Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150043 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
"Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Limas
"Latar Belakang: Kualitas pencitraan 3 dimensi salah satunya bergantung pada resolusi voxel dan diduga dapat mempengaruhi proses identifikasi titik anatomis. Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh variasi ukuran voxel terhadap ketepatan diagnosis sehingga belum terdapat suatu protokol dalam pemilihan ukuran voxel yang dapat digunakan dalam memanfaatkan CBCT sebagai perangkat diagnostik dalam bidang kedokteran gigi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai reprodusibilitas identifikasi titik anatomis pada gambar volumetrik hasil pemindaian CBCT dengan mempertimbangkan parameter pemindaian yang mempengaruhi kualitas gambar (ukuran voxel) sehingga pemindaian dapat dilakukan dengan dosis radiasi yang optimal sesuai dengan prinsip ALARA. Metode: Objek penelitian berupa satu buah tengkorak kering yang dipindai dengan CBCT i-CAT 17-19 (Imaging Science, Amerika Serikat) pada ukuran voxel 0,4 mm dan 0,25 mm. Hasil pemindaian ditampilkan dengan perangkat lunak OsiriX dalam bentuk MPR. Identifikasi 9 titik anatomis sefalometri oleh 34 orang ortodontis pada bidang sagital, aksial dan koronal secara berurut sebanyak 2 kali untuk tiap gambar dengan selang waktu 1 minggu. Koordinat titik-titik anatomis tersebut dicatat dan reprodusibilitas masing-masing titik pada kedua gambar diuji dengan menghitung simpangan koordinat yang ditentukan oleh subjek penelitian terhadap ODM dan kemudian diuji t berpasangan. Hasil: Hasil uji t berpasangan pada kedua kelompok data berdasarkan resolusi voxel menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna simpangan koordinat yang di tentukan oleh subjek penelitian terhadap rerata koordinat yang didapat dari penelitian ini kecuali pada titik Pog dalam arah medio-lateral. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan reprodusibilitas dalam menentukan titik anatomis sefalometri pada gambar 3D yang direkonstruksi dengan ukuran voxel 0,25 mm dan 0,4 mm.

Background: 3D imaging quality was assumed to be influenced by its voxel resolution. Up to now, there has only been few studies on how voxel sizes influence the accuracy of diagnosis, hence there is no concensus of voxel sizes protocol to utilize CBCT as a diagnostic imaging in dentistry, especially in the field of Orthodontics. This study was aimed to assess the influence of voxel sizes to the reproducibility of cephalometric landmarks obtained from a CBCT in order to achieve optimum radiation dose according to  the ALARA principle. Methods: One dried skull was scanned by CBCT machine (i-CAT 17-19; Imaging Science, USA) with 0.4 mm and 0.25 mm voxel sizes. The images were saved in DICOM format to be observed and traced by 34 orthodontists using OsiriX software. Landmark identification was undertaken twice by each subject on MPR view using 3D landmark definition. Deviation of each landmark was calculated to the observers’ mean for each data set. Reproducibility of each landmark was identified on those two data sets and was tested using paired t-test. Result: This study showed that there were no significant differences on those two data sets of coordinate deviation from the observers’ mean except only for Pog (medio-lateral). Conclusion: Voxel size did not seem to influence the landmark identification reproducibility in 3D cephalometric obtained from CBCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Shafa Khairunnissa
"Latar Belakang: Radiografi sefalometri lateral dan foto ekstra oral merupakan dua pemeriksaan awal yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti. Parameter vertikal skeletal pembentuk wajah pada radiografi sefalometri lateral dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan pola pertumbuhan wajah vertikal, dan foto ekstra oral dapat digunakan untuk menentukan tipe wajah. Kedua proyeksi ini diharapkan memiliki keselarasan dalam penentuan diagnosis. Tujuan: Mengetahui hubungan beberapa parameter vertikal skeletal pada sefalometri lateral terhadap indeks fasial pada maloklusi skeletal kelas I. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 70 rekam medik pasien maloklusi skeletal kelas I di Klinik Integrasi dan Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan korelasi yang positif dengan koefisien korelasi pada sudut gonial sebesar 0,590; sudut gonial inferior sebesar 0,312; sudut SN.MP sebesar 0,574; sudut FMPA sebesar 0,638; dan sudut MMPA sebesar 0,516 dengan nilai p pada kelima sudut <0,5. Pada sudut gonial superior didapatkan nilai p>0,5 dengan koefisien korelasi sebesar 0,072. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Hubungan Beberapa Parameter Vertikal Skeletal pada Sefalometri Lateral terhadap Indeks Fasial, sudut gonial, SN.MP, FMPA, dan MMPA memiliki korelasi positif kuat, sudut gonial inferior memiliki korelasi positif sedang, dan sudut gonial superior tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik.

Background: The two most common initial examinations performed in orthodontic treatment are lateral cephalometric radiographs and extra-oral photographs. Vertical skeletal facial parameters on lateral cephalometric radiographs can be used as indicators to determine vertical facial growth patterns, and extra-oral photographs can be used to determine the facial type. Both of these projections are expected to have harmony in determining the diagnosis. Objective: This study aims to describe the correlation of several vertical skeletal parameters in lateral cephalometry to facial index on class I skeletal malocclusion. Methods: Cross-sectional study is done using the secondary data found in patient’s medical record. Results: From 70 medical records of class I skeletal malocclusion patients at the Integration and Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, a positive correlation was obtained with a correlation coefficient on gonial angle of 0.590; inferior gonial angle of 0.312; SN.MP angle of 0.574; FMPA angle of 0.638; and the MMPA angle is 0.516 with p values at the five angles <0.5. At the superior gonial angle, p>0.5 was obtained with a correlation coefficient of 0.072. Conclusion: Based on research on the Correlation of Several Vertical Skeletal Parameters in Lateral Cephalometry to Facial Index, gonial, SN.MP, FMPA, and MMPA angle have a strong positive correlation, inferior gonial angle has a moderate positive correlation, and superior gonial angle has no statistically significant correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolita Dian Evayani
"Latar Belakang: Katup velofaringeal memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara saat pasien berbicara. Penutupan katup velofaringeal yang tidak sempurna menimbulkan masalah pada saat pasien berbicara. Terdapat beberapa modalitas dalam menilai insufisiensi velofaringeal, antara lain menggunakan mirror test dan radiografi sefalometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri sebagai modalitas pemeriksaan adanya insufisiensi velofaringeal pada pasien celah langit-langit pasca dilakukannya rekonstruksi celah langit-langit.
Metode : Merupakan penelitian cross-sectional analitik dengan desain khusus untuk suatu uji diagnostik dan dikelompokan dalam tabel 2x2 dengan pemeriksaan gold standard nasoendoskopi. Data diambil dari pasien berusia 5 – 11 tahun pasca rekonstruksi celah langit-langit dan mengikuti terapi bicara di Program SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta.
Hasil: Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas lebih tinggi (100%) dibandingkan mirror test, namun demikian nilai spesifitas sefalometri lebih rendah (33.3 %) dibandingkan mirror test. Sedangkan false negative dari radiografi sefalometri adalah 66.66 %.
Kesimpulan: Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan mirror test. Sehingga radiografi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas pemeriksaan insufisiensi velofaringeal bersama dengan mirror test yang selama ini telah digunakan sebagai modalitas awal pemeriksaan insufisiensi velofaringeal.

Background: Velopharyngeal valve has an important role in controlling the flow of air when the patient is speaking. Incomplete velopharyngeal closure cause problems when patient is speaking. There are several modalities in assessing velofaringeal insufficiency, among others, using the mirror test and cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the sensitivity and specificity of the test mirror and cephalometric radiographic as the modality of the insufficiency velopharyngeal examination in patients with cleft palate after performing cleft palate reconstruction.
Methods: A cross-sectional analytic study with a specific design for a diagnostic test and grouped in a 2x2 table with the gold standard endoscopic examination. Data taken from patients aged 5-11 years post-reconstruction of cleft palate and speech therapy in SEHATI Program in Harapan Kita Hospital Jakarta.
Results: Cephalometric radiographs have higher sensitivity (100%) compared to the mirror test, however cephalometric values lower specificity (33.3%) compared to the mirror test. While the false negative of cephalometric radiographs was 66.66%.
Conclusion: Cephalometric radiographs have a higher sensitivity than the mirror test. Cephalometric radiographs can be used as a modality examination velofaringeal insufficiency along with mirror test which has been used as the initial modality examination velofaringeal insufficiency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Khairiyah
"Pendahuluan: Pengukuran parameter sefalometri lateral adalah bagian penting dalam perencanaan perawatan ortodonti. Pengukuran metode konvensional dilakukan secara manual, namun teknik ini memakan waktu. Metode digital dapat dilakukan menggunakan aplikasi yang saat ini semakin banyak dikembangkan dan disebarluaskan seperti aplikasi OrthoCeph yang dapat digunakan secara semi-otomatis dan aplikasi WebCeph secara otomatis dan semi otomatis. Dokter gigi dapat menggunakan aplikasi tersebut pada smartphone ataupun web agar lebih efisien dengan memastikan adanya keakuratan antara pengukuran pada radiografi sefalometri metode digital dan metode konvensional sebagai gold standard. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengukuran parameter sefalometri lateral (skeletal, dental, dan jaringan lunak) antara metode digital (OrthoCeph dan WebCeph) dengan konvensional. Metode: Radiografi sefalometri lateral dari 36 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 14 parameter skeletal, dental, dan jaringan lunak sefalometri lateral yang dianalisis. Uji paired t-test digunakan untuk menguji perbedaan antar metode. Interclass correlation coefficient (ICC) dan Bland-Altman plot digunakan untuk menguji reliabilitas antar metode. Hasil: tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital OrthoCeph dan konvensional pada sebagian besar parameter pengukuran parameter sefalometri lateral, antara lain SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, dan II (p≥0,05). Terdapat perbedaan secara statistik pada parameter SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls dan Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital WebCeph dan konvensional pada seluruh parameter (p≥0,05) kecuali E-Line Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode OrthoCeph dengan WebCeph pada seluruh parameter (p<0,05). Sebagian besar parameter menunjukkan kesepakatan baik hingga hampir sempurna antar metode (ICC≥0.61). Kesimpulan: Sebagian besar parameter menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan OrthoCeph dan WebCeph masih diperlukan penyempurnaan.

Introduction: Measurement of lateral cephalometric parameters is an important part of orthodontic treatment planning. Conventional measurement methods are performed manually, but this technique is time-consuming. Digital methods can be performed using applications that are currently being increasingly developed and disseminated, such as the OrthoCeph application which can be used semi-automatically and the WebCeph application both automatically and semi-automatically. Dentists can use these applications on smartphones or the web to be more efficient by ensuring accuracy between measurements on digital cephalometric radiography and conventional methods as the gold standard. Objective: This study aims to determine and analyze the differences in lateral cephalometric parameter measurements (skeletal, dental, and soft tissue) between digital methods (OrthoCeph and WebCeph) and conventional methods. Method: Lateral cephalometric radiographs from 36 research subjects were obtained according to inclusion criteria. There are 14 skeletal, dental, and soft tissue lateral cephalometric parameters that were analyzed. Paired t-test was used to test the differences between methods. Interclass correlation coefficient (ICC) and Bland-Altman plot were used to test the reliability between methods. Results: There were no statistically significant differences between the digital method OrthoCeph and conventional method in most lateral cephalometric parameter measurements, including SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, and II (p≥0.05). There were statistically significant differences in the SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls, and Li parameters (p<0.05). There were statistically significant differences between the digital method WebCeph and conventional method in all parameters (p≥0.05) except for E-Line Li (p<0.05). There were statistically significant differences between the OrthoCeph method and WebCeph in all parameters (p<0.05). All parameters showed good to almost perfect agreement between methods (ICC≥0.61). Conclusion: Most parameters show significant differences. The use of OrthoCeph and WebCeph still requires refinement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Galuh Rahmawati Hendra P
"Latar Belakang: Postur kepala yang baik adalah kepala tegak dengan kerja otot minimal dan mencapai efisiensi mekanis maksimal pada sistem saraf pusat. Ketidakseimbangan otot di tulang servikal dan sistem stomatognatik mempengaruhi postur kepala dan menyebabkan malrelasi maksila-mandibula. Usia 10-12 tahun merupakan periode emas perawatan ortodontik. Penilaian postur kepala perlu dipertimbangkan dalam perawatan ortodontik. Sudut NSL/OPT mewakili fleksi-ekstensi dari postur kepala dan sudut ANB digunakan dalam penentuan relasi maksila-mandibula. Penelitian mengenai hubungan antara sudut NSL/OPT dan sudut ANB belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB pada anak usia 10-12 tahun ras Deutro Melayu. Metode Penelitian: Penelitian dilakukan di Klinik Gigi Anak dan Radiologi RSKGM FKG UI dengan jumlah responden 33 anak usia 10-12 tahun, sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pada anak dilakukan pengambilan foto radiografi sefalometri lateral. Selanjutnya dilakukan penentuan sudut NSL/OPT dan ANB pada foto menggunakan software ImageJ. Analisis hubungan antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil: Nilai rerata yang didapatkan sudut NSL/OPT adalah 97,9 dan nilai rerata sudut ANB adalah 3,15. Uji korelasi didapatkan r 0,067 dengan p-value 0,713, menunjukkan hubungan sangat lemah antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB, dan tidak signifikan. Kesimpulan: Penelitian hubungan sudut NSL/OPT dengan sudut ANB secara sefalometri pada anak usia 10-12 tahun ras Deutro Melayu di Jakarta, hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear yang sangat lemah, dan secara substansi dapat disimpulkan sudut postur kepala tidak dapat dihubungkan dengan sudut ANB.

Background: Good head posture is an upright head with minimal muscle work and maximum mechanical efficiency in the central nervous system. Muscular imbalance in cervical spine and stomatognathic system affects head posture and maxillary-mandibular malrelation. Age 10-12 years is the golden period of orthodontic treatment. Assessment of head posture needs to be considered in orthodontic treatment. The NSL/OPT angle represents flexion-extension of the head posture, and the ANB angle is used to determine the maxillary-mandibular relationship. bnResearch on the relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle in children aged 10-12 years of the Deutro Malay race has never been found before. Purpose: to analyze the relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle in children aged 10-12 years of the Deutro Malay race. Methods: This research was conducted at the IKGA and Radiology Clinic RSKGM FKG UI with a total of 33 respondents aged 10-12 years, according to inclusion and exclusion criteria. Lateral cephalometric radiographs were taken. The NSL/OPT and ANB angles were determined on the photos using ImageJ software. Data analysis using Pearson correlation test. Results: The mean value for the NSL/OPT angle is 97.9 and ANB angle is 3.15. The correlation test r 0.067 with p-value 0.713, indicating a very weak relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle, and not significant. Conclusion: The results showed that there was a very weak linear relationship, and in substance it can be concluded that the angle of head posture cannot be related to ANB angle."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruthy Yulianti
"Latar Belakang : Sefalometri lateral merupakan pemeriksaan radiograf penunjang yang menjadi standar utama dalam mengetahui kelainan kompleks kraniofasial anak terutama pada kelainan pola skeletal serta menegakkan diagnosis dan penentuan rencana perawatan. Sefalometri memiliki efek paparan radiasi yang kumulatif dan dapat menginduksi kematian sel sehingga dapat merusak fungsi organ. Sekarang ini, terdapat pergeseran paradigma tujuan perawatan ortodontik yang lebih mengutamakan penilaian jaringan lunak. Fotometri lateral telah digunakan sebagai alat diagnostik non-invasif dan dapat memprediksi nilai keselarasan skeletal. Analisis fotometri dinilai lebih efektif, andal, dan ekonomis dalam menilai morfologi kraniofasial profil wajah. Tujuan : Menganalisa perbedaan jarak dan sudut radiografi sefalometri terhadap fotometri lateral pada anak dengan maturasi vertebra servikal tahap dua dan tiga ras Deutro Melayu sebagai landasan dalam penentuan diagnosis dan rencana perawatan. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total subyek 38 anak dengan CVS 2 – CVS 3 ras Deutro Melayu. Pengambilan radiograf sefalometri lateral dan fotometri lateral serta dianalisis menggunakan aplikasi perangkat lunak (Webceph). Hasil : Tidak terdapat perbedaan signifikan antara sudut SNA, jarak NA, dan jarak FHP pada sefalometri lateral dengan sudut TrgNA, jarak N’A’, dan jarak FHP’ pada fotometri lateral. Kesimpulan : Fotometri lateral dapat dipertimbangkan menjadi alternatif dalam mengevaluasi kelainan kraniofasial yang lebih sederhana, eknomis, dapat dilakukan berulang dan bersifat radioproteksi.

Background: Lateral cephalometry is a supporting radiograph examination that is the main standard in finding out the abnormalities of the pediatric craniofacial complex, especially in skeletal pattern abnormalities and establishing a diagnosis and determining a treatment plan. Cephalometry has the effect of cumulative radiation exposure and can induce cell death that damage organ function. Currently, there is a paradigm shift in orthodontic treatment goals that prioritizes soft tissue assessment. Lateral photometry has been used as a non-invasive diagnostic tool and can predict skeletal alignment. Photometric analysis is considered more effective, reliable, and economical in assessing the craniofacial morphology of the facial profile. Objective: To analyze the difference in distance and angle of cephalometric radiographs to lateral photometry in children with stage two and three cervical vertebra maturation of the Deutro Malay race as a basis for determining the diagnosis and treatment plan. Methods: A cross-sectional study with a total of 38 subjects with CVS 2 - CVS 3 of Deutro Malay race. Lateral cephalometry and lateral photometry radiographs were taken and analyzed using a software application (Webceph). Results: There is no significant difference between SNA angle, NA distance, and FHP distance in lateral cephalometry with TrgNA angle, N'A' distance, and FHP' distance in lateral photometry. Conclusion: Lateral photometry can be considered as an alternative in evaluating craniofacial abnormalities that are simpler, economical, repeatable and radioprotective."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astien Amalia Hidayah
"Latar Belakang: Sella turcica merupakan anatomi yang penting untuk diteliti dikarenakan deformitas bentuknya dapat menjadi petunjuk utama adanya kelainan skeletal. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi fossa hipofisis dikarenakan letaknya yang berada di tengah fossa hipofisis dan dapat menghambat pertumbuhan tulang pada regio kraniofasial seperti maksila, mandibula, palatal dan frontonasal.
Tujuan: untuk mengetahui bentuk variasi morfologi sella turcica pada kelompok umur tertentu di RSKGM FKG UI.
Metode: Radiograf sefalometri lateral digital pada pasien dengan rentang usia 17 tahun ke atas sebesar 258 sampel ditracing dan bentuk morfologi sella turcica dinilai.
Hasil: Frekuensi morfologi sella turcica tertinggi yaitu morfologi normal sebesar 52,3%, diikuti dengan morfologi irregular sella turcica sebesar 13,2%, morfologi bridging sella turcica sebesar 10,9%, morfologi oblique dan pyramidal sebesar 9,7%, dan morfologi double contour sebesar 4,3%.
Kesimpulan: Bentuk variasi morfologi sella turcica di RSKGM FKG UI yang paling sering ditemukan adalah morfologi normal.

Background: Sella turcica is an anatomy that is important to study because its deformity form can be indication key of the presence of skeletal abnormalities. This may affect the  function of the pituitary fossa due to its location in the center of the pituitary fossa and can inhibit bone growth in the craniofacial region such as the maxilla, mandible, palatal, and frontonasal.
Objective: To determine the shape of the morphological variation of sella turcica in certain age groups in RSKGM FKG UI.
Methods: Lateral cephalometric digital radiographs in patients with an age range of 17 years and over by 258 samples traced and the morphological forms of sella turcica assessed.
Results: The most frequence morphology of sella turcica is the normal morphology which is 52,3%, followed by the irregular morphology of sella turcica is 13,2%, the morphology of sella turcica is 10,9%, oblique and pyramidal morphology is 9,7%, and the morphology of double contour is 4,3%.
Conclusion: The most shape of the morphological variation of sella turcica that can be found in RSKGM FKG UI is normal morphology.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Hapsari
"Latar belakang: Pasien celah bibir dan langit-langit (CLP) memiliki karakteristik ukuran maksila dan mandibula yang lebih kecil, posisi maksila dan mandibula yang retrognati, dimensi faring yang lebih kecil, dan posisi tulang hyoid yang lebih inferior. Gangguan pada struktur wajah dan jalan napas ini meningkatkan risiko gangguan napas saat tidur terutama Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA merupakan gangguan tidur berupa episode berulang sumbatan jalan napas baik parsial dan total. OSA pada anak berakibat gangguan perkembangan, gangguan kognitif, kelelahan di siang hari, gangguan perilaku, dan komplikasi kardiovaskular. Walaupun memiliki banyak dampak negatif, OSA pada anak-anak terutama pada pasien CLP kurang menjadi perhatian.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan struktur wajah dan jalan napas secara sefalometri terhadap risiko terjadinya OSA pada pasien CLP.
Metode: Sefalometri lateral dari 18 pasien celah bibir dan langit-langit pasca labioplasti dan palatoplasti baik unilateral maupun bilateral dengan usia 6 sampai 8 tahun di poli CLP RSAB Harapan Kita di-tracing. Orang tua atau wali pasien mengisi kuesioner uji tapis OSA Brouillette dan Pediatric Sleep Questionnaire. Hasil tracing dan kuesioner dilakukan uji korelasi Spearman dan Kendall.
Hasil: Pasien CLP memiliki dimensi faring yang lebih kecil, maksilomandibular retrognati, ukuran maksila dan mandibular yang pendek, posisi hyoid yang lebih anterior dan adenoid yang besar. Dari kuesioner Brouillette tidak didapatkan risiko OSA pada pasien CLP. Satu pasien CLP memiliki risiko tinggi OSA dari hasil kuesioner PSQ. Semua variabel sefalometri tidak memiliki korelasi bermakna dengan risiko OSA (p>0,05).
Kesimpulan: Penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara variabel-variabel sefalometri dengan risiko OSA walaupun hasil analisis sefalometri mendukung terjadinya OSA.

Background: Cleft lip and palate (CLP) patients have characteristic of smaller maxilla and mandible, bimaxillary retruded, smaller pharyngeal dimension, and inferiorly position hyoid. Facial structural and airway abnormalities increase sleep-disordered breathing especially obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA is a sleep disturbance characterized by repeated episodes of total or partial upper airway obstruction. OSA in children results in developmental disorders, cognitive impairments, daytime fatigue, behavioral disorders, and cardiovascular complications. Although it has many detrimental effects, OSA in children especially in CLP patients is underrecognized.
Objective: This study aims to determine the relationship between cephalometric facial and airway structures and the risk of OSA in CLP patients.
Methods: Lateral cephalometry of 18 patients with cleft lip and palate which had undergone labioplasty and palatoplasty according to treatment protocol, both unilateral and bilateral, aged 6 to 8 years in cleft lip and palate clinic, Harapan Kita Hospital were traced. Patient’s parent were asked to fill out Brouillette's questionnaire and the Pediatric Sleep Questionnaire. Spearman and Kendall correlation test were used to asses the colleration cephalometric analysis and questionnaires’ result.
Results: CLP patients have smaller pharyngeal dimensions, bimaxillary retruded, shortened maxillary and mandibular length, anteriorly positioned hyoid and relatively large adenoids. Brouillette failed to demonstrate OSA risk in CLP patients. One CLP patient has a high risk of OSA from the results of the PSQ questionnaire. All cephalometric variables did not have a significant correlation with OSA risk (p> 0.05).
Conclusion: This study did not show any correlation between cephalometric variables and OSA risk, although the results of cephalometric analysis supported the occurrence of OSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>