Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juhandi
"Salah satu indikator yang digunakan untuk rnengukur tingkat kemajuan fase awal pengobatan penyakit tuberkulosis, adalah kejadian konversi dimana seseorang yang semula terdeteksi sebagai penderita dengan BTA positif berubah setelah diobati menjadi BTA negatif. Kejadian konversi diharapkan terjadi tepat waktu sesuai dengan standar program untuk masing-masing kategori pengobatan, karena keterlambatan ditemukannya seorang penderita mencapai konversi pada fase awal pengobatan akan berpengaruh kepada keadaan penderita dan pola pengobatan selanjutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku berobat terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatan penderita TB paru di Kota Tasikmalaya tahun 2001.
Rancangan penelitian yang dipergunakan yaitu kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 164 yang menurut perbandingan 1:1 terdiri dari 82 kasus dan 82 kontrol. Sampel adalah penderita TB paru berumur 15 tahun atau lebih yang mendapat pengobatan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shartcourse) kategori 1 dan 2, yang berobat ke puskesrnas di Wilayah Kota Tasikmalaya sejak 1 Januari 2001 sampai 31 Desember 2001 telah menyelesaikan fase awal pengobatan.
Kasus adalah sampel yang terlambat ditemukan konversi pada batas waktu fase awal pengobatan yaitu lebih dari 60 hari untuk kategori atau lebih dari 90 hari untuk kategori 2. Sedangkan kontrol adalah sampel yang mencapai konversi sesuai batas waktu fase awal pengobatan yaitu antara hari ke 53 - 60 untuk kategori 1 atau antara hari ke 83 - 90 untuk kategori 2.
Hasil penelitian dengan uji statistik multivariat regresi logistik, menunjukkan bahwa perilaku berobat penderita berpengaruh terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatan TB paru dengan nilai rasio odds 3,75 dan 95%C1=1,83 ; 7,68. Artinya penderita TB paru yang berperilaku berobat kurang baik memiliki risiko 3,75 kali untuk mengalami keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatannya dibanding dengan penderita TB paru yang berperilaku berobat baik. Pada penelitian ini tidak ditemukan variabel lain yang berinteraksi hanya ada satu variabel yang berpotensi sebagai pengganggu yaitu pelayanan petugas. Dengan demikian maka variabel-variabel covariat berpengaruh secara bebas terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada fase awal pengobatan penderita TB paru.
Untuk lebih efektifnya pengobatan TB paru, perlu pendekatan yang lebih baik melalui pengembangan komunikasi, informasi dan edukasi di antara petugas kesehatan, penderita dan Pengawas Makanan Obat (PMO), yang mengarah kepada pemberian motivasi kepada penderita agar memiliki perilaku berobat yang baik sesuai program.
Daftar Pustaka : 24 (1980 - 2001)

Influence of Treatment Behaviour to Late Have Been Met of Conversion at the End of the Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment in Tasikmalaya City, 2001One of indicator to determine the treatment response among sputum smear positive cases is sputum conversion, after initial phase. Sputum conversion event be hope not late but still remain in the range of normal time of treatment standard program. A late sputum conversion time during the intensive phase of treatment will affect the patients treatment.
The objective of the study is to know the influence of treatment behavior of the tuberculosis patient to late have been met of conversion at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Tasikmalaya City, 2001.
The research design used is case-control study where the total samples taken was 164. The comparison of cases and control is 1:1 where total cases 82 and total control 82. Samples were the Pulmonary Tuberculosis of 15 years old or more who obtained the therapy on DOTS strategy using the first and second category of tuberculosis drugs they took treatment at the Community Health Center since January 1 - December 31, 2001 untill conversion of the intensive phase of treatment.
A case is the sample who attended the sputum conversion more than 60 days for the intensive phase who took the first category of treatment and 90 days of the second category. The control is the sample who has the sputum conversion happened at the normal range of time of conversion which varies from 53 to 60 days for category I and 83 to 90 days for category II.
The result of the research after using logistic regression multivariate statistic test shown that treatment behavior will tend to the lateness of sputum conversion during the intensive phase with the odds ratio 3,75 and 95%CI=1,83 ; 7,68. It means that these who attend not good treatment behavior has 3,75 times the risk of the late sputum conversion than these who take a good treatment behavior. There was no interaction or confounding variables, therefore covariate variables have independently influences to the lateness of sputum conversion in the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment.
To make more effective of the pulmonary tuberculosis treatment, it is still needed for better approach like the best communication, information and education, between medical ability, tuberculosis patient and treatment observer, and a good motivation approach in order to have a good treatment behavior.
References : 24 (1980 - 2001)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idrus Salim
"Proporsi ketidakpatuhan penderita Tb paru berobat di beberapa daerah di Indonesia, angkanya bervariasi dan umumnya masih tinggi mulai dari 30 % sampai dengan 65 %. Kepatuhan berobat sangat penting karena berhubungan dengan resistensi. Di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat penderita Tb paru dengan pengobatan kategori 1, tidak patuh berobat sebesar 38,88 %, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi masih cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi penderita terhadap peran pengawas menelan obat dengan kepatuhan penderita Tb paru berobat di kota Padang tahun 2001. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu satu setengah bulan dengan menggunakan data primer.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus kontrol. Sampelnya adalah sebagian atau seluruh penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang berobat ke Puskesmas di Kota Padang dari 1 Januari 2001 s/d 31 Desember 2001 yang memdapat obat anti tuberkulosis (OAT) kategori I. Jumlah sampel sebesar 260 responden, yang terdiri dari 130 responden sebagai kasus dan 130 responden sebagai kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang tidak patuh berobat terpapar oleh aktivitas PMO kurang baik 18,95 kali lebih besar, dibandingkan dengan probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang terpapar dengan aktivitas PMO baik, setelah dikontrol oleh penghasilan keluarga dan pengetahuan penderita.
Pengukuran dampak potensial memberikan informasi adanya kantribusi aktivitas PMO kurang baik terhadap terjadinya ketidakpatuhan penderita Tb paru BTA positif berobat di Kota Padang sebesar 81,46 %.
Penelitian ini menyarankan kepada pengelola program perlu meningkatkan pengetahuan dan motivasi pengawas menelan obat, agar dalam melaksanakan tugas pengawasannya berjalan secara aktif. Meningkatkan pengetahuan penderita mengenai penyakit Tb paru serta akibat bila tidak patuh berobat. Dan perlu di teliti lebih lanjut terhadap variabel jenis PMO dan pekerjaan serta penghasilan keluarga dengan sampel yang lebih besar.

The Relationship of the Perception of Tb Patients on the Role of Treatment Observer and Compliance of Pulmonary Tuberculosis Patients in Padang, 2001The proportion of tuberculosis patients who does not take treatment regularly in Indonesia varies with areas, with the number ranging from 30 to 65%. Regularity in taking treatment is very crucial because it relates to drug resistance. In Padang, West Sumatra, category I tuberculosis sufferers who do not take treatment regularly is 38, 88%. Hence, the possibility of resistance is still high. The objective of the research is to study the perception relationship between the role of drug intake supervisors (DIS) or treatment observer and compliance of pulmonary tuberculosis patient attending the treatment in Padang in 2001. This study was conducted during a month and a half period using primary data.
The design used is case-control study. Its sample consists of all pulmonary TB patient age 15 or above who take treatment at public health centers in Padang from January 1 to December 31, 2001. All of TB patient received-category I anti-tuberculosis drugs. The size of the sample is 260; the respondents consist of 130 as cases and another 130 as controls. The study found that the probability of positive sputum acid fast bacilli (category I) pulmonary TB patient who do not take treatment regularly under insufficient supervision of drug intake supervisors (DIS) is 18.95 times higher than the probability of category I pulmonary TB patients who do not take treatment regularly under sufficient supervision of drug intake supervisors (DIS), after improvement of family income and knowledge level of TB patients.
As a conclusion, potential impact measurement provide information that insufficient activities of drug intake supervisors contribute to the irregularity of category I pulmonary TB patients in taking treatment in Padang of 81.46%.
It is recommended to all program directors to improve knowledge and motivation of treatment observer and compliant in order to increase effectiveness of their supervisory duties. In addition, they should also improve knowledge of pulmonary TB patients and communicate negative impacts of not taking treatment regularly. And research of this kind should be expanded in the future, especially that relates to drug intake supervisors types, jobs, and family income, with bigger samples.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T7857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Panduasa
"Konversi pada pengobatan penderita TB paru merupakan tanda keberhasilan pengobatan dan pencegahan penyebaran kuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh merokok terhadap kegagalan konversi penderita TB Paru.
Penelitian ini menggunakan disain kasus kontrol. Kasus adalah penderita yang mengalami kegagalan konversi Sedangkan kontrol adalah penderita yang mengalami konversi. Hasil akhir didapatkan penderita dengan riwayat merokok sebelum pengobatan mendapatkan rasio odds 4,92 kali (CI95% 1,6-14,51) terjadi kegagalan konversi dan penderita yang merokok pada saat pengobatan tuberkulosis mendapatkan rasio odds 13,77 kali (CI 95% 4,6-41,01) terjadi kegagalan konversi setelah dikontrol umur, keteraturan berobat, penyakit diabetes melitus. Maka penderita tuberkulosis perlu berhenti merokok selama pengobatan.

Conversions is a sign of the success of the treatment and prevention of the spread of germs. This study aimed to determine the effect of smoking on conversion failure patients with pulmonary TB. This study used a case-control design. Cases were patients who experienced failure of conversion while controls were patients who experienced conversion. The final results obtained patients with a history of smoking prior to treatment to get an odds ratio of 4.92 times (CI95% 1.67 to 14.51) conversion failure and patients who smoked at the time of treatment for tuberculosis getting odds ratio 13.77 times (95% CI 4 0.62 to 41, 01) conversion failure after controlling age, regularity of treatment, disease diabetes mellitus. So tuberculosis patients have to stop smoking during tuberculosis treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarman
"Penderita TB yang telah selesai pengobatan namun tidak melaksanakan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan jumlahnya mencapai 117 orang (20% dari total penderita). PMO mempunyai tugas untuk mengingatkan penderita agar melaksanakan periksa ulang dahak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran PMO dengan kepatuhan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan.
Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA positif, berumur > 15 tahun yang telah selesai mendapatkan pengobatan kategori 1 dan tidak melakukan periksa ulang dahak pada bulan ke-5 atau akhir pengobatan (104 kasus).
Hasil penelitian menunjukan bahwa peran PMO yang kurang baik mempunyai berisiko sebesar 3,013 kali untuk menyebabkan penderita tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan dibandingkan dengan penderita yang peran PMOnya baik (95% CI 1,615 ? 5,621) setelah dikontrol variabel penyuluhan petugas dan pengetahuan penderita.
Peran PMO yang baik berhubungan bermakna dengan kepatuhan penderita melaksanakan periksa ulang dahak. Untuk itu PMO hendaknya mengingatkan dan memotivasi penderita untuk periksa uang dahak, PMO dibekali buku saku/ pintar TB, PMO hendaknya melakukan kunjungan rumah pada penderita yang mangkir. Selain itu petugas hendaknya dibekali pengetahuan untuk meyakinkan penderita melakukan periksa ulang dahak. Penderita yang sudah sembuh dapat dijadikan pilihan alternatif sebagai PMO.

Patients with TB who had completed treatment but did not perform recheck sputum at the end of treatment phase the number reached 117 people (20% of total patients). PMO has a duty to remind the patient to carry out recheck the sputum. This study aims to determine the assosiation role of the PMO with the compliance recheck sputum at the end of treatment phase.
The design study is a case-control. Cases are smear positive pulmonary TB atients, aged > 15 years who had completed a treatment category 1 and did not recheck the sputum at month 5 or the end of treatment (104 cases).
The results showed that the PMO's role is less well having 3.013 times the risk of causing the patient is not adherent to recheck the phlegm in the final phase of treatment compared with patients who either PMO role (95% CI 1.615 to 5.621) after the controlled variable extension officers and the knowledge of the patient.
PMO role of good patient compliance associated with implementing meaningful recheck the sputum. For that PMO should remind and motivate patients to recheck sputum, PMO provided a pocket book/ smart TB, the PMO should conduct home visits to patients who defaulted. Additionally the officer should be equipped with the knowledge to convince patients to check the sputum. Patients who had recovered can be used as an alternative choice as the PMO."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eulis Wulantari
"Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan suatu pengobatan yang telah dicapai adalah dengan melihat angka konversi pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan (fase awal). Tingginya angka konversi diharapkan akan diikuti oleh tingginya angka kesembuhan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol berpadanan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Population target dari penelitian ini adalah 46 puskesmas dari 101 puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor, dengan jumlah sampel penelitian terdiri dari 50 kasus dan 100 kontrol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keteraturan berobat dengan kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal pada penderita TB Paru BTA positif. Variabel independen adalah keteraturan berobat sebagai variabel utama, dan variabel lain yaitu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit (lama batuk darah), penyakit komorbid (diabetes melitus, asma rematik artritis) dan vaksinasi BCG. Variabel dependen adalah kegagalan konversi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB paru BTA positif yang teratur berobat pada kasus adalah sebesar 44% dan yang teratur berobat pada kontrol adalah sebesar 89%. Keteraturan berobat dari lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan pada fase awal. Setelah dikontrol dengan variabel lain, terbebas dari interaksi dan faktor konfounding maka model akhir dari kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal adalah keteraturan berobat yang membetikan risiko sebesar 1/8 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak teratur berobat.
Berdasarkan hasil penelitian, dianjurkan pada pelaksana program puskesmas untuk melakukan pemantauan makan obat dengan memotivasi penderita maupun dengan mengoptimalkan fungi pengawas makan obat (PMO). Disamping itu anamnese yang mendalam terhadap penderita diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya batuk darah dan lamanya batuk darah sebelum mendapat pengobatan.
Pada peneliti lain di sarankan untuk melakukan penelitian disain kohor dengan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Sehingga informasi yang diperoleh berguna dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan penyelenggaraan program TB Paru.

Regular Treatment and Failure Occurrence Risk after Initial Treatment Phase At Pulmonal Tuberculosis in Bogor Distric from 1999 to 2001Failure after initial phase treatment acts as an indicator in analyzing the improvement of the treatment in the initial phase. Conversion rate is expected to be followed by cure rate.
The research is designed as a matched case control study, and the data collected in this thesis are primary and secondary data. The target population of this research is those covered by 46 Health Centers of 101 Health Centers spread all over Bogor District. The number of the eases participate in this study is fifty while the control is one hundred.
The purpose of this thesis is to examine the relationship between treatment regularity patient and the occurrence of conversion failure after initial treatment phase. The independent variable of this research is treatment regularity as the main variable, while age, sex, severity of decease (prolonged bleeding cough), comorbid diseases (diabetes mellitus, rheumatic arthritis, asthma) and BCG vaccination as potential confounding variable. The dependent variable is conversion failure after initial treatment phase.
The result of this research showed that patients who follow their treatment schedule regularly in the control group (89%) is higher than those in the case group (44%). Treatment regularity and prolonged bleeding cough are significantly related to conversion failure after initial treatment phase in pulmonary tuberculosis.
Adjusted to the related factors by analyzing the confounding factors and interaction between them, the fixed model consisted of treatment regularity as risk protector for conversion failure after initial treatment phase lowering the risk to118 time than patient without regular treatment.
Based on the result of this study, it is suggested to the public health center programmers to observe the treatment regularity by motivating the patient and optimalizing the function of the drug-taking controller. Beside that, the in-depth anamnesis to the patient is needed to detect possibility of the existing and the length of the bleeding cough before getting the treatment.
It is also recommended to another researcher to investigate this issue using cohort design and comprehensive research through laboratory examination and radiology observation, it is expected that all information found in the research may help the stakeholders to implement the policies related to the advancement of TB program."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Setiowati
"Indonesia menempati urutan kesembilan dari dua puluh tujuh negara yang memiliki beban MDR (Multi Drug Resistan) TB (Tuberkulosis) di dunia. Kegagalan konversi pada pasien TB paru merupakan salah satu penyebab terjadinya resisten OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Pasien TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif kategori I yang mengalami kegagalan konversi di puskesmas wilayah Kota Serang tahun 2014 sebanyak 49 pasien dari 602 pasien TB yang diobati. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB paru BTA positif kategori I dengan menggunakan studi cross sectional. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik terhadap 168 orang pasien TB paru BTA positif kategori I tahun 2014.
Hasil penelitian diperoleh bahwa pasien TB paru BTA positif kategori I yang mengalami kegagalan konversi sebanyak 28%. Ada hubungan antara tingkat pendapatan, pengetahuan tentang TB, sikap pasien terhadap pengalaman terkait TB, jarak dan akses ke puskesmas, kondisi lingkungan tempat tinggal, informasi kesehatan dari petugas TB dan efek samping obat terhadap kegagalan konversi pasien TB paru BTA positif kategori I. Faktor yang paling dominan berhubungan adalah informasi kesehatan dari petugas TB (nilai p value = 0,002, OR 33,217, 95% CI 3,600-306,497). Disimpulkan bahwa peran petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB paru. Diperlukan komitmen petugas dalam menjalankan fungsi kesehatan masyarakat di antaranya meningkatkan kemampuan petugas dalam memberikan informasi kesehatan serta menjalin kerjasama dengan pasien dan keluarganya untuk terus memberikan pendampingan dan pemberian motivasi selama pengobatan sehingga mencegah terjadinya kegagalan konversi yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.

Indonesia ranks ninth out of twenty-seven countries which has the burden of MDR (Multi Drug Resistance) TB in the world. The failure of conversion in TB (Tuberculosis) patients was one of the contributing factor to ATD (Anti Tuberculosis Drugs) resistance. Smear positive pulmonary TB patients who have failed first category conversion in Serang City area health centers in 2014 in 49 patients out of 602 treated TB patients. The research aimed to search for factors that connect to abortive attempt in conversion of TB patient with positive lung BTA category 1 by cross sectional study. A statistic test which had been used was binominal logistic regression with TB patient with positive lung AFB (Acid-Fast Bacilli) category 1 as research subject in 2014, with sample of 168 TB patients.
The result of the examination showed that TB patients with positive lung BTA category I experienced failure as much as 28%. There were links between level of income, knowledge of TB, and patient?s respond to their experiences, distance and access to local government clinic, condition of residence, health information from TB health workers and side effects of medicine to abortive attempt in conversion of TB patient with positive lung BTA category 1 by cross sectional study. The most dominant factor of all was sanitary information from TB health workesr (p value = 0.002, OR 33.217, 95% CI 3.600-306.497). It was concluded that health workers play an important role to succeed the treatment of TB lung patients. The workers commitment are needed to perform their duty to increase health information and to bond relationship between patients and their family to provide support and motivate during the therapy, thus the failure in conversion could be prevented.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Yudiana
"Penyakit tuberculosis (TB) dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yang merupakan komitmen internasional. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih ditemukan hambatan, misalnya masih tingginya kegagalan pengobatan sebagaimana yang dihadapi Kabupaten Bandung. Penderita dinyatakan gagal pengobatan apabila hasil pemeriksaan ulang dahak pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan dahaknya tetap positif. Sebaliknya apabila hasilnya negatif, dapat dinyatakan sembuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perilaku kepatuhan mengambil obat pada penderita TB paru BTA(+) dengan pengobatan kategori I terhadap kegagalan pengobatan dan pengaruh kovariat lainnya (persediaan obat anti tuberculosis, persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, penilaian responden terhadap pelayanan petugas, peranan pengawas menelan obat dan persepsi responden terhadap efek samping obat) terhadap kegagalan pengobatan di Kabupaten Bandung tahun 1999-2000.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku kepatuhan mengambil obat menggunakan kartu pengobatan (TB.01), untuk mengukur kovariat lainnya menggunakan kuesioner, sedangkan untuk mengukur status gagal dan sembuh menggunakan data sekunder (TB 03) berdasarkan laporan hasil pemeriksaan laboratorium dari PPM dan PRM.
Jenis disain penelitian ini adalah studi kasus kontrol, dengan besar sampel berjumlah 266 responden terdiri dan 133 kasus (penderita yang dinyatakan gagal dalam pengobatannya) dan 133 kontrol (penderita yang dinyatakan sembuh). Baik kelompok kasus maupun kontrol diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis di puskesmas. Berdasarkan analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan mengambil obat setelah dikontrol oleh kovariat persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, peranan PMO dan persepsi responden terhadap efek samping obat berpengaruh signifikan terhadap kegagalan pengobatan OR=7,422 (95% CI;4,034-13,657).
Guna meningkatkan upaya penanggulangan TB, penelitian ini menyarankan bahwa perlu mengoptimalkan kemampuan petugas kesehatan dalam memberikan motivasi kepada penderita, melibatkan lembaga yang terdekat dengan masyarakat misalnya RT/RW, mengoptimalkan peranan PMO, dan upaya khusus lainnya guna menemukan OAT yang dapat menekan sekecil mungkin risiko efek samping yang ditimbulkan oleh OAT.

Behavioral Analysis of Compliance of Pulmonary Tuberculosis Diseases with Bacterial Resistance (+) Patients to Take Drug with Medication Category I to the Medication Failure in Public Health Center Bandung Regency 1999-2000
Tuberculosis diseases (TB) today still represents the problem of health of society specially in developing countries include in Indonesia. To overcome the problem, government has conducted DOTS strategy (Directly Observed Treatment Short Course) representing international commitment However in its execution still found hindrances, for example still the high failure of medication as faced by Bandung regency.
The patients stated to be failed in medication if result of phlegm reexamining in one month before the end of medication or by the end of medication of his phlegm remains to be positive. On the contrary if its result to be negative, can be expressed to recover. The target of this research is to know behavioral influence of compliance of pulmonary tuberculosis diseases with acid bacterial resistance (+) patients to take drug with medication category I to the failure medication and other covariant influences (supply of anti tuberculosis, respondents perception to the distance of home to public health center, the respondents judge toward officer service, the role of supervisor to take the drug and respondent's perception to the drug side effects) to failure of medication in Bandung regency in 1999-2000.
Measuring instrument used to measure the compliance behavior to take drug using medication card (TB.01), to measure other covariate using questioner, while to measure failure and recover status to use secondary data (TB.03) pursuant to report result of assessment of laboratory from PPM and PRM.
The type design of this research is control case study, with the sample amount to 266 respondents consist of 133 cases (expressed patients failed in their medication) and 133 control (expressed patient recovered). Whether case group and control identified through microscopic assessment in public health center.
Pursuant to multivariate analysis with logistic regression shows that compliance behavior to take drug after controlled by respondent's perception covariate to the house distance with public health center, PMO role and respondent's perception to drug side effects have an significant effect to failure of medication OR =7,422 (95% CI: 4,034-13,657).
In order to improve TB handling effort, this research suggests that require to maximize the ability of health officer in giving motivation to patient involves closest institutes with society for example RT/RW, to maximize PMO role, and other special efforts in order to find OAT that could depress as small as possible of side effects risk generated by OAT."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambun Kadri
"Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobakterium Tuberkulosis. Di Indonesia penyakit ini merupakan masalah utama kesehatan masyarakat karena kasusnya terus meningkat setiap tahunnya tetapi tidak dapat terdeteksi dengan baik karena salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pengobatan yang menjadi tersangka penderita penyakit ini tidak datang ke fasilitas kesehatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku pencarian pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah puskesmas Tanjung Paku Kota Solok tahun 2005.
Penelitian ini menggunakankan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah serta telaah dokumen. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja puskesmas Tanjung Paku. Sebagai informan adalah masyarakat yang diduga tersangka penderita TB Paru yang dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan perilaku pencarian pengobatannya yaitu perilaku 1 adalah tidak melakukan tindakan apa-apa, perilaku 2 mengobati diri sendiri perilaku 3 berobat kedukun, perilaku 4 membeli obat warung, perilaku 5 berobat ke puskesmas dan perilaku 6 berobat ke dokter praktek swasta. Dari keenam perilaku ini diambil masingmasing satu informan untuk dilakukan wawancara mendalam dan delapan orang untuk dilakukan diskusi kelompok terarah, selain itu juga dilakukan wawancara mendalam kepada petugas kesehatan, pengawas menelan obat, dukun, warung obat, tokoh masyarakat, keluarga dan penderita TB Paru dan dokter praktek swasta. Karateristik informan yang dilihat adalah pengetahuan, persepsi, sikap, motivasi, dan niat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan perilaku 1 dan 2 tidak mempunyai pengetahuan tentang TB Paru, perilaku 3 dan 4 mempunyai pengetahuan cukup baik tentang, perilaku 5 dan 6 sudah mempunyai pengetahuan yang baik terhadap penyakit TB Paru. Persepsi informan terhadap penyakit TB Pam pada perilaku 1 dan 2 kurang baik, pada perilaku 3 dan 4 cukup baik dan pada perilaku 5 dan 6 sudah baik Sikap informan terhadap penyakit TB Paru semua setuju bahwa penyakit tarsebut menular dan bisa disembuhkan bila teratur berobat ke puskesmas kecuali pada perilaku 1 dan 2 tidak setuju dengan hal tersebut. Semua informan mempunyai motivasi yang positif terhadap penyakit TB Paru kecuali perilaku 1 dan 2 yang mempunyai motivasi negatif Niat dan keinginan untuk sembuh bila menderita penyakit TB Paru semua kelompok mempunyai niat dan keinginan seperti itu kecuali sebagian kecil dari perilaku 1. Dan laporan puskesmas tahun 2005 basil penjaringan pasien tersangka TB Paru masih sangat rendah Baru mencapai 38,5% dari sasaran yang telah ditetapkan.
Petugas kesehatan mempunyai pengetahuan, persepsi, sikap, motivasi dan niat yang bailk terhadap program TB Paru puskesmas demikian juga pada pengawas menelan obat dan keluarga penderita Tidak ada kerjasama puskesmas dengan tokoh masyarakat, dukun dan dokter praktek swasta dalam program penanggulangan penyakit tuberkulosis.
Peneliti menyarankan kepada puskesmas Tanjung Paku untuk meningkatkan kegiatan promosi aktif program P2TB paru dan kerjasama lintas sektor dan program.

The tuberculosis is direct infection disease that caused by Mycobacterium Tuberculosis. In Indonesia this disease is the main public health problem because the case adding every year but can not good detection.. Because this case may cause by medication seeking behavior of this disease patient not coming to health facility.
This research aim is to find the behavior of TB lungs patient medication seeking in Tanjung Paku primary health center Solok City West Sumatera year 2005.
This research using qualitative approach by doing circumstantial interview and directional group discussion and also document analyze. Research location is done in Tanjung Paku'.primary health centre working regional. As informant is society that suspect as TB lungs patient which divided into six group based on medication seeking behavior that is behavior 1 with not doing any action, behavior 2 with curing oneself; behavior 3 of medicating to shaman, behavior 4 with buying stall medication, behavior 5 of medicating in primary health centre and behavior 6 of medicating to private doctor. From these six behaviors each one informant taken for a circumstantial interview and eight people for directional group discussion, and also done circumstantial interview to health official, medicine consumes watcher, shaman, drug store, public figure, family from TB lungs patient and private doctor. Informant characteristic seen is knowledge, perception, attitude, and intention.
This research result shows that informant toward TB lungs disease in behavior 1 and 2 do not have knowledge, behavior 3 and 4 is quite good, behavior 5 and 6 is good. Informant perception toward TB lungs disease in behavior 1 and 2 is not quite good, behavior 3 and 4 is quite good, and behavior 5 and 6 is good. Informant attitude toward TB lungs disease is everyone agree that the disease contaminate and can be cured if regularly take medicine from primary health care except in behavior 1 and part of behavior 2 do not agree with it. All informants have positive motivation toward TB lungs disease except behavior 1 and 2 that has negative motivation. Intention and desire to be cured if infect by TB lungs disease is agreed by all group except part of behavior. From primary health centre report year 2005 the result of TB lungs patient screening is 30 % target exist and this still very low.
Health official has good knowledge, perception, attitude, motivation, and attention toward primary health care TB lungs program and also toward medicines consumes watcher and patient family. There is no cooperation between primary health centre with public figure, shaman and private doctor in this tuberculosis disease preventative program.
Researcher suggest Tanjung Paku primary health centre to increase active promotion activity of it P2TB program and cooperation across sector and program."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyakit tuberkulosis (TB paru) merupakan masalah yang masih belum dapat dituntaskan. Data Program P2TB Kota Cirebon tahun 2011 menunjukkan, 91% (CR)/263 orang sembuh, 2.2%/7 orang meninggal, 4.5%/13 orang DO, 2.08%/6 orang gagal, ini telah mencapai indikator keberhasilan nasional, tetapi beberapa puskesmas masih berada di bawah indikator nasional, yaitu Puskesmas Perumnas Utara (Cure Rate/CR 60%), Larangan (CR 70.37%) Puskesmas Kesambi (CR 66.67%), dan Jl. Kembang (CR 75%). Hal ini menunjukkan, peran PMO masih belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pada Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru, serta variabel dominan yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru.
Menggunakan desain penelitian case control, jumlah sampel minimal kasus 34 sampel, perbandingan kasus dan kontrol 1 : 2, jumlah sampel keseluruhan adalah 102 (34 kasus dan 68 kontrol), teknik pengambilan sampel random sampling. Kriteria responden: PMO penderita TB paru yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil penelitian menunjukkan variabel tingkat pengetahuan PMO (p= 0.013, α=0.05) dan penyuluhan (p=0.000, α=0.05) berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Penyuluhan merupakan variabel dominan yang mempengaruhi 6.018 kali kepatuhan berobat penderita TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan PMO dan penyuluhan mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru, dengan faktor dominan adalah penyuluhan. Saran dari penelitian ini adalah meningkatkan upaya untuk meningkatkan pengetahuan PMO. Studi untuk mengetahui efektifitas asuhan keperawatan keluarga dalam membina peran
PMO sangat diperlukan."
613 JKKI 10:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>