Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bertalina
"Untuk mewujudkan "Indonesia Sehat Tahun 2010", dimana salah satu tujuannya adalah meningkatan mutu pelayanan puskesmas, untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu melalui jaminan mutu. Jaminan mutu yang mulai dikembangkan pada tahun 1998, pada tiga program dasar yaitu Ante Natal Care (ANC), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan imunisasi, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan dilihat dari rendah cakupan pnemonia pada balita. Walaupun pada awal kegiatan telah dilakukan strategi yaitu membangun kesepakatan, membangun kapasitas dengan pelatihan dan pelembagaan yaitu membuat mutu pelayanan menjadi budaya kerja. Berdasarkan itu peneliti berasumsi penggerakannya tidak berjalan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi penggerakan jaminan mutu di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif pada unit analisis Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Pimpinan Struktural, Pimpinan Puskesmas dan Petugas jaminan mutu di Puskesmas yang keseluruhan berjumlah 20 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah, dan telaah dokumen.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa penggerakan program jaminan mutu ISPA di Dinkes Kota Bandar Lampung tidak berjalan maksimal, walupun Kepala Dinas Kesehatan menetapkan mutu pelayanan menjadi prioritas utama, namun kegiatan masih bersifat jangka panjang yaitu peningkatan kualitas SDK; peningkatan sarana dan prasarana puskesmas dan puskesmas unit swadana. Pimpinan di tingkat bawahnya yaitu Kepala Subdin P2M pun tidak mempunyai kebijakan untuk program jaminan mutu ISPA. Penggerakan yang dilakukan oleh kepala dinas adalah dengan memotivasi namun tidak maksimal hanya bersifat pujian, tidak pernah mengkomunikasikan program jaminan mutu ISPA, tidak menunjuk koordinator untuk program tersebut. Kepala Subdin P2M pun tidak melaksanakan penggerakan karena tidak ada dukungan dari atasan, walaupun sudah mencoba mengalokasikan dana untuk kegiatan jaminan mutu ISPA, namun tidak terealisasi. Begitu juga di puskesmas pemahaman pimpinan puskesmas tentang penggerakan hanya terbatas bagaimana memotivasi staf. Puskesmas Simpur penggerakannya lebih baik jika dibandingkan dengan puskesmas Kota Karang, dimana pimpinan mempunyai kebijakan untuk program jaminan mutu ISPA, komunikasi dan koordinasi berjalan dan ada usaha dari pimpinan untuk mencapai keberhasilan program jaminan mutu ISPA.
Hasil penelitian ini menyarankan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk menumbuhkan komitmen Kepala Dinas Kesehatan KabupatenlKota dengan melaksanakan Lokakarya tentang jaminan mutu ISPA dengan tujuan membangun kesepakatan dan melakukan pelatihan Training of Trainer (TOT) Jaminan Mutu, serta memberikan stimulan untuk mengatasi hambatan seperti juklak, datar tilik, dan sarana. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung disarankan untuk melaksanakan lokakarya mutu di Dinkes Kota Bandar Lampung dalam rangka meningkatkan budaya kerja yang berwawasan mutu. Begitu juga di Puskesmas Kota Karang dan Simpur diharapkan pimpinan menerapkan budaya kerja berwawasan mutu dan tanggap akan perubahan serta meningkatkan kemampuan untuk memotivasi staf, berkomunikasi dan mengkoordinasikan program jaminan mutu ISPA melalui forum lokakarya mini bulanan. Pimpinan puskesmas meningkatkan kemampuan petugas dalam penggunaan obat rasional serta menghadapi hambatan ketenagaan dan dana dengan memanfaatkan tenaga yang ada sebaik mungkin dan mengalokasikan dana dari ristribusi puskesmas untuk jaminan mutu ISPA.
Daftar Pustaka ; 50 (1982 - 2002)

Qualitative Analysis Quality Assurance Actuating System of Acute Respiratory Tract Infection at Simpur and Kota Karang Community Health Centre, Bandar Lampung, 2003One of the ways to achieve "Healthy Indonesia 2010" is by increasing quality of health care services at Community Health Care through Quality Assurance. Quality Assurance System has been developed since 1998 in 3 (three) basic programs i.e. Antenatal Care, Acute Respiratory Tract Infection and Immunization. But, from the low coverage of Pneumonia in children below 5 year, it can be said that the result is far beyond what has been expected though some strategies has been carried out from the beginning, such as commitment and capacity building by training and institution alisation also making service quality becoming a custom in working environment. Based on this fact, researcher assumes that Quality Assurance movement did not run well.
The purpose of this research was to gather information about the background of Quality Assurance Actuating in Bandar Lampung. Method used in this research was qualitative method with analysis unit were the Head of Bandar Lampung Health Office and his subordinates, head of Community Health Centers and their staffs who are responsible for quality assurance program; it accounted for 20 person all together. Data collection was done by interviewing, discussion and document analysis.
The result showed us that Quality Assurance Actuating of Acute Respiratory Tract Infection in Bandar Lampung Municipality did not run well. Though the Head of Bandar Lampung Health Office determined service quality as priority, nevertheless they still conducted long-term activity such as Human Resources Development, superstructure and infrastructure building at Community Health Centers and "Unit swadana" His subordinate, the chief of P2M (Prevention and Eradication Contagious Diseases) Division did also not have policy related to Quality Assurance Program of Acute Respiratory Tract Infection. The only thing the Head of Municipality Health Office did, was giving motivation by praising them. He has never communicated this program and asked someone to become programme coordinator. The Chief of P2M (Prevention and Eradication Contagious Disease) Division did not do any activity related to this. Though she said that she already tried to allocate some funds for this, but because there was no support from her boss, nothing she can do about this. The same thing happened at community health centers. Their understanding about this movement, only limited on how to motivate staff. Compare with Kota Karang, Simpur Community Health Centre had better action on this movement. It can be seen from the policy she made, better communication and coordination, and hard efforts to achieve good result on this movement.
It is recommended that the Head of Province Health Office gather commitment from District I Municipality Health Office by holding Acute Respiratory Tract Infection Quality Assurance Program Workshop with the objective is to build commitment and conduct quality assurance training for TOT (training of trainer), besides give stimulant to solve problems. In addition, it is also suggested to carry out on the job training about quality to enhance quality awareness in the work environment. Kota Karang and Simpur Community Health Office should apply work environment based on quality and aware of changes, also improve capability to motivate staff, communicate and coordinate Acute Respiratory Tract Infection Quality Assurance Program through monthly "Mini Workshop ". It is hoped that Community Health Centre' Chief improve staff ability in using drug 1 medicine rationally and solving staff and fund burden by utilizing staff optimally and allocating fund from community health centres fee for Acute Respiratory Tract Infection Quality Assurance Program.
Bibliography ; 50 (1980 - 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainuddin Noor
"Factors Which Deal With Puskesmas Health Worker Compliance In Writing Ispa Recipe Non Pneumonia Based On Medication Guidance Book In Puskesmas Palembang Year 2003Drug Use non according to medication guidance is often met at central public health service (Puskesmas). From the result of several researches indicate that most ISPA patient of non pneumonia given antibiotic which shouldn't require to gave.
The research aim is to get the picture of Puskesmas health worker compliance and factors that deal with Puskesmas health worker compliance in applying medication guidance in Puskesmas.
The Research Type is cross sectional conducted in Puskesmas all over Palembang, research sample is the entire commissioned health worker in poly MTBS in 36 Puskesmas Palembang are 72 health worker. Analysis used Chi square and logistics regression.
Result of this research indicate that Puskesmas health worker compliance in Palembang still low that is 47 non obedient Puskesmas health worker (65,3%), while the rest 25 Puskesmas health worker (34,7%) is obedient From the Chi square result test known that factor relate with compliance of Puskesmas health worker in writing the ISPA recipe non pneumonia based on medication guidance book are work time, knowledge and supervise. From multivariate analysis known that the most dominant variable relates to Puskesmas health worker compliance is knowledge.
From this research result suggested that The Head of health in Palembang and The head of Puskesmas conducting the guide (Technical tuition) periodically to increase Puskesmas health worker knowledge in rational medication and rational drug use according to Puskesmas medication guidance book.
Reading enlists: 37 (1975-2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safwan
"Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak balita, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kejadian ISPA di Kota Padang memberikan kontribusi jumlah kasus ISPA di Propinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 11,15%, dengan kejadian sebesar 63,45%, sedangkan untuk wilayah puskesmas Alai didapatkan kejadian sebesar 51,39%. Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terhadap timbulnya ISPA adalah umur < 2 tahun, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah ( BBLR ), tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal dan defisiensi vitamin A.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor risiko lingkungan fisik rumah dan sumber pencemaran dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Disain studi yang digunakan adalah jenis rancangan kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang bertempat tinggal diwilayah Puskesmas Alai. Sampel adalah balita yang datang berobat ke puskemas dan balita yang tinggal dirumah terdekat dengan kasus. Jumlah sampel seluruhnya adalah sebanyak 318 responden (159 kasus dan 159 kontrol).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lingkungan fisik seperti ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian yang tinggi, kandungan particulate (PM10) yang tidak memenuhi syarat, ada sumber pencemaran seperti merokok dalam rumah serta penggunaan bahan bakar minyak tanah/kayu akan berpeluang untuk menderita ISPA. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah balita di Puskesmas Alai yang tinggal dirumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi persyaratan berpeluang untuk menderita ISPA sebesar 5,67 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang tinggal dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Saran yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah penyuluhan kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan perumahan sehat, dan memperbanyak ventilasi secara swadaya.

Physical Environment Health and Exposure Sources within Living House as Risk Factor of ISPA Incidence among Under Five (Case Control Study in Alai Health Center, Padang City 2003)Infant and under five often suffer from acute respiratory infection (ISPA), this became community health problem. In Padang city 63,0% ISPA incidence contribute 11,5% of ISPA incidence in West Sumatra, while in area covered by Alai health center incidence rate is 51,39%. Some of risk factor which influence ISPA age < 2 years, male, under nutrition, low birth weight (BBLR), not receiving adequate breastfeeding, air pollution, density of living house population, and A vitamin deficiency.
Objective of this study is to find out relation risk factors of physical environment and sources of exposure within living house with ISPA incidence among under-five. Design of this study is case control, population is under-five which living in covered area of Alai health center. Samples are under-fives who came to seek medication to health center and under-fives which living nearest to case. Total samples are 318 samples (159 cases and 154 controls).
Result of this study showed that under-five who lives in living house with physical environment condition which have inappropriate ventilation, high density of residence in living house, particulate (PM10) content higher than minimum level, sources of pollution such as cigarette smoke and fuel combustion in cooking would be have greater chance to suffer ISPA.
This study conclude that under-five in covered area by Alai health center which stay in living house with inappropriate ventilation could have chance to suffer ISPA 5,67 times than others who have good ventilation in their living house. It recommends conducting educational program about healthy environment, such as healthy house with good ventilation.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T 11358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvira Delviani
"ISPA merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Pada saluran pernapasan atas atau saluran pernapasan bawah. Bakteri dan virus penyebab penyakit ISPA umumnya ditransmisikan melalui udara yang tercemar.  Pada tahun 2017, penyakit ISPA di Kota Bekasi mencapai 34.573 jiwa. Pada tahun 2015-2017, penyakit ISPA menempati urutan pertama. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan spasial antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA di Kota Bekasi tahun 2017. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi ekologi dengan analisis spasial dan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan spasial antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA di Kota Bekasi tahun 2017, tetapi terdapat wilayah yang memiliki faktor lingkungan yang tinggi dan kasus ISPA yang rendah atau sebaliknya, sehingga jumlah faktor lingkungan dengan kasus ISPA di Kota Bekasi tidak linear sehingga hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan dalam menentukan peringatan dini (early warning) terhadap kasus ISPA di Kota Bekasi secara spasial. Dinas Kesehatan agar menjalin kerjasama lintas sektor dengan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Dinas Perhubungan untuk menekan angka kasus ISPA di Kota Bekasi.

ARI is a communicable disease caused by bacteria and viruses in the upper respiratory tract infection or lower respiratory tract infection. Bacteria and viruses that causes ARI are generally transmitted by polluted air. In 2017, ARI cases in Bekasi have reached 34.573 people. Between 2015-2017, ARI in Bekasi City places 1st on communicable disease. The research is aimed to spatial relationships between environmental factors and ARI cases in Bekasi City 2017. It then uses an ecological study with spatial analysis from secondary data. The results showed is a spatial relationship between environmental factors and ARI cases in Bekasi City 2017, but there are some villages that have high environmental  factors and low ARI cases. In spatially, data about environmental factors and ARI cases in Bekasi City is not linear so that it can not be used a bechmark in determine early warnings/predictions of ARI cases in Bekasi City. Dinas Kesehatan Bekasi must establish cross-sector coorperation with Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Perhubungan, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan and Dinas Perdagangan dan Perindustrian to reduce ARI cases in Bekasi City."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Martriandra
"Proses pelaksanaan supervisi program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau P2 ISPA yang dilaksanakan mempunyai arti sangat penting terutama dalam pelaksanaan pelayanan P2ISPA di Puskesmas. Dalam pelaksanaan kegiatan supervisi pelaksanaan program P2ISPA tingkat Puskesmas di Kabupaten Ogan Komering Ilir terlihat tren yang terus menurun dari tahun ketahun yang memberikan dampak menurunnya cakupan program P2ISPA.
Penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif untuk mengetahui tentang proses pelaksanaan supervisi dan memperoleh informasi lebih jauh tentang hal-hal yang melatarbelakangi pelaksanaan supervisi program P2ISPA di puskesmas Kutaraya dan puskesmas Indralaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Penelitian ini diharapkan akan dapat memeberikan pemahaman yang lebih mendalam mengingat masih kurangnya data maupun informasi tentang penelitian proses pelaksanaan supervisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa. Secara umum proses pelaksanaan supervisi , (sejak mulai dari perencanaan ,jadwal supervisi,frekuensi kegiatan, maupun dalam pelaksanaannya berupa pengamatan, pembinaan maupun pembimbingan serta pemecahan masalah, sisi pencatatan dan pelaporan kegiatan ;reed back) kenyataannya belum memenuhi harapan.
Kesimpulan dari penelitian ini dapat dikemukakan bahwa belum baiknya kegiatan proses pelaksanaan supervisi program P2 ISPA yang dilaksanakan di puskesmas Kutaraya dan puskesmas Indralaya, dilatarbelakangi oleh kemampuan manajemen.yang belum baik, upaya perbaikan yang berkesinambungan melalui pendekatan Qualitiy Improvement tidak dilembagakan serta pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten yang intensitasnya masih rendah dalam pelaksanaan program P2ISPA dilapangan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan serta kesimpulan yang dapat diambil, dapat diberikan saran kepada atasan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ilir untuk melakukan upaya pelatihan bagi pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas dalam rangka penguatan kegiatan supervisi. Dengan memanfaatkan peluang otonomi daerah, hal lain yang teramat penting adalah pengadaan sarana maupun dana dalam pelaksanaan supervisi program P2ISPA melalui advocacy kepada Pemerintah Daerah Kabupaten maupun DPR sebagai upaya kesinambungan melalui pendekatan Quality Improvement. Bagi puskesmas sendiri, diperlukan inisiatif untuk memberdayakati seluruh petugasnya melalui pelatihan dan pembinaan tingkat puskesmas pada setiap kesempatan pertemuan puskesmas.

Process Analysis of Supervision on Eradication Acute Respiratory Tract Infection (ARI) Program at 2 Community Health Centers, Kutaraya and Indralaya Ogan Komering Regency 2001.Background: The aim of this study is to know and to get further information about the process of supervision. Supervision is very important to improve the performance of eradicataion Acute Respiratory tract Infection ( ARI ) program at the community Health Centers in Ogan Komering Ilir regency, South Sumatera. Eradication ARI program in this regency, still faces problems, i.e. low target/ coverage, and high underfive morbidity and mortality, and the ongoing evaluation tends to decline within the last three years.
Methods: This study wa a qualitative using indepth interview and observation The location of this study was decided through 2 subdistrict Health Centers, at Kutarya and Indralaya. The subjects were health workers who conduct and responsible to the eradication of ARI
Result : Results showed that the proces of planning, scheduling, guiding! problem solving, recording/reporting and feed back activity conducted by the health workers are still the main problem. There are lack of leadership, on the job training, and teamwork problem solving at those 2 Subdistrict Health Center. This study also indicates that supervision was one of the most effective effort to improve the perfonnance of eradication of ARI program at the community health centers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Agus Budiyono
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia, dan tersebar merala di seluruh daerah. Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang, sedangkan di negara-negara berkembang kematian akibat TB merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang, 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). (WHO, 1997).
Pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kota Jakarta Timur telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ketahun mengalami peningkatan, Penyakit TB Paru menduduki urutan ke-tiga kelompok penyakit menular. Hal ini menunjukkan bahwa TB Paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di wilayah Kota Jakarta Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Jakarta Timur. Jenis penelitian adalah observasional dengan desain 7 kasus kontrol, Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+) dan sebagai kontrol adalah masyarakat yaitu tetangga kasus yang tidak sedang menderita TB Paru atau tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel sebanyak 88 kasus dan 88 kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah adalah umur, adanya kontak dengan sumber penular, lamanya kontak, status pengobatan sumber penular, ventilasi kamar dan cahaya matahari masuk rumah.
Dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+), ternyata adanya sumber penular yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang paling erat hubungannya dengan kejadian TB Paru.
Dari hasil penelitian, disarankan penemuan penderita secara dini dan mengobati dengan paduan OAT yang tepat dengan didampingi pengawas menelan obat, meningkatkan pelaksanaan strategi DOTS, memperluas jangkauan pelayanan, melaksanakan pemeriksaan kontak dan pengobatan pencegahan bagi balita.
Daftar pustaka : 36 (1979 - 2002)

Related Factors to Pulmonary Tuberculosis (Tb) in East Jakarta City in year 2003 The tuberculosis (TB) remains a serious public health problem in Indonesia and spread to countrywide. WHO has estimated that 9 million of new cases was occurred yearly, of which some 3 million deaths. In developing countries there are 25% deaths by tuberculosis. It is estimated 95% TB cases were occurred in developing countries, which some 75% cases preventable occurring in the 15-50 age group, the most productive segment of the population.
TB control program activities with DOTS strategy has been implemented since 1995 in East Jakarta City. Due to the increasing of case finding activities the new AFB (+) patients increased, so tuberculosis still remaining as major public health problem.
The objective of the research is to identify the related factors to pulmonary tuberculosis in East Jakarta City. The design of research is case-control. The case is the AFB (+) tuberculosis patients, while the control is the neighbor of cases as community based control, were not coughing for 3 weeks and more at the time of the interview. Total cases are 88 cases, and the control are 88 respondents.
The result of the study reveals that related factors to pulmonary tuberculosis are age, source of infection, duration of contact with source of infection, the source of infection who were not treated, room ventilation, and sunlight into the house.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with untreated source of infection is the closely related to the tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, providing early treatment with patent drugs, increasing of DOTS strategy implementation, program expanding. contact examination and treatment prevention to child.
References: 36 (1979 - 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Nuraini Santi
"Salah satu dampak penting yang diakibatkan pembangunan industri adalah perubahan kualitas udara yang disebabkan oleh pencemaran udara. Bahan pencemar yang telah bercampur dengan udara disebut ambien ini akan masuk ke dalam rumah, terutama rumah penduduk yang berada disekitar lokasi industri tersebut. Sebagai lingkungan mikro, rumah merupakan tempat yang berpotensi sebagai tempat pemajanan terhadap pencemaran udara, Hasil survey masyarakat Indonesia mendapatkan bahwa ISPA menduduki urutan pertama dari 10 penyakit terbesar. Masalah ISPA ini juga merupakan kontribusi dari beberapa faktor resiko, yaitu faktor kualitas udara dan faktor kondisi fisik rumah maka yang menjadi rumusan masalah adalah belum diketahuinya hubungan kualitas udara dalam rumah dan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita yang tinggal di pemukiman sekitar Kawasan Industri Medan Tahun 2003.
Tujuan dari studi ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kualitas udara dalam rumah dan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita yang tinggal dipemukiman sekitar Kawasan Industri Medan pada tahun 2003. Disain studi yang digunakan adalah Cross Sectional. Kualitas udara yang diukur pada penelitian ini adalah PMio, temperatur, dan kelembaban, dan parameter fisik rumah yang dilihat adalah bangunan rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian dan sumber pencemaran dalam rumah, sedangkan karakteristik individu sebagai faktor pengganggu.
Sebanyak 112 anak yang diteliti, 66,1% menderita ISPA dalam 2 minggu terakhir. PM10 dalam rumah, ventilasi rumah dan letak dapur mempunyai hubungan yang bermakna secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita yang tinggal di pemukiman tersebut Kadar PM10 dalam rumah yang lebih besar atau sarna dengan 90 µgram/m3 meningkatkan resiko balita terkena infeksi saluran pernapasan sebesar 9,1 kali dari pada balita yang tinggal dirumah dengan kadar PM10 dalam rumah lebih kecil dari 90 µgram/m3. Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi rurnah yang tidak memenuhi syarat mempunyai resiko terkena ISPA 13,2 kali daripada balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi memenuhi syarat. Rumah dengan letak dapur yang tidak terpisah dengan ruangan lain mempunyai resiko untuk rnenyebabkan infeksi saluran pemapasan akut pada balita sebesar 8,2 kali dibanding dengan rumah yang letak dapurnya terpisah. Kualitas udara ambien dapat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah dengan kekuatan hubungan sedang (r-0,288). Setelah dikontrol dengan PM10 dalam rumah dan letak dapur, ventilasi rumah merupakan variabel yang paling kuat hubungannya dengan kejadian ISPA pada balita.
Disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas udara dalam rumah PM10 dan kondisi fisik rumah (ventilasi dan letak dapur terpisah) dengan kejadian ISPA pada balita. Meningkatnya kadar PM10 ambien akan meningkatkan kontribusi terhadap kadar PM1O dalam rumah, Perlu menjadi perhatian oleh pemerintah setempat untuk melakukan upaya-upaya yang lebih intensif dalam mengontrol seluruh kegiatan yang berpotensi menghasilkan polutan pencemar udara dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai kondisi lingkungan pemukiman.

Relationship between Indoor Air Quality and House Physical Condition and ARI Incidence among Infant and Under five in Residential Area Close to Medan Industrial Area Year 2003One important impact caused by industrial development is negative changes in air quality due to air pollution. Pollutant that mixed up with air called ambient will enter the house, particularly housing near by the industries location. There is an indication of potential health danger in not only ambient air quality but also indoor air quality. Health survey in Indonesia showed that ARI was in number one position of 10 major diseases. ARI also caused by several risk factors, like air quality and house parameter, the problem is the relationship between air quality and house parameter with ARI prevalence among infant and under five children lived in residential area close to Medan Industrial Area year 2003 is unknown.
This study aimed to investigate the relationship between indoor air quality and house physical condition and ARI prevalence among infants and under five children lived in residential area close to Medan Industrial Area in year 2003. The design of this study was cross sectional. Air Quality was measured by PM10, temperature, and humidity. While the house parameter included house building, house ventilation, house density, and contamination sources in house. Individual characteristics played role as confounders.
Out of 112 children, 66,1% suffered from ARI in the last two weeks. The study showed that indoor PM10, house ventilation, and kitchen location were significantly associated to ISPA prevalence. The level of indoor PM10 similar or higher than 90 µg/m3 would increase the risk of ARI 9,1 time higher compared to level of indoor PM10 less than 90 µg/m3. Infant and under five living in house with improper ventilation had risk of ARI 13,2 higher than those who living in house with improper ventilation. Those living in house kitchen inseparably located to other room had 8,2 times higher risk of ARI compared to those who living in house with separate kitchen location. Correlation analysis showed a moderate (r 0,288) correlation between ambient air quality and indoors air quality. After controlled by indoor PM 1 0 and kitchen location variables, house ventilation was the strongest variable related to ARI prevalence among infant and under five children.
The study concluded, indoor PM1O and house parameter (house ventilation and separated kitchen location) related to ARI prevalence among infant and under five children. Increased ambient PMIO can give a contribution to indoor PM10. The government must give an attention to control all the activities potential produces pollutant air pollution and give an education to community who live in that area about the house environmental condition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruli Handajani
"Hasil survei kesehatan nasional menyatakan prevalensi ISPA masih tinggi, terutarna pada balita dan anak-anak termasuk di kota Palembang. Masalah ISPA sangat terkait dengan kualitas udara baik di luar ruangan maupun dalam ruangan. Sekolah merupakan salah satu tempat dimana masyarakat melakukan aktivitas didalam ruangan setiap harinya. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah kejadian penyakit gangguan saluran pernafasan pada anak-anak cukup tinggi di kota Palembang, yang akan berakibat pada peningkatan jumlah ketidakhadiran siswa di sekolah dan akan mengganggu proses belajar mengajar.
Tujuan dari studi ini melakukan anahsis konsentrasi PM2,5 dan gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah dasar negeri di kota palembang tahun 2004. Disain studi yang digunakan adalah Prospective cohort Study. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah PM2,5, temperatur, kelembaban, pencahayaan , luas ventilasi dalam ruangan kelas sedang yang diamati adalah jenis lantai dan kepadatan siswa. Kecepatan angin diukur sebagai variabel pendahulu, sedangkan karakteristik individu sebagai faktor pengganggu.
Sebanyak 144 anak yang berasal dari 6 SD Negeri di kota palembang yang diteliti, 38,9% menderita gangguan saluran pernafasan (pengamatan dilakukan selama 1 bulan). Konsentrasi PM2,5dalam ruangan kelas, suhu ruangan kelas dan jenis kelamin mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah dasar negeri. Kadar PM2,5dalam ruangan kelas tinggi (>65µg/Nm3/24jam) meningkatkan risiko anak terkena gangguan saluran pernafasan sebesar 2,6 kali daripada anak yang berada di ruangan kelas dengan kadar PM2,5 rendah (<65 µg/ Nm3/24jam). Anak yang berada di ruangan kelas dengan suhu tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena gangguan saluran pernafasan 2,2 kali daripada anak yang berada diruangan dengan suhu memenuhi syarat. Anak laki-laki mempunyai risiko terkena gangguan saluran pernafasan 1,7 kali daripada anak perempuan. Kecepatan angin mempengaruhi konsentrasi PM2,5 dalam ruangan kelas dengan kekuatan hubungan kuat (r---0,589). Konsentrasi PM2,5 dalam ruangan kelas merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah dasar negeri.
Disimpulkan bahwa ada hubungan antara kadar PM2,5 dalam ruangan kelas dengan kejadian gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah dasar negeri di kota Palembang.Oleh karena itu perlu penyebaran informasi yang lebih intensif kepada kepala sekolah dan guru dengan peneebaan pentingnya kebersihan lingkungan di sekolah serta Dinas Kesehatan Kota Palembang melakukan pemantauan dan pemeriksaan kualitas udara ruangan sekolah dasar secara periodik setiap tahunnya.
Daftar bacaan : 60 (1986 - 2004)

Analysis of PM2,5 Concentration and Respiratory Tract Disorder Among the Students of State Elementary Schools (SD Negeri) in Palembang in 2004Survey on National Health shows that prevalence of Acute Tract Respiratory Infection is still high especially among infants and children including in Palembang. Acute tract respiratory infections is connected to both indoor and out door air quality. What will be taken into account is the occurrence of the Acute Tract Respiratory Infection that is relatively high among the children in Palembang that causes high incident of student absence, which will disturb education process.
The purpose of this study is to analyze concentration of PM2.5 and respiratory tract disorder among the students of state elementary schools (SD Negeri) in Palembang in 2004. The applied design for this study is Prospective cohort Study. The measured parameters in this research are PM2,5, temperature, humidity, lighting, ventilation wide in the class. Observed parameters are the material of the floors and the number of the students in the classroom. Wind speed is measured as a initial variable while individual characteristics is considered as disturbing factor.
There are 144 students from six SD Negeri in Palembang who are observed and 38,9% have suffered from respiratory tract disorder (observation were done in a month). The concentration of PM2.5 in the classroom, temperature, and gender have a significant relation with the occurrence of respiratory tract disorder among the students. The high concentration of PM2.5 in the class (>65 µg/Nm3/24hour) increases the risk of the disease among the students 2.6 times than those who are in the classroom with the lower PM2,5(<65 µg/Nm3/24hour). The students who are in the classroom tack of the ideal temperature will have a risk to suffer 2.2 times than those who are in the ideal ones. The boys have 1.7 times bigger risk of suffering the disease than the girls. The wind speed have a strong impact on the concentration of PM2,5 in the classroom (r--0,589).
In conclusion, there is a significant relation between the concentration of PM2,5 in the classroom with the occurrence of respiratory tract disorder among the students of SD Negeri in Palembang. Therefore, it is highly crucial to spread the information about the health environment issue in the school to the headmasters or teachers intensively. Eventually, the Department of Health in Palembang (Divas Kesehatan) should monitor and examine the indoor air quality in elementary schools annually.
References : 60 (1986 - 2004)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustin
"Pencemaran udara merupakan masalah yang terjadi di kota besar seperti Jakarta, dimana hal ini dapat menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan pada manusia. Gangguan kesehatan berupa penyakit saluran pernafasan yang dapat terjadi antara lain adalah penyakit ISPA, Bronkitis dan Asma.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecenderungan kejadian pencemaran udara dan kecenderungan penyakit pernafasan serta untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi pencemaran udara dengan kejadian penyakit saluran pernafasan di DKI Jakarta Tahun 2003-2004. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan disain studi ekologi.
Konsentrasi rata-rata tahunan zat pencemar udara adalah SO2 (4,9 ppb), NO2 (26,5 ppb), NO adalah (40,1ppb), NOx ( 64,8 ppb) dan partikulat (TSP) (92,79 ug/m3) . Rate penyakit saluran pernafasan per 100.000 penduduk memiliki rata-rata untuk ISPA adalah 1682,2, bronkitis 18,3 dan asma 56,3. Hubungan yang signifikan terjadi di beberapa kecamatan. Parameter yang signifikan di beberapa kecamatan adalah SO2 dengan ISPA, SO2 dengan bronkitis, NO dengan bronkitis, NO dengan asma, dan NOx dengan ISPA.
Kejadian penyakit saluran pernafasan kemungkinan disebabkan oleh pencemaran udara Penanggulangan dapat dilakukan dengan penyediaan transportasi umum yang nyaman dan substitusi bahan bakar kendaraan dengan bahan bakar yang ramah lingkungan serta pengaturan tata guna lahan dan tata ruang perkotaan.
Daftar Pustaka : 47 (1993-2004)

The Correlation Between Ambient Air Quality and Cases of Acute Respiratory Infection, Bronchitis, and Asthma in DKI Jakarta During 2003 ? 2004 (An Ecological Study in 15 Sub Districts)Air pollution is a problem commonly in large cities such as Jakarta and cause various respiratory problems such as acute respiratory infections (ARI), bronchitis, and asthma.
This study aims to determine the concentration of air pollution and the tendency of respiratory problems, as well as to determine the correlation between concentration of air pollution and incidence of respiratory infections in DKI Jakarta during 2003-2004. This study is descriptive in nature and is an ecological study in design.
The air pollutants annual are SO2 (concentration of 4.9 ppb), NO2 (26.5 ppb), NO (40,.ppb), NOx ( 64.8 ppb) and particulate matter (TSP) (92.79 uglm3) . The average rate of incidence per 100.000 people is 1682,2 for ART, 18,3 for bronchitis and 56,3 for asthma. Significant correlation of parameters in several districts are SO2 with ARI, SO2 with bronchitis, NO with bronchitis, NO with asthma, and NOx with ARI.
Respiratory problem are caused by air pollution. Means to minimize the number of cases include a better arrangement of land use, the available of pubic transport and substituting gasoline fuel with environment friendly fuel.
Bibliography: 47 (1993-2004)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Fahmi Achmadi
"ABSTRAK
Angka kematian dan Kesakitan Balita (Bayi dan anak umur bawah 5 tahun) amat penting untuk dikaji, karena merupakan salah satu indikator kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Salah satu penyakit penyebab kematian adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas. Banyak penelitian dan teori yang hanya menitik beratkan hubungan timbulnya ISPA dengan faktor-faktor non lingkungan, seperti imunisasi, status gizi, pemberian ASI dan lain-lain. Penelitian ini mencoba menghubungkan antara kejadian ISPA sebagai dependen variabel, dengan faktor-faktor seperti, kualitas udara, sosial ekonomi, ventilasi rumah, kepadatan penghuni, imunisasi, status gizi, berat badan bayi dun pemberian AST. Penelitian dilakukan di lingkungan warga kelurahan Utan Kayu dan Malaka Jaya, Jakarta Timur antara bulan Oktober dan Desember 1990.
Penelitian dilakukan secara prospektif (cohort) selama 3 bulan, untuk memantau kejadian ISPA melalui Posyandu. Untuk mengukur variabel independen dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Dari analisis didapatkan bahwa, faktor kualitas udara rumah, memiliki hubungan erat dengan kejadian ISPA. Kemudian berturut-turut kejadian ISPA juga berhubungan dengan status sosial ekonomi, kepadatan hunian rumah, dan gizi balita serta imunisasi. Untuk itu faktor lingkungan terbukti memegang peran penting dalam kejadian timbulnya Infeksi Saluran Nafas bagian Atas pada Balita.

ABSTRACT
The infant mortality and morbidity rate are important to be assessed since they are good indicators reflecting the health and wealth status of the nation. Among underlying causes of death was the Upper Respiratory Tract Infection (URTI). Many studies have been done, yet they are mostly focuses on non-environmental factors, such as immunization, knowledge of the mothers etc.
Therefore study has been done in the urban area of Jakarta, which relates the URTI as dependent variable with other independent variables such as, nutritional status, knowledge of the mothers, history of immunization, history of birth weight, socio economic status, dwelling density; air quality, ventilation of the house; and history of breastfeeding. The design of the study was considered as cohort studies, for assessing the episode of URTI within 3 months. Other variables were measured by interviews and observation. The analyses indicated that, the air quality was the most factor having relationship with the episode of URTI, followed by other factors. They are dwelling density in the house, socio-economic status, nutritional status and history of immunization. Therefore the study concluded that the environmental factors should be considered most, when developing program such as minimizing the URTI program.
"
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1990
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>