Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Pahlavi
"Tesis ini membahas tentang perdebatan proses pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Sebagai lembaga baru, DPD merupakan penjelelmaan dari adanya wakil daerah di tingkat pusat guna menampung aspirasi rakyat sekaligus pluralitas daerah yang ada di Indonesia. Keberadaan DPD dituangkan dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 hasil perubahan. Dalam Ketentuan UUD 1945 tersebut, terlihat bahwa fungsi DPD sangat terbatas baik dalam hal legislasi maupun pengawasan. DPD hanya terlibat secara khusus dalam permasalahan tentang daerah, tetapi keterlibatannya sangat tergantung kepada DPR sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai kekuasaan membentuk UU.
Akibat ketentuan seperti itu, maka terlihat DPD memiliki fungsi yang tanggung apalagi jika dikaitkan dengan sistem dua kamar atau bikameral dalam sistem keparlemenan di Indonesia. Sebab, jika melihat konstruksi MPR pasca perubahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka sistem keparlemenan di Indonesia mengindikasikan penggunaan sistem dua kamar. Namun akibat keterbatasan fungsi yang dimiliki DPD, maka DPD tidak dapat berfungsi sebagai kamar kedua secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka muncul permasalahan yaitu bagaimana perdebatan proses pembentukan DPD dalam rapat Panitia Ad Hoc I Dalam Sidang Tahunan MPR 2001 sehingga menghasilkan DPD yang Iemah?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara/perbincangan dengan beberapa anggota PAH I BP MPR serta dengan melakukan penelusuran dokumen terutama risalah rapat dan dokumen yang berkaitan. Selanjutnya melalui tahapan penelitian mulai dan pengumpulan dan penyusunan data, penafsiran data dan terakhir penarikan kesimpulan, maka dihasilkan sebuah hasil penelitian tentang DPD.
Sebagai landasan teoritis, digunakan teori bikameralisme serta contoh praktek bikameralisme di berbagai negara guna memberikan landasan dan gambaran dalam melihat bentuk DPI). Secara mendasar, Patterson dan Mughan menyatakan bahwa fungsi utama dari 'Senat atau nama lainnya adalah untuk menjalankan fungsi representasi (perwakilan) serta fungsi redundancy atau pemberian pendapat dalam proses pembentukan UU atau kebijakan. Sementara Lijphart menyatakan bahwa kehadiran kamar kedua diarahkan untuk meredam agresifitas kamar pertama. Berdasar teori tersebut, maka dapat kita lihat bagaimana latar belakang terbentuknya DPI) dalam UUD 1945 apakah sudah menggambarkan sebuah upper chamber atau belum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perdebatan yang terjadi relatif kondusif, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang tajam antar fraksi. Fraksi PDIP menyatakan bahwa konstruksi yang tepat bagi DPD adalah hanya sebagai penampung pluralitas daerah-daerah, sehingga tidak perlu diberikan fungsi yang kuat apalagi ikut membahas dalam proses pembentukan UU. Begitu juga dalam hal pengawasan, DPD tidak perlu memiliki fungsi yang kuat, karena nantinya akan menjadi bias. Sementara Fraksi Partai Golkar memberikan pandangan bahwa sebaiknya DPD diberikan fungsi yang kuat sebagaimana Senat di Amerika Serikat. Sehingga DPD dapat melakukan fungsi sebagai kamar kedua dengan maksimal. Perbedaan lain adalah dalam hal pengg'.inaan sistem bikameral. Fraksi PDIP menyatakan bahwa dengan hadirnya DPD bukan berarti berlaku sistem bikameral atau dua kamar dalam sistem keparlemenan di Indonesia, sebaliknya Fraksi Partai Golkar menyatakan bahwa dengan hadirnya DPD berarti sistem yang berlaku adalah sistem bikameral (dua kamar).
Fraksi-fraksi Iain seperti Fraksi PPP, Fraksi Reformasi, Fraksi TNI/POLRI dan Fraksi Utusan Golongan cenderung berpikir moderat. Artinya sangat dimaklumi bahwa DPD hadir untuk menampung pluralitas sekaligus meningkatkan derajat keterwakilan daerah di tingkat nasional, namun tetap diperlukan fungsi yang relatif memadai bagi DPD baik dalam hal legislasi maupun pengawasan. Pendapat fraksi-fraksi .tersebut bermuara bahwa perlu bagi DPI) untuk terlibat atau "ikut membahas" dalam proses pembahasan UU di DPR.
Selanjutnya, dengan hadirnya DPD berarti secara tidak langsung berlaku sistem bikameral atau dua kamar. Tetapi diakui bahwa sistem bikameral yang ada bukanlah sistem bikameral yang kuat (strong bicameral), tetapi cenderung soft bicameral atau bikameral lunak.
Jika dikomparasikan dengan negara lain, maka memang tidak semua kamar kedua atau senat atau nama lainnya memiliki posisi yang sangat kuat. Namun alangkah baiknya jika kita melihat praktek di Filipina yang memiliki kemiripan dengan Indonesia mulai dari bentuk negara yang kesatuan, sistem pemerintahan yang presidensiil serta bentuk republik. Meskipun demikian, untuk menerapkannya memerlukan waktu dan penyesuaian.
Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa sistem keparlemenan yang berlaku di Indonesia setelah hatiimya DPD adalah sistem bikameral atau dua kamar, tetapi soft atau lunak. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Selanjutnya perdebatan yang muncul dalam rapat Panitia Ad Hoc I Dalam Sidang Tahunan MPR 2001 berakhir kompromi tanpa voting. Namun demikian capaian maksimal ketentuan tentang DPD dalam UUD 1945 terlihat serba tanggung, meskipun diakui sudah merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam rangka penataan mekanisme checks and balances."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misdyanti
Jakarta: Bumi Aksara, 1993
352 MIS f (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
"Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu.
Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah.
Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core.
Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?'
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa.
Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan.
Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu.
Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'.
Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Alfath Satriya
"Sebagai kamar kedua, DPD seharusnya memiliki peran yang fundamental dalam proses demokrasi yang ada di Indonesia. Lahir dari semangat reformasi, DPD seharusnya mampu menyuarakan aspirasi daerah di tingakt pusat. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan desain kelembagaan DPD di dalam UUD 1945 yang tidak mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari kewenangan yang dimiliki DPD hanya bersifat subordinatif terhadap DPR. Permasalahan ketimpangan kewenangan tersebut tidak hanya terjadi dalam legislasi dan pengawasan, namun juga terhadap keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden. Di dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden di dalam UUD 1945

As a second chamber, DPD should have a fundamental role in the democratic process in Indonesia. Born from the spirit of reform, the DPD should be able to voice the aspirations, as a regional representation, at the center level. However, it is contrary due to the institutional design of DPD in the 1945 Constitution that does not reflect it. Based on the authority of DPD in 1945 Constitution, DPD is merely subordinate to DPR as a first chamber. The problem is not only in legislation and supervision authority, but also in the involvement of DPD in the process of presidential impeachment. In this study, the author will explain how the involvement of DPD in the process of presidential impeachment in 1945 Constitution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurista Yohasari
"ABSTRAK
Urusan kehidupan beragama di Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tetapi faktanya banyak peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama, sehingga hal ini tentu menimbulkan masalah. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengupas permasalahan norma dalam peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia dan desain pengaturan kehidupan beragama yang ideal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

ABSTRACT
Indonesian religious life is in under authority of the central government as in Article 10 paragraph (1) of Law Number 23 Year 2014 on Regional Government. In fact, many local regulations governing related to religious life, so that it would cause problems. In this paper, the author tries to analyze the problems in the regulatory norms of religious life in Indonesia and the design of an ideal religious life settings in the constitutional system in Indonesia based on Pancasila and the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945.
"
Universitas Indonesia, 2016
T45386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dharma Setyawan Salam
Jakarta: Djambatan, 2001
352.14 DHA o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Astiningrum
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas perlu atau tidaknya keberadaan jabatan Wakil Gubernur dalam suatu provinsi yang menyelenggarakan pemerintahan daerah erdasarkan asas otonomi daerah. Pertimbangan mengenai perlu atau tidaknya diadakan jabatan Wakil Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi ini didasarkan pada konsep-konsep dalam teori organisasi, khususnya kompleksitas organisasi dan rentang kendali; serta dilatarbelakangi oleh masalah-masalah yang kerap timbul di berbagai provinsi karena adanya jabatan Wakil Gubernur. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analitis deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa Pemerintah (Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat) perlu untuk membuat ketentuan yang baru tentang pengadaan jabatan Wakil Gubernur di tiap-tiap provinsi, dengan memperhatikan kebutuhan tiap-tiap provinsi berdasarkan konsep-konsep di dalam teori organisasi. Ketentuan yang baru ini hendaknya dimuat di dalam undang-undang pemerintahan daerah yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih berlaku sampai saat ini.

ABSTRACT
The focus of this study is whether the role of Vice Governor is necessary or not in a province that run the local government based on local autonomy principle. The consideration of whether the role of Vice Governor is needed or not in the enforcement of local government is based on concepts in the theories of organization, especially complexity of organization and span of control; also backgrounded by the problems that frequently appear in several provinces because of the existence of the role of Vice Governor. This research is a qualitative descriptive interpretive. The researcher suggests that government (President and House of Representatives) should make a new rules about the procurement of the role of Vice Governor in every province, by observe the needs of every province based on concepts on theories of organization. The new rules should be included on the new Local Government Act to replace the The Law of Local Administration No.32/2004 which is still valid at the moment. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S284
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alessius Asnanda
"Pemerintahan Desa adalah penyelenggara kegiatan Lembaga Pemerintahan dan Pembangunan di tingkat Desa, terdepan serta paling dekat dengan masyarakat yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing untuk kesuksesan pembangunan dan kemajuan masyarakat. Lebih dari itu, praktek pelaksanaan Pemerintahan Desa sesungguhnya merupakan potret dan cerminan sejauhmana demokrasi diimplementasikan dalam pemerintahan kita.
Adapun formulasi pertanyaan penelitian ini adalah : Bagaimanakah penataan Pemerintahan Desa serta Pandangan Masyarakat Ada( mengenai format struktur dan Fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Landak. Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat adat tentang format Pemerintahan Desa yang sesuai dengan Otonomi Daerah, dan untuk mengetahui faktor penghambat, pendukung serta pro dan kontra dalam pelaksanaan penataan kembali ke Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori dan konsep tentang Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi Daerah, termasuk didalamnya Pembangunan Sosial, Pemerintahan Adat dan Pelayanan kepada masyarakat (public services) serta Pemberdayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Daerah, DPRD, Dewan Adat dan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Landak.
Penelitian ini merupakan studi penataan Pemerintahan Desa dengan kajian tentang struktur dan fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan penataan terhadap Pemerintahan Desa kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung tersebut maka adanya pembuatan sejurnlah Peraturan Daerah, yang mana memerlukan mekanisme dan tahapan serta melibatkan pihak-pihak yang kompeten atau pihak yang benar-benar memahami materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang sesuai asal usul dan adat istiadat masyarakat Kabupaten Landak. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan apabila dipelajari sungguh-sungguh sesuai dengan kepentingan, terutama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Landak dalam penataan Pemerintahan Desa.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan penelitian ini berkesimpulan, bahwa ada sejumlah hat panting dan menarik yang perlu dikaji. Namun dari sejumlah hal panting dan menarik tersebut, maka penelitian ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah diterima dengan balk dan antusias di Kabupaten Landak. Penataan Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah merupakan suatu pemberdayaan dan untuk menciptakan pelayanan yang baik atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, adanya silang pandangan, ide maupun konsep yang berkembang, terutama mengenai penataan format pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Desa yaitu kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung. Semua pihak mempunyai konsep maupun pandangan yang menarik serta baik sebagai pendorong menuju Pemerintahan yang baik dalam rangka untuk mengembangkan demokratisasi, partisipatif, berkeadilan, kemandirian, akomodatif, transparan, bertanggunJ'awab, yang dekat dengan masyarakat. Meskipun secara teknis mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaan penataan tersebut.
Adapun saran-saran dalam penelitian, yaitu :
pertama : Nama, struk-tur dan sistem pemerintahan yang appropriate sebagai pengganti sistem Pemerintahan Desa adalah gabungan format Pemerintahan Adat dan sistem Pemerintahan Nasional, maka perlu diberlakukan kembali Pemerintahan Kampung di Kabupaten Landak.
Kedua Peraturan Daerah yang dibuat bukan hanya untuk menggali Pendapat Asli Daerah (PAD), tetapi yang lebih panting adalah masyarakat memahami bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah untuk kepentingan pembangunan, kelancaran tugas dan fungsi Pemerintah Daerah.
Ketiga : Untuk menghindari lerjadinya konflik akibat adanya pro dan kontra dalam penetaan Pemerintahan Desa sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah maka perlu sharing duduk bersama secara demokratis Pemda, DPRD dan masyarakat dalam membahas sating silang konsep, ide maupun pandangan dimaksud.
Selain itu juga perlu mengadakan assessment terhadap potensi dan materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang benar-benar sesuai dengan asal usul dan adat istiadat masyarakat Daerah Kabupaten Landak. Keempat : Pemerintahan Desa yang ditata menjadi Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak masih sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas - fungsi pemerintahan dan pembangunan. Karena Pemerintahan Binua atauy Kampung adalah pemerintahan yang dekat dengan warga masyarakt dalam rangka pelayanan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwansyah
"Perubahan paradigma yang panting dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah adalah adanya konsistensi pemerintah daerah terhadap pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum good governance.
Berbagai karakteristik utama good governance merupakan pilar dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Efektivitas, efisiensi, dan transparansi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah wujud akuntabilitas kinerja pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dan stakeholders akan meningkat apabila akuntabilitas publik dari pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Prinsip-prinsip hukum good governance merupakan definisi yang berkaitan dengan aturan-aturan, segala proses dan tingkah laku yang mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara.
Dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya, pemerintah bertanggung jawab terhadap program perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya, sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku. Satu bagian program pembangunan adalah bidang pendidikan (dasar) yang telah menjadi kebijakan nasional, serta diimplementasikan pada tingkat daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Pembahasan mengenai kebijakan anggaran (APBN dan APBD) terkait dengan alokasi anggaran belanja publik dalam pembiayaan perencanaan pembangunan khususnya bidang pendidikan dasar merupakan suatu kenyataan hukum yang parlu dilakukan kajian secara sistematik dan menyeluruh dalam perspektif good governance.
Berdasarkan data yang diperoleh, kebijakan anggaran Pemerintah Kota Medan khususnya dalam bidang pendidikan maaih terdapat berbagai hambatan. Dengan pemberdayaan dan pendayagunaan kepemerintahan yang balk, Pemerintah Kota Medan dapat memanfaatan segala potensi untuk keberlangsungan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>