM), Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulawesi Selatan, Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Sulsel, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulsel selama beberapa periode.
Pada awal Orde Baru Rahman Arge menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan dan sejak itu terus-menerus tercatat sebagai anggota lembaga tersebut. Terakhir ia bahkan berhasil menjadi anggota DPR/MPR-RI mewakili Golongan Karya (Golkar) Sulawesi Selatan. Kini selain bertugas di Komisi I DPR-RI, Arge juga menduduki jabatan Wakil Ketua Pengurus Besar Parfi dan Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Untuk pencapaian prestasinya di bidang drama, pada tahun 1977 Pemerintah RI memberikan "Hadiah Seni" kepada Arge. Sementara itu, Pemerintah Jepang mengundangnya meninjau kehidupan perfilman di Jepang pada tahun 1979 setelah ia menulis banyak kritik atas film-film Jepang. Adapun dalam bidang perfilman, Arge pernah menerima penghargaan sebagai "Aktor Harapan Terbaik I" (FFI 1978) dan "Aktor Pembantu Pria Terbaik" (FFI 1991).
Sedikitnya ada 12 naskah drama yang telah ditulisnya dari paruh akhir tahun 1950-an hingga saat ini. Banyak di antaranya yang, disutradarai maupun dimainkannya sendiri bersama Teater Makassar. Lewat kelompok teater itu ia pun beberapa kali mementaskan naskah-naskah drama penulis Indonesia kenamaan maupun naskah-naskah terjemahan. Dapat dikatakan Teater Makassar dan Rahman Arge sukar dipisahkan satu sama lain. Kelompok itu tidak hanya memperkenalkan lebih luas karya-karya drama Arge serta memantapkan keberadaan drama modern di Ujungpandang, tetapi juga mengukuhkan kehadiran Arge di percaturan sastra-drama/teater Nasional melalui forum semacam "Temu Teater" yang rutin diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak awal Orde Baru hingga paruh akhir tahun 1980-an.
Pada "Temu Teater Enam Kota" di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tahun 1978, Teater Makassar menampilkan karya Arge berjudul "I Tolok Daeng Magassing" (ITDM). Tidak seperti pada beberapa temu teater sebelumnya, pementasan drama itu disutradarai oleh Aspar Paturusi. Kehadiran Aspar di forum tersebut menandai suatu regenerasi di Teater Makassar pada akhir tahun 1970-an itu. Sepeninggal Arge, Aspar kemudian tampil memimpin Teater Makassar dan menulis serta menyutradarai sejumlah pementasan kelompok tersebut. Dua di antara drama yang ditulis dan disutradarai Aspar ditampilkan di forum Temu Teater DKJ, yaitu "Samindara" (1982) dan "Perahu Nuh II" (1985).
Meskipun sejak Temu Teater 1976 Arge lewat drama "Opa" telah terlihat membawa pembaharuan, namun dengan drama ITDM ia menunjukkan puncak pencapaian karya sastra-drama/teaternya. Dalam salah satu tulisannya, Ikranagara (1993) menilai drama yang bertolak dari cerita rakyat Makassar itu sebagai drama yang menegaskan keeenderungan "post-modern Indonesia" yang antara lain berciri eksperimental dan pengolahan khazanah seni daerah/tradisional."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1991
899.226 4 IND r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Robindrani Nuralam
"Penelitian dalam skripsi ini difokuskan pada sebuah legenda Betawi, Nyai Dasima. Cerita ini sudah ada sejak lama, paling tidak bisa dideteksi dengan kemunculannya dalam bentuk novel yang dibuat G. Francis pada tahun 1896. Sejak itu orang menanggapi cerita ini dalam beragam bentuk, seperti prosa, puisi, drama, dan versi, seperti syair, pantun, sinema, lenong, Dardanela, Komedi Stamboel dan lain-lain. Adanya transformasi-transformasi cerita yang berlatar belakang kebudayaan Betawi ini menunjukkan minat yang besar dari masyarakat pada cerita ini. Tidak mengherankan jika cerita ini begitu populer hingga mengalami lintas budaya. Sekalipun banyak bentuk tampilan Nyai Dasima, namun tidak menyurutkan peredaran cerita ini sebagai cerita rakyat Betawi.
Dari beraneka ragam transformasi cerita Nyai Dasima tersebut kemudian dikaji transformasi cerita Nyai Dasima versi Tukang Cerita Sofyan jaid dari Tjerita Njai Dasima, G. Francis. Hal tersebut terutama dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan isi cerita dari akhir abad ke-19 itu menuju awal abad ke-21 ini. Dengan demikian dapat diketahui pandangan-pandangan terhadap cerita Nyai Dasima pada dua masa tersebut.
Dalam mengkaji transformasi yang terjadi dalam cerita Nyai Dasima digunakan teori intertekstual yang menyangkut hipogram menurut Riffaterre, Partini Sardjono-Pradotokusumo dan Pudentia MPPS. Kedua tokoh terakhir mengembangkan sendiri teori intertekstual itu--ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp--ke dalam penelitian mereka. Pada dasarnya analisis ini menerapkan teori dari kedua tokoh tadi karena dianggap lebih relevan dalam penelitian ini. Untuk melihat sebuah kasus transformasi perlu lebih dulu dilakukan telaah intertekstual yang gunanya untuk melihat sejauh mana transformasi yang terjadi.
Sebelum mencapai analisis ini diuraikan terlebih dahulu isi cerita Nyai Dasima per-episode dari teks karya G. Francis dan teks Nyai Dasima versi Sofyan ]aid. Dari pemerian kedua teks tersebut diketahui pada dalam karya G. Francis terdapat 12 episode, sedangkan dalam versi Sofyan Jaid terdapat 8 episode. Empat episode yang tidak terdapat karya G. Francis adalah usaha Samioen dan keluarganya mempengaruhi Nyai Dasima (2 episode), Samioen menemui Hadji Salihoen (I episode), dan pesta kesembuhan Samioen (1 episode).
Selanjutnya setelah dilakukan penganalisisan terdapat transformasi dari unsur tokoh, penokohan, alur, latar. Tokoh Nyai Dasima mengalami modifikasi penokohan, Samioen mengalami modifikasi penamaan menjadi Hasan dan modifikasi penokohan, Ma Boejoeng mengalami modifikasi penamaan menjadi Mak Sema dan penokohan, Hajati mengalami modifikasi penamaan menjadi Dijah dan ekspansi penokohan, Toean W mengalami modifikasi penamaan menjadi van de Buur.
Penelitian ini baru merupakan sebuah pendahuluan bagi penggalian yang lebih mendalam terhadap sebuah cerita rakyat Betawi. Diharapkan dari penelitian ini dapat melestarikan warisan kebudayaan bangsa yang terancam punah karena perkembangan teknologi, komunikasi,dan jumlah penutur yang makin menyurut jumlahnya. Dari hasil analisis ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, khususnya kesusastraan tradisional Betawi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudentia Maria Purenti Sri Suniarti Karnadi
"Untuk memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia, beberapa cara dilakukan, antara lain dengan menerjemahkan atau menampilkan kembali karya dari khasanah kesusastraan daerah. Di antara sekian banyak sastrawan yang menulis dan memperkenalkan karya sastra daerah dalam bahasa Indonesia, nama Ajip Rosidi pantas dicatat kehadirannya. H.B. Jassin memasukkannya ke dalam Angkatan 66 (Jassin, 1985:95) dan Teeuw menyebutnya sebagai salah seorang pengarang Indonesia terpenting pada abad ini (Teeuw, 1979;.105). Ajip Rosidi tidak hanya terkenal sebagai seorang sastrawan, tetapi juga sebagai seorang penelaah sastra yang banyak memberi perhatian pada bidang sejarah dan kritik sastra. Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia pun banyak menulis dalam bahasa Sunda. Perhatiannya terhadap sastra daerah ini amat besar seperti yang tampak dalam usahanya menghidupkan kembali pemberian hadiah karya sastra Sunda "Rancage". Selain itu, ia pun aktif menampilkan karya sastra daerah Jawa, seperti Candra Kirana (1962) dan Roro Mendut (1961,1977)serta dari khasanah sastra Sunda, antara lain Mundinglaya Ai Kusumah {1961), Ciung Wanara (1961, 1985), Sangkuriang Kesiangan {1961), dan Jalan Ke Surga (1964).
Karyanya yang paling menarik untuk diteliti adalah yang berjudul Lutung Kasarung (untuk selanjutnya disingkat LKA). Cerita ini memiliki banyak kemungkinan terjadinya transformasi kesastraan yang belum pernah diteliti orang sampai sekarang. LKA terbit pertama kali pada tahun 1958 dan kemudian pada tahun 1962 dan 1986 diterbitkan kembali dengan judul Purba Sari Ayu Wangi (untuk selanjutnya disingkat PSAW).
Pada bagian awal LKA dan PSAW, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa cerita yang digubahnya itu berasal dari versi lisan juru pantun yang kemudian diciptakannya kembali sesuai dengan pemahaman dan penafsirannya sendiri (Rosidi, 1958:7-18; 1986:5-18). Salah satu versi lisan yang tertua yang sempat direkam dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada naskah bernomor SD 113 yang ditulis oleh Argasasmita, mantri gudang kopi di Kawunglarang, Cirebon atas perintah K.F. Halle. Naskah ini pernah tersimpan di ruang naskah Museum Pusat Jakarta, tetapi sekarang dinyatakan hilang. Edisi teks yang pertama atas cerita "Lutung Kasarung" dan yang mendasarkan diri pada naskah tersebut adalah edisi yang dibuat oleh C.M. Pleyte pada tahun 1911 (Kern, 1940: 473).
Di samping Pleyte yang menerbitkan Cerita Pantun (batasan mengenai Cerita Pantun ada pada bab 2) dari teks "Lutung Kasarung", ada dua orang lain yang juga melakukan hal yang sama, yaitu Eringa (1949) dan Achmad Sakti (1976). Selain itu, masih ada penulis lain yang menerbitkan cerita "Lutung Kasarung" dalam bentuk Wawacan (yaitu narasi panjang yang digubah menjadi puisi yang dinyanyikan) dan dalam bentuk Tembang Cianjuran (yaitu sejenis drama yang dinyanyikan dengan iringan musik khas daerah Cianjur). Engka Widjaja, misalnya, memilih bentuk Wawacan; Saleh Danasasmita dan Ade Kosmaya memilih bentuk Tembang Cianjuran. Dari kesemua penulis di atas, hanya Ade Kosmaya yang memakai bahasa Indonesia sebagai media penyampaian cerita. Yang lainnya memakai bahasa Sunda. Selain dalam bahasa Sunda, Pleyte dan Eringa memberikan juga ringkasan dan terjemahan cerita dalam bahasa Belanda.
Cerita "Lutung Kasarung" di antara cerita rakyat yang ada di Indonesia memang menarik untuk diteliti. Cerita ini bermula dari versi lisan dan mempunyai kedudukan yang khusus dalam kesusastraan Sunda. Dari sejarah resepsi teksnya tampak bahwa "Lutung Kasarung" mempunyai banyak kemungkinan terjadinya transformasi yang tidak hanya berupa lintas budaya {Sunda ke Belanda, Indonesia, dan Jawa), tetapi juga yang berupa lintas bentuk (dari bentuk Cerita Pantun lisan ke bentuk tertulisnya dan dari bentuk Cerita Pantun tertulis ke bentuk prosa, puisi, drama, opera, novel, dongeng, dan film). Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan apa keistimewaan cerita "Lutung Kasarung" sehingga dari zaman ke zaman orang menaruh perhatian pada cerita ini. Seakan-akan cerita ini muncul kembali dalam bentuk-bentuk yang baru dengan penampilan yang baru. Dari masa ke masa orang memberikan perhatian kepada cerita tersebut baik dalam bentuk penciptaan kembali seperti yang telah disebutkan di atas maupun dalam bentuk pembicaraan kritis. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
T6892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudentia Maria Purenti Sri Suniarti Karnadi
"Literary study of Lutung Kasarung, a Sundanese folktale."
Jakarta: Balai pustaka, 1992
899.22 PUD t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andre
"Di era modernitas akhir, Kriminologi budaya menekankan pentingnya peran media dalam mengkonstruksikan secara budaya mengenai makna dan gambar penghukuman yang membangun budaya punitif. Salah satu media populer yang ikut serta melakukan konstruksi ini adalah animasi YouTube bertema cerita rakyat. Versi animasi ini mengangkat cerita-cerita tradisional dan menampilkannya dalam bentuk animasi serta dengan mudah disebarkan lewat media sosial. Penelitian ini akan menganalisa pesan-pesan seputar penghukuman dengan metode ethnographic content analysis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa cerita tersebut menyampaikan makna bahwa penghukuman terhadap orang jahat diperlukan sebagai bentuk perlindungan dan pembalasan terhadap kejahatan mereka. Gambar lain seperti ide bahwa kriminalitas merupakan pilihan individu serta kerentanan korban ikut membantu konstruksi bahwa penghukuman merupakan respon yang wajar dan penting terhadap kejahatan. Artinya, cerita ini ikut menjadi referensi bagi masyarakat untuk mempertahankan sikap punitifnya terhadap kejahatan dan penyimpangan.

As cultural criminology suggested, in this era of late modernity, media plays a huge part in an ongoing cultural construction regarding images and meaning of punishment which supported punitive attitudes. One of more prominent media that takes part in the construction process are the animated cerita rakyat which can be accessed through YouTube. These animation adopt traditional stories, or folklores, in Indonesia and are disseminated through video sharing websites and social medias. Using ethnographic content analysis method, this article attempts to uncover the meaning and images regarding punishment which are shown in the animation of cerita rakyat.
Result shows punishment are constructed as protection which are needed against the evil characters and as a way to give out retribution for their actions. Those images supported punishment as a favorable response to crime and further fostered by its depiction of nature of evil as personal choice and its emphasis on portraying the vulnerability of victims. All in all, these stories are part of cultural reference that society can draw forth for their punitive attitude toward crime and deviance."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Budiarsa
"Vokal yang terdapat dalam drama tari gambuh merupakan hal penting yang mesti dikuasai oleh semua penari, karena merupakan media penting dalam penyampaian lakon yang dibawakan. Bahasa Kawi sebagai bahasa pengantar dalam seni pertunjukan drama tari klasik di Bali seperti gambuh, calonarang, wayang wong ramayana, wayang wong parwa, topeng, dan lain sebagainya dipelajari oleh para seniman tari melalui teks-teks tertulis , secara lisan, maupun melalui pengalaman pentas senimannya. Untuk mengetahui cerita yang dibawakan dalam suatu pertunjukan gambuh, setidaknya penonton dapat menyimak melalui bagian adegan panyerita, bagian ini biasanya muncul setelah peran-peran utama melakukan tarian ngelembar. Dalam cerita karya Gunung Pangebel ini cerita disampaikan/ akan kita ketahui pada saat para patih/ bawahan raja antara lain Demang Tumenggung, Rangga, Arya, dan punakawan sedang menghadap sang raja Gegelang.
"
Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
700 KJSP 3 : 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Henry Guntur
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980
398.215 TAR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tria Novianty Chaerunnisa
"Perubahan pada bangunan yang sering ditemui yaitu perubahan pada ruko. Ruko yang semula digunakan sebagai rumah dan toko, belakangan didisain agar dapat mengakomodir berbagai guna bangunan, salah satunya sebagai hotel. Fenomena tersebut, khususnya yang marak terjadi di Makassar kemudian menjadi topik pada skripsi saya. Perubahan ruko ini membawa anggapan bahwa ruko sebagai bangunan yang fleksibel. Untuk mengetahui sejauh mana ruko mampu mengakomodir fungsi hotel, maka dilakukan analisis terhadap 2 bangunan hotel yang merupakan transformasi dari ruko. Analisis yang digunakan terkait dengan teori perubahan layer pada bangunan dan keselarasan antara bentuk (form) dan konteks (context) pada bangunan. Berdasarkan hasil studi kasus dapat disimpulkan bahwa tidak mudah bagi ruko untuk mengakomodir guna hotel. Hanya kelas hotel tertentu yang mampu diakomodir, seperti hotel kelas melati. Banyaknya perubahan yang terjadi pada ruko juga membuktikan bahwa ruko belum cukup fleksibel untuk mengakomodir perubahan guna bangunan.

The change of building uses which often encountered is the changes ofshophouse. Shophouse that was originally used just as a house and a shop has recently been designed ini order to accommodate all various sorts of building use, one of them as a hotel. That phenomenal, specifically happens in Makassar which became a topic of my thesis. Later, changes in this shophouse brings the assumption that the shophouse is a flexible building. To determine the extent which of the shophouse could accommodate the change in building use as a hotel, we have to analyze of two hotels which are the transformation of the shophouse. The analysis which to be used refers to the theory of layer changes in building and the harmony between form and context in building. Based on the case study, it could be concluded that is not easy for the shophouse to accommodate the building functions as a hotel. Only a certain class of hotel that could be accommodated, such as low budget hotel. The many changes that happened prove that shophouse yet flexible enough to accommodate changes of building uses."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S44073
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>