Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111213 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andri Yan Prima Zani
"Peningkatan jumlah kasus baru HIV dari pengguna NAPZA suntik cukup mengkhawatirkan. Prevalensi HIV pada kelompok ini meningkat tajam antara 40 - 80% sejak tahun 2001. Tingginya prevalensi HIV pada kelompok pengguna NAPZA suntik akibat perilaku penyuntikan berkelompok termasuk penggunaan jarum suntik dan semprit bekas. Infeksi HIV pada kelompok ini dikhawatirkan menyebar ke masyarakat umum melalui hubungan seksual berisiko.
Penelitian ini ingin menilai besaran potensi penularan HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum melalui hubungan seks berisiko. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Survei Surveilans Perilaku di Jakarta tahun 2000 yang dilaksanakan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Hasil penelitian mendapatkan (1) pengguna NAPZA suntik sebagian besar pria berusia antara 17 - 29 tahun dan belum menikah, (2) zat yang biasa digunakan adalah heroin (3) lebih dari 50% responden melakukan perilaku penyuntikan berisiko termasuk penyuntikan berkelompok dan menggunakan jarum suntik dan semprit bekas, (4) satu dari tiga responden masih berhubungan seks dalam 12 bulan terakhir dan hampir seluruhnya tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks.
Dari hasil simulasi diprediksikan jumlah kasus HIV baru yang ditularkan pada pasangan pengguna NAPZA suntik melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom antara 319 - 1036 orang per 10.000 pengguna napza suntik. Potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum cukup besar, dan perlu diwaspadai jejaring penyebaran HIV dari pasangan seks komersil pengguna NAPZA suntik ke pelanggan-pelanggannya. Untuk meminimalisasi potensi penyebaran HIV perlu dilaksanakan : strategi harm reduction untuk menurunkan perilaku penyuntikan berisiko tinggi, strategi demand reduction lebih diperluas jangkauannya termasuk pendidikan tentang dampak buruk NAPZA dan epidemi HIV/AIDS pada seluruh anggota masyarakat, strategi supply reduction lebih ditingkatkan, peran aktif masyarakat dalam pemberantasan NAPZA dan menerima bekas pengguna NAPZA sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Daftar bacaan : 53 ( 1995 - 2004)

The Potential of HIV Spread from Injection Drug User to Public in Jakarta Year 2000Increasing number of new HIV cases among injection drug users is worrying. Prevalence rate was increased within 40-80% since 2001. This high prevalence related to group injection including the utilization of used needles/syringes. HIV infection among this group could be spread to the public through risky sexual intercourse.
This study aimed at evaluating the magnitude of potential of HIV spread from injection drug user to public through risky sexual relation. This study analyzed secondary data from Behavior Surveillance Survey in Jakarta year 2000 conducted by Center for Health Research, University of Indonesia. The study found that (1) injection drug user is mainly consisted of unmarried man aged 17-29 years old, (2) drug that was frequently used was heroin, (3) more than 50% of respondents had risky injection behavior, such as group injection and application of used syringes, (4) one out of three respondents was sexually active in the last 12 months and almost never used condom.
The simulation result predicted that the number of new HIV cases spread from injection drug user to public was between 319-1036 persons per 10000 of injection drug users. This meant high potential of HIV spreading and special attention should be paid to prevent the spreading sourced from the commercial sex workers who experienced sexual relation with injection drug user and might spread it to their regular/public customer. To minimize this potential, it is suggested to adopt harm reduction strategy as to decrease high-risk behavior, to extend demand reduction including education on negative effects of drugs and on HIVIAIDS targeted to the public, and to improve supply reduction by empowering community to eradicate drugs, and to accept ex-drug user who has been recovered.
References: 53 (1995-2004).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Besral
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran potensi penularan HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil survei Surveilans Perilaku di Jakarta tahun 2000 yang dilaksanakan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Metode yang digunakan untuk perhitungan potensi penularan disasarkan pada konsep probabilitas. Penularan HIV dari penggunaan NAPZA suntik ke masyarakat umum dapat terjadi jika pengguna NAPZA suntik melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom.
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum sangat besar. Dari 27.300 pengguna NAPZA suntik di DKI (tahun 2000) akan ada 1.062 - 3.368 kasus baru HIV per tahun atau akan ada 389 - 1.245 kasus baru HIV per tahun per 10.000 pengguna NAPZA suntik. Untuk meminimalkan potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntuk ke masyarakat umum perlu dilaksanakan beberapa informasi dan edukasi mengenai dampak buruk NAPZA dan HIV/AIDS mengurangi peredaran NAPZA kampanye kondom dengan cara meningkatkan akses pengguna NAPZA terhadap kondom dan peningkatan peran aktif masyarakat dalam pemberantasan NAPZA serta menerima bekas pengguna NAPZA yang telah sembuh tanpa diskriminasi.

The Potential Spreading of HIV from IDUs to the General Population. The objective of this study was to know the magnitude of potential spreading of HIV from the Intravenous Drug Users (IDUs) to the general population. This study analyzed secondary data from the Behavioral Surveillance Survey in Jakarta year 2000 conducted by the Center for Health Research,University of Indonesia. The method of computation was based on the concept of probability. The HIV could spread to the general population if the IDUs have had sexual act without using condoms.
The result of the study showed that potential spreading of HIV from the IDUs to the general population was very high. A total of 27,300 IDUs in DKI Jakarta (year 2000) will produce 1.062-3.368 HIV new cases per year, or equivalent with 389 - 1.245 HIV new cases per year per 10.000 IDUs. To minimize the potential spreading, it is suggested to conduct some strategies e.g. using sterile syringes, detoxification, education information and communication about harmful effects of drugs and AIDS, reducing and localizing the distribution of drugs, campaign of condom use, increasing of community participation to prevent illegal drug use and well coming without any discrimination ex-IDUs who has been recovered."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Khaulah
"Sejak 5 tahun terakhir terjadi fenomena baru penyebaran HIV/AIDS yang sangat cepat di kalangan pengguna NAPZA suntik. Infeksi HIV di Indonesia cenderung akan tetap meningkat pada masa 5 tahun mendatang. Hal ini berhubungan dengan bertambah banyaknya penularan virus HIV melalui jarum suntik yang tercemar pada pengguna NAPZA suntik akibat praktek penggunaan jarum suntik secara bersama/bergantian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan praktek mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan pengguna NAPZA suntik di Kampung Bali, Jakarta tahun 2004. Dalam menilai praktek mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan pengguna NAPZA suntik ini, aspek penting yang menjadi perhatian meliputi adanya praktek splitting dan loading, yakni berbagi NAPZA yang telah dicampur pada satu semprit untuk dibagi dengan sesama teman pemakai, penggunaan jasa juru suntik illegal, pemakaian jarum suntik maupun peralatan secara bergantian, dan cara membersihkan jarum dan semprit.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional, pengumpulan data primer dilakukan di wilayah Kampung Bali, Jakarta pada bulan Juni 2004, dengan jumlah sampel sebanyak 111 responden. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
Hasil penelitian ini menyimpulkan, proporsi pengguna NAPZA suntik yang melakukan praktek mencegah yang baik terhadap penularan HIV/AIDS sebesar 23,4%, sedangkan yang buruk sebesar 76,6%. Proporsi pengguna NAPZA suntik yang melakukan praktek penggunaan jarum secara bersama/bergantian masih cukup tinggi yakni sebesar 82,9%.
Hasil uji bivariat menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan secara bermakna dengan praktek mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan pengguna NAPZA suntik di wilayah Kampung Bali, Jakarta adalah: pendidikan, pengetahuan, sikap, dukungan kelompok sebaya, dan dukungan keluarga.
Dari hasil uji analisis multivariat terdapat 2 variabel yang berhubungan bermakna dengan praktek mencegah penularan HTV/AIDS yaitu sikap (OR=4,67), dan dukungan kelompok sebaya (OR=4,91). Dari kedua variabel tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling dominan adalah dukungan kelompok sebaya.
Mengingat masih besar proporsi pengguna NAPZA suntik yang melakukan praktek mencegah yang buruk terhadap penularan HIV/AIDS, maka disarankan perlunya penerapan dan pengembangan program lain yang lebih efektif seperti program methadone untuk mengurangi praktek berbagi jarum di kalangan pengguna NAPZA suntik. Selain itu, perlunya membangun sikap positif pengguna NAPZA suntik dengan melibatkan peran pendidik kelompok sebaya maupun petugas kesehatan/lapangan.
Daftar bacaan : 55 (1990 - 2004).

Factors Related to Prevent HIV/AIDS Infections Practice Among Injecting Drug Users in Kampung Bali, Jakarta, Year of 2004In last five years has occurred a new phenomenon of HIV/AIDS transmission which happens so fast among injecting drug users. HIV infection in Indonesia trends to increase for next five years. This is related to the increasing of using sharing injection needle.
This study objective is to find out description ang factors which related to prevent HIV/AIDS infection practice among Injecting Drug Users in Kampung Bali, Jakarta, year of 2004. In assessing this practice, the important aspects which paying attention are splitting practice and loading practice, which are sharing NAPZA which has been mixed in one container and then shared to fellow user, illegal medical aide service for injection, injection needles or tools usage by turns, and method of cleansing injection and container.
Design if this study is cross sectional, primary data collecting carried out in Kampung Bali region in June 2004, with number of sample is 111 respondents. Data has been analyzed using univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis.
Result of this study concluding, injecting drug users proportion who done good preventing to HIV/AIDS infection practice is 23,4%, while those who practice bad preventing in 76,6%. Injecting drug users who practice sharing injection needle still high which is 82,9%.
Result from bivariate analysis shows factors which related significantly to HIV/AIDS infection preventing practice among injecting drug users which are, education, knowledge, attitude, peer group support, and family support.
There are two variables in multivariate analysis which significantly related to HIV/AIDS infection preventing practice among injecting drug users, which are attitude (OR=4,67) and peer group support (OR=4,91). Among these variables, peer group support is the most dominant factor.
Consider there is still high proportion of injecting drug users who does bad prevention practice to the infection of HIV/AIDS, it is recommend the need of development and implementation effective program as methadone program to decrease needle sharing among injecting drug users. Also need to develop positive attitude of injecting drug users by involving peer group educator or health workers.
References : 55 (1990-2004)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriana Caturwati Iswanti
"Uji diagnostik dengan sensitivitas dan spesilisitas tinggi untuk deteksi infeksi HIV sangat penting dikembangkan untuk mengontrol infeksi HIV di Indonesia. Uji diagnostik berbasis serologi yang digunakan untuk deteksi infeksi HIV di Indonesia seharusnya dapat mengenali epitop virus HIV subtipe CRF0l AE karena subtipe ini merupakan strain dominan (90%) di Indonesia. Penggunaan antigen rekombinan dilaporkan meningkatkan sensitivitas dan spesilisitas uji serologi dan antigen mumi dapat diproduksi dengan lebih mudah dan lebih aman.
Pada studi ini, antigen p24 HIV-1 rekombinan digunakan untuk mendapatkan data awal tentang reaktivitas antigen p24 HIV-I subtipe B dengan serum yang diduga terinfeksi HIV/AIDS clan plasma terinfeksi HIV/AIDS subtipe CRF0l_AE dari Jakarta dan bebelapa propinsi di Indonesia. Reaktivitas plasma dan serum terhadap antigen p24 rekombinan dalam bentuk terdenaturasi dan non-denaturasi diuji dengan dot blot (DB) dan westem blot (WB).
Hasil penelitian ini menunjukkan 33 dari 33 (l00%) serum/plasma HIV + neaktif dengan uji WB dan DB, sedangkan dari 21 serum indeterminate 43% Sampel reaktif dengan uji WB dan tidak ada (0%) yang reaktifdengan uji dot blot. Dua sampel serum negatif HIV reaktif dengan uji WB tapi tidak reaktif dengan DB. Studi ini menunjukkan bahwa antigen p24 subtipe B bereaksi silang dengan serum/plasma individu dengan CRF0l_AE.
Hasil yang tidak konsisten tampak pada reaktivitas protein p24 rekombinan terhadap sampel indetenninate dan negatifi Diperlukan studi lebih lanjut dengan jumlahsampel lebih besar dan lokasi geografis lebih luas dengan pemeriksaan PCR dan kultur untuk menjelaskan hal ini.

Diagnostic system with high sensitivity and specificity for detection of HIV infection is important to develop for control of HIV injection in Indonesia. It is however important that the immunoassay used for detection of HIV infection in Indonesia involve the recognition of epitopes belonging to HIV-I AE_CRF0l subtype since this particular subtype constitutes approximately 90% of the circulating HIV-I strains in Indonesia. The use of recombinant antigen has been shown to improve the sensitivity and specificity of serology diagnostic while allowing sate and large scale production of pure antigen with relatively less technical difficulties.
In this study, His-Tagged recombinant P24 HIV-l antigen was utilized to obtain initial data concerning the reactivity of subtype B HIV- p24 antigen with sera of HIV-AIDS suspected individuals and plasma of AE_CRF0l infected individuals from Jakarta and .several other provinces in Indonesia. The reactivity of the plasma and sera with native and linear tarmacked of the recombinant p24 antigen were respectively assessed by dot blot (DB) and Western blot (WB) assays.
The results of this study showed that 33 of 33 (100%) HIV positive sera/plasma is reactive with both WB and dot blot assay, while of the 21 indeterminate sera/plasma samples 43% reactivity was observed by WB and none (0%) by DB. The two negative sera/plasma samples from suspected HIV-AIDS injected individuals were both reactive by WB but non-reactive by DB. This study showed that the p24 antigen of HIV-1 subtype B cross-react with sera/plasma from AE_CRF 01 injected individuals.
The inconsistent result shown by DB and WB in the reactivity of recombinant p24 reactivity with plasma and sera of individuals with indeterminate and negative injection status is interesting to be furtherly studied using expanded number of samples from a wider geographical location involving other methods for detection of HIV-I infection such as PCR and culture, in order to obtain a statistically representative data concerning this findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32311
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erlin Listiyaningsih
"Epidemi HIV di negara-negara Asia terjadi lebih Lambat bila dibandingkan dengan negara-negara belahan dunia yang lain. Sejak mulai ditemukan kasusnya yang pertama (tahun 1987), epidemi HIV di Indonesia relatif stabil. Namun, sejak kurang lebih empat (4) tahun yang lalu (tahun 1998) menurut laporan Ditjen P2MPLP DepKes RI telah terjadi lonjakan insiden kasus HIV positif per tahun secara mengkhawatirkan terutama pada kelompok resiko tertular secara kontak seksual. Beberapa hasil penelitian akhir-akhir ini mengatakan adanya kondisi `emerging epidemic' HIV pada kelompok resiko heteroseksual.
Untuk lebih dapat meningkatkan upaya pencegahan penularan dan penatalaksanaan penderita, serta memperkirakan kelanjutan epidemi yang akan terjadi, perlu dilakukan karakterisasi epidemi HIV yang sedang berlangsung di Indonesia pada beberapa periode terakhir terutama dalam hubungannya dengan terjadinya kenaikan tajam kasus-kasus yang telah dilaporkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Case-Series, berlangsung selama tujuh tahun mulai tahun 1993 hingga 2000, dengan populasi sampel adalah individu-individu yang telah terinfeksi HIV dari daerah epidemi Jakarta, Papua, Bali, dan beberapa kasus dari daerah epidemi lain. Kasus-kasus HIV positif tersebut sebagian besar (66 %) berasal dari suku Jawa, 13 % dari suku Papua asli, dan 11 % dari suku Bali, dan hampir semua berada pada usia reproduktif yang tertular HIV dengan cara kontak seksual (98 %), dengan proporsi kasus laki-laki (56 %) sedikit lebih tinggi dari pada proporsi kasus perempuan (44 %).
Hasil pemeriksaan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RT-PCR (Reverse Transcryption Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa di Indonesia, dalam masa penelitian terjadi pergeseran corak subtipe. Pada awal penelitian hanya ditemukan subtipe B, kemudian berkembang dengan ditemukannya subtipe E maupun subtipe BIB dengan proporsi yang terus meningkat. Analisa keserupaan genetik dengan menggunakan teknik Heteroduplex Mobility Assay (HMA) menunjukkan bahwa HIV-1 di Indonesia mempunyai keserupaan genetik dengan strain referensi HIV-1 dari Thailand, USA, Central African Republic, Brazil, dan India.
Untuk melihat hubungan antara subtipe HIV-1 dengan variabel-variabel penelitian dilakukan analisa statistik bivariat dan multivariat. Subtipe HIV-1 pada populasi kasus HIV positif pada penelitian ini berhubungan statistik bermakna dengan lokasi penemuan kasus, tetapi tidak dengan suku, umur maupun jenis kelamin. Populasi kasus HIV positif dari lokasi Papua berpeluang 6,4 kali (95% CI = 1,52 - 26,98) untuk memiliki subtipe E HIV-1, tetapi 0,05 kali peluangnya untuk memiliki subtipe B HIV-I, bila dibandingkan dengan populasi kasus HIV positif dari lokasi Bali. Populasi kasus HIV positif bersuku Papua mempunyai kemungkinan 3,06 kali lebih tinggi (95 % CI = 0,823 --11,375) memiliki subtipe E HIV-1, dan 0,24 kali lebih rendah (95 % CI 0,02 - 1,24) memiliki subtipe B HIV-1 dari pada populasi HIV positif bersuku bukan Papua. Peluang untuk mencapai status AIDS pada kasus HN positif dengan subtipe E lebih rendah 0,21 kali (95% CI = 0,046 -- 0,959) bila dibandingkan dengan peluang kasus HIV positif dengan subtipe B. Progresifitas kearah AIDS pada kasus-kasus HIV pada penelitian ini memiliki hubungan statistik yang bermakna dengan subtipe HIV-I, tetapi tidak dengan lokasi penemuan, suku, umur, maupun jenis kelamin kasus.
Daftar bacaan : 109 (1987-2002)

Subtype Variability of Human Immunodeficiency Virus Type-1 and Their Relationship to the Demographic Characterictic of Indonesian HIV Cases, from 1993 to 2000HIV epidemic in Asia arrived relatively late, and HIV infection is still confined largely to population known to be at high risk (MU, sex workers, and men who have sex with men). However there is dramatic increase of the HIV infection incidence rate among high-risk population in several Asian Countries since past few years, Indonesia is the one example. While HIV-1 subtype E is the most prevalent strain than other subtype circulating in Southeast Asia, little is known about genetic subtype of HIV-1 responsible for the fulminating epidemic in Indonesia.
Here we gp4l env RT-PCR and gp120 env HMA subtyped the isolates of a case-series of 255 HIV cases identified in high prevalence regions of Indonesia between 1993 and 2000, and then investigated the correlation between genetic subtype to multiple demographic characteristics and disease progression using bivariate and multivariate analysis. Most (98%) of the cases resulted from sexual contact, and 2% from vertical transmission; 56% are male and 44% are female. The ethnicity of the cases is Javan (66%), Balinese (11%) and Papuan (13%). 67% of the female cases and 14% percent of the male cases were commercial sex workers. 14% of the male cases were military and 8 % of the female cases were housewives.
In 1993/94 only subtype-B viruses were observed, but by 1996 subtype-E had become, and remains, the major circulating subtype. It is suggested that HIV-1 subtype circulates in Indonesia has shifted from HIV-1 subtype B to HIV-1 subtype-E, indicate that HIV-1 subtype-E is the most transmissible and prevalent HIV-I subtype through heterosexual contact in Indonesia. However, subtype-B virus remains the most prevalent in Bali. HMA analysis identified isolates having homology to subtype-B isolates BR20 (Brazil), TH14 (Thailand) and SF162 (USA) during 1993/94, then broadening to include subtype-E isolates TH22 (Thailand), TH06 (Thailand) and CAR7 (Central African Republic). In 2000, two isolates homologous to IN868 (India) were identified in Papuan samples.
No correlation was observed between gp4l-established subtype and age, gender, or ethnicity, but location. The probability of having HIV-1 subtype-E among HIV infected people in Papua was measured to be 6.4 times greater (95% CI = 1,52 - 26,98) than in Bali, whereas the probability of having HIV subtype-B among HIV infected people in Bali is 20 times greater than in Papua and 4.7 times greater than Jakarta. Papuans were observed to have 3.06 times greater probability (95% CI = 0.823 - 11.375) of having a subtype-E infection than non-Papuan, and smaller probability (OR = 0.24 ; 95% CI = 0.054 - 1.769) of having a subtype-B infection than non-Papuans.. HIV cases with subtype-E HIV-1 were observed to have 0,21 times probability to progress to AIDS (95% CI = 0.046 - 0.959) than probability of HIV cases with subtype B HIV-1 in Indonesia. Disease progression was observed to correlate to HIV-1 subtype, but not age, gender, ethnicity, nor location
Reference : 109 (1987-2002)"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T4037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Safriady
"Perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV pada narapidana pria terdiri dari perilaku seksual dan perilaku penggunaan jarum tidak steril bergantian. Untuk memperoleh model yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, yaitu perilaku seksual, perilaku penggunaan NAZA-IV dan perilaku pembuatan tattoo maka dilakukan penelitian dengan rancangan Cross Sectional dengan metode kuantitatif dan kualitatif pada narapidana dan petugas selama bulan November dan Desember 2002 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang.
Dari 100 responden narapidana didapatkan 100 % berperilaku seksual resiko tinggi, 55 % berperilaku membuat tattoo dengan jarum tidak steril bergantian, 3 % menggunakan NAZA-IV bergantian. 55 % narapidana berada pada kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, usia 30 tahun atau kurang 71 %, pendidikan SLP atau ke bawah 53 %, belum menikah 61 %, jenis pelanggaran hukum NAZA dan pemerkosaan 67 %, lama menghuni lapas di atas setahun 44 %, usia hubungan seks pertama di bawah atau 20 tahun 71 %, pernah mengalami PMS setahun terakhir 52 %, pengetahuan buruk 64 %.
Hasil analisa bivariat, terdapat delapan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV yaitu usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, jenis pelanggaran hukum, lama di dalam lapas, usia hubungan seks pertama, pernah alami PMS setahun terakhir dan pengetahuan responden.
Analisis multivariat diantara delapan variabel yang menjadi model, ternyata terdapat lima variabel yang berhubungan secara bermakna, yaitu umur, lama di dalam lapas, jenis pelanggaran hukum, usia hubungan seks pertama, pengetahuan narapidana, tanpa adanya interaksi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku seks yang dilakukan narapidana di lapas adalah homoseks baik secara sukarela ataupun dipaksa, tanpa menggunakan kondom. Seluruh responden merasa tidak senang hidup terpisah dari wanita. Berdasarkan penelitian ternyata NAZA dapat melewati sistem Lapas Cipinang, dan narapidana dapat melanjutkan perilaku IDU di dalam lapas. Perilaku pembuatan tattoo banyak dilakukan oleh narapidana dengan menggunakan jarum dan tinta tidak steril bergantian. Jumlah penghuni overkapasitas. Studi ini memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana dalam kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, hampir seluruh responden menyadari mereka dapat terinfeksi HIV selama tinggal di lapas. Pengkajian terhadap sumber daya (dana, tenaga, dan sarana) belum maksimal, masih menunggu atau tidak pro aktif. Pengetahuan kepala dan petugas lapas masih kurang tentang infeksi HIV.
Sebagai saran untuk mengantisipasi dan mencegah penularan infeksi HIV , jangka pendek : meningkatkan penyuluhan tentang cara penularan dan pencegahan infeksi HIV, pelatihan kepada kepala dan petugas lapas, diusahakan penyediaan kondom di lapas, disediakan ruangan khusus di lapas untuk melakukan hubungan seks narapidana yang memiliki istri yang syah dan berkumpul dengan anaknya, disediakan disinfekstan untuk mensterilkan jarum, perlu dibuat lapas khusus NAZA, dipersiapkan program harm reduction, perlu dianggarkan dana operasional RS lapas, perlu dibuat RS khusus untuk narapidana HIV + di lapas besar seperti di Cipinang, serta UU Republik Indonesia No. 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan perlu direvisi. Jangka panjang ditingkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan narapidana sebagai salah satu sumber daya manusia Indonesia.

The Very High Risk Behavior Infected of Human Immunodeficiency Virus (HIV) on The Male Prisoners at the Cipinang Prison Class 1 In 2002The high risk behavior of HIV infected for man prisoner are consist of sex behavior and user of unsterile hypodermic needle by turns. For getting model to explain factors of high risk behavior of HIV infected, that sex behavior, intravenous drug user behavior and tattoo making behavior, so we do the research by cross sectional structure with quantitative and qualitative method to prisoner and the official in charge for November and December 2002 in the class I prison in Cipinang.
From 100 respondents of prisoners get 100 % high risk sex behavior, 55 % tattoo making by unsterile needle by turns, 3 % IDU by turns. Prisoner with very high risk infected HIV 55%, 30 years or less 71%, secondary school or under 53%, single 61%, drug offenses and rapes 67%, having punishment above one year 44%, sex relations under or 20 years 71%, having STD experience one last year 52%, bad experience 64%.
Based on the analyze of bi-variances has been founded eight variables of meaningful relationship between very high risk behavior namely with ages, education level, marital status, the kind of offenses, the staying duration in prison, the first sex relations, experiencing STD, the knowledge.
The analysis multi-variance among eight variances becoming a model was founded five variables meaningfully related, namely; age, duration of staying in the prison, kind of offense, age of first sexual relations, prisoner's knowledge without having interactions.
The research showed that the sex behavior conducted by prisoners in the prison is homosexual either being voluntarily or forced without condom. All respondents did not feel comfortable separated from woman, Based on the research was appeared that drug could pass (across) the Cipinang Prison System, and prisoners could follow the IDU behavior in the prison. The prisoners often make tattoo by using the unsterile injection and ink in turn. Overcapacity inmate. This study shows that Sistem Pemasyarakatan to place the prisoners are in very high risk infected HIV, almost all respondents realize that they may be infected HIV during living in the Prison. The study about resources (funds, power, and facilities) is not maximal yet, it is still waiting not proactive. Headmaster's and official free lance's acknowledge are still minim about HIV infection.
In order to anticipate and prevent the HIV infection could be suggested, in the short-term, to provide enough information about the infection and how to prevent HIV infection, it need training for headmaster and official freelances, to prepare condom in the prison, to prepare the special room in the prison for whom have a legal wife and children, to prepare the disinfectant to sterilize the needle, then it is necessary to prepare a special prison for drug, to prepare harm reduction program. Furthermore, it is necessary to plan a budget in operating prison hospital and preparing a special hospital for HIV prisoners + big prison like Cipinang Prison, it is necessary to revise UU Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. In the long-term, it is necessary to create a collaboration inter-program and inter-sectors in handling the prisoners as one of human resources.
Bibliography: 54 (1978-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jalu Adi Dana
"Latar Belakang: Berdasarkan hasil program MDGs, di dunia infeksi baru HIV lebih rendah 35% jika dibandingkan tahun 2000 sementara di Asia infeksi baru HIV menurun 8% dibandingkan tahun 2005 namun di Indonesia infeksi baru HIV justru meningkat 48% pada tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2005. Kementerian Kesehatan mengestimasi hingga 2025, jumlah infeksi baru HIV banyak terjadi pada populasi LSL. Penyebaran HIV pada populasi LSL karena rendahnya persepsi berisiko, tingginya multipartner seks, penggunaan napza suntik dan rendahnya penggunaan kondom.
Metode: Penelitian kuantitatif dan menggunakan data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2013. Dengan analisis regresi logistik berganda akan dilihat besar risiko persepsi berisiko tertular HIV dengan penggunaan kondom saat seks anal terakhir.
Hasil: Odds ratio pada yang berpersepsi berisiko tertular HIV 2,18 kali untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir dibandingkan dengan yang berpersepsi tidak berisiko (95% CI 0,93 ? 5,11). Odds ratio pada yang berpersepsi berisiko tertular HIV 1,84 kali untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir dibandingkan dengan yang berpersepsi tidak berisiko (95% CI 0,72 - 4,74) pada kondisi pengetahuan yang sama, menjadikan televisi sebagai sumber informasi yang sama, kebiasaan membawa kondom yang sama, dan tergabung dalam komunitas yang jumlah anggotanya sama.
Kesimpulan: Persepsi berisiko tertular HIV meningkatkan kemungkinan responden untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir.

Background: Based on the MDGs program result, in the world new infections of HIV is reduce 35% than 2000, in Asia new infections of HIV declined 8% compared 2005 but new infection of HIV at Indonesia had been increased 48% in 2013 compared to 2005. The Ministry of Health estimates, by 2025 the number of new infections of HIV will increase at the population of MSM. The spread of HIV at the population of MSM because low of risk perception, high multipartner sex, injecting drugs and low of condom use.
Methods: Qualitative and using data Integrated Biological and Behavioural Survey 2013. With multiple logistic regression analysis will be known odds ratio risk perception of HIV infections to condom use at last anal sex.
Result: Odds ratio for the risk perception of HIV infections 2.18 times to use condoms during last anal sex compared with no risk perception (95% CI 0.93 to 5.11). Odds ratio for the risk perception of HIV infections 1.84 times to use condoms during last anal sex compared with no risk perception (95% CI 0.72 to 4.74) in the same state of knowledge, to television as the same resources , the same habit of bringing condoms, and members of the community the same number of members.
Conclusion: The risk perception of infected HIV increases the likelihood of respondents to use condom at last anal sex.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Zaki Dinul
"HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit communicable disease yang merusak sistem kekebalan tubuh. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan sistem kekebalan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik individu dan faktor risiko terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti saroso tahun 2011. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita HIV/AIDS yang berkunjung ke klinik VCT yang memiliki kelengkapan data yang lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proprsi infeksi oportunistik (84,4 %) dan ada hubungan antara jumlah CD4 dan stadium HIV/AIDS terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS (pvalue = 0,037). Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi perumusan program pencegahan dan tatalaksana HIV/AIDS di masa yang akan datang.

HIV / AIDS is a disease communicable disease that damages the immune system. Opportunistic infections are infections caused by the decrease in the immune system. This study aims to know the description of individual characteristics and risk factors for the occurrence of opportunistic infections in people with HIV / AIDS at the Hospital for Infectious Diseases Sulianti Saroso in 2011. This study design is cross-sectional. The sample in this study were all patients with HIV / AIDS who visited the VCT clinic that has a complete data completeness.
The results showed that proprsi opportunistic infections (84.4%) and no relationship between CD4 count and stage of HIV / AIDS on the occurrence of opportunistic infections in people with HIV / AIDS (pvalue = 0.037). It is hoped this research can be useful for the formulation of programs of prevention and management of HIV / AIDS in the future.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nurtjahjati Basuki
"Risiko penularan HIV bila menyusui mengakibatkan dilema pemberian makanan bayi akibat ancaman kurang gizi atau terinfeksi HIV pada praktik yang tidak tepat. Studi observsi deskriptif ini bertujuan mengeksplorasi praktik pemberian makanan bayi pada ibu resiko tinggi HIV di Bandung. Pesan yang disampaikan para pemangku kepentingan, keberadaan konselor makanan bayi, periode terungkapnya status HIV, kcpatuhan ibu serta kebiasaan masyarakat senempat adalah aspek-aspek yang mempcngaruhi praktik makanan bayi setempat. Pemberian makanan bayi pcngganti ASI tidak memenuhi criteria AFASS. Lemahnya komponen utama dalam sistem kesehatan yang mengelola program makanan bayi dari ibu resiko tinggi HIV menghalangi tercapainya tujuan yang diharapkan.

HIV transmission through breastfeeding caused dilemma in infant feeding practice due to likelihood of nutritional inadequacy or HIV transmission risk. A descriptive observational study was performed to explore infant feeding practice from HIV high risk mothers in Bandung. Aspects affecting the feeding practice were message of infant feeding endorsed by stakeholders, availability of trained counselors, the timing of HIV status revealed, mother's willingness to comply and the feeding norm. Replacement feeding practice was far from the expected AFASS criteria. Health system in charge of the infant feeding program lack main components to run properly and to reach the expected outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32323
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Damayanti
"Remaja merupakan masa transisi dari dunia anak menuju dewasa. Perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya berpotensi mendorong remaja terjerat pada perilaku berisiko tertular HIVI/AIDS. Dekade ini setengah dari orang yang hidup dengan HIV adalah orang muda. Dua perilaku yang dianggap awal dari resiko tertular HIV adalah seks pra-nikah dan penyalahgunaan narkoba, Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari model yang tepat untuk menggambarkan faktor biopsikososial yang berperan baik sebagai faktor risiko maupun protektif dalam membentuk perilaku berisiko pada remaja serta membandingkan model tersebut dalam perspektif jender.
Penelitian ini merupakan kerjasama antara Badan Narkotika Propinsi DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2006) dalam upaya mencari eslimasi prevalensi perilaku penyalahgunaan narkoba dan seks pra-nikah, Penelitian potong lintang ini dilaksanakan pada 119 sekolah di lima wilayah DKI dengan melibatkan 8941 siswa. Metode yang digunakan adalah pengisian sendiri secara anonim. Estimasi prevalensi perilaku hubungan seksual pra-nikah pada remaja SLTA di DKI adalah 3.2% (Cl= 2,4%-4,2%) dimana eslimasi remaja perempuan 1,8% (Cl=0.9%-(3.7%) dan remaja lakl-laki 4,3% (Cl=3,4%-5,6%). Remaja yang pernah menyalahgunakan narkoba 7,3% (Cl= 5,4%-9,9%) dimana estimasi untuk remaja perempuan 0.8% (CI= 0.4%-1,4%) dan 13,1% (C|=10,6%-16,1 %) untuk remaja laki-Iaki.
Untuk tujuan pemodalan, sampel yang digunakan hanya 5800, yaitu mereka yang mengaku mengisi secara jujur pada keliga pertanyaan validasi. Valiabel dependen adalah perilaku berisiko yaitu variabel laten dengan dua indikator (perilaku seks pra-nikah dan penyalahgunaan narkoba). Dengan menggunakan Lisrel 8.7, dianalisis hubungan variabel dependen dengan variabel biologis temperamen berisiko (novelty seeking, harm avoidance dan reward depandence), dengan variabel psikologis; pengetahuan, sikap permisif, perilaku antara (merokok dan aIkohoI), perilaku eksternalisasi, kegiatan terstruktur, determinasi diri, transendensi diri (kontrol spiritual). dengan variabal keluarga; pola asuh positif (dukungan, norma dan sanksi yang jelas), pola asuh keluarga negatif (kritik berlebih, hukuman fisik dan kekerasan seksual), sosial ekonomi keluarga, dengan variabel lingkungan; keterpajanan terhadap pornografi, lingkungan hidup yang negatif dan teman sebaya yang negatif. Confirmatory Factor Anaysis dan Cronbach?s Alpha dlgunakan untuk uji keajegan dan kesahihan dari variabel Iaten. Estimasi maximum likelihood dilakukan dalam pemodelan. Model hipotetis diuji dan terbukli lepatifit {CFl=0,89, RMSEA=0.051. SRMR=0,056). Dengan metode spill half model ini diuji ulang pada 50% sampel dan menghasilkan CFI=0,B9, RMSEA=0,049. SRMR=0,05T. Modifikasi dilakukan agar model lebih fit dan persimoni sehingga variabel kontrol spiritual, dan perilaku eksternalisasi dihilangkan dari model yang perannya sangal kecil terhadap variabel dependennya. Untuk melihat hubungan antar variabel digunakan koefisien path terstandarnisasi.
Dalam pemodelan struktural terbukti bahwa faktor lingkungan yaitu teman sebaya negatif (0,158) sangat berperan unluk terbentuknya perilaku bérisiko. Faktor psikologis, dalam hal ini; pengetahuan (0.06) dan sikap permisif (0,07) tidak banyak perannya terhadap perilaku berisiko demikian pula dengan keterpajanan terhadap pornografi yang tidak mamiliki hubungan Iangsung dengan perilaku berisiko. Dengan demikan pemberian informasi dan pemberantasan pornografi saja tidak cukup efektif untuk mencegah ramaja berperilaku beresiko. Perilaku merokok dan alkohol (0,45) merupakan perilaku antara yang kuat untuk terbentuknya perilaku berisiko. Dilain pihak, faktor biologis, yaitu seorang remaja dengan temperamen (0.39) rasa ingin tahu yang tinggi, tidak pencemas dan rendah peduli terhadap lingkungan sosialnya, jika tidak mandapatkan bimbingan Iebih mudah jatuh untuk melakukan perilaku merokok dan alkohol yang akhimya dapat membawa remaja terjerumus pada perilaku berisiko.
Keluarga dengan pola asuh positif (-0.58) merupakan faktor yang dapat mencegah remaja untuk berteman dengan sebaya negatif, sebaliknya keluarga negatif (151) sangat berhubungan erat dengan pemilihan teman negatif. Namun huhungan langsung antara faktor keluarga dengan perilaku berisiko tidak ditemukan. Keluarga positif juga merupakan faktor protektif bagi tarbentuknya sikap permisivitas (-0,31) namun tidak berhubungan dengan peningkatan pengetahuan remaja terhadap seks dan narkoba. Hal ini menunjukkan tidak berjalannya transfer informasi dari orang tua kepada remajanya.
Secara keseluruhan dalam penelitian ini, kegiatan terstruktur tidak terbukti dapat memproteksi remaja, namun jika dipilah-pilah ternyata kegiatan olah raga baik di sekolah maupun di Iuar sekolah justru merupakan faktor resiko. Hal ini menunjukkan pentingnya pendampingan bagi remaja dalam aktivitas olah raga agar terbentuk norma yang positif. Jika dibandingkan dengan kegiatan di luar sakolah, kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Iebih bersifat protektif. Kegiatan kesenian. dan aktiviias organisasi remaja Iainnya di luar sekolah lebih beresiko dibandingkan kegiatan di dalam sekolah.
Dalam perspektif jender, pengaruh keluarga positif lebih besar perannya pada remaja perempuan dibandingkan dengan laki-Iaki. Persamaan regresi pada remaja laki-Iaki hanya dapat menjelaskan 55% dari variasi yang ada, sedangkan pada perempuan persamaan ini dapat menjelaskan 99% dan variasi yang ada. Remaja perempuan yang Iebih banyak terpapar dengan berbagai kegiatan terstruktur tampak lebih pemisif dan berpengelahuan Iebih baik dari pada yang tidak ikut.
Untuk mencegah penularan HIV, intervensi pada remaja menjadi sangat panting. Pencegahan pada perilaku awal yang secara potensial akan berisiko tertular HIV harus dicegah sedini mungkin dengan disain yang komprehensif. Hasil pemodelan ini menegaskan pentingnya peran Iingkungan sosial yaitu teman sebaya negatif dan perilaku merokok serta alkohol sabagai Iintasan Iangsung menuju perilaku berisiko. Faktor keluarga secara tidak Iangsung besar perannya untuk mencegah remaja bergaul dengan teman negatif, sedangkan faktor temperamen berperan dalam terbentuknya perilaku merokok dan alkohol. Komponen psikologis seperti pengetahuan dan sikap permisif tidak banyak peranannya, bahkan kontrol spintual yang dihipotesakan dapat mencegah perilaku berisiko tidak berhasil dibuktikan.
Simpulan penelitian ini adalah bahwa pengaruh sistim sosial sangat dominan dalam membentuk parilaku berisiko pada remaja. Temuan ini sejalan dengan teori psikologi perkembangan remaja yang menyatakan bahwa dalam proses pendewasaan, pengaruh keluarga telah bergeser menjadi teman sebaya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya pengaruh Iangsung dan teman sebaya negatif terhadap perilaku berisiko, sedangkan pengaruh keluarga bardampak tidak langsung. Namun demikian keluarga menjadi dasar yang kuat bagi remaja dalam pemilihan teman sebayanya. Faktor psikologis tidak besar perannya terhadap perilaku berisiko. namun faktor psikologis sangat dipengaruhi faklor keluarga. Di lain pihak faktor biologis dalam hal ini berperan dalam terbentuknya perilaku adiksi.
Secara jangka panjang, disarankan agar Usaha Kesehatan Sekolah bagi remaja dikembangkan. keterampilan guru Bimbingan dan Konseling ditingkatkan serta kebijakan pemerintah dalam hal melindungi remaja lerhadap serangan industri rokok harus digalakan, terutama dikaitkan dengan sponsor pada kegiatan olah raga dan musik. Mencegah perilaku berisiko harus dimulai dari pencegahan agar remaja tidak merokok dan minum alkohol. Dalam jangka pendek disarankan untuk menggunakan forum peduli remaja yang ada sebagai forum koordinasi antar instansi perintah dan LSM, sehingga intervensi bukan hanya melalui pemberian informasi kesehatan yang bersifat insidental namun juga ketrampilan asertif yang dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan teman sebaya atau Iewat kegiatan ekstrakulikuler. Intervensi keluarga lewat ceramah dan pelatihan komunikasi dengan remaja, baik melalui sekolah maupun di Iuar sekolah juga disarankan.

Adolescence is a transition periode from childhood to adulthood. Physical and psychological changes faced by the adolescent can potentially lead them to the risky behavior in HIV transmission. In this decade half of the people living with HlV are the youth. Two types of behavior that can initiate to HIV transmission are premarital sex and drug user. The aim of the study is to find the perfect model in explaining the risk and protective factors ofthe risk behavior and compare it using gender perspective.
This study is 8 collaborative effort between DKI Jakarta Provincial Narcotic Board and Center for Health Research University of Indonesia in finding the prevalence estimate of drug users and premarital sex among the adolescent. This cross Sectional study was conducted in 119 schools in live municipalities in DKI with 8941 students. Anonimous self administered is the method used to collect the data. Prevalence estimate of adolescence premarital sex in DKI are 3.2% (Cf= 2.4%-4.2%}. whereas 1.8% (Cl=0.9%-3.7%) for girts and 4.3% (Cf=3.4%-5.6%) for boys. Prevalence of drugs user are 7.3% (Cl= 5.4%-9.9%). whereas 0.8% (CI= 0.4%-1.4%) for girls and 13.1% (C|=10.6%-16.1%) for boys.
For the risky behavior model. only 5800 sampled subjects that passed three validation questions were used. The dependence variabel of this study is the risky behavior as latent variable with two indicators (premarital sex and drug user). Using Lisrel 8.7. the data were analized with biological variable such as risky temperament (novelty seeking, harm avoidence dan reward dependence). with psychological variables: knowledge. promiscuous attitude, intermediate behavior (smoking and drinking alcohol). externalization behavior. structural activity. self determination. self transedence (spiritual control). with family variablest family positiveness (support. norms and sanction). family risk (over critic. corporal punishement and sexual abused). socio-economic status of the family. with social environmental variables: pomographic exposure, negative neighbourhood, and negative peer. Conlirrnatory Factor Analysis and Cronbach's Alpha were used to test the reliability and construct validity of the latent variables. Estimation of the maximum likelihood was used in this modelling. The hypothetical model was tested and the model was fit (CFl=0,89. RMSEA=0.051. SRMR=0.056). With the split hair' method or 50% of the sample. the model was examined resulting the model was still fit (CFl=0.89. RlvlSEA=0.049, SRMR=0.057). To produce parsimonious model, spiritual control and externalization behavior were deleted since both had weak relationships with dependent variable. To find the relationships between variables. standardized path coofficient was used.
This structural model proved that the environmental factor such as negative peer (0.38) has a strong role to the risky behavior. Psychological factors such as knowledge (0.06) and promiscuous altitude (0.07) have small relationships to the risky behavior. as well as the pornographic exposure. lt means that dissemination of information and eradiction of pomographic material are not effective enough to prevent the adolescent from the risky behavior. Smoking and drinking (0.45) are proven as the stepping stone for the risky behavior. In addition. biological factor such adolescents temperament (0.39) with high novelty seeking. low hann avoidance and low reward dependence. has strong relationship with smoking and drinking behavior. Therefore it is important to emphazise smoking and drinking prevention.
Family with positive child rearing (-0.58) can prevent the adolescent from the negative peer and can also prevent them from smoking and drinking. On the otherside. family with negative child rearing (1.1) has strong relationship with the negative peer. However. direct relation between family and risky behavior is not found. Family positiveness is also a protective factor for the promiscuous attitude (-0.31). but has no relationship with the knowledge improvement about sex and narcotics. it was shown that transfer of knowledge from parents to adolescent is not working.
In general, the structural activities were not proven as a protective factor to the adolescents risky behavior, but in separated analysis, it shows that sport in shoot or out of shool is a risk activity. lt means that guidance to build positive norms is important in adolescent sports club. lvloreover, extracurricular activities are more protective than activities outside school. Art and musical activities, as well as the other adolescent organizations outside school are more risky compared to the school activities.
In gender perspective, the role of family positiveness is stronger for girls compared to boys. It was revealed that R2 (99%) in regression equation in girls can explain majority of the variance variation, while in boys it was only 55%. Female adolescents that have more structural activities are more permissive and have slightly higher knowledge compared to female adolescents with less activities.
To prevent the spread of HIV, intervention for the adolescent is important. Early intervention to prevent the potential behavior that can be a risk for HIV transmission must be designed comprehensively. This model emphasize the important role of social environment such as negative peer, smoking and drinking as the direct variable for the risk behavior. Family factor has indirect effect to prevent the adolescent from negative peers. Psychological components such as knowledge and attitude have little effect on the risky behavior. Biological factors such as temperament with high novelty seeking, low hami avoidance and low reward dependence must be considered as a risk factor for smoking and drinking.
The conclusion of the study is that the social system is very dominant in creating the adolescent risk behavior. The result of this study supports the psychological development theory that in the adolescence process of maturity, the role of family has been shifted to their peers. This was proven by the magnitude of the direct effect of the negative peers for the risky behavior, and the role of family has only indirect effect. Nevertheless, the family is the foundation for the adolescents in choosing their peers. The role of psychological factors for risk behavior is weak, and again, the family has str'ong influence to the development of psychological factors. On the otherhand, biological factors such as temperament has a strong relationship with the addiction behavior.
It is suggested to have a long term plan in expanding the School Health Effort for adolescents, improving the skills of the school counselors and having a strong policy to protect the adolescents from tobacco industries sponsorship in sport and musical activities. In a short term plan, a coordination forum between govemment and NGOs should be improved in order to expand incidental health infomiation to more sustain intervention, such as using peer group educator and extracuriculer activities. Family intervension using seminars and communication training are also suggested.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
D652
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>