Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113729 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ken Ritchie
"Resipien yang mendapat transfusi berulang berisiko membentuk aloantibodi anti-HLA Kelas I karena masih adanya leukosit dalam komponen darah dan upaya pengurangan jumlah leukosit tersebut dengan filter atau radiasi belum merata tersedia di Indonesia. Antibodi anti-HLA Kelas I dapat bereaksi dengan trombosit donor pada transfusi berikutnya menyebabkan platelet refractoriness. Untuk mencegah terjadinya platelet refractoriness, pasien harus mendapat trombosit yang HLA-match atau antigen negative cell, namun belum memungkinkan karena keterbatasan jumlah donor darah yang telah diketahui antigen HLA Kelas I. Untuk itu, dilakukan pemilihan trombosit donor yang memiliki CREG HLA Kelas I yang sama dengan resipien dan selanjutnya dipastikan bahwa inkompatibilitas trombosit tidak terjadi dengan uji silang serasi trombosit pre-transfusi.
Dua puluh delapan sampel pasien anemia aplastik yang mendapat transfusi berulang dilakukan skrining antibodi trombosit dengan metode whole-platelet ELISA dan dilanjutkan dengan identifikasi antibodi trombosit dengan metode MAIPA (Monoclonal Antibody Immobilization Platelet Antigen). Sampel yang terdeteksi antibodi HLA Kelas I dianalisis genotip HLA-A dan HLA-B dan dilakukan uji silang serasi dengan trombosit donor yang dipilih berdasarkan kelompok alel CREG HLA.
Dari hasil skrining antibodi, terdeteksi 8 dari 28 sampel terdapat antibodi anti-trombosit. Tujuh dari 8 sampel tersebut atau 7 dari keseluruhan sampel (25%) yang memiliki antibodi HLA Kelas I. Trombosit donor yang CREG HLA Kelas I nya sama dengan resipien cocok berdasarkan hasil uji silang serasi trombosit pre-transfusi dan sebaliknya trombosit donor yang CREG HLA Kelas I nya tidak sama dengan resipien dapat menghasilkan ketidakcocokan atau inkompatibilitas pada uji silang serasi trombosit pre-transfusi. Terdapat antibodi HLA Kelas I pada 25% penderita anemia aplastik yang mendapat transfusi berulang. Dengan melakukan pemilihan trombosit yang berasal dari kelompok CREG HLA Kelas I yang sama antara donor dengan pasien maka didapatkan hasil uji silang serasi yang cocok. Studi ini sebaiknya dilanjutkan untuk melihat respon transfusi trombosit pasien yang medapat trombosit yang cocok ini.

Allo-immunization risk to HLA class I antigen is very high in multi-transfusion patients because leukocyte contamination in blood components and At next transfusion, the patients could have platelet refractoriness due to HLA antigen and alloantibody reaction. To avoid platelet refractoriness, he should be transfused with HLA-match platelet or HLA negative-cell but the blood centre doesn`t have enough donors who have been HLA class I typed. Therefore, in this study we want to know whether donor`s platelet with the same CREG HLA class I with patients is compatible.
Whole-platelet ELISA for platelet antibody screening was conducted on 28 samples of Aplastic Anemia patients from Hematology-Oncology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. We identify the samples with MAIPA (Monoclonal Antibody Immobilization Platelet Antigen). Positive sample were amplified using PCR-ssp method to analyze the genotype of HLA class I. We also analyze the platelet cross-match.
With ELISA method we found 8 of 28 samples have platelet antibody. Seven of those positive samples or 7 of all samples (25%) have HLA class I antibodies. From platelet crossmatch, we found that if CREG HLA Class I between donor and patient are same, the result is compatible. 25% of aplastic anemia who received blood transfusion routinely have antibody to HLA class I. With selected platelet based on the same CREG between donor and patient, we can provide compatible platelet to those patients. But this compatible platelet must be evaluated in patients."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nartono Kadri
"ABSTRAK
Penyakit hemolitik neonatal (PHN) adalah suatu penyakit dengan umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Antibodi ibu yang dapat menyeberang plasenta ialah IgG. Dengan ditemukannya upaya preventif anti Rho (anti-D) terhadap penyakit hemolitik Rhesus, maka pada waktu ini PHN akibat inkompatibilitas golongan darah ABO ibu-janin (PHN-ABO) merupakan penyebab utama terjadinya penyakit hemolitik isoimun pada neonatus.
PHN-ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O, dan angka kejadiannya berbeda bermakna dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B.Hal ini disebabkan karena antibodi anti-A atau anti-B pada ibu golongan darah O umumnya adalah klas IgG (7S) yang dapat menyeberang lintas plasenta, sedangkan pada ibu golongan darah A atau B umumnya adalah klas IgM (19S) yang tidak dapat menyeberang plasenta. Kehamilan inkompatibel ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.
Dalam masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan darah A atau B.
Sekitar 20%-30% penderita ikterus neonatal dari berbagai ras ternyata berlatar belakang inkompatibilitas ABO. Pada beberapa penelitian terpisah, ditemukan bahwa resiko kejadian PHN-ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan, ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Pemeriksaan laboratorik uji antiglobulin direk positif, pada etnis kulit berwarna berbeda bermakna dibandingkan dengan etnis kulit putih. Tindakan transfusi tukar atas indikasi hiperbilirubinemia berlatar belakang kehamilan dengan inkompatibel ABO mempunyai persentase yang cukup tinggi. Angka kejadian di Afrika Selatan adalah 55% dari seluruh tindakan transfusi tukar, di Jakarta ditemukan sekitar 42,4%, dan di Singapore sebanyak 28%.
Di daerah yang keadaan lingkungan hidupnya belum memadai, kejadian PHN-ABO lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lingkungan hidupnya lebih baik, hal ini disebabkan adanya paparan substansi dari lingkungan berupa bakteri atau parasit. Beberapa bakteri misalnya E.coli dan parasit cacing Ascaris lumbricoides dan Necator americanus yang banyak ditemukan di daerah lingkungan hidup kurang sehat, ternyata mengandung substansi yang mirip dengan komponen sel darah merah A atau B. Bila paparan oleh substansi demikian terjadi secara berulang dan kontinu, dapat menimbulkan reaksi antigen antibodi sekunder terhadap antibodi alamiah yang telah ada pada ibu, terjadilah pembentukan antibodi lebih cepat dan tinggi. Pada wanita hamil yang mempunyai titer antibodi anti-A atau anti-B tinggi, kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik ABO pada bayinya makin tinggi pula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D179
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenardi Moeslichan
"Rasa syukur kita ini akan bertambah nikmat manakala kita menyadari eksistensi diri di alam jagat raya ini. Manusia adalah salah satu dari sejumlah makhluk bumi, dan seorang manusia adalah seorang warga penduduk bumi yang diperkirakan akan mencapai 6,2 milyard pada tahun 2000 nanti. Mereka saling berinteraksi dan saling merindukan kedamaian (walaupun masih terjadi peperangan antar manusia disana-sini yang masih sulit untuk didamaikan).
Menyadari betapa kecil kehadiran manusia di bumi ini, manusia akan lebih merasakan betapa kecilnya lagi manakala dianugerahi kemampuan berfikir, bahwa bumipun hanya merupakan sebagian kecil eksistensinya dalam tata surya alam ini. Allahu Akbar.
Dengan manusia sebagai titik tumpu setelah teropong megamakro digunakan untuk mengagumi kebesaran jagad raya dalam makrokosmos berbalik teropong itu diarahkan ke dalam dunia mikro terhadap komposisi tubuh manusia. Kita akan dapat temukan berbagai fenomena menakjubkan yang dapat dilihat dan dipelajari. Salah satu diantaranya adalah darah.
Benda cair yang berwarna merah ini tersusun dari berbagai materi biologis yang juga saling berinteraksi. Interaksi yang serasi diperankan oleh masing-masing unsur untuk mempertahankan homeostasis tubuh agar terpelihara tubuh yang sehat. Mereka diproduksi .di dalam sumsum tulang. Sumsum tulang ini seakan-akan suatu pabrik yang memproduksi berbagai jenis sel darah, setiap hari tiada hentinya. Diperhitungkan sekitar 200 bilion sel darah merah, 10 bilion sel darah putih dan 400 bilion butir trombosit diproduksi setiap hari. Betapa besar kapasitas pabrik dalam tubuh kita ini. Keindahan semakin dirasakan karena terbukti masing-masing materi bioiogis ini saling berinteraksi yang sangat unik di dalam dunianya. Apabila karena sesuatu hal interaksi dan produksi tersebut terganggu maka terjadilah penyakit yang mengancam kehidupan individu tersebut.
Darah masih merupakan materi biologis yang belum dapat di sintesis di luar tubuh, atas dasar itu apabila pada suatu saat terjadi kekurangan darah atau komponennya, biasanya seseorang memerlukan bantuan darah dari orang lain yang disebut transfusi darah. Tetapi dalam transfusi darah yang bertujuan menyelamatkan jiwa sesama manusia tersebut, dapat mengundang pula berbagai risiko yang merugikan kesehatan tubuh, bahkan dapat berakibat kematian. Atas dasar itu praktek transfusi darah yang benar haruslah dilandasi oleh suatu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Transfusi Darah (Transfusion Medicine).
Berbagai keindahan dan pesona darah yang mendasari ilmu ini mengundang kekaguman, dan kadang-kadang enak dinikmati, karena itu saya ingin berbagi rasa dengan para hadirin dengan menyajikan sekelumit tentang transfusi darah yang berkaitan dengan profesi saya sebagai dokter anak, kemudian ikut memikirkan kemungkinan permasalahannya dalam suatu sajian yang berjudul Kajian Pediatrik Terhadap Transfusi Darah.
Para hadirin yang berbahagia,
Seperti dikemukakan sebelumnya darah adalah materi biologis, berbentuk cair berwarna merah. Didalamnya terkandung bagian yang bersifat korpuskuler dan sebagian lainnya bersifat tarutan. Bagian korpuskuler ini disebut sebagai butiran darah yang terdiri dari sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan butir trombosit (platelet), Ketiga jenis butiran darah ini terutama dibuat di dalam sumsum tulang dari sejenis sel yang disebut sel stem. Sel stem ini seolah-olah suatu benih yang mampu terus-menerus bertahan dengan memperbanyak diri serta berdeferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam sumsum tulang terdapat strama yang memberkan lingkungan mikro (micraenvironment) seakan-akan suatu lahan tanah yang subur bagi pertumbuhan sel stem.
Katau diperhatikan lebih seksama, sel darah merah itu berbentuk diskus bikonkaf yang fleksibel, diameternya 8 um, dan didalamnya berisi cairan hemoglobin. Hemoglobin inilah yang memberi warna merah darah kita. Bentuk sel darah merah yang fleksibel memungkinkan sel darah merah melalui saluran sirkulasi mikro yang berdiameter lebih kecil."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0121
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Senohadi Boentoro
"Pendahuluan dan tujuan: Pembedahan laparoskopi telah diakui dapat mengurangi tingkat morbiditas sehingga meningkatkan keselamatan pasien. Saat tindakan LLDN, komplikasi yang paling sering adalah cedera pembuluh darah ginjal, yang sering membutuhkan transfusi darah. Selain perlunya transfusi darah, pendarahan berat yang disebabkan oleh cedera pembuluh ginjal membutuhkan konversi dan perbaikan terbuka. Dengan demikian, penelitian ini ingin mendeskripsikan dan menganalisis kebutuhan transfusi darah dalam operasi laparoscopic living donor nephrectomy di pusat kami.
Bahan dan metode:  Studi kohort retrospektif ini dilakukan di Departemen Urologi di Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Rekam medis semua pasien donor ginjal yang menjalani prosedur LLDN di institusi kami dari November 2011 hingga Oktober 2017 ditinjau. Data termasuk usia donor, kadar hemoglobin sebelum operasi, kadar hemoglobin pasca operasi, jumlah pendarahan intraoperatif, jumlah arteri renalis, jumlah vena renalis, sisi donor, konversi ke operasi terbuka, durasi operasi, dan BMI donor dikumpulkan dan dianalisis. Data-data ini selanjutnya dikorelasikan dengan tingkat transfusi.
Hasil: Terdapat 500 pasien yang menjalani tindakan laparoscopic living donor nephrectomy di institusi kami. Semua pasien menjalani prosedur LLDN dengan pendekatan transperitoneal. Perbedaan proporsi tingkat transfusi darah antara pasien pria 0,9% dibandingkan dengan 0,6% pada pasien wanita tidaklah signifikan (p=0,782). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proporsi tingkat transfusi darah dengan sisi ginjal (p=0,494), jumlah arteri (p=0,362), usia (p=0,978), BMI (p=0,569), dan kadar hemoglobin sebelum operasi (p=0,766). Median perkiraan jumlah pendarahan pada pasien yang menerima transfusi darah intraoperatif secara signifikan lebih besar daripada pasien yang tidak menerima transfusi darah (p <0,001).
Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, kami menyarankan bahwa di institusi kami, penggunaan produk darah pra operasi tidak selalu diperlukan. Kurva pembelajaran dan teknik ahli bedah memiliki peran penting dalam mencegah komplikasi intraoperatif dan kehilangan darah.

Introduction and objectives: Laparoscopic surgery has been acknowledged to reduce the morbidity rate thus improving patient safety. During the LLDN, the most frequent complication is renal vessels injuries, which often requires a blood transfusion. Besides the need for a blood transfusion, major bleeding caused by renal vessels injuries require open conversion and repair. Thus, this study would like to descript and analyze the need for blood transfusion in laparoscopic living donor nephrectomy surgery in our center.
Materials and methods: We performed a retrospective cohort study in the Department of Urology at Cipto Mangunkusumo National Hospital. The records of all kidney transplantation donor patients who underwent LLDN procedures carried out at our institution from November 2011 to October 2017 were reviewed. Data including donor age, preoperative hemoglobin level, postoperative hemoglobin level, intraoperative bleeding, number of artery(ies), number of vein(s), donor side, conversion to open surgery, surgery duration, and donor BMI were collected and analyzed. These data were further correlated with transfusion rate.
Results: There were 500 patients underwent laparoscopic living donor nephrectomy procedure at our institution. All of the patients had LLDN with a transperitoneal approach. The difference in blood transfusion rate proportion between male patients with 0.9% compared to 0.6% in female patients was not significant (p=0.782). There are no significant difference in blood transfusion rate proportion regarding to renal side (p=0.494), number of artery (p=0.362), age (p=0.978), BMI (p=0.569), and preoperative hemoglobin (p=0.766). Median estimated blood loss in patients who received intraoperative blood transfusion was significantly much greater than in patients who did not receive a blood transfusion (p<0.001).
Conclusion: Based on this study, we suggest that in our institution, preoperative blood products are not necessarily needed. The surgeon's learning curve and technique play a significant role in preventing intraoperative complications and blood loss."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Sasono Riyadi
"Latar belakang: Perdarahan merupakan faktor resiko dalam suatu tindakan operasi yang dapat mengakibatkan kematian. Perdarahan yang menyebabkan massive hemorrhage ini sering terjadi pada pasien yang mengalami operasi pengangkatan tumor Ameloblastoma. Untuk mengatasi komplikasi perdarahan intraoperasi diperlukan transfusi darah. Karena resiko transfusi darah cukup tinggi maka seorang ahli bedah harus dapat mempertimbangkan kebutuhan transfusi darah secara tepat untuk menghindari komplikasi tersebut. Tujuan: Untuk menganalisa hubungan lama operasi, luas defek, dan tipe histopatologi terhadap kehilangan darah intraoperasi dan kebutuhan transfusi darah pada bedah reseksi rahang kasus Ameloblastoma. Metode: Studi ini menggunakan metode analitik observasional dengan desain penelitian retrospektif. Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara lama operasi nilai p = 0.0480(<0.05) dan luas defek reseksi 0.001 (p <0.05) terhadap jumlah kehilangan darah. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara luas defek dengan jumlah kehilangan darah intraoperasi. Khususnya pada klasifikasi L, C, H, LC, LCL, HC.

Background: Bleeding is a risk factor in an operation that can result in death. Bleeding that causes massive hemorrhage often occurs in patients who undergo surgical removal of Ameloblastoma tumors. Blood transfusion is needed to overcome the complications of intraoperative bleeding. Because the risk of blood transfusion is quite high, a surgeon must be able to properly consider the need for blood transfusion to avoid these complications.
Objective: To analyze the relationship between duration of surgery, extent of defect, and histopathological type of intraoperative blood loss and the need for blood transfusion in jaw resection surgeries in Ameloblastoma cases. Method: This study uses observational analytic methods with a retrospective research design. Results: There is a significant relationship between the length of surgery p = 0.0480(<0.05 and the extent of the resection defect 0.001 (p <0.05) to the amount of blood loss.
Conclusion: There is a significant difference between the extent of the defect and the amount of intraoperative blood loss. Especially in the classification of L, C, H, LC, LCL, HC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hima Liliani
"ABSTRAK
Darah merupakan sumber daya yang tidak tergantikan. Menurut Hall (2013), di
University Hospitals of Leicester UK, dari 507 unit darah yang di-crossmatch
hanya 283 unit darah yang ditransfusikan. Terdapat 25% darah terbuang pada
Rumah Sakit Publik Guyana (Kurup, 2016). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan metode kualitatif. Berdasarkan analisis diperoleh hasil, yaitu
35.79% unit darah yang tidak ditransfusikan, capaian CT Ratio 2.12 (dari 3536
unit darah yang dicrossmatch, hanya 1670 unit darah yang ditransfusikan),
Penyebab darah terbuang adalah kadaluarsa 98.4%, selang habis, kantong bocor,
darah rusak dll. Penggunaan MSBOS dapat menurunkan angka ketidakterpakaian
darah pada pasien operasi elektif sebesar 35.64%.

ABSTRACT
Blood is an irreplaceable resource. According to Hall (2013), at University
Hospitals of Leicester UK, from 507 units of crossmatched blood, only 283 units
were used. There is 25% discharge blood at Guyana Public Hospital (Kurup,
2016). This research is a descriptive case study with qualitative method. Based on
the analysis, 35.79% of the blood units were not transfused, the CT ratio was 2.12
(from 3536 unit of crossmatched blood, only 1670 unit were transfused). The
cause of blood wastage is expired 98.4%, blood tube runs out, blood bag leak,
blood damaged and unidentified causes. The use of MSBOS may decrease the rate
of blood units wastage in elective surgery patients by 35.64%."
2017
T47757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ebrahim, Abdul Fadl Mohsin
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004
297.5 EBR ot
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Pasien thalasemia usia remaja yang mendapat tranfusi darah berulang akan mengalami perubahan pada bentuk tubuhnya. Perubahan ini dapat menyebabkan timbulnya persepsi yang berbeda-beda terhadap citra diri pasien tersebut. Penelitian ini dilakukan di unit poliklinik thalasemia IKA Perjan RSCM Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi terhadap citra diri pada pasien thalasemia usia remaja yang mendapat transfusi darah berulang, Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif sederhana. Populasi pada penelitian ini adalah remaja usia 11 sampai 20 tahun. Sampel yang digunakan sebanyak 32 orang dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa 68,75 % responden mempunyai persepsi positif terhadap citra diri dan 31,25 % mempunyai persepsi negatif. Instrumen yang digunakan terdiri dari data demografi (kuesioner A) dan pertanyaan tentang persepsi terhadap citra diri. Persepsi yang positif pada remaja dengan thalasemia harus terus dipertahankan dan didukung, sedangkan persepsi yang negatif perlu perhatian dan dukungan yang lebih dari berbagai pihak."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5342
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>