Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171915 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Bambang Pangestu
"Kromosom merupakan massa padat dari materi genetik yang terdapat dalam inti sel yang menentukan pewarisan sifat genetik suatu spesies dari generasi ke generasi berikutnya. Analisis kariotipe kromosom umurrmya didasarkan kepada dua sifat kromosom, yaitu jumlah diploid kromosom dalam sebuah sel somatik dan karakter morfologis setiap kromosom dalam set tersebut. Karakteristik morfologis sebuah kromosom ditentukan oleh posisi sentromer serta panjang relatif kromosom terhadap kromosom-kromosom lairmya dalam satu set haploid.
Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari kariotipe monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca namesirina). Kedua spesies primata ini banyak digunakan dalam berbagai perielitian ekologi, tingkah laku, nutrisi dan genetika, serta banyak pula dimanfaatkan dalam berbagai penelitian biomedis untuk studi berbagai jenis penyakit manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah kromosom, karakteristik kariotipe dan penyusunan idiogram monyet ekor panjang dan beruk, serta membandingkan kariotipe antar kedua spesies primata tersebut.
Preparat kromosom untuk studi kariotipe dan penyusunan idiogram dipersiapkan dua kultur sel darah putih (leukosit), yang dikoleksi dari darah periferi tiga ekor monyet ekor panjang jantan dan tiga ekor beruk jantan. Kultur jangka pendek dengan penggunaan mitogen PHA dan ConA dilakukan pada suhu 37°C selama 72 jam. Melalui perlakuan peighambatan pembentukan spindel dengan penberian kolkisin dua jam sebelum akhir kultur, perlakuan hipotonis dengan larutan KCI 0.075 M dan perlakuan fiksasi dengan larutan methanol dan asam asetat dalam perbandingan 3:1, diperoleh selsel metafase untuk analisis kariotipe.
Dari perhitungan kromosom dalam tiap sebaran metafase didapatkan bahwa jumlah diploid kromosom baik pada monyet ekor panjang maupun bank adalah 42 buah, terdiri dari 40 buah autosom, sebuah kromosom X dan sebuah kromosom Y. Panjang relatif kromosom untuk monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 0.6324 ± 0.0063 dan 0.6317 ± 0.0056 (kromosom Y) sampai dengan 7.3705 ± 0.0106 dan 7.3714 ± 0.0095 (kromosom No. 1). Indeks sentromer untuk monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 0 dan 0 (kromosom Y) sampai dengan 49.295 f 0.016 dan 49.295 ± 0.014 (kromosom No. 11). Nisbah lengan kromosom monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 1.0284 ± 0.0006 dan 1.1024 f 0.0006 (kromosom No. 11) sampai dengan 2.6819 ± 0.0142 dan 2.6812 ± 0.0121 (kromosom No. 15), sedangkan nilai nisbah lengan untuk kromosom Y tidak dapat dihitung karena sentromer yang terminal (telosentrik).
Dari pengamatan dan perhitungan didapat jumlah dan morfologi kromosom monyet ekor panjang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) dengan jumlah dan morfologi kromosom beruk Perbedaan morfologi dan anatomi yang sangat besar antara kedua spesies ini tidak tercermin dari kariotipenya (struktur makro materi genetik), diduga ada pads perbedaan struktur gen-gen, protein dan kodon-kodon dalam rangkaian DNA kedua spesies. Dengan pola pita replikasi terdeteksi adanya perbedaan pole pita pada tiga bush kromosom, yaitu pads kromosom No. 1, No. 5 dan No. 16.

An experiment has been conducted to study karyotypes of long-tailed and pig-tailed macaques. The objective of the experiment is to obtain information about chromosome number and their morphological characters, to construct idiograms for each species, and to compare the kariotype of long-tailed macaque and of pig-tailed macaque.
Chromosome preparation for the karyotype study and idiogram construction was obtained from Ieukocyte cells culture. Peripheral blood samples were collected from respectively three male long-tailed and pig-tailed macaques and cultured using standard culture procedure.
Observation on metaphase chromosome spreads obtained show that both long-tailed and pig-tailed macaques have diploid chromosome number of 42, consisting of 20 pairs of autosomes, an X chromosome, and an Y chromosome. Relative chromosome length for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 0.6324 ± 0.0063 and 0.6317 ± 0.0056 (Y chromosome) to 7.3705 ± 0.0106 and 7.3714 ± 0.0095 (chromosome No. 1), respectively. Centromere index for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 0 and 0 (Y chromosome) to 49.295 ± 0.016 and 49.295 ± 0.014 (chromosome No. 11), respectively. Arm ratio for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 1.0284 ± 0.0006 and 1.1024 ± 0.0006 (chromosome No. 11) to 2.6819 ± 0.0142 and 2.6812 ± 0.0121 (chromosome No. 15), respectively. Arm ratio for Y chromosome was not calculated because of its terminal centromere position.
Observation, measurement and statistical analyses show that there were no significant differences (P>0.05) between chromosome number and morphology of long-tailed macaque and those of pig-tailed macaque. Using replication banding technique, different banding pattern were detected at chromosome No. 3, 5 and 16. Great differences in anatomical and life history variables between these two primate species seem to be due to differences in the level of genes, proteins and codons in DNA strands of the two species.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia
"Telah dilakukan penelitian terhadap perilaku pengasuhan anak pada keluarga Macaca hecki Matschie, 1901 di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Penelitian bertujuan untuk mengamati pengasuhan terhadap infant yang ditempatkan dalam satu kelompok dan ada atau tidaknya keterlibatan anggota keluarga lain dalam peran pengasuhan. Metode yang digunakan yaitu focal animal sampling dan ad libitum sampling dengan interval waktu 10 menit tanpa jeda selama 25 hari dengan total waktu 7500 menit. Pengamatan dilakukan selama lima hari dalam sepekan. Pengamatan perilaku pengasuhan dimulai pada pukul 09.00--15.00 WIB. Waktu pengamatan disesuaikan dengan Macaca hecki yang bersifat diurnal aktif pada pagi hingga sore hari dan disesuaikan dengan perizinan yang diberikan oleh pihak Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Aktivitas pengasuhan yang diamati berupa perilaku menggendong, menelisik, mendekat, istirahat, bergerak, kontak tubuh, menyusui dan penolakan. Subjek pengamatan yaitu satu kelompok Macaca hecki yang terdiri dari induk jantan, induk betina, empat ekor anak dan satu infant. Pola pengasuhan yang terjadi menunjukan induk betina mendominasi dari seluruh perilaku harian aktivitas pengasuhan sebesar 92,99, diikuti oleh kakak ketiga 11, kakak keempat 4,5, kakak pertama 4,195, kakak kedua 3,56 serta induk jantan 0,09. Aktivitas perilaku pengasuhan yang mendominasi adalah aktivitas istirahat.

Research has been toward parenting behavior of Macaca hecki Matcshie, 1901 family in Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Research conducted to observe parenting toward infant that placed in one group family and the presence or absence of other family members 39 involvement in parenting roles. The focal animal sampling and ad libitum sampling methods is used to record parenting behavior within 10 minute intervals without interlude of 25 days with a total time of 7500 minutes. Observations were made five days a week. Observation of parenting behavior begins at 09.00 15.00 WIB. The observation time is adjusted to diurnal Macaca hecki active in the morning to late afternoon and adjusted to the permission given by the Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Parenting activities observed include carrying, allogrooming, approaching, resting, moving, body contact, breastfeeding and rejection. The subject of observation is one group family of Macaca hecki include male parent, female parent, four childerns and one infant. The pattern of parenting that occurs shows the female parent dominates from all the daily behavior of parenting activities by 92.99, followed by third sister 11, fourth brother 4.5, first brother 4.195, second sister 3.56 and male parent 0.09. Resting is the activities of parenting behavior that dominate."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jatna Supriatna
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Indrarini
"ABSTRAK
Telah dilakukan studi mengenai perilaku Macaca fascicularis hasil sitaan
pertunjukan topeng monyet. Tujuan penelitian adalah untuk mengamati proporsi
perilaku stereotipe dalam aktivitas harian M. fascicularis hasil sitaan pertunjukan
topeng monyet. Penelitian juga bertujuan untuk mengetahui perbandingan
proporsi perilaku stereotipe antara kelompok M. fascicularis hasil sitaan.
Penelitian dilakukan di Balai Kesehatan Hewan dan Ikan DKI Jakarta pada bulan
Agustus sampai Oktober 2014. Metode yang digunakan adalah scan instantaneous
sampling dan ad libitum sampling terhadap delapan individu dari keempat
kelompok yang ada. Pencatatan dilakukan pada aktivitas harian M. fascicularis
dengan penekanan pada perilaku stereotipe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase perilaku stereotipe pada masing-masing kelompok adalah kelompok
Joni 5,32 ± 5,15%; Heineken 0,87 ± 4,2%; Pop 0,4 ± 1,93%; dan Coki 0%. Jenis
perilaku stereotipe yang teramati pada penelitian ini meliputi pacing (bergerak
mengitari daerah tertentu dalam kandang berulang kali), rocking (menggoyangkan
bagian atas tubuh ke depan dan belakang), bouncing (meloncat), hair plucking
(mencabuti rambut dari tubuh sendiri), dan self biting (mengigit tubuh sendiri).
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap perilaku stereotipe antar
kelompok (uji Kruskal-Wallis, P value 0,09011, α = 0,05).

ABSTRACT
A study on the behavior of confiscated Macaca fascicularis from masked monkey
shows has been conducted. This research aims to observe the proportion of
stereotypic behavior in the daily activities of confiscated M. fascicularis from
masked monkey shows and to compare the proportion of stereotypic behavior
between groups of confiscated M. fascicularis. Research has been conducted at
the Jakarta Health Center for Animal and Fish from August to October 2014. Scan
instantaneous sampling and ad libitum sampling were conducted on eight
individuals from the four existing groups. The recording was made on the daily
activities of M. fascicularis with an emphasis on stereotypic behavior. Results
showed that the percentage of stereotypic behavior in each group are as follows,
Joni 5,32 ± 5,15%; Heineken 0,87 ± 4,2%; Pop 0,4 ± 1,93%; and Coki 0%. Types
of stereotypic behavior observed in this study includes pacing (repetitive
locomotion around a particular area within the enclosure), rocking (moving the
upper body back and forth), bounce (jumping), plucking hair (hair-pulling of the
body's own), and self-biting (biting the body's own). There were no significant
differences in stereotypic behavior between groups (Kruskal-Wallis test, P value
0.09011, α = 0.05)."
2015
S58053
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Handi Sanjaya
"Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor dua dan kontributor penyebab disabilitas tertinggi di dunia dengan jenis stroke iskemik menjadi penyebab umum stroke. Saat ini, terapi standar stroke yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) hanya recombinant tissue plasminogen activator (rtPA). Penelitian mengenai efektivitas terapi rtPA menunjukkan rtPA memiliki tingkat keberhasilan untuk sembuh sepenuhnya hanya sebesar 35%. Oleh karena itu, terapi restoratif dikembangkan untuk penanganan stroke salah satunya terapi berbasis sel menggunakan sekretom dari mesenchymal stem cells (MSC). Dalam patofisiologis stroke, berbagai cascade reaksi molekuler internal sel memiliki peran yang kompleks. Contoh faktor yang terlibat dalam cascade molekuler tersebut adalah Protein kinase B (AKT) sebagai faktor penunjang survivability sel, dan Nuclear factor-kappa B (NF-kB) sebagai faktor pengaktif jalur inflamasi. Dalam penelitian ini, profil ekspresi gen tersebut diteliti dari sel punca MSC yang berasal dari Macaca fascicularis dengan diberikan perlakuan prakondisi hipoksia oksigen 3% selama 48 jam. Tingkat ekspresi mRNA gen tersebut diinvestigasi dengan metode RT-qPCR. Hasil uji ekspresi gen menunjukan peningkatan mRNA gen protein AKT1 dan penurunan mRNA gen protein NF-kB pada MSC prakondisi hipoksia. Hal tersebut menunjukkan potensi sekretom prakondisi sebagai terapi restoratif yang ditunjukkan dari perubahan profil ekspresi gen yang mengarah pada survivability cell.

Stroke is the second leading cause of death and the highest contributor to disability worldwide, with ischemic stroke being the most common type. Currently, the only FDA-approved standard therapy for stroke is recombinant tissue plasminogen activator (rtPA). Research on the effectiveness of rtPA therapy indicates that it has a full recovery success rate of only 35%. Consequently, restorative therapies, including cell-based therapies using secretomes from mesenchymal stem cells (MSCs), are being developed for stroke treatment. In the pathophysiology of stroke, various internal cellular molecular cascades play a complex role. Examples of factors involved in these molecular cascades include Protein kinase B (AKT), which supports cell survivability, and Nuclear factor-kappa B (NF-kB), which activates inflammatory pathways. In this study, the gene expression profiles of these factors were investigated in MSCs derived from Macaca fascicularis, subjected to hypoxic preconditioning with 3% oxygen for 48 hours. The mRNA expression levels of these genes were analyzed using the RT-qPCR method. The results showed an increase in AKT1 protein mRNA expression and a decrease in NF-kB protein mRNA expression in hypoxia-preconditioned MSCs. These findings indicate the potential of hypoxia-preconditioned secretomes as restorative therapy, as evidenced by changes in gene expression profiles that promote cell survivability."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jatna Supriatna
"Pendahuluan
Penelitian mengenai monyet Sulawesi kebanyakan terfokus pada pertanyaan mengapa lebih banyak jenis monyet marga Macaca di Sulawesi dibanding dengan keseluruhan monyet di Asia. Padahal yang jauh lebih menarik adalah pertanyaan bagaimana monyet tersebut berada dan menyebar di Sulawesi dan bagaimana bentuk morfologi yang berlainan tersebut terbentuk. Luas pulau Sulawesi hanya 2% dari luas penyebaran jenis-jenis marga Macaca, namun jenis yang terdapat melebihi 25% dari keanekaragaman dari marga (Albrecht, 1978).
Taksonomi monyet Sulawesi sampai saat ini masih sangat membingungkan. Fooden (1969) mendeskripsi ada 7 jenis monyet Sulawesi (M. maura di Sulawesi Selatan, M. tonkeana di Sulawesi Tengah, M. hecki di Sulawesi tengah-utara, M. nigrescens di dekat Gorontalo-Kotamubagu, M. nigra di Sulawesi Utara, M. ochreata di Sulawesi tenggara dan M. brunnescens di pulau Muna dan Buton) yang merupakan hasil revisi dari yang telah diusulkan oleh Napier dan Napier {1967). Mereka mengusulkan taksonomi monyet Sulawesi menjadi 2 marga yaitu Cynopithecus dengan 1 jenis yaitu cynopithecus nigra, dan Macaca yaitu Macaca maura. Setahun setelah publikasi Fooden, Thorington dan Groves (1970) menyatakan bahwa monyet. Sulawesi mungkin satu spesies yang "Polytypic" (banyak variasi morfologi) dan bervariasi secara "Clinal" (berubah bentuk sejalan dengan jarak). Pendapat lain yaitu Groves (1980) yang menyatakan hanya ada 4 spesies monyet Sulawesi (M. maura, M. tonkeana, M. nigra dan M. ochreata) dan subspecies (M. tonkeana hecki, M. nigra nigrescens dan M. ochreata brunescens). Pendapat ini tidak mendapat banyak sokongan. Hasil penelitian intensif oleh banyak peneliti dengan memakai berbagai metoda seperti morfologi, genetik dan dermatografik menyimpulkan paling tidak ada 7 spesies monyet Sulawesi (Albrecht, 1978; Kawamoto et al. 1985; Takenaka et al. 1987; Campario-Ciani et al. 1987; Watanabe & Brotoisworo 1982, 1989; Supriatna et al. 1990). Bahkan Froehlich dan Supriatna {1992) mengusulkan monyet Togian (M. tonkeana togeanus) menjadi spesies tersendiri yang disebut Macaca togeanus, sehingga jumlah spesies monyet Sulawesi diperkirakan ada 8 spesies.
Groves (1980) yang meneliti monyet Sulawesi di daerah, perbatasan penyebaran hewan tersebut berkesimpulan bahwa intergradasi telah terjadi antar taxa dibeberapa monyet Sulawesi dan ini yang menyebabkan perlunya diturunkan statusnya ke tingkat subspesies. Walaupun alasannya berlainan untuk setiap daerah perbatasan, namun pada prinsipnya monyet hibrid terbentuk di daerah perbatasan. Anehnya, Groves tidak melihat adanya intergradasi di daerah sebaran antara M. maura dan M. tonkeana. Groves melihat ke dua jenis ini parapatrik di daerah Maroangin. Sebaliknya Supriatna dan kawan-kawan (1988, 1989, 1990) menemukan hewan hibrid di Maroangin, tempat Groves mengadakan penelitian, sejak penelitian dimulai pada tahun 1985.
Dari hasil penelitian morfologi dan perilaku monyet Sulawesi antara M. maurus dan M. tonkeana tampak bahwa kedua jenis ini jelas berbeda. Di daerah hibrid tampak bahwa morfologi dan perilakunya bercampur atau sukar dibedakan apakah termasuk spesies M. maurus atau M. tonkeana (Supriatna et al. 1990). Walapun dari hasil penelitian itu masih belum yakin bagaimana proses terbentuknya dan sejarah terjadinya daerah hibrid. Dalam tulisan ini electrophoresis protein pada sampel monyet Sulawesi di atas dianalsis dengan harapan dapat membantu mengungkapkan fenomena menarik mengenai hibridisasi pada primata"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
LP 1993 28
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fadil Ihdin
"ABSTRAK
Telah dilakukan analisis dermatoglifi pada ujung jari dan telapak tangan Macaca nemestrira L. (beruk) yang gambaran dermatoglifinya digunakan sebagai alat bantu identifikasi. Penelitian ini bertujuan menggambarkan variasi tipe pola sulur ujung jari dan telapak tangan serta kecenderungan arah sulur pada telapak tangan M. nemestrina. Sampel yang digunakan terdiri atas 36 ekor M. nemestrina (16 jantan dan 20 betina) milik Pusat Studi Satwa Primata IPB. Pengambilan cetakan sulur ujung jari dan telapak tangan M. nemestrina menggunakan metode Holt. Berdasarkan hasih pengamatan diketahui tipe pola ujung jari M. nemestrina semuanya seragam dalam bentuk whorl. Hasil uji statistik chikuadrat frekuensi tipe pola sulur telapak tangan kanan dan kiri memperlihatkan perbedaan bermakna di daerah interdigital II dan III (a =0,05). Tipe pola open field (0), dominan di daerah thenar dan hipothenar distal. Tipe pola whorl (W), dominan di daerah interdigital I, II, 111 dan IV. Tipe pola loop (L), dominan di daerah hipothenar proksirnat. Arah sulur dan interdigital II tidak ada yang dominan (proksimalulna). Arah sulur dari interdigital III mengarah ke ulna."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ridwan M
"ABSTRAK
Penelitian mengenai populasi dan habitat monyet yaki
(Macaca nigra Desmarest) telah dilakukan di hutan
primer dan hutan sekunder, Pulau Bacan, Maluku Utara,
dari bulan April hingga November 1992. Data yang
diambil untuk penelitian populasi monyet yaki adalah
jumlah individu berdasarkan umur dan jenis kelamin,
jarak pengamat dari kelompok, ketinggian kelompok dari
tanah, petunjuk-terhadap-pertemuan, ketinggian
daerah/lokasi pertemuan, waktu saat pengambilan data
dimulai, waktu saat pengambilan data diakhiri, tipe
hutan, dan gangguan hutan. Untuk analisis vegetasi,
data yang diambil adalah data habitat seperti tipe
hutan, ketinggian lokasi dari permukaan laut, gangguan
hutan, dan data pohon yaitu nama lokal pohon, jarak
terdekat dari setiap jenis pohon yang ditemukan ke
titik kuadran, dan keliling pohon setinggi dada. Basil
penelitian menunjukkan bahwa populasi monyet yaki di
Pulau Bacan berada dalam keadaan stabil, tetapi untuk
jangka waktu yang lebih panjang, keberadaan monyet
tersebut masih terancam. Dari sepuluh jenis tumbuhan
yang memiliki Nilai Penting tertinggi pada masingmasing-
masing tipe habitat, beberapa jenis diantaranya
merupakan sumber pakan monyet yaki. Dari analisis
tingkat peranan jenis tumbuhan di hutan primer hanya
Ficus spp. yang memiliki tingkat peranan jenis sangat
menonjol. Di hutan sekunder, semua jenis yang memiliki
tingkat peranan jenis sangat menonjol merupakan sumber
pakan monyet yaki."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fadhilah
"Cermin telah digunakan sebagai enrichment untuk primata selama beberapa dekade. Penambahan enrichment cermin diharapkan dapat menurunkan perilaku stereotipe dan meningkatkan kesejahteraan hewan di penangkaran. Penelitian mengenai pengaruh enrichment cermin terhadap perilaku stereotipe Macaca nemestrina dalam kandang telah dilakukan di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Bogor. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku stereotipe tiap Macaca nemestrina melalui aktivitas harian, mengidentifikasi respons dari M. nemestrina terhadap keberadaan enrichment cermin, dan menganalisis pengaruhnya terhadap perilaku stereotipe. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2020 selama 5 hari tiap pekannya. Metode yang digunakan yaitu continuous scan sampling dan ad libitum dengan interval waktu 10 menit tanpa jeda. Pencatatan dilakukan terhadap aktivitas harian pasangan M. nemestrina dengan penekanan pada perilaku stereotipe dan respons M. nemestrina terhadap cermin. Pengamatan dilakukan selama 7 jam perhari. Objek penelitian yaitu dua pasang Macaca nemestrina yang berada di dua kandang sanctuary terpisah. Hasil pengamatan menunjukkan perilaku stereotipe yang teramati adalah pick (mencabuti rambut dari tubuh sendiri), pace (bergerak berulang kali dan tidak berarah), dan self-aggression (menyakiti diri sendiri). Berdasarkan Uji t berpasangan yang dilakukan pada α = 0,05 hasilnya adalah tidak terdapat perbedaan antara perilaku stereotipe sebelum dan setelah diberikan enrichment cermin. Hal tersebut diasumsikan karena cermin kurang menyediakan stimulus yang memuaskan dan tidak mampu menarik perhatian objek penelitian sehingga tidak dapat mengurangi tingkat perilaku stereotipe secara signifikan.

Mirror has been used as an enrichment for primates for decades. The addition of mirror enrichment is expected to reduce stereotypic behavior and improve animal welfare in captivity. Research about effects of mirror enrichment existence has been conducted on Macaca nemestrina (Linnaeus, 1766) stereotypic behavior at Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Bogor. The aims of this research were to identify the stereotypic behavior of M. nemestrina through daily activities and identify their response to the existence of mirror enrichment and analyze its effects on stereotypic behavior. The study was conducted on February until March 2020 for 5 days per each week. Data collection was conducted by continuous scan sampling and ad libitum methods with 10 (ten) minutes interval without pause. The recording was made on the daily activities of M. nemestrina with an emphasis on stereotypic behavior and the response of M. nemestrina to the mirror. Observations were made for 7 hours  per each day. The research objects were two pairs of M. nemestrina in the seperate sanctuary cages. The observations showed that the stereotypic behavior observed in M. nemestrina were pick (pulling hair from one's own body), pace (moving repeatedly and not directed), and self-aggression (self-harming). Based on paired t tests that has been conducted at α = 0.05 the results were no difference between the frequency of stereotypic behavior before and after the mirror enrichment existence. That was because the mirror does not provide a satisfactory stimulus and unable to attract the research objects attention so it was unable to reduce the level of stereotyped behavior significantly.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutyarso
"Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk sangat erat kaitannya dengan program keluarga berencana (KB). Salah satu sebab terjadinya penurunan angka kelahiran adalah berhasilnya pelaksanaan gerakan nasional KB, yang telah dimulai sejak tahun 70-an. Di Indonesia pelaksanaan KB dinilai cukup berhasil dan telah diakui oleh masyarakat dunia. Laporan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1993 (1), menyatakan bahwa dari populasi wanita berumur 15-49 tahun yang sedang ber-KB; sebanyak 33,05% menggunakan alat kontrasepsi pil, 29,21% dengan suntikan, dan 22,62% dengan cara menggunakan spiral. Dari laporan tersebut terungkap bahwa cara KB yang melibatkan partisipasi kaum pria masih sangat rendah, lagi pula terbatas hanya dengan menggunakan alat KB kondom 1,11% dan vasektomi 1,35%.
Salah satu penyebab rendahnya partisipasi pria dalam program KB, di antaranya disebabkan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi pria Tersedianya berbagai macam cara kontrasepsi memungkinkan seseorang memakai kontrasepsi sesuai dengan keinginannya. Sehingga semakin banyak kontrasepsi yang tersedia, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk memakai kontrasepsi itu. Agar lebih mendorong kaum pria untuk berperan aktif dalam mengikuti program KB, maka sangatlah tepat untuk lebih banyak menyediakan jenis kontrasepsi untuk pria, sehingga kaum pria memiliki berbagai alternatif yang sesuai dengan pilihannya (2). Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon, merupakan salah satu altematif yang banyak diteliti dengan sasaran utamanya adalah pengendalian proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (3,4). Metoda pendekatan semacam ini, didasarkan pads pengetahuan bahwa spermatogenesis sangat tergantung pads sekresi gonadotropin yaitu LH (luteinizing hormone) dam FSH (follicle stimulating hormone) oleh kelenjar hipofisis.
Hormon LH bekerja menginduksi sel Leydig untuk memproduksi testostero sedangkan FSH diperlukan untuk mengontrol fungsi se! Sertoli guna memproduksi zat-zat makanan yang diperlukan untuk perkembangan normal sel-sel germinal selama proses spermatogenesis. Balk FSH, LH maupun testosteron, ketiganya diperlukan untuk mempertahankan dan memelihara proses spermatogenesis (3-5). Terhambatnya sekresi LH dan FSH, akan menyebabkan infertilitas sementara dalam bentuk oligozoospermia atau azoospermia (3-7).
Oleh karena testosteron mempunyai efek bifasik terhadap spermatogenesis, maka meningkatnya kadar testosteron plasma 40% di atas kadar fisiologis (6), atau menurunnya kadar testosteron di bawah normal dapat menimbulkan azoospermia (8). Keadaan ini disebabkan kadar testosteron yang tinggi di dalam plasma darah bersifat menghambat sekresi FSH dan LH, yang dalam keadaan normal kedua honnon tersebut diperlukan untuk mempertahankan spermatogenesis (5,8)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D383
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>