Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100861 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendrik Herman J. Krisifu
"ABSTRAK
Tesis dengan judul di atas penulis ingin membahas tentang peran lembaga penyelesaian sengketa pada orang Biak. Orang Biak sudah mengenal lembaga kainkain karkara Biak ini secara turun temurun, sebagai lembaga yang memiliki beberapa fungsi dalam beberapa aspek, yaitu: aspek ekonomi, hukum, keamanan dan politik serta aspek keagamaan. Pada kajian ini lebih terfokus kepada kainkain karkara Biak sebagai lembaga hukum yang berfungsi dan bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa pada orang Biak.
Dalam perkembangan lebih lanjut lembaga kainkain karkara Biak ini banyak mengalami perubahan yaitu pada masa pemerintahan Belanda dan pada masa pemerintahan Indonesia.
Pada masa pemerintahan Indonesia di Biak (Irian) sejak tanggal 1 Mei 1963. Pemerintah Indonesia dengan alasan unifikasi hukum di bidang peradilan maka terhadap kainkain karkara Biak juga dikenakan Undang-undang Darurat nomor 1 tahun 1951, tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara peradilan-peradilan sipil. Dan untuk daerah Irian Barat penghapusan lembaga peradilan adat - swapraja dilakukan dengan surat keputusan bersama antara Gubernur Kepala Daerah Tingat I Irian Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Irian Barat. Dengan demikian lembaga kainkain karkara Biak secara resmi tidak berlaku lagi sebagai lembaga peradilan atau penyelesaian sengketa pada orang Biak.
Namun dalam kenyataannya, lembaga ini cenderung masih dipakai oleh orang Biak untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat. Dari kecenderungan ini maka kami merumuskan masalah dalam tesis ini, sebagai berikut yaitu: mengapa orang Biak masih menggunakan kainkain karkara Biak untuk menyelesaiakn sengketa-sengketa yang mereka hadapi. Dan untuk menjawab permasalahan pada tesis ini maka, kami menggunakan beberapa konsep dan teori yang berfungsi sebagai pedoman dalam menjelaskan permasalahan tersebut. Salah satu konsep yang digunakan adalah konsep semi-autonomous social field yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore. Dan teori yang digunakan adalah teori hukum seperti yang dikemukankan oleh Hoebel bahwa untuk mengkaji hukum terlebih dahulu harus ditelaah unsur-unsur kekuatan (privileged force), kewenangan yang resmi (official authority), dan keteraturan (regularity). Metode studi kasus dan pengamatan terlibat digunakan untuk menjaring data yang diperlukan bagi penulisan tesis ini.
Akhir dari tesis ini, kami simpulkan bahwa dengan masih berlakunva kainkain karkara Biak, membuktikan bahwa aturan-aturan masyarakat lokal belum tentu dapat diterobos oleh aturan pemerintah yang bersifat nasional. Karena banyak masyarakat yang masih terisolasi baik phisik dan isolasi sosial, sehingga mereka belum sepenuhnya mengenal hukum negara."
Lengkap +
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thamrin Hamdan
"Tesis ini merupakan suatu hasil studi mengenai tradisi penyelesaian sengketa yang dilandasi oleh adanya pluralisme hukum yang hidup (berlaku) pada masyarakat di wilayah hukum Polsek Pendopo, yang mempunyaì implikasi terhadap pelaksaan tugas pokok dan fungsi utama kepolisian di wilayah itu. Tradisi penyelesaian sengketa tersebut terimplementasi ke dalam 5 (lima) ?pola alternatif pilihan penyelesaian sengketa bagi warga masyarakat setempat, yang mereka gunakan secara selektif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan: (a) paling masuk akal; (b) paling menguntungkan dari segi efisiensi waktu dan biaya; (d) paling sesuai dengan rasa keadilan menurut persepsi mereka; serta (e) paling efektif dan bersifat wín-win solution bagi para pihak yang bersengketa. Sedangkan aparat Polsek Pendopo juga telah melakukan penginterpretasian terhadap ?pola-pola alternatif penyelesaian? yang digunakan oleh warga masyarakat setempat, dengan bersikap tegas dan aktif sepanjang hal ¡tu berkaitan dengan hukum positif, serta bersikap pasif ? tidak melarang dan juga tidak mau terlibat ? sepanjang ?pola alternatif pilihan? penyelesaian sengketa yang digunakan warga masyarakat berkaitan dengan upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan damai berdasarkan tradisi masyarakat setempat. yelesaian sengketa pada masyarakat di wilayah hukum Polsek Pendopo ini dapat disimpulkan sebagai salah satu perwujudan dari apa yang di dalam terminologi ilmu hukum dinamakan sebagai model ?PSA Tradisional.? Suatu model penyelesaian sengketa yang telah lama dikenal dan berlaku di berbagai daerah di Indonesia dalam berbagai bentuk dan sifat yang beraneka ragam, tetapi mekanisme pemanfaatannya secara yuridis-formal belum diatur di dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Secara teoritis, hasil studi ini bemianfaat bagi pengembangan khazanah Kajian Ilmu Kepolisian yang bersifat antar-bidang, terutama di dalam upaya mengembangkan konsep dan teori yang lebih relevan untuk: (a) memahami ?realitas hukum? (law ¡n action) dalam konteks penegakan hukum oleh aparat kepolisian pada Iingkungan suatu masyarakat tertentu; (b) memahami salah satu perwujudan ?hukum yang hidup di dalam masyarakat? (living law) dalam konteks pluralisme hukum yang berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu; (c) memahami salah satu model PSA Tradisional pada língkungan suatu masyarakat tertentu; dan (d) memahami bagaimana hak-hak korban kejahatan maupun hak hak pelaku kejahatan, balk sebagal individu maupun sebagal kelompok, telah tertindungi atau terakomodasikan di dalam tradisi penyelesaian sengketa yang bertaku pada lingkungan suatu masyarakat tertentu di Indonesia.

This thesis is a result of a study on the tradition of dispute resolution based on the existence of legal pluralism that lives (applies) in the community in the Pendopo Police jurisdiction, which has implications for the implementation of the main tasks and main functions of the police in the area. The tradition of dispute resolution is implemented into 5 (five) alternative patterns of dispute resolution choices for local residents, which they use selectively based on the following considerations: (a) the most reasonable; (b) the most profitable in terms of time and cost efficiency; (d) the most in accordance with their sense of justice; and (e) the most effective and win-win solution for the disputing parties. Meanwhile, the Pendopo Police apparatus has also interpreted the alternative patterns of resolution used by local residents, by being firm and active as long as it is related to positive law, and being passive - not prohibiting and also not wanting to get involved - as long as the alternative pattern of choice is not used. dispute resolution used by community members is related to deliberation efforts to reach a peaceful agreement based on local community traditions. Dispute resolution in the community in the Pendopo Police jurisdiction can be concluded as one of the manifestations of what in legal terminology is called the "Traditional PSA" model. A dispute resolution model that has long been known and applied in various regions in Indonesia in various forms and diverse natures, but the mechanism for its use in a legal-formal manner has not been regulated in the legal system and judicial system in Indonesia. Theoretically, the results of this study are useful for the development of the inter-disciplinary Police Science Study treasury, especially in efforts to develop more relevant concepts and theories for: (a) understanding "legal reality" (law and action) in the context of law enforcement by the police in a particular community environment; (b) understanding one of the manifestations of "living law" in the context of legal pluralism that applies in a particular community environment; (c) understanding one of the Traditional PSA models in a particular community environment; and (d) understand how the rights of crime victims and the rights of crime perpetrators, both as individuals and as groups, have been protected or accommodated within the traditions of dispute resolution that apply to a particular society in Indonesia.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan suatu hasil studi mengenai tradisi penyelesaian
sengketa yang dilandasi oleh adanya pluralisme hukum yang hidup (berlaku)
pada masyarakat di wilayah hukum Polsek Pendopo, yang mempunyaì implikasi
terhadap pelaksaan tugas pokok dan fungsi utama kepolisian di wilayah itu.
Tradisi penyelesaian sengketa tersebut terimplementasi ke dalam 5 (lima) ?pola
alternatif pilihan penyelesaian sengketa bagi warga masyarakat setempat, yang
mereka gunakan secara selektif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan: (a)
paling masuk akal; (b) paling menguntungkan dari segi efisiensi waktu dan biaya;
(d) paling sesuai dengan rasa keadilan menurut persepsi mereka; serta (e) paling
efektif dan bersifat wín-win solution bagi para pihak yang bersengketa.
Sedangkan aparat Polsek Pendopo juga telah melakukan penginterpretasian
terhadap ?pola-pola alternatif penyelesaian? yang digunakan oleh warga
masyarakat setempat, dengan bersikap tegas dan aktif sepanjang hal ¡tu
berkaitan dengan hukum positif, serta bersikap pasif ? tidak melarang dan juga
tidak mau terlibat ? sepanjang ?pola alternatif pilihan? penyelesaian sengketa
yang digunakan warga masyarakat berkaitan dengan upaya musyawarah untuk
mencapai kesepakatan damai berdasarkan tradisi masyarakat setempat.
Tradisi penyelesaian sengketa pada masyarakat di wilayah hukum Polsek
Pendopo ini dapat disimpulkan sebagai salah satu perwujudan dari apa yang di
dalam terminologi ilmu hukum dinamakan sebagai model ?PSA Tradisional.?
Suatu model penyelesaian sengketa yang telah lama dikenal dan berlaku di
berbagai daerah di Indonesia dalam berbagai bentuk dan sifat yang beraneka
ragam, tetapi mekanisme pemanfaatannya secara yuridis-formal belum diatur di
dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia.
Secara teoritis, hasil studi ini bemianfaat bagi pengembangan khazanah
Kajian Ilmu Kepolisian yang bersifat antar-bidang, terutama di dalam upaya
mengembangkan konsep dan teori yang lebih relevan untuk: (a) memahami
?realitas hukum? (law ¡n action) dalam konteks penegakan hukum oleh aparat
kepolisian pada Iingkungan suatu masyarakat tertentu; (b) memahami salah satu
perwujudan ?hukum yang hidup di dalam masyarakat? (living law) dalam konteks
pluralisme hukum yang berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu; (c)
memahami salah satu model PSA Tradisional pada língkungan suatu masyarakat
tertentu; dan (d) memahami bagaimana hak-hak korban kejahatan maupun hak
hak pelaku kejahatan, balk sebagal individu maupun sebagal kelompok, telah
tertindungi atau terakomodasikan di dalam tradisi penyelesaian sengketa yang
bertaku pada lingkungan suatu masyarakat tertentu di Indonesia."
Lengkap +
2001
T2475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Rinaldi
"Paradigma hukum positif mengabaikan fakta bahwa penyelesaian sengketa pada dasarnya merupakan arena pertarungan kepentingan antar kelas sosial di masyarakat. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana budaya hukum dan ketertiban sosial yang merepresentasikan kepentingan kelas yang dominan menentukan aturan main dan jenis kapital yang diperebutkan oleh aktor dan lembaga, termasuk mereka yang berasal dari kelompok miskin. Konstruksi sosiologis terhadap arena penyelesaian sengketa sekaligus menjelaskan bagaimana pengetahuan hukum, keterampilan dan relasi sosial memberi peluang, dan pada saat yang sama membawa dilema, bagi aktor paralegal dalam memperkuat posisi tawar kelompok miskin untuk medapatkan keadilan.

The legal-positivist paradigm ignores the fact that the dispute resolution is basically a battle arena of interests between social classes in society. In the light of Bourdieu?s Reflexive Sociology in approaching dispute resolution practices, this study illustrates how legal and social order as a culture, which represents the interests of dominant class, determines the objective, power relation and type of capitals contested by actors and institutions, including those poor and marginalized groups in society. By constructing dispute resolution as a social field, this study explains how legal knowledge, skills and social networks provide opportunities, yet problematic, for paralegal in order to strengthen the access to justice for the poor and marginalized groups."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enos Henok Rumansara
"Latar Belakang
Manusia dan kebudayaannya merupakan sasaran studi Antropologi, dimana agama merupakan salah satu bidang kajiannya yang tidak dapat diabaikan dan mendapat perhatian lebih besar untuk kepentingan pengembangan ilmu, terutama mereka yang menekuni bidang antropologi. Agama merupakan bagian/unsur panting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk yang dijadikan pedoman dalam hidup mereka, yang mereka yakini kebenarannya.
Dalam kajian antropologi, agama di lihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial manusia. Geertz dalam kajiannya melihat agama sebagai suatu sistem kebudayaan, dimana kebudayaan itu sendiri dilihat sebagai pola bagi kelakuan, yaitu yang terdiri atas serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang di-gunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya ( Suparlan, 1989: x ; Suparlan, 1982: 2, 76).
Telah dikemukakan di atas bahwa agama sebagai suatu sistem kebudayaan yang juga dilihat sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial manusia."
Lengkap +
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Kustiaty
"ABSTRAK
Benedict mengatakan bahwa kebudayaan Barat menekankan "dose", sedangkan kebudayaan Jepang adalah kebudayaan yang menekankan "malu". "Halu" (dalam bahasa Jepang disebut "haji"), adalah reaksi atas kritik atau pandangan orang lain, dalam masyarakat Jepang menjadi suatu pertimbangan penting dalam menata pola kelakuan { Benedict, 1948:104-106).
Sakuta yang mengkritik pandangan Benedict tentang "haji no bunka" atau kebudayaan "malu" Jepang mengatakan bahwa sebenarnya malu bagi orang Jepang atau "haji" tidak hanya disebabkan oleh adanya kritik orang lain saja, melainkan berasal dari adanya perhatian yang khusus dari orang lain, tidak peduli apakah berupa kritikan ataupun pujian. Apabila orang Jepang dalam posisi diperhatikan maka akan "hajiru" atau merasa malu. (Sakuta Koichi, 1972, 200-207). Dikatakannya bahwa Benedict hanya melihat malu orang Jepang dari satu sisi saja, yaitu malu karena adanya tekanan atau kritik dari "kokai" atau umum yang disebut "kochi" atau malu umum. Adapun terhadap argumentasi Benedict yang menyimpulkan bahwa Kebudayaan Jepang adalah kebudayaan malu, Sakuta kurang puas, karena nenurutnya Benedict masih perlu menyusun suatu konsep malu yang lebih tepat untuk dapat mencakup bentuk gejala malu sebagai reaksi atas pujian. Hal ini disebabkan karena orang Jepang akan merasa malu bukan hanya ketika mandapat kritikan dari orang lain melainkan "wareware wo hajisaseru no wa isshuu tokubetsu no tsushi de aru" , yang berarti bahwa, "yang menimbulkan rasa malu itu adalah adanya perhatian khusus". Demikian menurut Sakuta, sehingga apa yang dikemukakan Benedict dianggap belum tentu dapat menjawab atau menerangkan berbagai bentuk gejala malu yang ditampilkan orang Jepang. Selanjutnya Sakuta mengatakan bahwa ada 2 kriteria "haji" yaitu "kochi" atau "main publik" yang timbul karena kehadiran orang lain dan "shuchi" atau "malu pribadi" muncul dari diri sendiri, yang disebabkan karena keadaan lingkungannya, atau .dalam kedudukannya bila dibandingkan dengan orang lain, walaupun sebenarnya belum tentu hal tersebut dianggap "haji" oleh orang lain (shikono kui chigai). (Sakuta Koichi, 1972; 296). "
Lengkap +
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Perempuan di antara berbagai pilihan hukum studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa""
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
305.459 8 SUL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"bawean merupakan pulau kecil di wilayah Jawa Timur yang penduduknya berasal dari berbagai etnik , seperti Madura, Palembang, Jawa dan Bugis. Budaya Bawean adalah campuran dari budaya penduduk yang ada di Pulau Bawean...."
PATRA 10(1-2) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pelawi, Kencana S.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S7383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renariah
"Berdasarkan hasil sensus penduduk dunia tahun 1995, diperoleh data bahwa harapan hidup terpanjang di dunia dicapai oleh bangsa jepang, dengan rata-rata umur lansia untuk laki-Maki mencapai 76 tahun dan perempuan mencapai 82 tahun. Salah sate contohnya adalah Shigechiyo Izumi berhasil mencapai umur 120 tahun. Sementara harapan hidup bangsa lain seperti Swiss rata-rata hanya mencapai 74 tahun untuk laki-laid daze 80 tahun untuk perempuan, sedangkan Amerika hanya mencapai 72 tahun untuk laki-laki dan 79 tahun untuk perempuan (Kosei hakusho = buku putih mengenai kesehatan dan kesejahteraan, 1995 : 127).
Selanjuthya kalau kita amati data hasil sensus penduduk prefektur Miyagi tahun 1998, data tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun orang jepang berusia lanjut bertambah dalam jumlah yang cukup besar, yaitu jumlah penduduk pada tahun 1996 berjumlah 352.449 orang, sedangkan pada tahun 1997 jumlahnya naik menjadi 367210 orang, berarti dalam kurun waktu satu tahun penambahannya mencapai 14.761 orang (Laporan tahunan sensus penduduk prefektur Miyagi, 1998). Dari selisih jumlah tersebut menunjukkan bahwa usia lanjut dapat diraih dan dipertahankan melalui pembinaan kesehatan yang baik.
Dunn (1976: 135) mengemukakan bahwa upaya pembinaan kesehatan ataupun penyembuhan diri dari suatu penyakit merupakan bagian dari kebudayaan setiap masyarakat tertentu. Betapapun sederhananya suatu masyarakat, mereka pasti memiliki cara tersendiri yang sesuai dengan tradisi-tradisi budaya yang rnencakup pengetahuan yang mereka miliki sebagai pedoman yang dipakai untuk membina kesehatan.
Iitsutae adalah salah satu bentuk tradisi lisan, yang disampaikan secara turun temurun sejak dahulu kala, yang merupakan salah satu model pengetahuan orang Jepang yang secara selektif dipergunakan oleh orang Jepang khususnya di prefektur Miyagi sebagai pendukungnya. Model pengetahuan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan mereka, yang mereka pergunakan sebagai pedoman untuk bertindak, dalam hal ini adalah pedoman dan sebagai acuan untuk membina kesehatan bahkan mengobati penyakit?"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>