Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161840 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Herdini
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh membran spermatozoa yang memiliki integritas dan fuiditas yang optimum. Salah satu penyebab infertilitas adalah kerusakan membran spermatozoa. Pada kerusakan membran spermatozoa, diduga penyebab utamanya adalah peroksida lipid membran yang terbentuk dari reaksi berantai antara suatu radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh jamak (ALTJJ). Karena spermatozoa dapat menghasilkan senyawa oksigen reaktif (radikal bebas) seperti anion superoksida dan peroksida hidrogen yang berasal dari oksidasi NADPH di mitokondria, maka ALTJJ yang banyak dalam membran mudah menjadi peroksida lipid. Pada sel lain peroksida lipid akan menganggu stabililas membran dan mengacaukan aktifitas enzim-membran, terutama ATP-ase. Akibalnya regulasi kation intraseluler seperti kalsium yang memegang peranan penting dalam motilitas spermatozoa akan terganggu. Diduga astenozoospermia terjadi akibat kerusakan membran yang disebabkan oleh terbentuknya peroksida lipid. Untuk ini telah dilakukan penelitian pada 19 sampel semen astenozoospermia pria ingin anak (PIA), sebagai kontrol adalah 19 semen pria punya anak (PPA) yang berumur kurang dari 1 tahun atau istri sedang hamil. Parameter yang dinilai adalah persentase motilitas spermatozoa progresif, kecepatan spennatozoa, persentase morfologi spermatozoa normal, persentase uji HOS positif, dan kadar peroksida lipid spermatozoa.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan kadar peroksida lipid sperma pada ke 2 kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada kelompok PPA dan PIA astenozoospermia (p > 0,05). Persentase motilitas spermatozoa progresif, kecepatan spermatozoa dan persentase uji HOS positif dari kelompok PPA lebih tinggi secara bermakna dari kelompok PIA astenozoospermia (p < 0,01). Sedangkan persentase morfologi spermatozoa normal tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada kelompok PPA dan PIA astenozoospermia (p > 0,05).
Pada uji korelasi, kadar peroksida lipid sperma tidak berkorelasi dengan kualitas sperma yang meliputi persentase motilitas spermatozoa progresif, kecepatan spermatozoa, morfologi spermatozoa normal dan persentase uji HOS positif baik pada kelompok PPA dan PIA astenozoospermia. Kecuali kadar peroksida lipid sperma berkorelasi negatif bermakna dengan persentase motilitas progresif pada kelompok PPA. ;Scope and Methods of study

ABSTRACT
The optimal integrity and fluidity of sperm plasma membrane is very important for fertilization. The damage of the sperm plasma membrane is one of the caused of male infertility. Rumen sperm is able to generate reactive oxygen species (free radicals), such as superoxide anion and hydrogen peroxide, which are derived from NADPH oxidation in mitochondria. The abundance of unsaturated lipids in the sperm plasma membrane renders it vulnerable to peroxide attack which in turn generates the lipid peroxide. In other cell types the membrane stabilizing effects of lipid peroxidation have been found to disrupt the activity of key membrane-bound enzymes, such as ATP-ases. As a consequence, the regulation in intracellular cations such as calcium, which are known to play an important role in the control of liumen sperm motility is disrupted. In the asthenozoosperrnia it is supposed that there is membrane damage caused by lipid peroxidation. In this research we used 19 sperm samples from patients with asthenozoospermia, and 19 sperm samples from men whose wife are pregnant or whose a child is less than one yearof age as control. The parameter are: the percentage of progressive motility, mean velocity, percentage of normal morphology, percentage of positive HOS test and sperm lipid peroxide concentration.
Findings and conclusions: Sperm from the fertile men were significantly better than the infertile men, based oil percentage of progressive motility, mean velocity and percentage of positive HOS test. Whilst the percentage of normal morphology and sperm lipid peroxide concentration is not significantly different. Sperm lipid peroxide concentration has no significant correlation with the quality of spermatozoa (including percentage of progressive motility, mean velocity, percentage of normal morphology and percentage of positive I-30S lest), in the infertile men as well as the fertile men. However sperm lipid peroxide concentration has a significant negative correlation with the percentage of progressive motility in the fertile men.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Yasmin Handoko
"ABSTRAK
Azoospermia sebagi salah satu penyebab infertilitas sebagian dapat ditunjukkan oleh adanya antibodi antisperma di dalam serum darah penderita. Antibodi ini merupakan autoantibodi yang disebabkan terjadinya ekstravasasi spermatozoa ke dalam darah yang antara lain akibat adanya obstruksi pada traktus reproduksi. Namun demikian, tidak dapat dikesampingkan kemungkinan adanya antibodi sejenis dalam serum darah pria yang telah mempunayai anak. Pada penelitian ini telah dilakukan Uji Aglutinasi Gelatin dan Uji Imobilisasi Sperma terhadap serum 37 pria azoospermia dan 32 pria fertil untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan dalam hal ditemukannya antibodi antisperma pada kedua kelompok tersebut. Dari uji X2 diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna dalam hal dijumpainya antibodi pengaglutinasi spermatozoa homolog pada pria azoospermia dan pria fertil (db"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Suhana
"Pada penelitian ini telah dilakukan kultur darah yang berasal dari pria pasangan infertil dan pria fertil untuk mengetahui bagaimana hubungan spermiofag yang terbentuk in vitro (jika ke dalam medium kultur ditambahkan spermatozoa manusia ), dengan reaksi imun terhadap spermatozoa. Pria pasangan infertil dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: azoospermia, oligozoospermia dan normozoospermia. Pada pria pasangan infertil, maupun pada pria fertil, telah dilakaukan reaksi imunitas selular dengan menggunakan tea hambatan migarasi (THM), dan reaksi humoral dengan menggunakan tes aglutinasi Kibrick.
Dalam Seri penelitian lain, 3 ekor kera (Ilacaca fascicuiaris) jantan dewasa telah disuntik spermatozoa manusia yang telah dicuci. Tea aglutinasi Kibrick untuk mengetahui titer antibodi antisperma demikian juga tea spermiofag untuk mengetahui adanya reaksi imunitas selular, telah pula dilakukan pada kera.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terbentuknya spermiofag in vitro berkorelasi dengan reaksi imunitas selular, jika ada apakah terbentuknya spermiofag in vitro dapat dijadikan tes imunitas selular terhadap spermatozoa.
Penyuntikan kera dengan spermatozoa dimaksudkan untuk mengetahui apakah terinduksinya imun tubuh terhadap spermatozoa manusia dapat menyebabkan terjadinya orkitis pada kera?
Hasil penelitian yang diperoleh, menunjukan bahwa:
1. Spermiofag dapat timbul in vitro jika darah pria pasangan infertil maupun fertil dikultur bersama spermatozoa homolog.
2. Ada perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara pria pasangan infertil dengan pria fertil.
3. Ada perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara berbagai kelompok pria pasangan infertil, kecuali antara kelompok oligozoospermia dengan normozoospermia.
4. Ada korelasi antara frekuensi timbulnya spermiofag in vitro dengan tes hambatan migrasi (status imunitas selular) pada kelompok pria pasangan infertil oligozoospermia dan normozoospermia, sedangkan pada kelompok pria pasangan infertil azoospermia tidak ada.
5. Tidak ada hubungan antara frekuensi timbulnya spermiofag in vitro dengan status imunitas humoral pada semua kelompok pria pasangan infertil.
6. Antibodi antisperma dapat timbul pada kera yang disuntik spermatozoa manusia beberapa hari setelah penyuntikan pertama, dan akan menurun setelah beberapa bulan penyuntikan dihentikan.
7. Spermiofag dapat timbul in vitro jika darah kera percobaan, maupun darah kera kontrol, dikultur bersama spermatozoa manusia.
Perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara kera percobaan dengan kera kontrol, hanya terjadi pada bulan kelima setelah penyuntikan. Degenerasi epitel tubulus seminiferus dapat timbul pada kera yang disuntik dengan spermatozoa manusia.
Karena terdapat korelasi yang bermakna antara jumlah relatif spermiofag dengan tes habatan migrasi yang menggambarkan reaksi imunitas selular, maka tes spermiofag in vitro dapat dijadikan petunjuk adanya reaksi imunitas selular, sehingga tes tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara tes imunitas selular.
Pada pria infertil azoospermia frekuensi reaksi imunitas humoral pada titer tinggi lebih sering daripada kelompok pria fertil, maupun pria pasangan infertil yang lain. Sebaliknya reaksi imunitas selularnya paling lemah, jika dibandingkan dengan kelompok yang lain. Pada penelitian ini semua kera percobaan mengalami degenerasi sel germinal, di samping itu juga semua kera percobaan memperlihatkan reaksi imunitas humoral yang cukup lama (kira-kira b bulan), sedangkan reaksi imunitas selularnya lemah dan berlangsung singkat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diduga bahwa peranan reaksi imunitas humoral pada kera yang disuntik spermatozoa manusia lebih pelting daripada imunitas selular, dalam proses degenerasinya sel germinal, tubulus seminiferus. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
D337
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana Sjamsuddin
"ABSTRAK
Ruang Iingkup dan cara penelitian : Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh motilitas spermatozoa. Salah satu penyebab infertilitas adalah gangguan motilitas pada spermatozoa. Pada astenozoospermia motilitas spermatozoa menurun. Seng termasuk elemen renik (trace element). Seng sitrat dapat meningkatkan motilitas spermatozoa manusia di dalam semen in vitro. Larutan Tyrode sebagai pengencer dan serum anak sapi (calf) dapat mempertahankan motilitas dan daya hidup spermatozoa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi larutan Tyrode, serum dan seng sitrat terhadap kualitas spermatozoa semen astenozoospermia manusia in vitro. Kualitas spermatozoa meliputi persentase spermatozoa motil dengan gerak maju dari penetrasi spermatozoa yang menembus (in vitro) getah serviks sapi masa estrus. Terlebih dahulu ditentukan waktu inkubasi yang optimum untuk meningkatkan persentase spermatozoa motil dengan gerak maju dari 5 sampel semen. Dengan waktu inkubasi optimum yang diperoleh penelitian dilanjutkan terhadap 30 sampel semen astenozoospermia pasangan ingin anak (PIA) dengan kriteria : volume > 2.5 mL; jumlah spermatozoa di dalam semen > 10 juta per mL; persentase spermatozoa motil < 50%. Masing-masing sampel semen dibagi 4, untuk kontrol (K), kontrol dengan perlakuan (Kdp), perlakuan (PI dan P2).
Hasil dan Kesimpulan : Penelitian pendahuluan menunjukkan waktu inkubasi 0,5 jam berpengaruh paling baik terhadap persentase spermatozoa motil dengan gerak maju di dalam semen. Hasil penelitian lanjutan, dengan analisis varian 2 arch, menunjukkan perbedaan bermakna (P < 0,01) antara persentase spermatozoa motil dengan gerak maju pada kelompok 0 dan 0,5 jam, juga antara kelompok K, Kdp, P1 dan P2. Uji BNT menunjukkan bahwa kelompok P2 setelah inkubasi 0,5 jam 37°C mempunyai persentase spermatozoa motil dengan gerak maju tertinggi. Kelompok P2 juga memperlihatkan penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks bertambah secara bermakna (P < 0,01)
Kesimpulan : Pengaruh pemberian kombinasi larutan Tyrode, serum dan seng sitrat masing-masing larutan Tyrode sebanyak 50%, serum sebanyak 5% dan seng sitrat dosis 183 mikrogram/mL pada semen astenozoospermia in vitro dapat meningkatkan persentase spermatozoa motil dan penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks bertambah.

ABSTRACT
Scope and Methods of study : The motility of spermatozoa is very important for fertilization. The disturbance of the sperm motile is one of the caused of male infertility. In the asthenozoospermia the motility of spermatozoa is descending. Zinc belong to trace element. Zinc citrate can increase motile spermatozoa in human semen in vitro. Solution of Tyrode as dilute and calf serum can stand in life and motile sperm. This study is intended to investigate the effects of combination of solution of Tyrode, serum and zinc citrate on the quality of human spermatozoa in vitro. The quality of spermatozoa consist the percentage of progressive motility and spermatozoa penetrating cervical mucus. The bovine cervical mucus in the estrous period was used instead of midcycle human cervical mucus. The optimal incubation period that can increase the percentage of progressive motility of spermatozoa was first determined on 5 semen samples. This incubation period was then used in further investigation on 30 sperm samples of asthenozoospermia from infertile men, which fulfill the criteria : volume of semen > 2,5 mL; percentage of progressive motility of spermatozoa < 50%; sperm count > 10 million per mL semen. Each semen samples was divided into 4 groups ; untreated control, treated control, treatment I and treatment 2.
Finding and conclusions : The preliminary study showed that incubation period of 0,5 hour was optimal to increase the percentage of progressive motility of spermatozoa. The follow up investigation by two way nova, showed a significant difference in the percentage of progressive motility of spermatozoa between the 0,5 hour and 0 hour incubation, and also between the four groups. BNT test showed the treatment 2 group after 0,5 hour incubation at 370C the percentage of progressive motility of spermatozoa was increased significantly (P < 0,01). Friedman's test on penetrating of spermatozoa cervical mucus showed that the treatment 2 group was increased 4 cm significantly (P<0,01).
Conclusions : The effects of combination of solution of Tyrode, serum and zinc citrate instead of solution of Tyrode 50%, serum 5% and zinc citrate 183 ug/mL on human asthenozoospermia semen in vitro, the percentage of progressive motility of spermatozoa was increased and spermatozoa penetrating cervical mucus was increased.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhaimi
"ABSTRAK
Dari penelitian yang dilakukan oleh Lapota dkk. (1976) diketahui bahwa dengan metode swim-up dapat diisolasi spermatozoa motil. Spermatozoa hasil isolasi tersebut bebas dari spermatozoa non motil, serpihan-serpihan sel (debris), dan plasma semen. Metode tersebut diterapkan pula dalam penelitian ini dengan sedikit modifikasi, yaitu dengan menggunakan larutan Hanks dan larutan Tyrode. Tujuannya adalah untuk mengisolasi spermatozoa motil; dan mengetahui pengaruh waktu terhadap kecepatan gerak spermatozoa hasil isolasi. Pada penelitian ini, plasma semen dari ejakulat yang sama dipergunakan sebagai kontrol. Ke dalam 3 buah tabung reaksi yang diberi nomor 1, 2, dan 3, dimasukkan 0,5 mililiter semen. Pada tabung nomor 1 diteteskan secara pelan-pelan 0,5 mililiter plasma semen, sehingga membentuk suatu lapisan tersendiri di atas spesimen semen. Hal yang sama juga dilakukan pada tabung nomor 2 dan 3, tetapi dengan larutan Hanks dan larutan Tyrode. Ke-3 tabung diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam. Kemudian larutan pada lapisan sebelah atas dari setiap tabung dipipet. Selanjutnya spermatozoa motil yang berenang dalam plasma semen, larutan Hanks, dan larutan Tyrode diukur kecepatan geraknya pada waktu 0, 30, 60, 90, dan 120 menit setelah inkubasi. Hasil perhitungan statistik nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa pada waktu 0 sampai 120 menit setelah inkubasi, kecepatan gerak spermatozoa dalam larutan Hanks dan juga dalam larutan Tyrode lebih tinggi daripada dalam plasma semen; kecepatan gerak spermatozoa dalam larutan Hanks dan dalam larutan Tyrode pada waktu 0 menit setelah inkubasi tidak menunujukkan perbedaan yang berarti pada a = 0,05, tetapi pada waktu 30, 60, 90, dan 120 menit setelah inkubasi terlihat bahwa kecepatan gerak spermatozoa dalam larutan Tyrode lebih tinggi daripada dalam larutan Hanks. Hasil analisis data dengan uji nonparametrik Friedman untuk pengaruh waktu terhadap kecepatan gerak spermatozoa dalam plasma semen menunujukkan bahwa kecepatan gerak spermatozoa paling tinggi adalah pada waktu 0 menit, disusul pada waktu 30, 60, 90, dan 120 menit setelah inkubasi. Dalam larutan Hanks, kecepatan gerak spermatozoa pada waktu 0, 30, dan 60 menit setelah inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada a = 0,05; pada ke-3 waktu tersebut, kecepatan gerak spermatozoa lebih tinggi daripada waktu 90 dan 120 menit setelah inkubasi. Sedangkan dalam larutan Tyrode kecepatan gerak spermatozoa paling tinggi adalah pada waktu 30 menit setelah inkubasi; pada waktu 0 dan 60 menit setelah inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada a = 0,05; pada waktu 90 dan 120 menit setelah inkubasi kecepatan gerak spermatozoa mulai menurun. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa spermatozoa motil hasil isolasi dengan metode ?swim-up? menggunakan larutan Hanks dan larutan Tyrode kecepatan geraknya meningkat."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulaan, Ronald
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dumilah Ayuningtyas
"ABSTRAK
Dalam menghadapi Permasalahan infertilitas faktor pria memegang peran yang lebih penting dari wanita. Berbagai penelitian telah menbuktikan bahwa dalam kasus kasus infertilitas andil pria sebagai faktor penyebab kemandulan adalah sekitar 40-60%.
Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh infeksi nikoplasma Pada infertilitas pria. DaIam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap motilitas spermatozoa secara kuantitatif dan kualitatif dan mengkorelasikan dengan pertumbuhan hasiI biakan Ureaplasma urealyticum pada 30 sampel semen pria pasangan ingin anak. Analisis motilitas spermatozoa dilakukan mengikuti peraturan standar yang dikeluarkan WH0 (1980). Kolonisasi U. urealyticum pada semen ditandai oleh berubahnya warna indikator fenol merah Pada media pembiak Mycoscreen (DBV product).
HasiI pengujian statistik x2 nenuniukkan bahwa pada α 0,05 tidak terdapat Perbedaan bernakna antara rata-rata jumlah spermatozoa motil pada pria yang semennya terinfeksi Ureaplasma urealyticum dengan yang bebas infeksi. Penganatan motilitas spermatozoa secara kualitatif tentang jenis pergerakan juga memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna antara pria yang positif dan negatif ditumbuhi Ureaplasma urealyticum. Dengan demikian maka pada penelitian ini tidak terbukti bahwa kolonisasi mikroplasma pada semen akan mempengaruhi parameter semen."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Bowo Hasmoro
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan carapenelitian: Sebagai dasar pengembangan kontrasepsi pria metode hormon, pengetahuan bahwa spermatogenesis sangat tergantung pada sekresi hormon gonadotropin oleh kelenjar hipofisis. Terhambatnya sekresi hormon gonadotropin akan terjadi penekanan spermatogenesis. Pada penelitian ini metode hormonal yang digunakan adalah penyuntikan kombinasi dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dan dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA, setiap bulan dalam jangka waktu 12 bulan. Penelitian ini dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kontrol (1 bulan), fase penekanan (6 bulan) dan fase pemeliharaan (6 bulan). Pada fase kontrol, dipilih 20 pria sehat yang memenuhi persyaratan analisis semen dan laboratorium darah 2 kali normal, dibagi secara acak kedalam dua kelompok yang masing-masing terdiri 10 orang. Pada fase perlakuan kelompok pertama mendapat penyuntikan dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dan kelompok kedua mendapat penyuntikan dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA. Parameter yang diteliti adalah: (a) pemeriksaan semen rutin yang meliputi konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa dan motilitas spermatozoa; (b) uji fungsi spermatozoa yang meliputi uji HOS, uji reaksi akrosom dan uji tabung kapiler.
Hasil penelitian: Pemberian dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dibandingkan pemberian dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna untuk terjadinya: oligozoospermia berat mencapai < 5 juta/mL (p > 0,05); morfologi normal mencapai < 30 % (p > 0,05); motilitas spermatozoa mencapai < 50 % (p > 0,05); uji HOS mencapai < 50 % (p > 0,05); uji reaksi akrosom mencapai < 9 % (p > 0,05) dan uji tabung kapiler mencapai skor buruk ( p > 0, 05). Sedangkan terjadinya azoospermia antara kedua dosis menunjukkan perbedaan bermakna (p < 0.05).
Kesimpulan: Secara keseluruhan baik pada dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA maupun pads dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA semua relawan dapat mencapai keadaan oligozoospermia berat dengan fungsi spermatozoa yang buruk, tetapi pada dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA semua relawan dapat mencapai azoospermia.

ABSTRACT
The decrease of sperm function on the monthly injection of Testosterone Enanthate (TE) + Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) for Indonesian male contraception modelScope and Methods of study: The principle development of hormonal contraception method is the studies that spermatogenesis is very dependent on gonadotropin secretion by the pituitary gland. The inhibition of the gonadotropin hormon scretion may causes supression of spermatogenesis process. In this research the hormonal method used is the combination of low dose TE 100 mg + DMPA 100 mg and high dose TE 250 mg + DMPA 200 mg injection, every month, for a12-month period. This research is divided in to 3 phases: control phase (1 month); suppression phase (6 month) and maintenance phase (6 month). At control phase, 20 healthy men were selected as volunteers whose semen analysis and hematological analysis two times consecutively were normal. We divided them randomly in to 2 groups, each group consist of 10 volunteers. In the suppression phase and maintenance phase: the first group was given an injection of low dose TE 100 mg + DMPA 100 mg and the second group an injection of high dose TE 250 mg + DMPA 200 mg. The parameter observed were : (a) routine semen analysis which included sperm concentration; sperm morphology and sperm motility; (b) the sperm function test that included hipoosmotic swelling test, acrosome reaction test and sperm - cervical penetration test : capillary tube test.
Result: There is no significant difference between the injection of low dose TE 100 mg + DMPA 100 mg from high dose TE 250 mg + DMPA 200 mg to achieve severe oligozoospermia concentration < 5 million/mL (p > 0.05); normal sperm morphology < 30 % (p > 0.05); sperm motility < 50 % (p > 0.05); HOS test < 50 % (p > 0.05); acrosome reaction test < 9 % (p > 0.05) and capillary tube test bad score (p > 0.05). But there is a significant difference in the occurrence of azoospermia between the two doses.
Conclusions: Both the low dose of TE 100 mg + DMPA 100 mg and the high dose of TE 250 mg + DMPA 200 mg can achieve severe oligozoospennia and bad sperm function, but all volunteers in high dose have reached azoospermia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulita Witantina
"ABSTRAK
Dalam menangani kasus infertilitas, inseminasi
buatan atau fertilisasi in vitro dengan semen suami
sering dilakukan. Dalam hal ini diperlukan kualitas
spermatozoa yang cukup baik, terutama gerak dan
kecepatan spermatozoa. Semen dengan kualitas spermato
zoa yang kurang baik masih dapat ditingkatkan dengan
car a sperm washing dengan menggunakan metode swim up
dalam medium tertentu. Dalam penelitian ini dilakukan
studi perbandingan antara tiga macam medium, yaitu
Ham's Kramer dan untuk diketahui yang mana
paling baik dapat menyeleksi spermatozoa dengan kuali
tas yang baik dan perbandingan konsentrasi, kecepatan
dan motilitas spermatozoa sebelum dan sesudah dilakukan
proses swim up.
Sebanyak 20 sampel semen pria normozoospermia
pasangan infertil diperoleh dari Bagian Biologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI),
Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI dan Rumah Sakit
Yayasan Pemeliharaan Kesehatan, Jakarta. Setiap semen
yang dilakukan proses swim up masing-masing dengan
Hams F10, Kramer dan diamati di bawah mikroskop
konsentrasi, kecepatan dan motilitasnya sebelum dan
sesudah spermatozoa motil melakukan swim up.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonina
"Telah dilakukan penelitian laboratorium untuk mengetahui pengaruh
pemberian 13-Metildigoksin secara in vitro terhadap motilitas spermatozoa
manusia golongan astenozoospermia. Sampel semen yang digunakan
berasal dari 30 pria lbasangan ingin anak (PIA) dengan syarat: volume semen
lebih dari 2 ml, jumlah spermatozoa lebih dari 10 juta per ml semen,
persentase spermatozoa yang bergerak maju dan lurus (kategori (a)) clan
spermatozoa bergerak lambat atau sulit maju lurus atau bergerak tidak lurus
(kategoni (b)) antara 40% sampai 50%. Sampel semen tenlebih dahulu dicuöi
dengan menggunakan larutan Hank, kemudian dibagi menjadi empat
.kelompok perlakuan yaltu satu kelompok kontrol yang dibeni 2 ml larutan
Hank tanpa 13-Metildigoksjn clan tiga kelompok perlakuan yang diberi masingmasing
2 ml larutan 13-Metildigoksjn dengan konsentrasi 10-4 , I0, dan
10 10 M, lalu diinkubasj pada suhu 370C selama 20, 40, dan 60 menit.
Perhitungan persentase motilitas spermatozoa menggunakan metode WHO,
dengan menghitung jumlah spermatozoa motil dan immotil pada beberapa
lapangari pandang yang berbeda secara acak dan dilakukän di bawah
rnikroskop medan terang. Hasil uji Tukey (a = 0,05) menunjukkan bahwa
pemberian in vitro f3-Metildigoksin pada konsentrasi 10 clan 10 10 M
meningkatkan motilitas spermatozoa yang dipertahankan sampai waktu
inkubasi 40 menit, sedangkan pada konsentrasi 10 M semakin lama waktu
inkubasi semakin menurunkan motilitas spermatozoa. Motilitas spermatozoa tertinggi diperoleh pada pemberian 3-MetiIdigoksin pada konsentrasi 10' M
pada waktu inkubasi 40 menit."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>