Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35493 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eva Lidya
"Keberadaan kader Golkar wanita di DPR berhubungan erat dengan pelaksanaan fungsi rekrutmen politik Golkar. Rekrutmen politik dimaksudkan sebagai proses pencalonan kader-kader untuk menduduki jabatan politik di DPR. Seorang kader wanita dapat menjadi anggota DPR bila ia mampu menempatkan namanya di urutan posisi "nomor jadi" dalam daftar calon tetap anggota DPR.
Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan rekrutmen politik anggota DPR Wanita Fraksi Karya Pembangunan (FKP) tahun 1992. Ada beberapa pertimbangan untuk membatasi masalah pada persoalan rekrutmen anggota DPR Wanita FKP. Pertama, jumlah anggota DPR wanita FKP selalu lebih banyak dari fraksi-fraksi lainnya. Kedua, sejak Golkar mengikuti pemilu (tahun 1971), kader wanita di FKP jumlahnya terus meningkat walaupun Golkar mengalami penurunan perolehan kursi DPR. Ketiga, Golkar memberikan perhatian serius pada masalah peningkatan peranan wanita di bidang politik yang tercantum dalam program umum Golkar sejak 1978 (hasil MUNAS II). Keempat, peningkatan jumlah kader-kader Golkar wanita di FKP pada pemilu 1992 tidak sebesar periode sebelumnya.
Dalam menghadapi pemilu 1992, Golkar melakukan beberapa perubahan. Kader-kader yang memperoleh nomor urut pertama sampai dengan nomor yang diperkirakan masuk sebagai anggota DPR kini langsung menjadi anggota DPR sehingga tidak lagi ditemui kader kader yang mengundurkan diri. Istilah Vote Getter yang selama ini dilekatkan pada kader-kader tertentu dan dipasang pada nomornomor awal di daftar caleg sekarang tidak lagi ditemukan karena semua kader yang masuk sebagai caleg tetap seluruhnya merupakan Vote Getter. Akibatnya, terjadi perubahan dalam mengisi keanggotaan MPR. Biasanya dari posisi nomor urut dapat diperkirakan kader-kader yang akan masuk sebagai anggota MPR, tetapi karena terjadi perubahan susunan nomor urut maka terdapat skala prioritas bagi kader yang akan duduk sebagai anggota MPR.
Walaupun Golkar telah mencoba meningkatkan jumlah kader wanita di FKP sebagaimana yang terjadi pada pemilu 1982 dan 1987, tetapi peningkatan itu tidak berlanjut pada pemilu berikutnya. Dalam keanggotaan DPR periode 1992-1997 prosentase pertambahan kader wanita di FKP mengalami penurunan sebesar 31,25 % dari periode sebelumnya. Pada 2 periode sebelumnya prosentase pertambahan anggota DPR wanita di FKP sebanyak 33,33% sementara pada pemilu 1992 hanya 2,08%. Rendahnya pertambahan kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak dapat dilepaskan dari rekrutmen politik Golkar.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana rekrutmen politik anggota DPR wanita FKP periode 1992-1997. Diasumsikan bahwa ada beberapa pertimbangan tertentu yang diambil Golkar dalam memberikan "nomor jadi" pada kader wanita di dalam daftar calon tetap anggota DPR pada pemilu 1992. Pertimbangan yang dianggap amat menentukan keberadaan kader wanita di DPR yaitu menyangkut kebijakan Golkar terhadap pencalonan kader wanita, pemenuhan kriteria yang ditetapkan Golkar terhadap calon anggota DPR wanita dan pertimbangan unsur primordial. Untuk menjawab permasalahan penelitian dikumpulkan 2 macam data yaitu data kepustakaan dan data lapangan. Data lapangan didapat melalui wawancara mendalam dengan para informan yang dianggap mengetahui persoalan rekrutmen kader wanita sebagai anggota DPR pada pemilu 1992 dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rekrutmen kader Golkar wanita untuk dicalonkan sebagai anggota DPR tahun 1992-1997 dilandasi oleh suatu kebijakan yang mentargetkan jumlah kader wanita sebesar 15%, walaupun kenyataannya sejak pemilu 1987 jumlah mereka di DPR telah mencapai 16,05%. Akibatnya, laju pertambahan kader wanita pada pemilu 1992 menjadi tertahan bahkan dapat dikatakan dibatasi oleh kebijakan 15%. Pertambahan 2,08% kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak memiliki arti bila dibandingkan dengan pertambahan yang terjadi pada periode sebelumnya yaitu 33,33%. Rekrutmen anggota DPR wanita FKP tahun 1992 secara tidak langsung ditentukan juga oleh unsur kemampuan dan pengaruh yang ditetapkan Golkar. Walaupun unsur ini dapat berdiri sendiri-sendiri namun kader wanita yang akan menduduki kursi DPR dituntut memiliki perpaduan keduanya. Mereka merupakan kader-kader yang memiliki nilai lebih sehingga dianggap istimewa. Jumlahnya amat terbatas sehingga mereka sesungguhnya hanya mewakili sekelompok kecil kaum wanita Indonesia. Secara eksplisit memang tidak dinyatakan pentingnya pertimbangan unsur primordial dalam rekrutmen kader Golkar sebagai anggota DPR, tetapi dari hasil penelitian terungkap bahwa unsur agama dan suku/daerah ternyata sangat berperan dalam penempatan seorang kader wanita terutama yang berdomisili di Jakarta untuk masuk sebagai caleg di suatu daerah pemilihan tertentu. Ini disebabkan karena unsur suku/daerah atau agama yang melekat dalam diri seseorang dapat digunakan sebagai strategi untuk mempengaruhi masyarakat dan secara politis berdampak pada perolehan suara Golkar di daerah pemilihan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T3929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati
"Sejalan dengan arus liberalisasi dan kebijakan negara yang berfokus pada pembangunan, partisipasi wanita sebagai warga negara dianggap sama penting dengan partisipasi pria. Namun dalam kenyataannya, partisipasi politik wanita hanya tinggi pada saat pemilihan umum. Bentuk dan intensitas partisipasi politik yang lebih tinggi lagi, terutama di institusi politik, begitu sulit dijangkau oleh wanita. Penelitian tentang wanita anggota DPR RI periode 1999-2004 ini memiliki tujuan untuk mengetahui: 1) tingkat partisipasi politik mereka: 2) hambatan partisipasi politik mereka dan 3) hubungan antara hambatan partisipasi politik dengan tingkat partisipasi politik mereka. penelitian ini didesain sebagai suatu survai yang bersifat eksplanatori. Hambatan partisipasi politik yang memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik wanita, dalam penelitian ini dibatasi pada tiga hal, yaitu: 1) hambatan kultural: 21 hambatan struktural dan: 3) hambatan psikologis. Partisipasi politik sebagai variabel terikat dalan penelitian ini diukur dari: 1) frekuensi kehadiran rapat: 2) intensitas keikutsertaan dalam panitia dan badan DPR: 31 intensitas kunjungan kerja: komunikasi dengan pemilih dan 41 tingkat populasi penelitian adalah seluruh wanita anggota DPR RI periode 1999-2004 yang diangkat sejak tahun 1999 berjumlah 42 orang. Walaupun penelitian ini dirancang sebagai suatu sensus namun responden yang berhasil ditemui hanya mencapai 25 orang sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian sensus tidak lengkap. Analisis data menggunakan prosedur Korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden mengalami hambatan partisipasi politik yang sedang sebanyak 60 persen. Sekitar 72 persen zesponden semiliki tingkat partisipasi politik yang juga sedang. Dari hasil uji Korelasi Spearman tidak terlihat adanya asosiasi di antara variabel-variabel tersebut. Berdasarkan hasil secara peneltiian, teoritik pendapat yang dikemukakan oleh para ahli seperti Vicky Randall, Nadezhda Svhedova, penelitian sebelumnya Ani mengenal Sutjipto pengaruh dan temuan hambatan partisipasi politik terhadap tingkat partisipasi politik dapat dikatakan tidak selalu sejalan. Untuk itu serangkaian penyempurnaan dalam studi sejenis perlu dilakukan. Hal penting yang disarankan bagi studi di masa depan adalah penggunaan konsep partisipasi politik bagi elit politik sehingga dapat digunakan variabel-variabel yang lebih sesuai dan penggunaan multi teknik pengumpulan data.

In line with the current of liberalization and state policies that focus on development, women's participation as citizens is considered as important as men's participation. However, in reality, women's political participation is only high during general elections. Higher forms and intensity of political participation, especially in political institutions, are very difficult for women to reach. This research on women members of the DPR RI for the period 1999-2004 aims to determine: 1) their level of political participation: 2) barriers to their political participation and 3) the relationship between barriers to political participation with their level of political participation. This research was designed as an explanatory survey. Barriers to political participation that have an influence on the level of women's political participation, in this study are limited to three things, namely: 1) cultural barriers: 21 structural barriers and: 3) psychological barriers. Political participation as a dependent variable in this research is measured from: 1) frequency of meeting attendance: 2) intensity of participation in DPR committees and bodies: 31 intensity of working visits: communication with voters and 41 levels. The research population is all female members of the DPR RI for the 1999-2004 period who were appointed since 1999 totaling 42 people. Even though this research was designed as a census, only 25 respondents were found, so this research can be categorized as incomplete census research. Data analysis used the Spearman Correlation procedure. The research results showed that the majority of respondents experienced moderate obstacles to political participation, amounting to 60 percent. Around 72 percent of respondents have a moderate level of political participation. from the test results Spearman's correlation does not show any association between these variables. Based on research results, theoretical opinions expressed by experts such as Vicky Randall, Nadezhda Svhedova, Ani's previous research regarding Sutjipto, the influence and findings of barriers to political participation on the level of political participation can be said to not always be in line. For this reason, a series of improvements in similar studies need to be carried out. An important thing that is recommended for future studies is the use of the concept of political participation for political elites so that more appropriate variables can be used and multiple data collection techniques can be used."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5744
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Firdaus
"Penelitian ini berkisar tentang aktifitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita) dalam melakukan pendidikan politik kepada kelompok perempuan yang ada di masyarakat. Aktiftas PPSW ini dalam perjalanannya menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi partsipasi politik perempuan di masyarakat yaitu di kelurahan Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Penelitian ini dilatarbelangi dengan kondisi makro Indonesia setelah kejatuhan rejim Orde Baru dimana terjadi partisipasi politik masyarakat. Kondisi seperti itu juga membuat kelompok-kelompok perempuan, yang selama ini termarginalkan dalam politik, ikut berpartisipasi dalam berbagai hal. Tak terkecuali anggota kelompok perempuan yang berada di lapis bawah dan menamakan dirinya kelompok "Melati" yang selama ini didampingi PPSW di daerah Pondok Rangon, juga ikut berpartisipasi politik dalam lingkup komunitasnya.
Dari latar belakang persoalan seperti disebut di atas, pertanyaan penelitin diajukan seputar; pertama, bagaimana gambaran partisipasi politik di kalangan anggota kelompok perempuan lapis bawah (kelompok Melati) yang ada di Pondok Rangon, Jakarta Timur. Kedua, bagaimana gambaran pendidikan politik sebagai bentuk sosialisasi politik yang dilakukan PPSW terhadap anggota kelompok perempuan lapis bawah. Ketiga, bagaimana dampak pendidikan yang dilakukan PPSW dengan partisipasi politk perempuan lapis bawah yang selama ini terjadi di Pondok Rangon.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitati Hal ini dilakukan untuk bisa menggambarkan partisipasi politik anggota kelompok perempuan Melati, dan pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini di Pondok Rangon, dan bagaimana dampak pendidikan politik itu secara mendetail.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini mempunyai pengaruh pada tingkatan anggota kelompok yang menjadi kader lokal. Sedangkan pada tingkatan anggota kelompok Melati lainnya, dampak pendidikan tersebut kurang banyak manfaatnya, bahkan bagian kelompok ini hanya memanfaatkan kelompok Melati sebagai sarana untuk simpan pinjam semata. Atau dengan meminjam analisa Caroline Q.N. Moser, seorang analisis gender, bahwa bagian kelompok perempuan ini hanya menggunakan kelompok sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan "praktis" semata.
Rekomendasi dari hasil peneletian ini, PPSW selaku LSM pendamping harus melakukan refleksi terhadap pendidikan politik yang selama ini dilakukan terhadap kelompok perempuan dampingannya. Dalam konteks itu, pendidikan "community organazing" yang menjadi "awal (inti)" dalam strategi pendidikan politik yang digagas PPSW, harus dicermati ulang dalam implementasinya dilapangan. Sementara itu, pada tingkat kelompok Melati, anggota yang menjadi kader harus terus melakukan tugas-tugas "pengorganisasiannya" secara kontinue, terkhusus di lingkup komunitas Pondok Rangon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviolita Alip H.
"Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara anggota legislatif dengan konstituennya dalam hal ini hubungan antara perempuan anggota DPRD Kota Depok periode 2009-2014 dengan konstituen. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini berupaya menggambarkan hubungan antara Siti Nurjanah, T. Farida Rachmayanti dan Juanah Sarmili dengan konstituennya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi hubungan dua arah yang menunjukkan tipe representasi politik antara perempuan anggota legislatif dengan konstituennya. Tipe representasi substantif terjadi pada hubungan Siti Nurjanah dan T. Farida Rachmayanti dengan konstituennya. Sedangkan tipe representasi deskriptif ditunjukkan oleh hubungan antara Juanah Sarmili dengan konstituennya.
Studi ini berkesimpulan bahwa pasca terpilih sebagai anggota legislatif, Siti Nurjanah, T. Farida Rachmayanti dan Juanah Sarmili, menjalin hubungan baik dengan konstituennya dan sensitif terhadap isu perempuan di setiap kebijakan yang akan dibuat DPRD.

This thesis discusses the relationship between local legislators and their constituents in this case the relationship between women legislators with constituents in Depok City. This study uses qualitative descriptive research. The study describes the relationship between Siti Nurjanah, T. Farida Rachmayanti and Juanah Sarmili with constituents.
The analysis showed that there was a two-way relationship that indicates the type of political representation between women legislators and their constituents. Type of substantive representation occurs in relations Siti Nurjanah and T. Farida Rachmayanti with constituents. While the type of descriptive representation is shown by the relationship between Juanah Sarmili with constituents.
The study concluded that the legislature elected post, Siti Nurjanah, T. Farida Rachmayanti and Juanah Sarmili, establish good relations with constituents and sensitive to women's issues in each policy will be made by Parliament.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S52859
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1981
320.9 Par
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1981
320.9 Par
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jepri Buleh
"Pada masa reformasi dengan adanya pemilihan umum secara langsung, kekuatan eksternal, seperti sepak bola sangat diandalkan untuk mampu melakukan suatu mobilisasi massa untuk mendukung suatu pasangan calon. Salah satu contohnya adalah Bobotoh yang diperebutkan suaranya oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Umum Presiden Indonesia Tahun 2019. Dengan memiliki basis massa yang cukup besar membuat Bobotoh sebagai suporter sepak bola menjadi objek politik yang menarik dan memiliki nilai tinggi sehingga diperebutkan oleh para pasangan calon untuk memperoleh dukungan suara dari massa yang dimilikinya. Karya ini berusaha menganalisis faktor yang mempengaruhi dan kondisi internal dari tiga kelompok Bobotoh, yaitu Viking Persib Club, The Bombers, dan The Bomb dalam mengambil sikap politik untuk mendukung pasangan calon Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam untuk mengumpulkan data. Dalam partisipasi politik tiga kelompok Bobotoh tersebut, ada peran besar dari para ketua dari kelompok Bobotoh, yaitu Hero Joko selaku Ketua Viking Persib Club dan Nevi Efendi selaku Ketua The Bombs.

During the reform era with direct general elections, external forces, such as football, were relied on to be able to carry out a mass mobilization to support a candidate pair. For example is Bobotoh, whose votes were contested by the two pairs of presidential and vice presidential candidates in the 2019 Indonesian Presidential General Election. By having a large enough mass base, Bobotoh as a football supporter becomes an interesting political object and has a high value so that it is contested by the fans. candidate pairs to gain the support of the votes of the masses they have. This work attempts to analyze the influencing factors and internal conditions of the three Bobotoh groups, namely the Viking Persib Club, The Bombers, and The Bomb in taking a political stance to support the Jokowi-Ma'ruf Amin candidate pair in the 2019 General Election. This research is a qualitative method with in-depth interview techniques to collect data. In the political participation of the three Bobotoh groups, there was a big role from the leaders of the Bobotoh group, namely Hero Joko as Chairman of the Viking Persib Club and Nevi Efendi as Chairman of The Bombs.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Abrori
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada peran jawara di Banten sebagai elemen sosial yang nampak mempunyai pengaruh kuat di Banten dan seringkali mengambil sikap yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Banten dan Jawara, seperti Kartodirdjo (1984), Hamid (1987), dan Tihami (1992) memperlihatkan bahwa jawara memang sudah lama menjadi elemen sosial yang berpengaruh karena tidak sedikit diantara mereka yang menjadi pemimpin masyarakat untuk bidang ekonomi, bidang politik (birokrasi) atau bidang agama. Sebagai pemimpin masyarakat atau elit sosial, jawara juga mendapat dukungan anak buah jawara yang hampir tersebar di seluruh wilayah Banten.
Keberadaannya sebagai elit sosial yang berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, memperlihatkan bahwa jawara adalah orang-orang yang ikut serta berpartisipasi politik. Dalam hal ini, akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di Banten. Kemudian dipilihlah sebuah organisasi jawara yang bemama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang sekretariat pusatnya terdapat di Serang. Dipilihnya organisasi tersebut mengingat para jawara yang akan dijadikan informan sesuai dengan konsep yang telah dibuat, tidak menetap pada suatu desa tertentu tetapi menyebar di beberapa desa atau kecamatan. Selain itu, Serang merupakan lbukota Propinsi Banten dimana suhu politik cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain.
Pada kasus jawara, perilaku politik mereka difokuskan pada budaya politik (pengetahuan, keyakinan dan sistem nilai yang mereka anut) dan kepemimpinan jawara. Untuk meneliti budaya politiknya, digunakan teori yang dibuat oleh Almond dan Verba. Untuk meneliti tentang kepemimpinannya, digunakan penjelasan kekuasaan oleh Weber, Parsons, Lasswell dan Mills.
Dari hasil kajian beradasarkan data yang diperoleh, pola perilaku politik jawara termasuk kepada pola perilaku pragmatic. Perilaku inilah yang mendorong para jawara untuk cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa pemimpin (termasuk pemimpin pemerintahan eksekutif dan legislatif) itu harus dihormati. Mereka yakin pemimpin tersebut sah secara hukum karena terpilih melalui pemilihan umum. Cara ini dipercaya oleh mereka sebagai bentuk demokrasi.
Namun, alih-alih berjuang untuk negara dengan doktrin "bela diri bela bangsa bela negara", perilaku politik mereka tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Ini terlihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jihad untuk mengejar kepentingan materi'. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenarnya adalah kepentingan ekonomi.
Untuk kepentingan ekonomi itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal. Karena sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional.
Pengejaran nilai eknomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pala hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara.
Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai amitma.
Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.
Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dan mitra-mitranya juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial dimana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya control (pengawasan) terhadap lembaga-lembaga bersebrangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki.
Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah terjadinya decivilasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Jamil
"Lembar-lembar pada halaman berikut merupakan sebuah studi tentang peran politik Sutan Sjahrir tahun 1945-1947. Studi ini merupakan pendalaman dari mata kuliah Politik Indonesia yang berfokus pada peran politik Sjahrir sekaligus melihat persoalanpersoalan yang dihadapi bangsa ini di awal kemerdekaan. Mempelajari peran politik Sjahrir 1945-1947 berarti perhatian akan tertuju pada periode revolusi Indonesia, suatu masa di mana terjadi perubahan kekuasaan secara cepat dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Para pemimpin gerakan nasionalis memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang arah dan bentuk negara yang ingin diciptakan. Secara sederhana elit politik ketika itu terbelah dalam mereka yang melihat Barat sebagai suatu model pemerintahan seperti Matta dan Sjahrir dan mereka yang menolaknya karena berpendapat model Barat tidak mencerminkan apa yang terjadi di Indonesia. Dapat dikatakan Soekarno termasuk tokoh utama golongan ini.
Sebagai seorang yang pernah tinggal dan mengenyam pendidikan di negeri Belanda, Sjahrir melihat kehidupan bangsa yang demokratis dapat diciptakan jika negara yang didirikan mengambil model seperti apa yang dilihatnya di negeri Belanda. Peran politik yang dimainkan Sjahrir didasari oleh pemikiran sosial sebagai penentangannya terhadap kapitalisme yang mengakibatkan timbulnya kolonialisme. Sistem pemerintahan parlementer dengan banyak partai dengan lembaga perwakilan pada tiap daerah menurut Sjahrir sangat cocok untuk Indonesia yang memiliki begitu banyak keragaman.
Dalam menghadapi kedatangan Sekutu dan Belanda setelah kekalahan Jepang, Sjahrir melihat diplomasi sebagai satu-satunya jalan keluar bagi pengakuan kemerdekaan Indonesia. Bagi Soekarno-Hatta, Sjahrir adalah orang yang paling tepat untuk tugas itu. Sebagai orang yang anti fasis dan pro Barat, Sjahrir tentu akan mudah diterima baik Belanda maupun Sekutu. Kebijakan politik Sjahrir di bidang diplomasi mendapatkan oposisi yang kuat dari Tan Halaka dengan Persatuan Perjuangannya yang mendapat dukungan dari sebagian tentara. Naiknya Sjahrir ke pentas politik berkat dukungan yang diperolehnya dari para pemuda yang tidak puas terhadap kelambanan pemerintahan Sukarno-Hatta dalam menyelesaikan berbagai persoalan dua bulan sebelum proklamasi. Dukungan dari pemuda ini sebenarnya bersifat semu karena kemudian banyak diantaranya berbalik menentangnya. Pendukung fanatik Sjahrir berasal dari pemuda perkotaan yang mendapat pendidikan Barat yang melihat Sjahrir sebagai representasi dari pandangan mereka, mereka yang masuk dalam lingkaran itu disebut dengan kelompok Sjahrir. Tidak dapat diabaikan adalah dukungan yang besar dari Dwitunggal Soekarno-Hatta terhadap kebijakan Sjahrir yang membuat peran politiknya memiliki pengaruh besar pada periode ini. Puncak perubahan penting setelah proklamasi adalah terjadinya pergeseran kekuasaan dari Soekarno kepada Sjahrir pada tanggal 14 November 1945. Melalui manuver politik dalam KNIP, Sjahrir. berhasil mendapat persetujuan pemerintah untuk berlangsungnya sebuah pemerintahan parlementer.
Teori yang digunakan dalam studi ini yaitu peran kaum cendekiawan di dunia ketiga setelah berakhirnya Perang Dunia kedua, pemikiran sosialisme demokratis dan pendapat beberapa ahli tentang peran politik Sjahrir. Instrumen penelitian ini studi literatur dan wawancara mendalam.
Dari analisa dan interpretasi data menunjukkan bahwa teori tersebut relevan untuk menjelaskan studi ini. Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua banyak negera-negara bekas jajahan muncul menjadi negara merdeka. Peran politik mereka sangat menentukan bentuk dan visi bangsa tersebut karena pada umumnya mereka adalah pemimpin nasionalis yang telah jauh sebelumnya memperjuangkan kemerdekaan. Langkah-langkah politik Sjahrir pada periode 1945-1947 dapat dimengerti dengan melihat pomikiran politik sosial demokratis yang dianutnya. Sedangkan pendapat beberapa ahli tentang peran politik Sjahrir akan berguna untuk membawa kita pada suatu sintesis, feodalisme, fasisme, anarkisme suatu watak yang harus ditinggalkan jika mau menjadi bangsa demokratis. Studi ini barangkali studi mau mengatakan, kearah mana Sjahrir memikirkan untuk membawa bahtera bangsa ini dahulu sampai kini kita masih belum dapat berlabuh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tulus Guritno
"Dengan otonomi daerah maka diharapkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan di daerah tersebut semakin tinggi karena salah satu hakekat sekaligus tujuan diadakannya otonomi adalah terjadinya peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Berbagai hasil studi mengidentifikasi bahwa faktor yang paling mempengaruhi atau berhubungan positip dengan partisipasi politik adalah faktor Status Sosial Ekonomi (SSE) yang terdiri dari variabel tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu verifikasi terhadap sebuah teori yang melihat adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat Status Sosial Ekonomi dengan tingkat Partisipasi Politik yang mengambil setting pada masyarakat di Kabupaten Banyumas selama menjadi Daerah Percontohan Otonomi.
Dari berbagai teori mengenai partisipasi politik dan hasil-hasil penelitian terdahulu di dapati bahwa untuk meneliti partisipasi politik harus diteliti pada setiap bentuk menurut intensitasnya. Karena partisipasi politik merupakan konsep payung di mana setiap bentuk partisipasi politik yang ada di dalamnya merupakan variabel yang berdiri sendiri.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripftiv/survey, pengambilan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling dengan jumlah responden sebanyak 198 orang. Sedangkan analisa data menggunakan analisis regresi logistik dan pengujian hipotesis memakai taraf signifikansi 5 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan dan penghasilan secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap berbagai bentuk partisipasi politik yang diteliti. Namun secara parsial baik variabel pendidikan maupun penghasilan tidak selalu memiliki pengaruh yang signifikan tehadap berbagai bentuk partisipasi politik.
Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemerintah daerah berhati-hati dan cermat dalam mengelola partisipasi politik ini dan secara mandiri mengadakan mobilisasi politik yang positip yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi politik masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>