Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131951 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Arifin Nawas
"Berdasarkan SK Menkes Nomer : 552/Menkes/SK/VI/1994, dimana dalam misi khusus RSUP Persahabatan ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Nasional untuk Penyakit Paru. Pelayanan penyakit paru di RSUP Persahabatan sudah dimulai sejak awal berdirinya yaitu pada tahun 1965, pada masa itu masih ada dokter dan para medis Rusia. Kemudian RSUP Persahabatan berkembang menjadi RS Umum kelas B pedidikan, dimana dimulainya pendidikan dokter spesialis paru dan juga bedah paru dilakukan baik untuk pasien yang berasal dari Jakarta, maupun dan luar Jakarta. Apakah RSUP Persahabatan dengan melaksanakan pelayanan rujukan paru ini, sudah menggambarkan sebagai Pusat Rujukan Nasional Penyakit Paru, maka dilakukan penelitian ini. Masalah yang diteliti yaitu kompetensi teknis berupa kemampuan sumber daya manusia, sarana dan fasilitas, kemudian kemampuan manajerial dan tata laksana. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, pengumpulan data dengan wawancara dan data sekunder pada saat ini. Hasil yang diperoleh adalah RSUP Persahabatan mempunyai kompetensi sumber daya yang cukup untuk pelaksanaan Pelayanan Rujukan Nasional Penyakit Paru, sarana dan fasilitas cukup tersedia, kompetensi manajerial dan tata laksana, cukup baik, hanya pemasaran perlu ditingkatkan. Kesimpulan : RSUP persahabatan cukup kompeten sebagai Pusat Rujukan Nasional untuk Penyakit Paru. Saran : Peningkatan kualitas SDM dan pembinaan jaringan rujukan, serta meningkatkan pelayanan pemasaran.

Ministry of Health has decided, through his authoritative letter No. 552/ Menkes/SK/VI/1994, Persahabatan General hospital as the National Hospital for lung disease. Persahabatan General Hospital offered services for lung disease since its first operation in 1965 when there were still some Russian paramedic and doctors. The Hospital then was developed as a general Teaching Hospital lass B. The pulmonology and Thoracic Surgery department starting specialist program and rendering services not only for patients from Jakarta but also from the other regions. This study was conducted to ensure whether the Persahabatan Hospital cold play its role or not, as the national referral hospital for lung diseases. The study was focused on technical competence, such as human resources development, facilities, and managerial skill. The method used was qualitative descriptive based an data collected through interview and currently secondary data. The result was that Persahabatan General Hospital had sufficient human resources in rendering services for performing the national top referral hospital for lung diseases as well as facilities and managerial skill, but the marketing still needed some improvement. Conclusion : Persahabatan General Hospital was competent as the national top referral hospital for lung diseases. Recommendation : The quality of human resources due the fast changes in technology, referral network, and marketing still need some improvement.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-5061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widyawati
"Telah dilakukan penelitian peran n-acetlylcsteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan kiinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di Iuar saluran pernapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah periakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paw. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP.
Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, NAG 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram 1 12 jam IV, metilprednisoion 62,5 mg 1 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrofil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r-0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibandingan tanpa pemberian NAC. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim.
Kesimpulan penelitian adalah pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK eksaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its path physiology. These suggest that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (1L)-8 secretion and other pro-inflammatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-izB, which is directly correlated with the production of the systemic inflammatory marker C-reactive protein (CRP).
The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14). Concomintant use of inhaled B2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methylprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days.
The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level.
The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients exacerbations of COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrawati Sugianto
"Tujuan. Banyak pabrik di Indonesia yang mempunyai pajanan silika tinggi seperti pabrik keramik dan pabrik semen, namun belum ada penelitian mengenai penyakit gangguan restriktif pada pekerja akibat pajanan silika. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi penyakit gangguan paru restriktif pada pekerja laki laki.
Metode. Desain penelitian ini adalah cross sectional ,data diambil dari data sekunder bagian batching plant, furnace, cutting line, dan administrasi yang dilakukan pemeriksaan tahun 2003.. Hasil. Dari 449 data, didapatkan prevalensi gangguan pare restriktif pada pekerja PT. X tahun 2003 adalah 48,8%. Hubungan antara gangguan paru restriktif dengan pajanan silika bermakna (p= 0,024). Masa kerja Para pekerja sebagian besar adalah kurang dan 10 tahun (90,6%). Tidak ada hubungan bermakna antara gangguan paru restriktif dengan penggunaan APD, pajanan organofosfat dan merokok.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan paru restriktif akibat pajanan debu silika terbukti pada pekerja PT. X. sebesar 48,8% pada tahun 2003.

Prevalence Restrictive Lung Disorders Manufacturing Man Workers in PT. X at Cikarang.Objective of study. Many factories in Indonesia have a high exposure of silica such as cement and ceramic factories, which could cause restrictive pulmonary disease. Until now, no evidence has proved that the restrictive pulmonary disease raised among many workers, was caused by exposure of silica. Objective of study is to find out the prevalence of the restrictive pulmonary disease for man's worker, focusing on the exposure of silica.
Method. The design of this study is cross sectional. Subject of the study was secondary data chosen from the employees. The subject were selected from the hatching plant department, the furnace department, the cutting line and the administrative department, which was the high exposure environment and mild exposure. The employees was examined in 2003.
Result. Of total 449 data, the prevalence of restrictive pulmonary disease is 48.8%. Most of the employees have the duration of work less than 10 years. Correlation between restrictive pulmonary disease and silica exposure was significant (p = 0,024). Correlation between restrictive pulmonary disease and other related factors such as: use of personal protective equipment, organophosphate exposure, and smoking is also not significant.
Conclusion. Prevalence of the restrictive pulmonary disease 48.8% in PT.X. on 2003.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 13634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Mokoagow
"Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) berkontribusi terhadap masalah kesehatan yang bermakna selama penyelenggaraan haji. Kementerian Kesehatan RI mendokumentasikan PPOK sebagai penyebab ketiga terbesar perawatan jemaah haji yaitu sebesar 7,2% pada tahun 2010. Identifikasi individu yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami eksaserbasi akut PPOK selama pelaksanaan haji menjadi penting. Oleh karenanya, penggunaan skor CAT dalam memprediksi risiko eksaserbasi akut pada populasi khusus ini perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan: Mengevaluasi skor CAT sebagai prediktor kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan PPOK.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan pada jemaah haji Embarkasi Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Sebelum keberangkatan, subyek diminta mengisi CAT dan diberikan kartu pencatatan harian untuk mencatat gejala eksaserbasi akut selama pelaksanaan haji. Kartu serupa juga diberikan pada dokter kelompok terbang (kloter) mereka. Saat kedatangan di tempat disembarkasi, subyek diwawancarai dan dilakukan pemeriksaan kesehatan serta pengumpulan kartu pencatatan harian dari pasien maupun dokter kloter. Eksaserbasi akut ditentukan dari kartu pencatatan harian dan buku kesehatan haji yang dibawa oleh tiap jemaah.
Hasil: Sebanyak 61 pasien PPOK direkrut dengan subyek laki-laki sejumlah 57 orang (93,4%) dan rerata usia 58,8±8,5 tahun. Eksaserbasi akut terjadi pada 35 pasien (57,4%). Skor CAT berkisar antara 0–25 dengan rerata 8,2±5,5. Persentase kelompok kategori CAT rendah (skor<10) sebesar 63,9% sementara 36,1% memiliki kategori CAT sedang-berat (skor CAT 10-30). Didapatkan Risiko Relatif sebesar 1,33 (IK95% 0,875–2,020), Nilai Duga Positif: 0,68 (IK95% 0,47–0,84), dan AUC 0,773 (IK95% 0,647-0,898). Median skor CAT 9 (nilai minimum 1; maksimum 25) untuk kelompok eksaserbasi akut dan median 4 (nilai minimum 0; maksimum 17) untuk kelompok tidak eksaserbasi akut yang bermakna secara statistik (p<0.0001, Uji Mann-Whitney).
Simpulan: Terdapat peningkatan kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan CAT kategori sedang-berat dibandingkan kelompok CAT kategori ringan namun belum terlihat perbedaan risiko yang bermakna pada penelitian ini dan skor CAT memiliki kemampuan untuk memprediksi terjadinya eksaserbasi akut.

Background: COPD contributes to significant health problems during pilgrimage for moslems. Indonesian Ministry of Health COPD as the third leading causes of hospitalization pilgrims with percentage of 7.2% in 2010. Identifying individuals with higher risk to have acute exacerbation during the pilgrimage is essential. Therefore, the use of CAT scores in predicting the risk of acute exacerbation in this special population merits further investigation.
Objective: To evaluate CAT score as predictor of acute exacerbation event in pilgrims with COPD.
Methods: This propective cohort study was conducted to pilgrims from DKI Jakarta Province in 2012. Prior to departure, subjects were asked to complete CAT and given diary card to record any symptoms of exacerbation during pilgrimage. Similar observation card were also given to their pilgrims groups’ doctors. On arrival at disembarkation point, subjects underwent interview and health examination while diary cards were collected from both patients and their doctors. Acute exacerbation were determined from the diary cards and individual health record book carried by every pilgrim.
Results: Sixty one COPD patients were recruited comprising 57 male subjects (93.4%) and mean age for this study is 58.8 ± 8.5 years. Acute exacerbation occurred in 35 patients (57.4%). CAT scores range from 0–25 with a mean of 8.2±5.5. Percentage of low CAT category group (score <10) was 63.9% while the 36.1% of subjects were in medium to high CAT category group (score 10-30). Relative Risk for acute exacerbation was 1.33 (95% CI 0.875 – 2.020), Positive Predivetive Value: 0.68 (95%CI 0.47–0.84), and AUC 0.773 (95% CI 0.647-0.898) and median CAT scores were 9 (minimum value 1; maximum 25) for acute exacerbation group and 4 (minimum value 0; maximum 17) for and non acute exacerbation group which was statistically significant (p<0.0001, Mann-Whitney U test).
Conclusion: An increasead numbers of acute exacerbation was observed in moderate-severe category CAT score compared to those in mild category nevertheless a significant risk difference was not demonstrated in this study and CAT score has the ability to predict acute exacerbation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halim Danusantoso
Jakarta: EGC, 2016
616.24 HAL b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Halim Danusantoso
Jakarta: EGC, 2017
616.24 HAL b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Hariza
"Rehabilitasi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang stabil bertujuan untuk mengurangi sesak, meningkatkan toleransi latihan, dan meningkatkan status kesehatan. Pada dekade terakhir banyak dikembangkan teknik terapi mandiri salah satunya adalah menggunakan perangkat positive expiratory pressure (PEP). Penelitan ini bertujuan untuk menilai efektivitas latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pada pasien PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi intervensional prospektif yang membandingkan efek sebelum dan sesudah latihan pernapasan menggunakan PEP selama 8 minggu. Subjek yang menyelesaikan penelitian sebanyak 20 orang. Latihan pernapasan dilakukan dua kali sehari dengan durasi 15 menit pada masing-masing sesi latihan. Tekanan yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan pasien yaitu inspirasi berbanding ekspirasi 1:3. Tekanan ditentukan sebelum memulai latihan dan dievaluasi setiap dua minggu. Hasil keluaran yang dinilai adalah nilai VEP1, kapasitas fungsional yang diukur dengan kecepatan berjalan dalam uji jalan 4 meter dan kualitas hidup yang diukur dengan kuesioner St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Nilai VEP1 sebelum intervensi adalah 1369,5±569,63 ml dan sesudah sebesar 1390±615,01 ml (p=0.585). Kecepatan berjalan sebelum intervensi 1,43±0.31 m/s dan sesudah 1,56±0,40 m/s (p=0.248). Skor kuesioner SGRQ domain gejala terdapat penurunan dari rerata 44,00±17,88% menjadi 25,31±14,06% (p=0.000), domain aktivitas dari rerata 54,22±28,18% menjadi 40,38±24,25% (p=0.006), domain dampak dari 32,83% (0,00-67,46) menjadi 16,32% (0,00-61,33) (p=0.002), dan skor total dari 39,46% (6,30-75,42) menjadi 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Peningkatan kecepatan berjalan dan perbaikan skor SGRQ memenuhi nilai minimum clinically important difference (MCID). Latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP selama 8 minggu dapat meningkatkan nilai VEP1, kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK.

Rehabilitation of stable chronic obstructive pulmonary disease (COPD) aims to reduce dyspnoe, increase exercise tolerance, and improve health status. In the last decade, many independent therapy techniques have been developed, one of them is positive expiratory pressure (PEP). The aim of this study was to assess the effectiveness of breathing exercises using a PEP device on Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1), functional capacity, and quality of life in COPD patients. The study design was a prospective interventional studies that compared the effects before and after breathing exercises using PEP for 8 weeks. Twenty subjects completed the study. Breathing exercises were carried out twice a day, 15 minutes duration at each session. The pressure used is adjusted to the patient's ability, reaching inspiration to expiration ratio of 1:3. Pressure was determined before starting the exercise and evaluated every two weeks. The outcome were FEV1, functional capacity measured by walking speed in the 4 meter gait speed assesment and quality of life as measured by the St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). FEV1 ​​before intervention were 1369,5±569,63 ml and after 1390±615,01 ml (p=0.585). Walking speed before intervention was 1,43±0,31 m/s and after 1,56±0,40 m/s (p=0,248). The symptom domain SGRQ questionnaire score has a decrease from 44,00±17,88% to 25,31±14,06% (p=0,000), the activity domain from 54,22±28,18% to 40,38±24,25% (p=0.006), the impact domain of 32,83% (0,00-67,46) to 16,32% (0,00-61,33) (p=0,002), and the total score of 39,46% (6,30-75,42) to 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Increase in walking speed and SGRQ score exceed the minimum clinically important difference (MCID). Breathing exercises using a PEP device for 8 weeks can increase FEV1, functional capacity and quality of life of COPD patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnajmia Curie Proklamartina
"ABSTRAK
Defek septum atrium (DSA) berpotensi meningkatkan resistensi vaskular paru (RVP). Pada studi-studi terdahulu peningkatan RVP ditandai dengan pembentukan takik pada kurva spektral Doppler pulmonal. Terdapat perbedaan pola pembentukan takik pada jenis HP yang berbeda. Salah satu parameter penilaian pola ini yaitu notch ratio (NR). Belum terdapat studi yang menilai korelasi antara NR dengan RVP pada pasien DSA sekundum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara NR dengan RVP pada pasien DSA sekundum. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DSA sekundum berusia ≥18 tahun yang menjalani kateterisasi jantung pada bulan Maret-Oktober 2019 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Uji korelasi Pearson atau Spearman dilakukan menggunakan parameter NR dari ekokardiografi dan pulmonary artery resistance index (PARI) dan pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) dari kateterisasi jantung. Dari 50 pasien yang dianalisis, didapatkan NR dan RVP memiliki korelasi negatif sedang signifikan untuk PARI (r = -0,410; p = 0,03) dan PVR/SVR (r = -0,430; p = 0,002). Variabel perancu yang memiliki korelasi signifikan dengan NR yaitu stroke volume/pulse pressure (r = 0,384; p = 0,006), yang tereliminasi dari analisis multivariat dengan metode backward. Terdapat korelasi negatif sedang antara NR dan RVP pada pasien DSA sekundum.

ABSTRACT
Atrial septal defect (ASD) potentially increases pulmonary vascular resistance (PVR). In previous studies high PVR was marked by pulmonary Doppler spectral curve notching. There were distinct patterns of notch formation in different types of PH. One of the parameter to assess these patterns is notch ratio (NR). There is no study yet assessing correlation between NR and PVR in secundum ASD patients. This study aims to evaluate correlation between NR and PVR in this population. Cross sectional study with consecutive sampling was conducted in secundum ASD patients ≥18 years old undergoing cardiac catheterization from March until October 2019 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Pearson or Spearman correlation analysis was done using NR parameter from echocardiography and pulmonary artery resistance index (PARI) and pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) from cardiac catheterization. From 50 patients analyzed, NR and PVR have significant moderate negative correlations for PARI (r = -0,410; p = 0,03) and PVR/SVR (r = -0,430; p = 0,002). Confounding variable with significant correlation with NR is stroke volume/pulse pressure (r = 0,384, p = 0,006), which was eliminated from multivariate analysis with backward method. There is a moderate negative correlation between NR and RVP in secundum ASD patients."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firza Savira Fauzi
"Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan bagian terbesar dari total beban PPOK dalam sistem perawatan kesehatan. Meskipun algoritma terapi merekomendasikan monoterapi sebagai pilihan pertama, terapi kombinasi lebih sering diresepkan pada pasien dengan eksaserbasi PPOK akut di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Oleh karena itu, analisis efektivitas biaya perlu dilakukan sebagai pertimbangan untuk pemilihan masa depan. terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya menggunakan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol dibandingkan dengan salbutamol pada pasien dengan eksaserbasi akut pasien rawat inap PPOK di Rumah Sakit Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional deskriptif retrospektif dengan data sekunder dalam bentuk rekam medis pasien. Subjek penelitian adalah eksaserbasi akut pada pasien PPOK yang menerima terapi kombinasi dengan ipratropium-salbutamol atau salbutamol di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Karakteristik pasien dianalisis dengan metode statistik deskriptif menggunakan IBM SPSS v25.0. Efektivitas ditentukan berdasarkan peningkatan aliran ekspirasi puncak pasien ≥10% dan biaya yang digunakan dilihat dari perspektif rumah sakit dengan komponen biaya medis langsung. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemilihan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 1.090.362,87 untuk meningkatkan 1 unit efektivitas.

Acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) constitutes the largest part of the total burden of COPD in the health care system. Although the therapeutic algorithm recommends monotherapy as the first choice, combination therapy is more often prescribed in patients with acute exacerbation of COPD at Friendship Hospital in 2018. Therefore, a cost-effectiveness analysis needs to be carried out as a consideration for the selection of future therapies. The purpose of this study was to analyze the cost-effectiveness of using ipratropium-salbutamol combination therapy compared with salbutamol in patients with acute exacerbation of COPD inpatients at the Friendship Hospital. This study used a retrospective descriptive cross-sectional design with secondary data in the form of a patient's medical record. Subjects were acute exacerbation of COPD inpatients who received combination therapy with ipratropium-salbutamol or salbutamol at Friendship Hospital in 2018. Patient characteristics were analyzed by descriptive statistical methods using IBM SPSS v25.0. Effectiveness is determined based on an increase in the patient's peak expiratory flow ≥10% and the cost used is seen from a hospital perspective with a direct medical cost component. Based on the research, it can be concluded that the selection of ipratropium-salbutamol combination therapy will require an additional cost of Rp 1,090,362.87 to increase 1 unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ismiati
"Penelitian dilakukan pada tenaga kerja yang terpajan debu hasil pembakaran sampah di bagian boiler pabrik sepatu olah raga. Pajanan debu dapat menimbulkan gejala pengawasan berupa batuk kronik, dahak kronik, sesak nafas, serta gejala bronkitis kronik yang dapat memberikan gambaran penurunan fungsi paru obstruksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi paru pada tenaga kerja di bagian boiler, dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan alat pelindung diri (APD) saluran nafas.
Disain penelitian menggunakan cara studi operasional yang dilakukan terhadap seluruh populasi tenaga kerja di bagian boiler (12 orang), selama 1 bulan. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi ventilasi paru, serta pemeriksaan foto toraks. Selanjutnya dilakukan intervensi berupa penyuluhan serta monitoring dan pengawasan penggunaan APD saluran nafas.
Hasil dari penelitian ini didapatkan keluhan batuk kronik 25 %, dahak kronik 33,3 %, sesak nafas 16,7 %, bronkitis kronik 25 %, serta gangguan fungsi paru obstruksi 25 %. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok umur, lama kerja, perilaku merokok dan perilaku menggunakan APD saluran naf as terhadap terjadinya bronkitis kronik maupun obstruksi (p>0,05). Risiko terjadi obstruksi 2,5 kali lebih besar pada tenaga kerja yang telah bekerja lebih dari. 5 tahun (OR=2,5).
Risiko terjadi obstruksi 1,6 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD saluran nafas (OR=1,6). Intervensi yang dilakukan menunjukkan keberhasilan yang sangat bermakna yaitu terdapat peningkatan pengetahuan tentang APD saluran nafas sebesar 58,4 % (0,001"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>