Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198092 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djoko Wihantoro
"Dalam mengemban tugas pendistribusian hasil-hasil pembangunan, pelaksanaan pembangunan di daerah masih menghadapi berbagai masalah, beberapa diantaranya justru membutuhkan pemecahan yang mendasar, seperti pelimpahan wewenang perencanaan, ketimpangan pendapatan antar daerah dan laju pertumbuhan, serta penciptaan lapangan kerja di daerah. Menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat darurat, yang dikenal dengan program Instruksi Presiden (Inpres). Program ini juga ditujukan untuk menunjang otonomi daerah.
Program Inpres Dati II (Inpres No.611984) bertujuan: mempertinggi hasil produksi, memperlancar distribusi bahan dan basil pertanian dalam waktu singkat serta memperbaiki lingkungan hidup masyarakat berpenghasilan rendah, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan daerah.
Maksud dari Program Inpres Dati II untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, yaitu : penyerahan urusan pembangunan daerah kepada Pemerintah Daerah, penciptaan kemandirian daerah (Keuangan Daerah), meningkatkan sistem perencanaan pembangunan daerah dengan sistem buttom up planning, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah serta meningkatkan profesionalisme aparatur daerah.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan kesimpulannya lebih bersifat deskriptif. Di dalam penelitian menggunakan sumber data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah dan berbagai kebijaksanaan lainnya. Data primer di sini adalah data yang diperoleh langsung dalam penelitian di lapangan, baik berupa hasil wawancara maupun observasi.
Program Inpres Dati II telah memberikan dampak positif, yaitu transportasi lancar, meningkatnya hasil pertanian, meningkatnya taraf hidup masyarakat dan perekonomian daerah. Dan dampak utama yang diharapkan tersebut di atas Program Inpres Dati II telah menimbulkan dampak sampingan yang tidak diharapkan yaitu ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Di samping itu, tujuan/maksud Program Inpres Dati II sebagian besar tidak tercapai dan Program Inpres Dati II berdasarkan analisis/penelitian di Kab. Sleman belum berperan dalam pelaksanaan otonomi daerah, disarankan kepada Pemerintah Pusat segera mengambil kebijakan agar Program Inpres Dati II berperan dalam pelaksanaan otonomi daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suripto
"Untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Daerah, Pemerintah Pusat melalui berbagai Program telah mengalokasikan berbagai dana bantuan yang dikemas ke dalam Bantuan Sektoral maupun Bantuan Inpres, yang salah satunya berbentuk Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II (Inpres Dati II). Penyaluran dana Program Bantuan Inpres Daerah Tingkat II kepada Daerah Tingkat II diberikan ke dalam 4 (empat) tahap, yaitu triwulan I sebesar 25% dari total bantuan, triwulan II sebesar 25% dari sisa bantuan, triwulan III sebesar 25%, dan triwulan IV sisanya sebesar 25%.
Dalam implementasinya, dana bantuan tersebut harus dapat terserap secara optimal yaitu pada triwulan I sebesar 25% dari total bantuan, triwulan II sebesar 50%, triwulan III sebesar 75%, dan pada triwulan IV sebesar 100%. Data yang ada pada Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dalam 5 (lima) tahun anggaran yang lalu yaitu 1991/1992 - 1995/1996 menunjukkan, bahwa realisasi daya serap keuangan tidak sesuai target.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penelitian dilakukan untuk mengetahui lambannya daya serap keuangan Program Bantuan Inpres Dati II dan mengkaji secara mendalam faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu koordinasi, desentralisasi, dan mutulkualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalamnya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisa kinerja faktor yang mempengaruhi tersebut.
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, sementara untuk mendapatkan data dalam melakukan analisa dilakukan 2 (dua) pendekatan, yaitu pengkajian literatur, data, laporan (data sekunder) dan mengkaji informasi yang terjaring melalui wawancara yang sangat mendalam dan tidak terstruktur dengan para pejabat yang terlibat langsung sebagai key informan.
Hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi lambannya realisasi daya serap keuangan Program Inpres Dati II, menunjukkan mekanisme koordinasi antar satuan kerja/dinas yang terkait tidak berjalan sebagaimana mestinya, belum ada pemberian kewenangan (desentralisasi) yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat belum memadai, dan belum tersebar secara merata sesuai kebutuhan daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T7432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karmin
"ABSTRAK
Sebagai rangkaian aparatur negara, birokrat local berperan penting dalam implementasi program-program pembangunan. Studi ini berusaha untuk memahami peranan yang telah dilakukan oleh birokrat lokal dan bagaimana menjalankan peranan itu serta nilai-nilai sosiobudaya yang dianut dalam implementasi program-program pembangunan.
Studi ini difokuskan pada kasus implementasi program KB dan Inpres Desa di Daerah Tirigkat II Soppeng pada 12 desa sampel. Kedua program tersebut merupakan rangkaian program pembangunan nasional dengan masyarakat pedesaan sebagaisalah satu kelompok sasaran.Kedua kasus implementasi tersebut diteliti dengan mengacu pada 3 (tiga) pendekatan teori implementasi program, yaitu (1) faktor-faktor apa saja yang merupakan syarat penting bagi keberhasilan implementasi program pembangunan,(2) faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat implementasi program pembangunan, dan (3) faktor-faktor apa yang dipertimbangkan dalam implementasi program pembangunan. Dua dari tiga pendekatan tersebut, yaitu pendekatan pertama dan kedua berkaitan dengan kasus implementasi kedua program tersebut.
Birokrat lokal sangat menentukan keberhasilan implementasi program KB dan Ipres Desa. Keberhasilan implementasi kedua program tersebut pada 6 desa dari 12 desa sampel karena birokrat lokal, dalam hal in; pimpinan pemerintah "wilayah", tampil sebagai motivator, koordinator, strategist, leader, dan interface. Berhasilnya birokrat tersebut menjalankan peranan-peranan ini karena terdorong adanya "siri", "Ajjoareng" dan "reso matinulu temmarigingngi". Namun dalam menjalankan setiap peranan tersebut nampak perbedaan perilaku yang ditampilkan kepada kelompok sasaran program karena perbedaan "kesadaran" masing-masing birokrat lokal.
Pemanfaatan jalur formal dan informal oleh birokrat lokal dalam menjalankan setiap peranan di atas menentukan keberhasi1an implementasi masing-masing program. Implementasi masing-masing program pembangunan didukung dan diperkenalkan oleh orang yang dipandang penting, disegani serta memiliki integritas yang tinggi dalam masyarakat. Karena itu, guna keberhasilan implementasi program pembangunan di tingkat lokal khususnya di pedesaan masih harus dilengkapi azas-azas normatif berdasarkan budaya setempat.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
S8030
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
S8531
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S25381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muzakkir
"Topik keuangan daerah selalu menarik lantaran keuangan daerah menjadi suatu variabel utama untuk mengukur derajat otonomi daerah. Banyak sudah observasi yang sampai pada pendapat bahwa lemahnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia hampir semuanya akibat dari rendahnya pendapatan asli daerah sendiri, sehingga daerah-daerah menjadi tertinggal karena tidak mampu mengadakan sendiri komoditas publiknya. Minimnya PADS berawal dari terbatasnya kekuasaan atau kewenangan daerah menguasai aset produktif setempat, dan ini seolah given bagi daerah, terufama Dati II. Ini berkait langsung dengan pelaksanaan UU No.32/1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah Otonom yang sedemikian rupa membatasi ekstensifikasi jenis PADS kecuali yang telah ditentukan oleh undang-undang tersebut. Undang-undang itu memang telah dicabut bulan Mei 1999 dan diganti dengan UU PKPD yang baru, namun pada tataran praktis belum ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya progress, sehingga daerah tetap saja seperti masih berada di era lama.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah (Pusat Dati I dan Dati II) adalah menggelar kebijakan perpajakan daerah yang bersifat teknis, dalam hal ini memperbaiki metode pemungutan pajak dan retribusi, seperti aplikasi RIAP. Dengan demikian, ada asumsi bahwa rendahnya pendapatan asli Dati II bukan semata soal kurangnya kewenangan namun juga karena ketidakmampuan aparat perpajakan daerah. Kinerja aparat daerah, dengan demikian. dianggap lemah. Alasannya, teori mengatakan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi atau semakin maju suatu negara dan daerah maka semakin besar proporsi sektor formal yang depat dikenakan pajak. Semakin linggi pendapatan per kapita akibat pertumbuhan ekonomi itu maka semakin besar proporsi pendapatan yang dibelanjakan di sektor jasa. Kenyataannya pertumbuhan ekonomi daerah rata-rata tergolong tinggi selama Orde Baru, namun ada gap yang menganga antara tingginya perlumbuhan ekonomi itu dengan rendahnya PADS. Berarti terdapat kapasitas pajak (tax capacity) yang besar namun tidak dapat dijangkau oleh aparat daerah karena rendahnya kapasitas dan kapabilitas mereka. Untuk itu aparat perpajakan daerah harus diberdayakan secara teknis melalui suatu program usistensi.
Lantas sejauhmana dampak dan asistensi itu dalam rangka meningkatkan kemampuan aparat birokrasi perpajakan daerah? Lebih tepat lagi seberapa efektifkah RIAP mampu meningkatkan PADS, pajak daerah dan retribusi daerah? Tesis ini mengukurnya dari berbagai segi atau kriteria yang merupakan ukuran relaiif untuk menjawab pertanyaan itu dengan lokasi penelitian Kotamadya Bogor, suatu Dati II yang diasumsikan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi . Ukuran tersebut adalah (i) revenue adequacy ratio (ratio kecukupan) yakni perbandingan antara penerimaan asli daerah baik secara total maupun individual dengan pengeluaran total APBD maupun pengeluaran rutin APBD; (ii) administrative efficiency ratio (rasio efisiensi administrasi) yakni perbandingan anfara biaya rutin dinas penghasil jenis PADS tertentu dengan jumlah penerimaan PADS yang berhasil dipungutnya; (iii) effectivity ratio (ratio efektivitas) yakni perbandingan antara realisasi pungutan PADS dengan target yang tercantum dalam APBD: (iv) elasticity (elastisitas) dan buoyancy yakni respon atau perbandingan antara persentase perubahan penerimaan PADS terhadap persentase perubahan PDRB dan persentase perubahan PDRB termasuk efek diskresioner RIAP.
Untuk hal terakhir diajukan hipotesis, bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perubahan PDRB dan kebijakan diskresioner RIAP terhadap penerimaan PADS. Keempat prinsip itu akhirnya digabung secara matriks dan diberi skor, untuk mendapatkan jumlah total penilaian sehingga diketahui angka indikasi jenis atau kelompok pendapatan asli daerah sendiri mana yang paling banyak mendapatkan dampok positif dengan adanya aplikosi RIAP. Ternyata pajak hotel dan restoran merupakan jenis PADS yang paling bagus kinerjanya setelah mendapat asistensi RIAP, diikuti penerimaan Total pajak daerah, pajak penerangan jalan, pajak hiburan dan pajak perusahaan. Menjadi menarik, bahwa penelitian ini membuktikan bahwa semua retribusi menerima dampak negatif dari aplikasi RIAP, baik penerimaan total maupun individual. Dalam hal ini kila dapat membangun kesan bahwa metode RIAP tidak begitu cocok untuk diterapkan pada retribusi. Oleh karena itu direkomendasikan agar RIAP disempurnakan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liswarti Hatta
"Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilandasi oleh Kebijakan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan telah berjalan sejak 1 April 1994. Program ini secara ideal adalah untuk memberdayakan kaum miskin dan desa tertinggal baik di pedesaan maupun perkotaan Dari dimensi politis program ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, artinya kepedulian pemerintah terhadap kaum tertinggal (penduduk dan desa miskin) bukan sekedar slogan pembangunan. Sebuah program adalah perencanaan yang terkadang antara konsep dan pelaksanaan di lapangan berbeda, perbedaan ini dapat disebabkan oleh konsep yang terlalu sulit untuk diterapkan, pelaksana di lapangan yang tidak mampu menterjemahkan suatu konsep ataupun kedua-duanya. Pelaksanaan program IDT di desa yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan kurangnya sinkronisasi dan pengawasan program yang ketat terutama dalam pemberian dana dari pemerintah Kurangnya sinkronisasi menunjuk pada pembangunan infrastruktur desa yang kurang diarahkan pada variabel ketertinggalan desa (dalam penentuan desa tertinggal menggunakan 27 variabel, lihat lampiran 2); kurang tanggapnya Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi dan mempersiapkan penduduk miskin calon penerima IDT sehingga terkesan program ini hanya'membagi-bagi dana tanpa membekali calon penerima dengan manajemen pengelolaan dana yang memadai. Sedangkan pengawasan yang kurang ketat menunjuk pada kurangnya instansi terkait dari pihak pemerintah dalam memberikan pengawasan pengelolaan uang dari para penerima dana IDT atau kurang ketat dalam mengevaluasi pengguliran dana, sehingga kurang jelas tingkat keberhasilan dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis penerima dana IDT.
Program IDT yang memberikan dana kepada masyarakat tertinggal di desa tertinggal sebanyak Rp. 20.000.000,- per desa/tahun dan setiap desa penerima akan menerima selama 3 tahun berturut turut jadi dalam 3 tahun (1994, 1995 dan 1996) setiap desa penerima IDT mendapatkan dana sebanyak Rp. 60.000.000,- yang langsung diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat di desa yang sengaja telah dibentuk untuk menyongsong program ini. Dari banyaknya dana tersebut, jika dikelola dengan baik akan memberikan prospek yang cerah pada setiap desa tertinggal. Pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dana dari setiap penerima IDT sangat diperlukan demi tercapainya program ini yakni memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan masyarakat harus mencakup segala dimensi seperti sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Artinya dimensi ekonomi lewat pemberian dana IDT kepada masyarakat tertinggal harus pula dibarengi dengan pemberdayaan dimensi lain agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemerintah yakni pembangunan disegala bidang. Pembangunan yang berhasil apabila semua program mampu membangkitkan daya masyarakat untuk secara otonom menjadi subjek dalam pembangunan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Jumayar
"Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah program untuk mengatasi masalah kemiskinan dengan cara menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha.
Dalam penelitian ini, ada dua hal yang perlu diteliti. Pertama, faktor-faktor yang mendukung kelompok sebagai suatu sarana yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan IDT. Kedua, masalah perguliran dana IDT semakin baik dan lancar apabila didasarkan pada faktor pendukung kelompok yang baik.
Penelitian ini dilakukan di salah satu desa yang paling berhasil melaksanakan IDT di Kab. Dati.II Cianjur. Di desa tersebut, ada 10 Pokmas yang melaksanakan program IDT dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa urutan kinerja dari 10 Pokmas yang melaksanakan program IDT didasarkan pada keberhasilan mengqulirkan dana IDT dan besarnya jumlah tabungan Pokmas. Kedua aspek tersebut berusaha digambarkan berdasarkan tinjauan faktor yang mendukung kelompok, khususnya melalui perspektif ilmu kesejahteraan sosial.
Keberhasilan penelitian ini adalah kemampuan untuk menunjukkan faktor yang mendukung kelompok masyarakat miskin yang mencakup: suasana iklim kelompok yang baik, kepemimpinan yang demokratis, taraf kohesi kelompok yang kuat, sistem struktural kelompok, partisipasi anggota kelompok, proses pembuatan keputusan yang mantap, dan teknik-teknik pemecahan masalah.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara yang berpedoman untuk menggali data dan informasi, sedangkan pencatatan data sekunder dilakukan pada dinaslinstansi yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian menunjukkan bahwa kerjasama dalam Pokmas ternyata tidak bisa dihindari dalam melaksanakan program IDT. Hal itu mutlak dilakukan sesttai dengan kondisi, kebutuhan dan permasalahan masyarakat.
Gaya kepemimpinan yang paling berhasil dalam Pokmas adalah Demokratis, tercermin dalam Pokmas Anggrek 1, Sabilulunoan 1, Mekar Harapan, Melati, Setia dan Sejahtera 1.
Gaya kepemimpinan otoriter hal yang kebalikan dari demokratis terlihat di Pokmas Sabilulungan 2, Sejahtera 2, Sedangkan Mawar, dan Bahagia tidak memakai kedua gaya kepemimpinan itu.
Tingkat kohesivitas dalam Pokmas tidak menjamin keberhasilan IDT karena ada yang melaksanakan kohesivitas di luar program IDT seperti kegiatan F'KK (Pokmas Lrahagia).
Faktor-faktor yang mendukung kelompok dalam aspek struktur kelompok terutama dalam hal pengangkatan kepengurusan Pokmas mempengaruhi kinerja Pokmas melaksanakan IDT. Diantara pengurus Pokmas yang berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang dimilikinya adalah Pokmas Anggrek 1, Sabilulungan 1. Mekar Harapan. Melati, dan Setia. kelemahan pengangkatan tersebut adalah kepala desa tidak melibatkan ketua LKMD, dan pihak yang kompeten.
Partisipasi dalam bentuk apaoun sangat diperlukan dalam membawa keberhasilan Pokmas melaksanakan IDT terutama dalam bentuk dana, tenaga, dan dalam bentuk pemikiran atau idea dan pendapat. Ukuran partisipasi ini adalah jumlah uang, kerelaan memberikan sumbangan tenaga, dan memberikan pemikiran, atau ide atau pendapat pada saat pertemuan.
Keputusan yang dimaksud adalah dalam hal penggunaan dana IDT, keputusan untuk menentukan besarnya jumlah tabungan Pokmas, dan keputusan untuk perguliran dana IDT dengan variasi dan tingkat keberhasilan yang berbeda.
Terakhir, Teknik-teknik pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah memahami hakekat masalah, pengumpulan data yang relevan, dan kesadaran diri setiap anggota kelompok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T4423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>