Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Saleh Sjafei
"Ada banyak kasus pembebasan tanah untuk kepentingan umum di Aceh Besar yang menimbulkan protes aktor pemilik tanah sanpai ke pengadilan. Namun belun ada kasus seperti itu yang berakhir dengan penguncitan aktor oleh Lembaga Adat dari status penduduk desa setempat. Sanksi itu bahkan diberikan setelah putusan Pengadilan Negeri Aceh Besar dimenangkan Kades; dengan demikian, aktor dikalahkan secara substantif dan formal.
Fenomena ini menjadi pokok masalah yang urgen karena (1) dengan tindakan protes itu telah menimbulkan suasana disorder dalam komunitas bersangkutan; (2) keadaan tersebut memperlihatkan indikasi ada hubungan konflik antara aktor protes dari kelompok acuan uleeba-_Zang dan pemimpin desa sebagai reference aktor setuju.
Tujuan penelitian ini untuk (1) menggali dan nenemukan penjelasan substantif, yakni faktor pendorong timbulnya tindakan setuju dan protes aktor; (2) memahami makna tindakan protes dengan kerangka tipologi Weber; dan (3) mengetahui bagaimana kaitan antara ciri tindakan aktor sebagai temuan dengan studi teoretik yang relevan.
Penelitian ini menggunakan kerangka pikir kualitatif dan didukung kuantitatif. Karena itu, pertama, digunakan perspektif substantif untuk menenukan faktor atau kategori yang mendorong timbulnya tindakan setuju dan protes aktor. Setelah mendapat penjelasan epic, kedua, dipakai perspektif formal, tipologi Weber, untuk mengukur makna protes; dan ketiga, temuan itu dibandingkan dengan hipotesis hasil telaah pustaka yang relevan.
Metode yang dipakai dalan proses pengumpulan data adalah wawancara mendalam dengan empat subjek dan sembilan informan kunci serta observasi langsung tindakan subjek. Survei dilakukan untuk memahani karakteristik dua belas aktor pemilik tanah yang menjadi subjek.
Temuan menunjukkan (1) bahwa kelompok setuju dan protes muncul karena nilai sejarah sosial budaya yang dihayati mereka saling berbeda, ini berimplikasi pada cara nereka memandang pembebasan tanah tidak sama. Bagi aktor protes cara yang rasional adalah yang menjamin hak mendapatkan gantirugi. (2) Ditemukan bahwa aktor protes lebih cenderung memaknai tanah dari aspek ekonomis dan untuk mencapai tujuan digunakan cara efisien dan efektif. Ciri itu mengarah pada tipe rasional instrumental weber. (3) Kondisi sejarah sosial budaya kelompok aktor dan cara pendekatan merupakan dua hal yang signifikan dalam melakukan pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
Disimpulkan bahwa protes terjadi karena nilai sos-bud yang berujud cara aktor memaknai tanah tak sama. Disarankan agar pengambil kebijakan memahani protes secara substantif terlebih dahulu, baru tindakan formal."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Dwiguna
"Pada abad ke-20 banyak terjadi gerakan protes di beberapa daerah terhadap pemerintah kolonial, terutama dibeberapa daerah tanah partikelir di ommelanden Batavia. Hal ini diakibatkan oleh berbagai macam persoalan, salah satunya adalah kenaikan pajak disaat taraf hidup masyarakat miskin jauh lebih banyak. Salah satu kasus terjadi di wilayah Pamanoekan dan Tjiasem yang terletak di wilayah Kabupaten Krawang pada 1901 dan Karesidenan Krawang setelah alih status wilayah pada 1925. Dalam kasus di wilayah Karesidenan Krawang, Pamanoekan dan Tjiasem menjadi tempat terjadinya gerakan protes karena masyarakat disana hidup sangat miskin dan sangat memprihatinkan. Selain itu disana masyarakatnya derajat pendidikannya rendah ditunjukkan dengan buta huruf dan tidak bisa berhitung, ditambah menyebarnya wabah kolera karena sanitasi yang buruk. Akhirnya, Masyarakat berbondong bondong ke rumah pejabat berwenang untuk mengajukan protes dalam rangka mencari keadilan atas penerapan kebijakan yang sangat merugikan bagi mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, metode ini meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.Hasil dari penelitian ini adalah bagaimana masyarakat melakukan tindakan pasca diterapkannya kebijakan yang merugikan mereka, tindakan ini cenderung terstruktur dengan baik dan mendapatkan respon pula oleh pemerintah kolonial. Selain itu menarik untuk diketahui selanjutnya bahwa kehidupan masyarakat yang sangat berbeda terlihat jelas sebelum gerakan protes dan sesudah gerakan protes berlangsung. Masyarakat menjadi cenderung lebih sejahtera terlebih setelah dampak politik etis sangat terasa di wilayah Karesidenan Krawang.

In the 20th century there were many protest movements in several regions against the colonial government, especially in some areas of private land in the Batavia ommelanden. This is caused by various reasons, one of which is a tax increase. This case occurred in the Pamanoekan and Tjiasem areas located in the Krawang Regency area in 1901 and the Krawang Residency after the status transfer in 1925. In the case of protest movements that took place in the Pamanoekan region and Tjiasem communities flocked to the homes of the authorities to file protests in order seek justice for the application of policies that are very detrimental to them. The method used in this study is the historical method, this method includes heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results of this study are how people take action after the implementation of policies that harm them, these actions tend to be well structured and get a response from the colonial government. It is also interesting to know further that the lives of very different people were clearly seen before the protest movement and after the protest movement took place. Communities tend to be more flowing after the protest movement takes place."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haniya Alya Raihan
"Penelitian ini membahas gerakan protes sebagai bagian dari kontrol sosial dan politik masyarakat sipil kepada pemerintah India. Secara khusus yang akan diteliti adalah gerakan protes petani yang menentang kehadiran tiga undang-undang pertanian pada tahun 2020-2021. Pada September 2020, Parlemen India mengesahkan UU Pertanian yang terdiri dari RUU Perjanjian Petani (Pemberdayaan dan Perlindungan) tentang Jaminan Harga dan Undang-Undang Layanan Pertanian, 2020; RUU Perdagangan dan Niaga (Promosi dan Fasilitasi) Hasil Petani, 2020; dan RUU Komoditas Esensial (Amandemen), 2020. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk meningkatkan kegiatan ekonomi pedesaan India dan juga meningkatkan kondisi ekonomi petani. Namun, para petani dan kelompok masyarakat sipil melakukan protes untuk menuntut pemerintah agar mencabut UU tersebut karena dianggap akan merugikan para petani. Sebagai akibat dari protes tersebut, pada 29 November 2021 Parlemen India mengesahkan RUU Pencabutan Hukum Pertanian untuk mencabut UU Pertanian 2020. Penelitian ini menggunakan konsep Radically Network Societies (RNS) oleh Pai & Kotasthane (2016) dan teori Struktur Peluang Politik oleh Tarrow (1998). Hasil penelitian ini menemukan bahwa adanya jaringan individu yang sangat terhubung, memiliki identitas, dan dimotivasi oleh penyebab langsung yang sama, serta struktur peluang politik, dalam gerakan protes petani dapat mempengaruhi pencabutan tiga undang-undang pertanian

This study discusses the protest movement as part of the social and political control of civil society towards the Indian government. In particular, what will be examined is the farmer protest movement against the presence of three farm laws in 2020-2021. In September 2020, the Indian Parliament passed the farm laws consist of The Farmers’ Produce Trade and Commerce (Promotion and Facilitation) Act, 2020, The Farmers (Empowerment and Protection) Agreement of Price Assurance and Farm Services Act, 2020, and The Essential Commodities (Amendment) Act, 2020. The main objective of these laws is to increase the economic activities of Indian household and also improve the economic conditions of farmers. However, farmers and civil society groups protested to demand the government to repeal the law because it was considered to be detrimental to the farmers. As a result of the protests, on 29 November 2021 the Indian Parliament passed the Farm Laws Repeal Bill, 2021, to repeal the Farm Laws, 2020. This research uses the concept of Radical Network Societies (RNS) by Pai & Kotastane (2016) and the theory of Political Opportunity Structure by Tarrow (1998). The results of this study found that a web of hyper-connected individuals, possessing an identity, and motivated by a common immediate cause, as well as political opportunity structures, in the farmers protest movement could influence the repealed of the three farm laws."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha
"Perkembangan teknologi membawa berbagai perubahan dalam lapisan masyarakat.   Dengan kemudahan mengakses internet berkecepatan tinggi dan smartphone canggih di Korea Selatan, jumlah  gamer selalu bertambah dari tahun ke tahun. Tulisan ini meneliti tentang fenomena game addiction yang terjadi di Korea Selatan dengan menekankan pada makna di balik wacana iklan layanan masyarakat terkait game addiction yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea pada tahun 2015. Metode yang digunakan adalah analisis wacana terhadap dua iklan layanan masyarakat. Keutuhan pesan iklan layanan masyarakat yang ingin disampaikan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan bahwa fenomena game addiction harus segera dihapus dan dicegah untuk bertumbuh dalam masyarakat.
Technological developments brought about various changes in society. With the ease of accessing high-speed internet and smartphones in South Korea, the number of gamers is increasing every year. This paper examines the game addiction phenomenon that is occurring in South Korea by emphasizing the meaning behind the discourse of public service advertisement related to game addiction released by the Ministry of Health and Welfare in 2015. The method used is discourse analysis of two public service advertisements. The integrity of the message of public service advertising that the Ministry of Health and Welfare of South Korea wants to convey is that the phenomenon of game addiction must be immediately removed and prevented from growing in society"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Setianingsih
"Tanah sebagai "mode of production", menempatkan tanah sebagai suatu sumberdaya yang amat penting. Tanah tidak hanya berfungsi ekonomis saja, akan tetapi juga berfungsi sosial, sebagai alas hidup manusia, tanah dengan sendirinya menempatkan posisi yang vital, atas pertimbangan karakternya yang unik sebagai benda yang tak tergantikan, tak dapat dipindahkan, dan tak dapat diproduksi kembali. Begitu penting dan mendasarnya fungsi dan nilai tanah, membuat konflik-konflik pertanahan yang muncul, pada hakikatnya adalah perjuangan untuk mempertahankan eksistensi kehidupan manusia, karena menyangkut keberlangsungan proses-proses reproduksi, produksi dan konsumsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Fokus penelitian tesis ini adalah ingin menggambarkan dampak sosial negatif apa saja yang terjadi akibat kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, pada kasus Proyek Banjir Kanal Timur (BKT), di Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Kotamadya Jakarta Timur, yang telah dilaksanakan sampai akhir tahun 2009, dan bagaimana relasi yang terjadi diantara aktor-aktor yang mewakili Negara, Masyarakat, dan Pasar.
Dapat disimpulkan, meskipun memiliki banyak dampak positif bagi masyarakat dan sebagian wilayah Kota Jakarta, akan tetapi pembangunan BKT tidak begitu saja meniadakan dampak sosial negatif terhadap warga masyarakat yang terkena dampak. Dampak sosial yang terjadi akibat kegiatan pembebasan tanah bagi pelaksanaan pembangunan Proyek Banjir Kanal Timur di Kelurahan Pondok Bambu pada tahun 2010 terdiri atas dampak-dampak sebagai berikut:
Dampak Dalam Konteks Kepastian Hukum dan Keadilan, yaitu (1) Ketidakteraturan Birokrasi Dalam Kepemilikan Tanah, dan (2) Dominasi Kepemilikan Tanah Oleh Segelintir Orang;
Dampak Sosial Pembebasan Tanah, yaitu (1) Konflik Horizontal Antar OTD, (2) Konflik Antara OTD Dengan Aparat Negara, (3) Putusnya Kekerabatan dan Tali Silaturahmi;
Dampak Ekonomi Pembebasan Tanah, yaitu (1) Nilai Uang Ganti Rugi Yang Tidak Adil, (2) Penurunan Nilai Uang Ganti Rugi Tanah, (3) Kesulitan Adaptasi Usaha Di Tempat Yang Baru, (4) Butuh Waktu Untuk Memulihkan Usaha/Pendapatan, (5) Kesulitan Investasi Atau Resiko Usaha Yang Baru, (6) Biaya Trasportasi Yang Lebih Besar, Menjadi Tunawisma, (7) Kehidupan Yang Semakin Sulit; dan Dampak Psikologis Pembebasan Tanah (Stres/Kesedihan Mendalam).

Land as "mode of production", placed land as a very important resources. Land has not only as economic function, but also has a social function, as a based or foundatiom of human life, automatically placed land in a vital position, with considering its unique character as an un-replacement ?things?, un-removeable, and un-reproduceable. With its basic and important of land function and its value, so that make the land conlficts where manifest, basically is a struggle to keep and maintain the human life exsistence, due to related to the continuity of reproduction, production, and consumption processes, to keep the continuity of human life.
The focus of this research is to describe the negative social impacts that happened by land acquisition activity of the infrastructure development project for public interest, case study in East Flood Canal or Banjir Kanal Timur (BKT) project, in Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Kotamadya Jakarta Timur, which were undertaken up to the end of year 2009, and to describe relation between the actors that representative of State, Society, and Market.
Can be concluded, eventhough the BKT project have many positive impacts to the community and part of Jakarta City region, but its development can not avoided the negative social impacts to the project?s affected people (or OTD). The negative social impacts that already happened by land acquisition activity for the development of BKT project in Pondok Bambu at year of 2010, are consisting of:
Impact in context of Legal and Justice certainty, i.e. (1) Disorder of Bureaucracy in Land Ownership, and (2) Domination of Land Ownership by Several Peoples;
Social Impacts of Land Acquisition, i.e. (1) Horizontal Conflict Among OTD, (2) Conflict Between OTD and State Aparatus, (3) Broken of Family Ties;
Economy Impact of Land Acquisition, i.e. (1) Un-fairness of Compensation Value, (2) Decrease on Land Compensation Value, (3) Hardship on Bussines Adaptation/ Income, (4) Time Needed to Business Recovery, (5) Hardship on Investment or New Business Risk, (6) Need more Transportation Cost, (7) Landless and Homeless, and (7) Life More Difficult; and Phsychologycal Impact of Land Acquisition (Stress/Deeply Sad).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T29970
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dedek Yuliona
"ABSTRAK
The National Land Law stipulates that land procurement for the interest of the public as outlined in the principles of land procurement must be conducted through deliberation to reach settlement, whether in terms of land hand over or the compensation, and duress in any form and by whomever to the right holder is not allowed, including duress in using the institution of "payment offer followed by contingency at District Court". The implementation of land acquittal by PT. Jasa Marga (Persero) at Sub-district of Pesanggrahan, District of Pesanggrahan, South Jakarta, is deemed necessary to be examined since it has arisen a question whether it is conducted based on the applicable laws and regulations and how the protection is for the land right holder whose land is still on dispute. The research makes use empirical normative method and constitutes a fact finding research with explanatory research typology since it is aimed to find the fact on the problem that arises, and then the problem is explained and described in more detail. This research is expected to give solution to the existing problem by providing several suggestions to the stakeholders, so from the viewpoint of its form, it is also a prescriptive research. Data collecting is conducted through literature study and interview using judgmental sampling method. Following examination against the problem that arises, the data obtained are then analyzed using qualitative. analysis method. The outcome of the research reveals that the land acquittal conducted by PT. Jasa Marga (Persero) is in accordance with the prevailing laws and regulations, and the right holders of land that is still on dispute are given protection in the form of guarantee that compensation will be given to the right holders and in sufficient amount. It is recommended that the government determine land price in an objective and actual manner, not only when conducting land procurement for public interest, and give compensation by considering social, economic, and cultural factors of the community whose land is acquitted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septein Paramia S.
"Pertambahan penduduk dan peningkatan pemanfaatan tanah untuk pemukiman maupun sarana dan prasarana di Kota Depok, mengakibatkan terjadi peningkatan transaksi tanah. Belum tersedianya data dan peta pertanahan yang lengkap menimbulkan terjadinya transaksi tanah/jual beli di bawah tangan, yang menimbulkan potensi terjadi tanah bermasalah. Selama periode Tahun 2001 hingga 2007 terjadi peningkatan jumlah tanah bermasalah di Kota Depok. Berdasarkan analisis tetangga terdekat pola sebaran tanah bermasalah tahun 2001 adalah acak (random) berubah menjadi mengelompok (clustered) pada Tahun 2007.
Pada Tahun 2007 wilayah yang banyak ditemukan tanah bermasalah terjadi pada wilayah dengan tanah terdaftar tinggi, wilayah dengan penggunaan tanah kosong (belum terbangun) dan tanah perumahan, wilayah dengan harga tanah cenderung tinggi, wilayah dengan kemiringan relatif datar serta wilayah dengan jaringan jalan yang tidak terlalu padat. Sedangkan wilayah yang jarang ditemukan tanah bermasalah terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, wilayah yang dilintasi jalan kereta api dan wilayah dengan penggunaan tanah jasa dan tanah perusahaan. Faktor jarak terhadap pusat ekonomi kota Depok (Margonda) mempengaruhi sebaran tanah bermasalah Tahun 2007. Di wilayah yang dekat dengan Jalan Margonda ditemukan banyak tanah bermasalah.

The increasing of population influence improvement of land utility for residential area and its facilities so that its condition also cause improvement of land transaction happened in Depok city. Incompletely data of land management provided became one factors to emerge illegal land transaction which have big potency of happened land acquisition problems. Growing population and increased utilization of land for settlement and the facilities and infrastructure in the city of Depok, causing increased land transactions occur. Data not yet available and a complete map of land cause the occurrence of a transaction of land / sale and purchase under the hand, the potential to cause ground problems occur. During the period 2001 to 2007 it was increasing the amount of land problems in the city of Depok. Based on the analysis of nearest neighbor pattern of land problems in 2001 is random change to clustered in the 2007.
In the Year 2007 found that many problems occur on the land area registered, the area with the use of vacant land and housing, with the price of land tends to be high, the area with the slope is relatively flat and the area with a road network is not too rapid. While problems is rarely found occur on the land area with high population density, the area where is over the railway and the area with the use of the services land and company land. The distance to the center of economic in Depok city (Margonda street) affect the land problem in 2007. In the region which is close to the Margonda street found many land problems.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
T39441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esti Listiyani Wijaya
"Didalam menggunakan dan memanfaatkan tanah, pemegang hak atas tanah wajib untuk menyesuaikan penggunaan dan pemanfaatannya dengan rencana tata ruang wilayah. Agar tanah dapat dipergunakan secara optimal maka dibuatlah rencana mengenai penggunaan tanah atau biasa disebut sebagai Rencana Tata Guna Tanah. Rencana Tata Ruang wilayah yang telah ditetapkan, sekali dalam waktu lima tahun dapat ditinjau ulang, dan jika peninjauan tersebut menghasilkan rekomendasi bahwa tata ruang yang ada perlu direvisi, maka disini terjadi perubahan tata ruang, misalnya tanah yang tadinya dapat dipergunakan sebagai perumahan harus berubah menjadi sodetan sungai seperti dalam kasus PT Masa Kreasi.
Dalam kasus ini, perubahan rencana kota secara Normatif atas tanah Milik PT Kreasi tersebut diatur dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 592 tahun 1979 tentang Penguasaan Peruntukan dan Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Cengkareng Drain, Sodetan-Sodetan Kali Sekretaris Bagian Atas dan Bagian Bawah, Wilayah Jakarta Barat. Perubahan rencana kota tersebut tentu saja berdampak bagi PT Masa kreasi maupun bagi tanah yang bersangkutan. Dalam hal ini dampak yang terjadi yaitu dengan berubahnya hubungan hukum PT Masa Kreasi dengan tanah yang dimilikinya tesebut.

In the use and utilization of land space, land rights holder is obligated to conform with the use and utilization of regional spatial layout plan.So that land can be utilized optimally then be made to the plan regarding land use, or commonly known as the Land Use Plan. Regional Spatial Layout Plan has been set, once in every five years can be reviewed, and if the review results in recommendation that the existing spatial layout should be revised, then the spatial layout changes here, for example, land formerly used as housing can be turned into a spatula rivers as in the case of PT Masa Kreasi.
In this case, changes in the normative urban plan for the land owned by PT Masa Kreasi is governed by the Decree of the Governor Jakarta Capital Special Region No. 592 of 1979 regarding Allotment of Tenure and Land Acquisition Development Cengkareng to Drain, Spatula -Spatula of River Sekertaris Top and Bottom SectionsWest Jakarta Area. Changes in the city plan, of course, affect PT Masa Kreasi as well as for the concerned landIn this case the impact occurred was by changing the legal relationship of PT Masa Kreasi with this land in interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>