Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51962 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sembiring, Dermawan,author
"Dekonstruksi kebenaran dalam seni rupa yang dimaksudkan di sini adalah praksis Dekonstruksi oleh Derrida terhadap konstruksi pemikiran beberapa filsuf dan perupa tentang status ontologis seni rupa dan juga hubungan logis antara pernyataan dengan kenyataan yang berhubungan dengan seni rupa dan penafsiran karya seni rupa. Secara umum dekonstruksi dapat dimengerti sebagai cara membaca kritis dan spontan terhadap filsafat Barat yang logo dan fonosentris, dan yang memahami ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, dekonstruksi adalah suatu praksis demonstratif untuk membuktikan bahwa kenyataan ada (kebenaran sejati) tidak hadir bagi yang memikirkan dan yang menuliskannya.
Sehubungan dengan ini, khusus di bidang seni dan seni rupa, Derrida menyangkal anggapan para filsuf bahwa seni memiliki kebenaran tunggal (ontologis) yang dapat dijelaskan dengan bahasa. Ia juga menyangkal dapat tercapainya kebenaran relasi (logis) antara bahasa dengan obyek bahasa dalam kegiatan penafsiran karya seni rupa. Filsuf, menurut pendapatnya "membatasi" keanekaragaman seni di dalam seni-seni diskursif : "percakapan" (phonic) dan pemikiran (logos). Oleh karena itu, wacana tentang seni (dalam hal ini seni rupa) menjadi tidak produktif. Agar produktif, Derrida menciptakan wacana yang "mobil". Bergerak di dalam dan di luar bingkai filsafat yang logo dan fonosentris.
Derrida memahami semua yang ada hanya sebagai teks dan ditandai tekstualitas. Baginya teks berasal dari, dan sebagai pengantar kepada teks-teks berikutnya. Teks juga adalah rangkaian tanda-tanda yang distrukturkan oleh "jejak jejak" (traces) otonom. Dengan demikian, seni rupa juga adalah teks yang merupakan jalinan tanda-tanda yang distrukturkan oleh jejak-jejak otonom atau berdiri sendiri-sendiri. Lebih jauh, dia juga menyikapi teks sebagai tulisan, dan tulisan sebagai barang mati. Oleh karena itu, karya seni rupa juga adalah teks atau tulisan, dan barang mati.
Berdasarkan pemikiran seperti ini, dalam mengapresiasikan karya seni rupa, ia secara bebas mengapresiasikan infrastruktur khusus atau ":jejak-jejak" goresan pada karya yang menarik perhatiannya tanpa mengindahkan makna yang dikomunikasikan oleh perupanya. Ia menghubungkan jejak-jejak atau infrastruktur karya dengan teks-teks, baik filsafat, maupun teks-teks lainnya sejauh ia menghendakinya. Teks-teks dilepas dari konstruksi kesatuannya. Dengan ini, konstruksi pemikiran tentang seni yang selalu cenderung mengarah kepada kesatuan atau totalitas, dialihkannya ke wacana pertebaran jejak-jejak otonom.
Dari pemikiran dan contoh-contoh yang diberikannya, dekonstruksi Derrida terhadap "kebenaran" dalam tema seni rupa adalah usaha untuk memperluas wacana "kebenaran" (kenyataan ada) karya seni rupa ke luar wacana yang dibingkai filsafat yang logo dan fonosentris. Gerakan ke luar "melampaui" (goes beyond) filsafat ini tidak diberi batasan yang tegas, kecuali ia bermain dengan wacana tersebut dan pada waktu dan keadaan tertentu ia memutuskan "permainan"nya sudah cukup. Putusan cukup inilah yang membatasi karya seni, dalam hal ini karya seni rupa, dengan dunia.
Dalam khasanah percakapan dan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia ciri dekonstruksi seperti melanggar batas-batas defenisi dan kategori-kategori dalam teori seni dan keindahan, ketidakhadiran subyek dalam karya, dan usaha memperkenalkan karya seni rupa yang menentang estetika kesatuan dan keselarasan, telah dapat diidentifikasikan. Tetapi ciri-ciri tersebut baru sebatas bagian dari ciri-ciri umumnya saja. Ciri-ciri itupun, secara terpisah, dapat diidentifikasikan pada karakteristik karya seni rupa di luar wacana dekonstruksi. Usaha untuk menunjukkan mana karya seni rupa yang sepenuhnya dekonstruktif bukan pekerjaan mudah. Karena batasan dari dekonstruksi itupun tidak mudah ditegaskan.
Khusus dalam wacana kritik pada.karya seni rupa kontemporer di Indonesia, sejauh penelitian penulis, gaya kritik dekonstruktif belum memperlihatkan fenomena yang berarti. Wacana kritik masih terfokus pada karya dan perupanya; sedangkan kritik dekonstruktif lebih terfokus kepada otoritas "pembaca" atau kritisinya, dan mengembangkan wacana ke arah wacana produktif, intertekstualitas dan tanpa batas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belina Rosellini
"Suasana yang dibentuk oleh pasar seni rupa Indonesia mengakibatkan munculnya permasalahan subyektifitas. Empat pelaku utama dalam pasar seni rupa yaitu seniman, kolektor, pihak galeri dan pihak balai lelang, Penulis menganggap keempatnya tidak berjalan pada jalur yang seharusnya sehingga hubungan antara sebuah karya seni dengan penikmat dan bahkan seniman yang membuatnya menjadi berjarak. Lewat analisa historisitas yang dibangun Fredric Jameson, tulisan ini memperlihatkan hubungan antara subyek yang tidak berhasil membangun narasi historis dengan sistem pada pasar seni rupa Indonesia yang menciptakan seniman tanpa identitas personal dalam karyanya, munculnya konsumen-konsumen schizophrenic yang memiliki lukisan hanya karena hasrat, serta pihak galeri dan rumah lelang yang terjebak arus kapitalisme. Kondisi ini membuat produk estetis berubah menjadi produk komoditas.

Atmosphere created by the Indonesian art market result in the emergence of the problem of subjectivity. The four main actors in the art market are artists, collectors, galleries and the auction side. The authors consider that the four main actors are not running on the track so that the relationship between a work of art with the audience and even the artist who made it is. Through analysis of the historicity by Fredric Jameson, this paper shows the relationship between the subjects who failed to build a historical narrative with the system on the Indonesian art market that creates an artist without a personal identity in them works, the emergence of schizophrenic consumers who have a painting just because it desires, as well as the galleries and auction houses are stuck in currents capitalism. These conditions make the product aesthetically turned into a commodity product.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diah Asmarandani
"Disertasi ini mengulas pemaknaan estetika keburukan topeng bondres Bali sebagai tokoh dalam dramatari topeng Bali. Pembahasan ini diawali dengan epistemologi tentang topeng (bondres) sebagai sebuah realitas dari representasi dari “ada" atau sebagai karakter manusia yang terwakili oleh topeng. Maskharah dalam bahasa Arab berarti "badut", yang berasal dari kata kerja "Sakhira" yang artinya "mengejek", sedangkan dalam bahasa Romawi Kuno topeng dapat diartikan sebagai "Persona" atau "Prosophone" yang artinya manusia. Dalam dramatari topeng Bali, topeng bondres (tokoh rakyat) ditampilkan dengan ekspresi wajah buruk sebagai makna transformasi personal dan transformasi sosial. Dengan memanfaatkan dasar kosmologi topeng (bondres) yang pembacaannya disandingkan dengan pemikiran inti Jacques Derrida, melalui dekonstruksi Derida menolak gagasan ordinat dan subordinat atau mengunggulkan yang satu dengan meminggirkan yang lain, konsep utamanya adalah menolak kebenaran tunggul. Melalui dekonstruksi Derrida dapat diperoleh teks dan makna baru melalui pembacaan ulang. Dengan differance , pembacaan perbedaan yang langsung dapat menampung 2 hal yang berbeda, pembacaan perbedaan terhadap totalitas makna dalam teks. Dengan grammatology secara garis besar merupakan ilmu "tanda dari tanda", dalam hal ini keburukan topeng Bondres merupakan tanda yang merujuk pada tanda yang lain, dan bagi Derrida, tanda adalah trace atau jejak yang berkaitan dengan "kehadiran" dan sekaligus sebagai "ketidakhadiran".
Studi ini menghasilkan, bahwa dalam sistem kosmologi Bali, nilai keburukan topeng bondres merupakan sesuatu yang berdiri sendiri , otonom dan mandiri, eksistensi nilai keburukan yang menempati ruang kesadaran masyarakat Bali sebagai sistem nilai yang tak terpisahkan dari sistem nilai kehidupan. Pembacaan makna kosmologi topeng Bondres disandingkan dengan beberapa pemikiran-pemikiran Derrida, Topeng Bondres dapat dipahami sebagai dimensi keburukan estetis yang otonom dan sama nilainya dengan kecantikan karena mampu menghasilkan sensasi estetis yang sama. Topeng bondres mempunyai penilaian bentuk (form) dan penilaian isi (content) , penilaian terbuka dan penilaian yang tersembunyi yang hadir karena peran dan fungsi bondres dalam pertunjukan topeng; penilaian ini berkenaan dengan emosi,afeksi dan apresiasi manusia yang terangkum dalam bingkai-bingkai (frame) yang terbentuk. Sehingga topeng Bondres dapat mengkonstruksi kategori-kategori baru bahwa dalam keburukan wajah terkandung dimensi kebebasan manusia yang sublim.

This dissertation analyze the meaning of ugliness aesthetic of Balinese topeng Bondres as a figure on Balinese topeng dance drama. This study is started by epistemological study on topeng bondres as a reality of being representation or a human character that represented by topeng. Maskharah in Arabic means "a clown" from verb "shakira" means "parodying". In ancient Roman, topeng means "persona" or "prosophone" means human being. In Balinese topeng dance drama, topeng bondres (as folk character) is shown through ugly face expression which has a meaning of personal and social transformation. With using the cosmological basic of topeng bondres and Jacques Derrida's point of views prove that Derrida's deconstruction ignores the idea between ordinate and subordinate or to prevail one over the other. His main thought is ignore the sole truth. By mean of Derrida's deconstruction may earn a new text and its meaning through a new model of reading. By differance, direct reading of differences can accommodate two difference things as a reading model of totally text meanings. By grammatology that generally as a science of sign proves the ugliness of topeng bondres as a sign that refers to the other sign. For Derrida, a sign is a trace or imprint that related to presence and absence.
This study proves that in the Balinese cosmological system, the ugliness of topeng bondres is autonomous. The existence of ugliness occupies the domain of Balinese's consciousness as unseparated value system from their collective life system. The reading of cosmological meaning of topeng bondres may compare with Derrida's mode of thoughts that topeng bondres can be understood as an autonomous dimension of the aesthetics of ugliness and has a same value with beauty because able to create the same aesthetics sensation. Topeng bondres has both form and contain assessments as well as open and hidden assessments because of its role and function in topeng performances. These assessments relate to framing of human emotion, affection, and appreciation. It means topeng bondres can construct new categories that in ugly face contains the sublime of human freedom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1938
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poedjo Soesantyo
"Pertumbuhan dan kehidupan seni dipengaruhi juga oleh herbagai faktor, baik faktor di dalam seni maupun di luar seni. Faktor di luar seni antara lain, adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang obvektif seperti kondisi alam sekitar, iklim dan sebagainya, juga faktor lingkungan yang subyektif seperti tingkat kemampuan suatu bangsa, kondisi kecerdasan umumnya pada bangsa yang mendukung budaya di mana seni itu tumbuh dan hidup. Apa yang dicoba jelaskan dalam skripsi ini adalah faktor yang juga mempengaruhi pertumbuhan kehidupan seni yang berada dalam lingkup seni sendiri. Permasalahan ini dilihat oleh Susanne K. Langer dengan membandingkan antara seni dan ilmu pengetahuan. la melihat ilmu pengetahuan yang didukung oleh bahasa, suatu ungkapan bentuk simbolis, telah mencapai perkembangan yang lebih pesat daripada kehidupan seni. Bagi Susanne K. Langer masalahnya cukup jelas, bahwa kemajuan bahasa sebagai salah satu bentuk Simbol diskursif tak dapat disangkal telah menunjang kemajuan ilmu-ilmu.Perkembangan ilmu-ilmu berhutang pada pengkajian konsep-konsep dan teori-teori yang kesemuanya dapat dirumuskan sebagai bahasa ilmu. Bahasa dengan demikian sung-guh-sungguh membuka wilayah di mana ilmu-ilmu pengetahuan dapat dikembangkan. Jikalau analisa yang menyangkut simbol diskursif dapat berekor pada kritik ilmu-ilmu, maka analisa yang menyangkut simbol presentasional harus mencapai perkembangan kritik seni. Dalam Philosophy in a New Key dikatakan bahwa teori simbolisme yang dikembangkan di sana harus menuju kepada suatu kritik seni, seserius dan sejauh kritik ilmu yang berasal dari analisis simbol diskursif. Feeling and Form berusaha memenuhi janji tersebut menjadi kritik seni. Tetapi ternyata usaha yang kedua ini tidaklah sepesat usaha yang pertama. Kritik ilmu-ilmu sudah berkembang sedemikian pesat, sementara kritik seni belum juga rnencapai kata sepakat mengenai berbagai macam peristilahan teknis. Hal ini menghambat perkembangan teori seni. Kesulitan ini juga disebabkan oleh sifat seni, yaitu seni bukanlah deskripsi dan fakta obyektif atau analisis terhadapnya seperti halnya pada ilmu pengetahuan. Pada seni selalu masih tinggal tersembunyi subyektivitas seniman sebagai faktor penentu. Itu juga sebabnya mengapa Langer menyebut tulisannya sebagai suatu teori seni, dan bukan menyusun hipotesa metafisis tentang seni. Dasarnya adalah mencoba merumuskan satu teori seni yang didekati dari hasil teori simbolnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachry Romanza
"ABSTRAK
Demokrasi saat ini bukan hanya sebagai sebuah prosedural melainkan bagaimana demokrasi menghadirkan proses yang demokratis. Bagaimana cara itu terwujud menjadi tugas filsafat atau lebih spesifik tugas Filsafat Politik. Derrida, telah memberikan satu ajaran tentang demokrasi, yaitu dengan merubah demokrasi bukan hanya saat ini saja melainkan untuk saat yang akan datang, bagaimana caranya dengan cara menerima ?the other?. The other yang muncul sebagai kaum artikulatif ekstrem dalam pengertian sederhana adalah constitutive outside yang berada diluar diri kita sebagai pihak yang memaksakan pemikirannya terhadap orang lain dengan cara-cara yang melampaui batas kemampuan penerimaan masyarakat pada umumnya. Namun bukan berarti hal tersebut harus sepenuhnya di tolak melainkan harus di terima dan hal tersebutlah yang menjadi point bagi demokrasi yang menerima ruang gerak the others.

ABSTRACT
Contemporary democracy should not be perceived as a procedural concept, but more like how it can conceive a more democratic process (democratization). It is the responsibility of political philosophy to make it come into being. With his thought about democracy, Derrida determine to elucidate the concept of democracy as something that is always to come, with a will to accepting the others. To put it in the simplest way, the other as the articulate extreme other is our constitutive outside that stands to insist their every thought in many ways crossing what generally considered as agreeable within society. This condition should not to be completely refutes as it is the very point to attain a more democratic condition in accepting the others.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42689
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"The work of Jacques Derrida has transformed our understanding of a range of disciplines in the humanities through its questioning of some of the basic tenets of western metaphysics. This volume is a trans-disciplinary collection dedicated to his work. The assembled contributions, on law, literature, ethics, gender, politics and psychoanalysis, constitute an investigation of the role of Derrida's work in the humanities, present and future. The volume is distinguished by work on some of his most recent writings, and contains Derrida's own address on "the future of the humanities"."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2001
e20385282
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"The work of Jacques Derrida has transformed our understanding of a range of disciplines in the humanities through its questioning of some of the basic tenets of western metaphysics. This volume is a trans-disciplinary collection dedicated to his work; the assembled contributions - on law, literature, ethics, history, gender, politics and psychoanalysis, among others - constitute an investigation of the role of Derrida's work within the field of humanities, present and future. The volume is distinguished by work on some of his most recent writings, and contains Derrida's own address on 'the future of the humanities'. In addition to its pedagogic interest, this collection of essays attempts to respond to the question: what might be the relation of Derrida, or 'deconstruction' to the future of the humanities? The volume presents the most sustained examples yet of what deconstruction is in its current phase - as well as what its possible future may be."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2009
e20528294
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Dede Indra C.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S48066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>