Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105975 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanti Damayanti
"Penelitian dilakukan dengan adanya pertimbangan dan pemikiran tentang perlunya meningkatkan perhatian kepada masalah-masalah yang dihadapi oleh penyandang cacat sebagai kelompok yang kurang beruntung serta berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan kepada penyandang cacat dengan cara melibatkan masyarakat dan melaksanakan pembinaan tersebut di dalam masyarakat. Kegiatan seperti ini dilandasi dengan konsep-konsep pembangunan masyarakat dengan menggunakan suatu strategi yang disebut strategi pemberdayaan berbasiskan masyarakat. Stategi pemberdayaan berbasiskan masyarakat ini kemudian melandasi suatu program pembinaan penyandang cacat yang dititik beratkan pada upaya-upaya rehabilitasi penyandang cacat yang dilaksanakan didalam masyarakat.
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran secara lengkap mengenai pelaksanan progam RBM dan tingkat keberdayaan penyandang cacat sebagai sasaran dari program tersebut, yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan beberapa teknik pengumpulan data yang kemudian diolah dan diinterpretasikan secara deksriptif analitis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai program dan tingkat keberdayaan penyandang cacat serta memberikan rekomendasi-rekomendasi bagi kegiatan-kegiatan program RBM khususnya dan kegiatan upaya kesejahteraan bagi penyandang cacat pada umumnya.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan konsep-konsep dan asumsi yang mendukung berkaitan dengan; konsep mengenai pembangunan masyarakat, rehabilitasi, pemberdayaan, dan kecacatan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa penelitian yang dilakukan terhadap objek penelitian memiliki landasan dan kajian teoritis.
Berdasarkan latar belakang permasalahan serta konsep-konsep yang menjadi landasan penelitian ini, maka dilakukan kegiatan observasi dan pengumpulan data dilapangan yang kemudian disajikan dalam bentuk gambaran umum mengenai lokasi penelitian dan mekanisme atau pelaksanaan program rehabilitasi bersumbedaya masyarakat (RBM) di Kotamadya DT II Bandung, sebagai landasan untuk dilakukan pengolahan dan analisa data lebih lanjut.
Berdasarkan perolehan data dan pengolahannya maka dilakukan interpetasi dan pembahasan mengenai gambaran tingkat keberdayaan penyandang cacat beserta berbagai faktor yang mendukung dan menghambatnya, serta gambaran tingkat keberdayaan yang dapat dicapai oleh sasaran dari penelitian dalam hal ini penyandang cacat.
Sebagai penutup laporan ini dilakukan evaluasi dan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan analisa dan interpretasi terhadap data yang diperoleh dengan berbagai tinjauan konsep dan praktek dari objek penelitian ini, serta rekomendasi-rekomendasi yang dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi pelaksanaan kegiatan program selanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T1387
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Zaenal Hakim
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM), yang dilaksanakan dikelurahan Dago kecamatan Coblong kota Bandung. Sebagai wujud dari keterlibatan masyarakat dan pamerintah dalam meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat, program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) bagi penyandang cacat ini telah membina penyandang cacat melalui keberadaan kader RBM dalam melakukan pembinaan pembinaan dan rehabilitasi menyangkut rehabilitasi medis, pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat dalam keluarga dan masyarakat. Untuk melihat hasil yang telah dicapai penyandang cacat melalui program RBM ini, maka peneliti mencoba menelusuri pelaksanaan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat bagi penyandang cacat tersebut.
Tipe penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu bermaksud untuk membuat penggambaran (deskriptif) tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif karena bertujuan untuk memahami dan menafsirkan proses pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat melalui RBM Sesuai dengan katakteristik dari penelitian kualitatif, digunakan pendekatan studi kasus melalui pengumpulan serangkaian informasi yang luas, secara lebih mendalam, dan lebih mendetail terhadap beberapa kasus pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat yang telah dipilih. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dalam penelitian ini dilaksanakan wawancara mendalam, pengamatan dan studi dokw-nentasi yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif, ditafsirkan dan diimplementasikan terhadap data tersebut serta ditarik implikasi teoritiknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyandang cacat memiliki latar beiakang kecacatan baik disebabkan sejak lahir maupun diluar kelahiran sebagai akibat dari kecelakaan, menderita penyakit, dan karena permasalahan kehidupan keluarga yang dihadapi. Penyandang cacat mengalami kondisi ketidakberdayaan baik secara internal maupun eksternal. Keluarga yang anggotanya mengalami kecacatan, mengalami situasi kesedihan dan duka cita yang mendalam, perasaan pasrah dan menerima kecacatan yang dihadapi tanpa ada upaya perubahan, kurang memberikan perhatian, serta kurangnya pemahaman dan pengetahuan terhadap kecacatan.
Dalam pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan, tingkat kemandirian yang dicapai penyandang cacat sesuai dengan 23 kriteria kemandirian belum dapat memberikan kemampuan dan keberdayaan penyandang cacat secara penuh, menyangkut kemampuannya dalam pilihan personal dan kesempatan hidup, pemenuhan kebutuhan, pengungkapan gagasan, ide, pemanfaatan sumber, aktifitas ekonorni, serta reproduksi, Kemampuan Kader RBM dalam mendeteksi kecacatan belum mencakup kemampuan dalam mendeteksi kecacatan meliputi aspek medis, pendidikan, keterampilan dan aspek sosial. Masyarakat pada akhirnya belum secara aktif terlibat secara penuh dalam program RBM. Kurang tercapainya tujuan program RBM diatas, didasari atas proses pelaksanaan pemberdayaan yang lebih didominasi oleh Kader RBM, sehingga peran penyandang cacat, keluarga dan masyarakat tidak nampak dalam proses ini.
Berbagai upaya perubahan dan perbaikan perlu dilakukan, khususpya dalam upaya meningkatkan kapasitas, pengetahuan dan kemampuan Kader RBM. Kader harus diberikan kemampuan dan keterampilan yang luas terutama menyangkut deteksi kecacatan secara menyeluruh, meningkatkan kemampuan dalam perannya sebagai educator, fasilitator, representator dan tehnikal, serta pencapaian kemandirian dan kemampuan penyandang cacat secara penuh. Proses pemberdayaan yang dilakukan harus diarahkan pada penampilan peran yang seimbang dan terpadu antara Kader RBM, penyandang cacat, keluarga dan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surakartadinah Pangestuti
"Tesis ini meneliti tentang Proses Pelaksanaan Program Pemberdayaan Penyandang Cacat Tubuh Melalui Pelatihan Kerja pada Program Rehabilitasi Sosial, Perhatian kepada penyandang cacat tubuh ini penting dilakukan dalam rangka mengentaskan penyandang cacat tubuh dari keterbelakangan dan ketergantungan sosial ekonomi atau meningkatkan kualitas penyandang cacat tubuh. Salah satu upaya penanganan yang dilakukan Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (PRSBD) "Prof Dr, Soeharso" Surakarta adalah pemberdayaan melalui pelatihan kerja sesuai dengan tahapan pada program rehabilitasi sosial. Tujuannya membekali penyandang cacat:tubuh dengan pengetahuan dan ketramplan kerja sehingga dalam diri penyandang cacat tubuh terjadi peningkatan pengetahuan, ketrampilan kerja dan perubahan sikap yang akhirnya mampu memperoleh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak tergantung pada orang lain serta dapat hidup mandiri atau dengan kata lain adanya peningkatan fungsi sosial penyandang cacat tubuh. Untuk mewujudkan upaya tersebut, maka perlu ditingkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan para pengelola program.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi tentang pemberdayaan penyandang cacat tubuh melalui pelatihan kerja. Pemilihan informan. dilakukan dengan purposive sampling yang meliputi kepada bidang dan kepada seksi, instruktur dan penyandang carat tubuh. Untuk mendapatkan informasi dari informan tersebut, peneliti menggunakan teknik studi dokumentasi, wawancara mendalam dan observasi. Ketiga cara ini dilakukan dengan mekanisme triangulasi atas jawaban masing-masing informan. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan proses pelaksanaan program, menemukan faktor pendukung dan penghambat serta solusi yang telah dilakukan lembaga.
Permasalahan penyandang cacat tubuh sangat remit dan kompleks, oleh karena itu perlu adanya program pertolongan dan perlindungan melalui pelatihan kerja yang dikaitkan dengan konsep penyandang cacat tubuh, pendidikan dan pelatihan dan pemberdayaan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bentuk pelayanannya adalah rehabilitasi sosial, sedangkan bentuk pemberdayaannya adalah pelatihan kerja. Pelatihan kerja ini belum cukup mampu mendorong penyandang cacat tubuh ke arah yang lebih berdaya. Artinya penyandang cacat tubuh belum mempunyai ketrampilan kerja yang dapat untuk mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun sudah mampu berelasi dengan orang lain secara wajar. Pemberdayaan ini berarti memberikan dan mengembangkan penguatan yang lemah bagi penyandang cacat tubuh untuk lebih berdaya, tetapi pelatihan kerja pada program rehabilitasi sosial ini belum cukup mampu meningkatkan kemampuan kerja untuk dapat bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Masalah dan solusi yang dihadapi dalam pelaksanaan pelatihan kerja adalah kegiatan sosialisasi program belum dilaksanakan secara sepenuhnya sebab kekurangmampuan tenaga tim sosialisasi dalam menjangkau calon klien yang berada di pelosok desa sehingga target tidak dapat terpenuhi solusinya menerima klien yang tidak sesuai dengan kebijakan; mengajar belum dilakukan secara optimal sebab sebagian belum ada kurikulum yang standard dan baku akibatnya akan mempersulit eks klien dalam memperoleh pekerjaan solusinya menggunakan bahan ajar yang dianggap sesuai; proses belajar belum optimal sebab jumlah instruktur kurang memadai dan belum didukung pendidikan yang sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki akibatnya belum menghasilkan lulusan yang baik untuk mengatasinya mengikutsertakan pelatihan singkat bagi instruktur dan menugaskan pekerja sosial sebagai instruktur; praktek belajar mandiri terkadang sulit dilaksanakan sebab waktu disore hari dan tanpa dibimbing akibatnya kualitas lulusan sulit memperoleh pekerjaan solusinya belum ada; banyak peralatan kerja sudah tua akibatnya klien tidak mampu menyesuaikan dengan peralatan mutakhir solusinya memberikan peralatan pengganti. Sedangkan yang dapat mendukung pelaksanaan pelatihan kerja ini adalah jumlah pegawai yang bervariasi dari berbagai profesi dan disiplin ilmu, fasilitas ruangan dan peralatan kerja secara kuantitas masih cukup representatif, adanya jalinan kerjasama kemitraan dalam dan luar negeri, pengalaman pegawai yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, adanya hubungan lembaga dengan masyarakat (sebagai pusat informasi, kader pendidikan rehabilitasi, penyebaran pelayanan dan pengembangan kesempatan kerja) dan dengan diterbitkannya UU No. 4 tahun 1997 serta PP No. 43 tahun 199S yang diharapkan semakin banyak perusahaan yang bersedia menerima penyandang cacat tubuh untuk bekerja di perusahaannya.
Adapun manfaat dari pelatihan kerja yaitu bagi penyandang cacat tubuh dari segi ekonorni mempunyai ketrampilan kerja, segi mental psikologis menumbuhkan percaya diri, segi sosial diterima masyarakat dan mampu berinteraksi serta berelasi wajar serta dapat merubah pandangan negatif masyarakat dan segi sikap dapat menumbuhkan kedisiplinan dan ketekunan kerja. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka direkomendasikan saran sebagai berikut: kepada lembaga perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan instruktur, mengaktifkan praktek belajar mandiri, segera memperbaiki kurikulum yang standard dan baku dengan melibatkan para pakar untuk memberikan dukungan pemikiran dan masukan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahar
"ABSTRAK
Masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah bagaimana proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti, dan bagaimana kerjasama antar lembaga dalam upaya mengintegrasikan penyandang cacat netra tersebut di masyarakat, serta bagaimana pemahaman para pelaksana program terhadap kebijakan hukum, khususnya kebijakan kesejahteraan sosial yang melandasi pelaksanaan tugasnya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapainya adalah memahami dan menjelaskan penerapan teknologi pelayanan sosial dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti dan dalam upaya mengintegrasikan penyandang cacat netra di masyarakat melalui kerjasama antar lembaga, serta dalam upaya meningkatkan pemahaman petugas panti terhadap kebijakan hukum dalam bentuknya sebagai peraturan perundang undangan dan kebijakan kesejahteraan sosial.
Oleh karena penelitian ini bersifat deskriprif-analitis dengan pendekatan yuridis normatif empiris, maka pengumpulan datanya tidak saja dengan studi kepustakaan melainkan juga dengan studi lapangan melalui kegiatan pengamatan peserta (participant observation) dan wawancara tidak berstruktur, yang sampelnya ditentukan dengan purposive sampling.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan metodologi penelitian tersebut, maka diketahui bahwa proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung telah menggunakan teknologi pelayanan sosial. Teknologi tersebut, lebih banyak diperoleh dari sumber inforrnasi dasar kebijakan hukum (legal policy) melalui proses penemuan penafsiran hukum (legal interpretation) yang tipe-tipenya antara lain nampak dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti, yaitu bahwa semua tahapan kegiatan pelayanannya mendasarkan diri pada kehijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan teknologi pelayanan sosial, karena dapat mem-berikan pedoman kepada para pelaksana program untuk melaksanakan tugasnya secara benar dan dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Kebijakan yang digunakan tersebut antara lain adalah UU No. 6 Tahun 1974, PP. No. 36 Tahun 1980, Keppres No. 39 Tahun 1983, Kepmensos No. 22/HUKII995, Kepmensos No. 55/HUKIKEPIVMl 1981, dan kebijakan kesejahteraan sosial lain sebagai pelaksananya.
Program pelayanan untuk menangani masalah sosial penyandang cacat netra adalah program rehabilitasi sosial berseta pelayanan-pelayanan lainnya yang terkait. Sistem pelayanan yang digunakannya adalah rehabilitasi sosial melalui sistem panti. Metoda intervensi yang digunakan dalam setiap tahapan pelayanan adalah metoda intervensi pekerjaan sosial. Dari tipe teknologi pelayanan sosial yang memanfaatkan struktur organisasi, nampak dari sikap pimpinan dan para petugas pelaksananya yang telah melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Misalnya pimpinan panti menetapkan kebijakan intern panti dan melakukan supervisi dalam upaya meningkatkan pemahaman petugasnya terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan mampu menerapkan teknologi pelayanan sosial lainnya dengan baik. Dan para petugas yang khusus diberikan wewenang menangani masalah sosial penyandang cacat netra adalah pekerja sosial fungsional sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal S Kepmensos 221HUK11995 jo. PP. No. 16 Tahun 1994 jo. Pasal 17 UU. No. 8 Tahun 1974.
Tahapan kegiatan setelah pelayanan rehabilitasi sosial adalah resosialisasi dan pembinaan lanjut. Cara yang ditempuh untuk mengintegrasikan penyandang cacat netra dalam tahapan kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya pemasaran sosial. Pemasaran sosial tersebut dapat dilaksanakan melalui kerjasama antar lembaga, pendekatan terhadap perusahaan atau lembaga yang bersedia menerima tenaga kerja penyandang cacat netra, dan mengadakan penyuluhan sosial dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima tenaga kerja dari penyandang cacat netra atau tidak memperlakukannya secara berbeda. Dalam tahapan kegiatan ini, semua teknologi pelayanan sosial seperti dalam proses pelaksanaan program, dapat digunakan.
Berkaitan dengan pemahaman petugas terhadap kebijakan kesejateraan sosial yang berkaitan dengan program rehabilitasi sosial yang menjadi tanggung jawabnya, sebenarnya telah dipahaminya dengan baik. Tetapi pemahaman tersebut dalam pelaksanaan kegiatan resosialisasi dan pembinaan lanjut belum dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan atau kebijakan sosial pendukung lainnya. Sehingga seringkali upaya yang dilaksanakan dalam mengintegrasikan eks penerima pelayanan di masyarakat masih menemukan banyak hambatan. Hambatan tersebut dapat datang dari pihak perusahaan yang tidak bersedia menerima penyandang cacat netra, atau karena kemampuan/keahlian penyandang cacat netra sendiri yang masih di bawah standar pasar kerja. Dalam masalah ini, tipe teknologi pelayanan sosial yang belum digunakan secara maksimal adalah perpaduan kebijakan sosial dan metoda intervensi. Artinya jenis keterampilan yang diberikan harus benar-benar dibutuhkan dalam pasaran kerja, para petugas juga perlu aktif melakukan kerjasama atau penyadaran masyarakat dengan mempergunakan kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan sosial lainnya yang terkait.

ABSTRACT
The Juridical Contemplation Of The Social Welfare Policy To The Activities Of Social Rehabilitation Program Over The Blind People At The Blind Service Institution Wyata Guna Bandung
The problem being researched in this thesis was how the realization process of the social rehabilitation in integrating the blind people in society, and how the program activities to the legal policy, especially the social welfare policy which bases the process. The goal of this research is to comprehend and to explain the application of the social service technology in the process of social rehabilitation program activities to the blind person at the institution and in integrating them in the society through the corporation among institutions, and the effort of improving the comprehension of the institutions officers to the legal policy in the term as rules of the legal and social welfare policy.
For the reasons, the research is analytic descriptive by using the empirical-normative approach, so the data collection either by literature study or field study through the observation of the activities and the unstructured interview, where the samples we defined by purposive sampling.
From the research result which used the methodology, was observed that the process of social rehabilitation on The Blind Service Institutions Wyata Guna Bandung has used the social service technology. This technology, gained the information more from the basis information resource of the legal policy through the process of legal interpretation which the types appeared in the process of the social rehabilitation program to the blind in the services institution, that all the service for the activities based on the social policy and social welfare policy. This policy is the social service technology, because it is able to give the guidelines to the program doers to conduct their duty in the right way and rescindable in the term of law. The policy used are UU. No. 6/1974, PP. No. 36/1980, Keppres No. 39/1983, and Kepmensos No. 55/HUK/KEP/VIIU1981, and other social welfare policies.
The service program for hardling the blind person's social problem is the social rehabilitation program with other related service. The service system used is the social workers intervention method. The type of social service technology which is using the organization structure, showed from the principle stated the institution intern policy and did the supervision in order to improve his employees comprehension to the policy and capable to apply the social service technology in the right way. The workers who has the authority to overcome the blind person's problem, is the functional social worker stated in article 8 of the Minister of social affairs decree (Kepmensos) No. 22/HUK/1995 jo. Gouvernment rule (PP) No. 16/1994 jo. article 17 UU No. 8/1974.
The procedure of the activities after the social rehabilitation service is resosialization with the further establishment. The way to integrate the blind person into the process can be done through a social marketing. This social marketing can be applied through cooperation among the institutions, the approach to the companies or institutions who are willing to employ the handicapped, and give the social orientation program in order to improve the society awareness so they can employ the blind person or doesn't treat them differently. In this step, all of the social service technology in the process of conducting the program can be used.
Relating to the comprehension of the workers to the social welfare policy which is related to the social rehabilitation that is their responsibility, has been understood indeed. But this comprehension in the act of the further realization and the construction has not been connected to the legal regulation or the orthel connected social policy, so it often become an obstruction for the old costumers to integrate. The problem can be resourced from the Companies who don't want to employ the blind person, or because of the blind person's skill themselves whose the work is still under standard. In this matter, the type of the service technology that hasn't been used maximally, is the mixing of the social policy and the intervention method. It means that the skill given is really needed in the field of work, the officials are also needed to be active in the cooperation or the society awareness by using the social policy and others related social welfare policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Wirjatmi Tri Lestari
"Pembahasan pelayanan kebersihan khususnya pelayanan persampahan di wilayah perkotaan merupakan bagian dari pelayanan publik yang terkait dengan upaya pemeliharaan kebersihan, kesehatan, keindahan. Pelaksanaannya berbeda dan ditentukan oleh luas dan fungsi kota, penduduk dan kepadatannya, corak kelembagaan dan peran serta masyarakat.
Dengan bentuk kelembagaan pengelolaan sampah yang berbeda, maka penelitian ini dilakukan melalui studi banding antara Kotamadya DT II Semarang dan Kotamadya DT II Bandung, yang kedua-duanya merupakan ibu kota Propinsi dan pernah meraih Adipura sebagai kota terbersih di Indonesia.
Bentuk pelayanan dan corak lembaga berdampak pada pembiayaan yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh volume sampah, luas wilayah, kondisi daerah, fungsi lahan yang terbangun dan teknologi pengelolaannya.
Untuk mengetahui kinerja manajemen pelayanan persampahan kota, maka penelitian ini mencakup efektivitas investasi, kinerja pengelolaan, sumber pembiayaan, efektivitas pelayanan dan pemenuhan tuntutan pelayanan kebersihan.
Pengukuran efektivitas dan efisiensi dilakukan melalui indikator-indikator pembiayaan dan sumber pembiayaan; investasi; efisiensi pelayanan persampahan yang diukur pada luas wilayah pelayanan; retribusi yang dikenakan pada masyarakat berdasarkan pricing policy; biaya perkapita pelayanan; biaya tiap ton berat sampah terkelola.
Lembaga pengelolaan di Kotamadya DT II Bandung berbentuk Perusahaan Daerah dan Kotamadya DT II Semarang merupakan Dinas Kebersihan. Keduanya berdampak pada indikator-indikator yang merupakan landasan rekomendasi dari hasil penelitian tesis ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan persampahan kota sulit bersifat menguntungkan (profit center); karena besarnya biaya pengelolaan tidak setara dengan hasil pendapatan retribusi dart masyarakat, maka senantiasa memerlukan subsidi pemerintah Kondisi pelayanan sampah di Kotamadya DT II Bandung menunjukkan indikator bahwa volume sampah, retribusi sampah semakin meningkat dan subsidi pemerintah semakin menurun, perwujudan kebersihan kota semakin meningkat.
Kondisi pelayanan persampahan di Kotamadya DT II Semarang me-nunjukkan indikasi bahwa volume sampah yang semakin meningkat, subsidi pemerintah semakin besar, perwujudan kebersihan kota semakin meningkat.
Saran yang diajukan untuk mengurangi beban pemerintah terhadap pelayanan kebersihan adalah pada financial option, technological option, dan peran serta masyarakat yang harus ditingkatkan, guna mencapai peningkatan kebersihan, kesehatan, keindahan dan kenyamanan kota."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariman Darto
"Kebijakan rehabilitasi penyandang cacat berbasis masyarakat (RBM) di Indonesia diarahkan untuk dapat menjamin pemerataan pelayanan terhadap penyandang cacat. Di satu sisi, ditujukan untuk bagaimana RBM tersebut mampu memperluas jangkauan pelayanan sampai ke tingkat perdesaan. Di sisi yang lain untuk bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar tempat tinggal melalui proses rehabilitasi penyandang cacat.
Pilihan terhadap kebijakan RBM sendiri, sebenarnya telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak tahun 1975, melalui kerjasarna antara pemerintah Indonesia dengan UNDP-ILO. Kegasama ini sendiri dilakukan melalui tiga fase. Fase pertama, melalui proyek INS1791023, dilanjutkan dengan fase kedua melalui proyek INS/82/011 tahun 1982 dan fase ketiga, melalui proyek INS/88/020 tahun 1988, yang kesemuanya tentang pelaksanaan Kebijakan RBM di Indonesia.
Ada dua alasan panting mengapa pemerintah melakukan kerjasama dengan UNDP/ILO untuk melaksanakan kebijakan RBM ini. Panama, berdasarkan kajian Depsos (1995), selama ini jangkauan pelayanan rehabilitasi penyandang cacat berhenti pada wilayah perkotaan saja. Padahal menurut kajian itu, jumlah penyandang cacat di perdesaan merupakan 70% dari jumlah penyandang cacat di Indonesia. Sisanya 30% berada di perkotaan. Dari jumlah itu, yang dapat dilayani baru sekitar 416.606 orang atau 7,47% dari populasi penyandang carat yang berjumlah sekitar 5.573.000 pada tahun 1992.
Kedua, peran pemerintah dalam proses rehabilitasi penyandang cacat akan makin berkurang bersamaan dengan makin terbatasnya anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk rehabilitasi ini. Oleh karena itu, upaya melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses rehabilitasi selain akan meringankan beban anggaran, juga dapat menjamin kontinuitas pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat di masa-masa yang akan datang.
Setidaknya proposisi tersebut telah dibuktikan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) yang menyatakan bahwa kebijakan RBM, dimana peran serta masyarakat menjadi pendorong utamanya, telah terbukti mampu menyelesaikan 80% dari persoalan-persoalan yang kini dihadapi oleh penyandang carat.
Sedangkan dalam kajian ISDS yang berjudul Evaluation of Community-Based Rehabilitation for Disabled Program in Indonesia, yang merupakan hasil kerjasamanya dengan Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) dan United Nations - Department for Economic and Social Affairs (UN-DESA), New York, menyebutkan bahwa kebijakan RBM layak diterapkan di Indonesia terutama untuk mengatasi masalah distorsi rehabilitasi penyandang cacat di wilayah perdesaan dan perkotaan.
Kedua kajian di atas menarik untuk dikaji lebih teliti lagi. Melalui pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP), penulis ingin membuktikan apakah temuan WHO dan ISDS tersebut benar-benar sesuai dengan harapan yakni mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang kini dihadapi oleh para penyandang carat di dunia, khususnya di Indonesia. Dengan bantuan dari lima (5) responders ahli dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan akademisi dan ahli dari kalangan masyarakat sendiri, penulis berharap hasilnya benar-benar dapat diambil sebagai keputusan penting bagi pemerintah.
Secara keseluruhan, baik itu pandangan WHO, ISDS maupun dalam kajian yang menggunakan pcendekatan AHP ini sendiri, ternyata konklusi yang sama bahwa kebijakan RBM perlu mendapatkan ruang untuk diterapkan secara nyata di masyarakat. Pandangan ahli dalam penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 87% menyatakan bahwa kebijakan RBM merupakan kebijakan ideal dan layak diterapkan sebagai kebijakan nasional untuk menanggulangi masalah ketimpangan rehabilitasi yang kini terjadi di perdesaan dan di perkotaan.
Penegasan ini setidaknya memperkuat pernyataan dari dua kajian sebelumnya bahwa kebijakan RBM adalah kebijakan yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan besar yang kini dihadapi oleh penyandang cacat. Justru pada saat pemerintah sedang dihadapkan pada persoalannya sendiri yakni krisis keuangan dan krisis hutang luar negeri yang kini memasuki ambang psikologis yang sudah sangat mengkhawatirkan itu.
Harapan demikian ini mungkin biasa-biasa saja jika datang dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan akademisi, dan kalangan ahli dari masyarakat sendiri. Tetapi menjadi sangat menarik justru karena kalangan ahli dari pemerintah perlu mengharapkan hal yang sama bahwa sudah saatnya kebijakan yang berbasis masyarakat ini benar-benar diimplementasikan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T1390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.U. Buldansyah
"Berdasarkan Buku Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Direktorat Rehabilitasi Penyandang Cacat, Direktorat. Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial tahun 1995, didefinisikan bahwa Resosialisasi adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk mempersiapkan penerima pelayanan dan masyarakat agar terdapat integrasi social dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, masih banyak keluhan yang mengungkapkan bahwa hasil program resosialisasi masih kurang memadai. Misal rendahnya peranserta masyarakat dalam menunjang keberhasilan usaha pelayanan; rendahnya kemampuan penyandang cacat untuk menyesuaikan diri di dalam masyarakat; rendahnya kemampuan penyandang cacat dalam pengembangan bantuan stimulan usaha produktif; terbatasnya ketrampilan yang dimiliki untuk diterapkan dalam kegiatan kerja; sulitnya memperoleh lapangan usaha bagi penyandang cacat netra. Oleh karena itu sesuai dengan pendekatan yang digunakan, tujuan pokok kajian ini yaitu mengevaluasi keberhasilan program resosialisasi penyandang cacat netra sesuai dengan sasaran kegiatan yang telah ditetapkan.
Hasil evaluasi menunjukkan pencapaian sasaran setiap kegiatan dari program resosialisasi cukup berhasil. Tingkat kesiapan kelayan sudah cukup siap, walau tingkat kesiapan keluarga dan masyarakat masih kurang siap. Tingkat penyesuaian diri kelayan belum seluruhnya baik. Pada umumnya penyandang cacat netra melakukan pemeliharaan terhadap bantuan stimulan usaha produktif, walaupun mereka belum mampu mengembangkannya. Secara keseluruhan para penyandang cacat netra telah dapat disalurkan untuk memperoleh kesempatan kerja yang layak.
Pencapaian sasaran setiap kegiatan tersebut tampaknya dipengaruhi berbagai faktor internal PSBN, seperti komposisi pegawai, anggaran untuk operasional, sarana fisik, jenis pelatihan, struktur organisasi. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor eksternal PSBN, seperti peranserta masyarakat, peran organisasi sosial, koordinasi antar instansi, perubahan aplikasi teknologi dan dinamika pasar jasa/barang. Dengan demikian program resosialisasi telah cukup berhasil diselenggarakan sesuai dengan tujuannya mewujudkan integrasi sosial. Hal ini ditunjukkan oleh indikator ekonomi yang sangat layak dan indikator social yang cukup layak.
Rekomendasi dari evaluasi ini yaitu perlu melakukan : (a) pengembangan kerjasama dan kemitraan; (b) peningkatan peranserta masyarakat, baik kuantitas maupun kualitasnya; (C) peningkatan kegiatan koordinasi; (d) pengembangan jenis pelatihan keterampilan dengan mengakomodasi perubahan aplikasi teknologi serta dinamika permintaan dan penawaran barang/jasa; (e) peningkatan profesionalisme pegawai dan dana operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T1025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Kuswanda
"Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan program pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara nasional dengan biaya yang cukup besar dan merupakan yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia, adalah alasan pentingnya diadakan penelitian.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka permasalahan penelitian adalah "apakah praktek pemberdayaan masyarakat melalui program IDT mendorong berkembangnya masyarakat mandiri?".
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui atau memperoleh gambaran tentang pelaksanaan pemberdayaaan masyarakat oleh pendamping melalui program IDT.
Teori dan konsep yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian adalah teori dan konsep tentang pemberdayaan (empowerment), pengembangan masyarakat (community development), kemiskinan, dan program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa : wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pengetahuan yang diberikan berupa pengetahuan tentang program atau proyek IDT, pemberian motivasi, dan pendekatan partisipatif dalam memberdayakan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan secara umum bahwa praktek pemberdayaan masyarakat melalui program IDT belum mendorong ke arah berkembangnya masyarakat mandiri. Untuk itu maka saran yang diaiukan adalah perlunya menumbuhkan kesadaran masyarakat dan memperkuat daya atau potensi yang dimiliki."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambuaya, Carlos Clief
"Kemiskinan yang dialami penduduk desa Katapang ditandai dengan rendahnya tingkat pendapatan, merosotnya daya beli masyarakat, bangkrutnya usaha kecil dan rumah tangga, rendahnya kualitas sumber daya manusia, buruknya sanitasi lingkungan, rawan gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang rendah. Kompleksitas permasalahan tersebut diperparah lagi dengan krisis multidimensi yang menyebabkan angka pengangguran bertambah meningkat, banyak orang hilang pekerjaan karena di PHK, dan bertambahnya penduduk miskin baru.
Solusi untuk mengatasi kompleksitas permasalahan kemiskinan di atas, pemerintah meluncurkan kebijakan P2KP. Tidak seperti kebijakan penanggulangan kemiskinan sebelumnya dimana dominasi pemerintah masih nampak, maka dalam kebijakan P2KP, kegiatan penanggulangan sepenuhnya dilimpahkan kepada keluarga miskin yang tergabung dalam wadah KSM untuk melaksanakan sendiri dengan mendapat pemberdayaan dari LSM dan Perguruan Tinggi.
Strategi untuk mempelajari pemberdayaan yang dilakukan, dipakai pendekatan kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan proses dan langkah-langkah pemberdayaan yang ditujukan kepada anggota KSM dan bagaimana keterlibatan penduduk miskin didalam rangkaian proses tersebut. Untuk membuat deskripsi tersebut, digunakan teknik wawancara mendalam dan pengamatan langsung untuk melihat proses pemberdayaan yang dilaksanakan. Hasil dari pemberdayaan penduduk miskin di desa Katapang dilakukan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) dari Universitas Winaya Mukti (Unwim), adalah :
- Proses pemberdayaan telah mengikuti langkah-langkah pengembangan masyarakat yaitu dimulai dengan pengorganisasian kelompok dan pemasaran sosial program, kemudian diikuti dengan fasilitasi penyusunan rencana dan usulan kegiatan, bantuan pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan, memberikan pengawasan melalui monitoring dan evaluasi serta diakhiri dengan pemutusan hubungan (terminasi).
- Hasil yang dicapai dalam proses pemberdayaan sesungguhnya belum maksimal karena proses pendampingan, luasnya wilayah, pemantauan dan evaluasi,. dan dukungan dari penanggung jawab program yang belum optimal.
- Proses pemberdayaan meskipun belum maksimal, namun beberapa hasil positif yang dicapai adalah : (1) Anggota KSM telah memanfaatkan dana bantuan kredit secara bertanggung jawab untuk membuka usaha-usaha produktif yang dapat memberikan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan hidup, (2) Anggota KSM telah berperan sebagai pelaku pasar yang aktif karena sudah tumbuh budaya berusaha, (3) Proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dari bawah mulai berkembang, (4) Kebiasaan bekerja dan berusaha sendiri berubah menjadi bekerja dan berusaha dalam kelompok.
- Dampak sampingan yang muncul akibat proses pemberdayaan yaitu terjadi perpecahan antara kepala desa dan pengurus BKM, serta munculnya hubungan kerja dalam organisasi KSM yang mengarah pada Patron - Klien.
- Faktor-faktor dari dalam yang menyebabkan perbedaan perkembangan antara KSM Bahrurchoir dan KSM Karya Usaha adalah : faktor permodalan, status usaha, faktor kepemimpinan ketua kelompok. Sedangkan eksternal adalah keterbatasan Faskel dan kurangnya pengawasan dan pembinaan dari penanggung jawab program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Risma Aini
"Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Banda Aceh dan Sumatera pada 26 Des 2004 telah membuat porak poranda kota kota sepanjang Barat Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Kecamatan Lhokga adalah salah satu wilayah yang mengalami kehancuran berat pada saat Tsunami. Desa Lambaro Seubun adalah salah satu desa di Kecamatan Lhoknga yang mengalami kehancuran total Iahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan utama warga setempat. Sebagian besar masyarakat di Desa Lambaro Seubun kehilangan mata pencaharian atau sumber pendapatan keluarga, lahan pertanian di desa tersebut mengalami kerusakan yang parah, ini menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencaharian, masyarakat menjadi penganguran yang berdampak mereka tidak mempunyai penghasilan. Mata pencaharian utama masyarakat adalah dan bertani. Saat ini masyarakat memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran mengenai proses pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi rumah korban tsunami di Desa Lambaro Seubun Kecamatan Lhokga, Kabupaten Aceh Besar. Mengetahui manfaat yang diperoleh masyarakat dan mengkaji proses pemberdayaan yang dilakukan pihak pihak terkait dalam proses rehabilitasi rumah masyarakat yang rusak karena tsunami di Desa Lambaro Seubun Kecamatan Lhokga, Kabupaten Aceh Besar.
Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data diiakukan dengan melakukan wawancara mendalam, melakukan pengamatan dan pemanfaatan dokumen melalui studi kepustakaan. Pengumpulan dan analisa data merupakan proses yang bersamaan. Analisa data dilakukan sejak kegiatan pengumpulan daya dilakukan dan selama proses penelitian berlangsung. Setiap data yang diperoleh dianalisis dan ditafsirkan untuk mengetahui maknanya dan dihubungkan dengan masalah penelitian.
Program rehabilitasi rumah korban gempa dan tsunami di Desa Lambaro Seubun merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat, dengan adanya program pemberdayaan melalui rehabilitasi rumah ini, masyarakat yang kehilangan rumah mendapatkan rumah. Rumah adalah tempat seseorang dapat mengidentifikasi diri secara eksistensial terlindungi Ialu mengatur perencanaan hidup secara benar. Bagi pengungsi, membangun rumah adalah mengembalikan rasa percaya diri, menyembuhkan Iuka batin dan memotivasi kerja lebih kreatif. Penyediaan rumah sebagai salah cara untuk melupakan pengalaman traumatik yang pemah dimiliki, tanpa rumah proyek pemulihan ekonomi kurang sempurna karena seseorang merasa terus dalam dalam kondisi darurat. Bagi masyarakat yang kehilangan mata pencahanan, mereka bisa mendapatkan penghasilan dengan bekerja sebagai tukang atau buruh, paling tidak mereka sudah mempunyai sumber penghasilan walaupun sifatnya sementara. Dengan adanya pekeljaan paling tidak mereka sudah ada kegiatan yang dapat menghasilkan, sehingga mereka Iebih berdaya dan periahan pulih dari trauma akibat bencana yang teiah menimpa.
Proses rehabiiitasi rumah korban tsunami di Desa Lambaro Seubun, memberikan proritas kepada masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan rumah, dimulai sejak awal dengan dilibatkan masyarakat dalam musyawarah desa, menanyakan pendapat masyarakat tentang model mmah yang diinginkan, menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap proses rehabilitasi rumah korban gempa dan tsunami di desa mereka.
Partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan harus selalu didorong dan dikembangkan. Pentingnya keberlanjutan program pemberdayaan, tidak cukup hanya rehabilitasi rumah, setelah masyarakat memiiiki rumah perlu juga dipikirkan keberianjutan ekonomi masyarakat, karena banyak masyarakat yang kehiiangan mata pencaharian akibat Iahan pertanian mereka hancur, dan mereka juga tidak memiliki modal untuk memulai usaha taninya. Disamping modai untuk usaha tani perlu juga modal untuk menambah pendapatan keluarga yaitu petemakan, pembuatan kue, pembuatan emping melinjo, usaha kerajinan dari bambu dan usaha-usaha lainnya.
Pemberdayaan ekonomi perlu dilakukan sebagai keberlanjutan program pemberdayaan yang sudah ada sebelumnya, tahapan dalam program pemberdayaan ekonomi antara Iain sosialisasi program pemberdayaan ekonomi, mendorong munculnya fasilitator lokal, pendampingan masyarakat terkait pemberdayaan ekonomi, penyaluran bantuan modal dan money (monitoring dan evaluasi) program pemberdayaan ekonomi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21470
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>