Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nunung Priyatni Waluyatiningsih
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Cedera reperfusi adalah kerusakan yang bertambah parah pada jaringan yang iskemik karena dilakukan reperfusi. Mekanisme cedera reperfusi yang telah banyak diketahui adalah akumulasi kalsium sitosol dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan. Sejauhini belum banyak diketahui peranan sistem renin-angiotensin pada cedera reperfusi, walaupun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa angiotensin II memperberat kerusakan jaringan yang iskemik serta menimbulkan apoptosis pada penderita infark jantung akut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH (kaptopril dan benazepril) dan penyekat reseptor angiotcnsin II (valsartan) pada cedera reperfusi. Untuk melihat peranan gugus SH efeknya dibandingkan dengan N-asetil sistein (NAC), suatu antioksidan gugus SH.
Tiga puluh ekor tikus putih jantan galur Wistar dibagi secara acak menjadi 5 kelompok (tiap kelompok 6 ekor tikus). Kelompok tersebut adalah: K-IR , kelompok kontrol yang mengalami iskemi 30 menit dilanjutkan reperfusi 30 menit. Kelompok perlakuan diberikan obat (kaptopril, benazepril., valsartan, dan NAC) 3 hari bertunrt-turut sebelum tindakan iskemi-reperfusi adalah: KAP, BEN, VAL, dan NAC. Sebelum iskcmi dan scsudah reperfusi diambil l ml darah untuk penentuan kadar SGPT dan SCOT. Sctelah reperfusi sebagian hati diambil untuk penetapan peroksidasi lipid (malonaldehid=MDA) clan maim supemksid dismutase (SOD).
Hasil dan Kesimpulan: Radar SGPT dan SCOT path kelompok knntrol (iskemi reperfusi mengalami kenaikan 13 kali untuk SGPT dan 7 kali untuk SGOT dibandingkan kondisi basal (p<0,01). Pada studi pendahuluan dengan perlakuan iskemi 30 menit, didapatkan kenaikan SGPT dan SGOT 3 kali. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang lebih berat terjadi pada fase reperfusi. Kadar SGPT dan SGOT pads kelompok KAP, BEN, VAL, dan NAC tidak mengalami perubahan yang berarti setelah iskemi-reperfusi dibandingkan dengan keadaan basal (p>0,05).
Kadar MDA hati pada kelompok kontrol lebih besar dibanding KAP, BEN, VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p,0,05), kecuali dengan NAC. Kadar SOD hati pada kelompok kontrol lebth besar dibanding KAP, BEN. VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05), kecuali dengan VAL.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH, penyekat reseptor angiotensin II Berta antioksidan dengan gugus SH dapat mencegah cedera reperfusi. Lick proteksi cedera reperfusi oleh penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH serta penyekat reseptor angiotensin II diduga dilangsungkan melalui hambatan Angiotensin Il dan/atau efek antioksidan."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Joshua Parsaoran Partogi
"Latar belakang: Cedera iskemia/reperfusi (CIR) terjadi pada situasi saat aliran darah menuju jaringan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali sehingga sel mengalami iskemia. Reperfusi berperan penting untuk kelangsungan hidup suatu jaringan dan sel. Namun ternyata proses reperfusi dapat menyebabkan cedera mikrovaskular dengan meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS). Angka kejadiannya 15/100.000 per tahun dengan angka morbiditas 30% dalam 30 hari pascainsiden dan angka kematian sebesar 18%. Salah satu terapi tata laksana cedera reperfusi adalah pemberian antioksidan yang dapat mengikat ROS yaitu selenium. Beberapa studi telah membuktikan kerusakan akibat cedera iskemia/reperfusi pada jantung, ginjal, otak dan paru dapat dicegah dengan pemberian selenium. Namun belum ada penelitian mengenai penggunaan selenium sebagai faktor proteksi jantung akibat dampak dari cedera iskemia/reperfusi tungkai akut.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah studi eksperimental untuk meneliti pengaruh pemberian selenium terhadap derajat kerusakan jantung yang dinilai secara histopatologis. Menggunakan rancangan post-test only control, penelitian ini menggunakan tikus Sprague-Dawley (SD). Tikus ini dibagi dalam tiga kelompok meliputi satu kelompok kontrol (KK) dan dua kelompok perlakuan (KP) Penelitian dilakukan di Animal Laboratorium Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang dinilai yaitu luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan. Data yang diperoleh diuji menggunakan uji Fisher exact.
Hasil: Terdapat 15 sampel hewan coba pada penelitian ini. Tidak ada hewan coba yang mati dan mengalami efek samping pemberian selenium selama penelitian. Tidak didapatkan hasil bermakna pada luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan.
Kesimpulan: Pemberian selenium tidak menurunkan derajat kerusakan jaringan miokardium akibat CIR tungkai pada tikus SD. Studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, dosis dan waktu pemberian selenium yang berbeda, dan penanda kerusakan jaringan yang lebih sensitif diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan kami.

Background: Ischemia/reperfusion injury (CIR) occurs in a situation when blood flow to a tissue is obstructed or even completely stopped causing cells to experience ischemia. Reperfusion plays an important role for the survival of tissue and cells. However, it turns out that the reperfusion process can cause microvascular injury by increasing the production of reactive oxygen species (ROS). The incidence rate is 15/100,000 per year with a morbidity rate of 30% within 30 days after incident and a mortality rate of 18%. One of the therapies for managing reperfusion injury is the administration of an antioxidant that can bind ROS, namely selenium. Several studies have proven that damage after ischemia/reperfusion injury to the heart, kidneys, brain, and lungs can be prevented by administering selenium. However, there has been no research on the use of selenium as a cardiac protective factor due to the impact of acute limb ischemia/reperfusion injury.
Methods: This research is an experimental study to examine the effect of selenium administration on the degree of heart damage assessed histopathologically. Using a post-test only control design, this study used Sprague Dawley rats (SD). These rats were divided into three groups including one control group (KK) and two treatment groups (KP). The study was conducted at the Animal Laboratory of the Educational Animal Hospital, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural Institute and Laboratory of Anatomical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The factors assessed were the area of ??change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage. The data obtained were tested using Fisher's exact test.
Results: There were 15 experimental animal samples in this study. None of the experimental animals died and experienced side effects of selenium administration during the study. There were no significant results for the area of change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage.
Conclusion: Administration of selenium did not reduce the degree of myocardial tissue damage due to leg IRI in SD rats. Further study with larger samples, different selenium dosage and administration times, and more sensitive tissue damage biomarkers is needed to confirm and clarify our findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gugun Iskandar Hadiyat
"Latar Belakang. Komplikasi tindakan revaskularisasi pasca suatu periode iskemik mulai menjadi perhatian kalangan medis sejak awal abad ke-20. iskemik tungkai akut merupakan masalah kegawatan kardiovaskular dan tindakan reperfusi terhadap jaringan yang iskemik ternyata sexing memperburuk cedera jaringan yang ada, bahkan sampai dilakukan amputasi. Pada ceders reperfusi iskemik (R-1) terjadi perubahan sifat hemoreologi darah (hematokrit, viskositas, dan deformitas set darah merah). Pentoksifilin (PTXF) mempunyai kemampuan memperbaiki cedera reperfusi dengan meningkatkan aliran darah perifer, memperbaiki deformitas sel darah merah, menurunkan viskositas darah, dan menekan agregasi platelet.
Tujuan Penelitian. Untuk mengetahui pengaruh pemberian PTXF terhadap faktor hemoreologi darah pada cedera R-I tungkai akut.
Metode. Penelitian dilakukan pada kelinci jantan ras New Zealand White Rabbit (NZW) yang berasal dari 1 galur sebanyak 10 ekor usia 5 bulan dengan berat badan rata-rata 2,5-3 kg. Kemudian hewan coba dibagi dalam 2 kelompok, yakni 5 ekor kelinci kelompok perlakuan diberi PTXF dengan dosis 40 mglkgBB yang diikuti dosis rumatan 1 mglkgBBljam dan 5 ekor kelinci sebagai kontrol diberi cairan NaCl 0,9% dengan kecepatan yang sama seperti kelompok perlakuan. Dilakukan oklusi arteri iliaka komunis sinistra dan setelah 2,5 jam iskemik diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas, setelah itu segera diberikan PTXF. Pada jam ke-3 dilakukan reperfusi (membuka oklusi) dan 2 jam setelah reperfusi diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas. Data hasil pemeriksaan dianalisis dengan statistik program SPSS 13 dengan menggunakan uji parametrik General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang.
Hasil. Nilai rerata hematokrit kelompok PTXF fase iskemik 37,06+3,88% dan fase reperfusi 34,20+1,90% dengan delta penurunan 2,86%. Nilai rerata hematokrit kelompok nonPTXF fase iskemik 35,88+5,31% dan fase reperfusi 32,90+4,61% dengan delta penurunan 2,98%. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (per, i 9 dan p=0,37). Analisis statistik nilai rerata hematokrit antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,74).
Nilai rerata viskositas kelompok PTXF fase iskemik 5,25+0,77 ep dan fase referfusi 4,69+0,70 cp dengan delta penurunan 0,558 cp. Nilai rerata viskositas kelompok nonPTXF fase iskemik 4,54+0,48 cp dan fase reperfusi 4,48+1,31 cp dengan delta penurunan 0,066 cp. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik, kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p~,26 dan p=0,92). Analisis statistik pada nilai rerata viskositas antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,53).
Kesimpulan. Pemberian PTXF pada kelompok perlakuan memperlihatkan hasil tidak bermakna dalam menurunkan nilai hematokrit dan viskositas darah dibanding kelompok kontrol pads keadaan ceders R-I tungkai akut.

Background: Complications of revascularization after an ischemic period has attract attention from clinicians since the beginning of 20th century. Acute limb ischemia is an emergency cardiovascular problem and revascularization procedures of ischemic tissue has been documented to worsen tissue damage to the extend of a need for limb amputation. In ischemic reperfusion injury, changes in blood hemorheology occurs (hematocrit, viscosity and eryhtrocyte deformities). Pentoxifylline (PTXF) has the ability to repair reperfusion injury by increasing peripheral blood flow, repairing eryhtrocyte deformities, decreasing blood viscosity dan suppressing platelet agregation.
Objectives: To investigate the effect of pentoxifylline administration toward hemorheology changes in acute limb ischemic reperfusion injury.
Methods: We studied 10 pure strain New Zealand White Rabbit (NZW) age 5 months with mean weight of 2.5-3 kg. The subjects were divided in two groups; 5 of the experimental rabbit were given PTXF 40 mg/kg body weight followed by a maintenance dose of 1 mg/kg body weight/hour, while subjects in the control group received a similar administration of NaCl 0.9%. We performed occlusion of the left common iliac artery and after an ischemic period of 2.5 hours blood samples were taken for hematocrit and viscosity measurement. PTXF were given soon afterward. On the third hour the artery occlusion were opened and after another two hours blood samples were again taken for hematocrit and viscosity measurement. Data analysis were performed by SPSS 13, using parametric test with general linear model (GLM) for repeated measurements.
Results: The mean hematocrit value for the PTXF group in the ischemic period were 37.0613.88%, and in the reperfusion period were 34.2011.90%, with a decrease of 2.86%. The mean hematocrit value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 35.8815.31% and 32.90±4.61% , respectively, with a decrease of 2.98%. There were no significant difference between the first and second hematocrit measurements both in the experimental and control group (p-0.19 and p=0.37). Statistical analysis of mean hematocrit value between the two groups also showed no significant difference (p=0.74).
The mean viscosity value for the PTXF group in the ischemic period were 5.2510.77 cp and in the reperfusion period were 4.6910.70 cp with a difference of 0.558 cp. The mean viscosity value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 4.54±0.8 cp and 4.4811.31 cp, respectively, with a decrease of 0.066 cp. There were no statistically significant difference between the first and second viscosity measurements both in the experimental and control group (p=0.26 and p=0.92). Statistical analysis of mean viscosity value between the two groups also showed no significant difference (p=0.53).
Conclusion: PTXF administration in the experimentally induced acute limb ischemic reperfusion injury in rabbits have no benefits to decrease hematocrit and viscosity values compared to control group."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Jahja Saputra
"Latar Belakang. Cedera Reperfusi-iskemik merupakan isu klinis yang penting dan umum. Hal tersebut dapat terjadi pada trombo-embolisme, penyakit vaskuler aterosklerotik, bedah kardiovaskuler, transplantasi organ, replantasi tungkai dll. Reperfusi jaringan yang iskemik bukan hanya menyebabkan reaksi iniamasi lokal tetapi juga mempengaruhi fungsi organ lain melalui respons inflamasi sistemik. Banyak studi menunjukkan sel polimorfonuklear terutama netrofil mempunyai peranan cedera yang panting dalam proses reperfusi-iskemik dengan menginfiltrasi jaringan iskemik dan juga kedalam organ yang jauh seperti hati, pare, ginjal dsb. Banyak obat yang sudah dicoba untuk untuk mengurangi efek cedera reperfusi dengan basil yang bervariasi. Salah satu obat yang menjanjikan dapat mengurangi cedera reperfusi melalui efek antiinflamasinya adalah Pentoksifilin (PTX). Pada studi eksperimental, kami mengamati efek pemberian PTX terhadap infiltrasi netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare hewan kelinci yang dibuat iskemik secara akut pada tungkai bawah dan diikuti dengan reperfusi.
Metoda. Dua belas ekor kelinci jantan ras New Zealand White dibagi secara acak menjadi 3 grup (A,B dan C). Grup A diberikan PTX ( n=5); Group B diberikan NaCl 0.9% sebagai kontrol (n=5); Grup C adalah kontrol negatif (n=2). Grup A dan B mengalami total iskemia selama 3 jam pada tungkai bawah dengan Cara menjepit arteri iliaca komunis sinistra dengan klem. Dosis PTX adalah 40 mg/ kgBB bolus diikuti lmglkgBB sebagai dosis rumatan. PTX diberikan 30 menit sebelum reperfusi. Grup B diberikan NaCl 0.9 % dan pada grup C tidak dilakukan tindakan iskemia. Potongan jaringan histopatologi dari otot yang iakemik, hati dan pare diambil pada akhir percobaan (3jam setelah rep erfusi) sebelum dilakukan etanasia.
Hasil. Jumlah rerata netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare berturut-turut adalah sebagai berikut : Pada grup C adalah 0.67 ± 0.75; 2.00 ± 1.41 dan 4.33 ± 1.49. GrupA adalah 3.53 ± 6.01; 7.20 ± 5.29 dan 13.87 t 7.84. Grup B adalah 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39 dan 34.13 ± 12.83. Tampak jumlah netrofil lebih rendah bermakna pada jaringan pare grup A dibandingkan grup B (p < 0.009). Ada kecenderungan jumlah netrofil lebih rendah dalam jaringan otot skeletal dan hati pada grup A dibandingkan grup B, walaupun secara statistik tidak bermakna (p < 0.075).
Kesimpulan. Pentoksifilin dapat mempunyai efek mengurangi infiltrasi netrofil kedalam jaringan pada kelinci yang mengalami cedera reperfusi-iskemik tungkai akut.

Background. Ischemic-reperfusion injury is a common and important clinical issues.lt occurs in many clinical setting such as thrombo-embolic phenonrenon,atherosclerotic vascular disease, cardiovascular surgery, organ transplantation, replantation of limb etc. Reperfusion of ischemic tissue not only causing local inflammatory reaction but also affect remote organ function by systemic-inflammatory responses. Many studies have showned that polymorphonuclear leukocyte especially neutrophil has an important damaging role in reperfusion injury. They exert their effect through infiltration into ischemic tissue and also into remote organ like liver,lung,kidney etc. So far a lot of agents have been tried to attenuate reperfusion injury with variable results. One promising drug for attenuating ischemic-reperfusion injury through its anti-inflammatory effect is Pentoxifylline (PTX). In this exploratory experimental study, we observed the effect of giving PTX on neutrophil infiltration to skeletal muscle, liver and lung tissue in rabbits with induced acute limb ischemia followed by reperfusion .
Methods. Twelve male New Zealand White rabbits were randomly divided into 3 groups (A,B and C). Group A were given PTX(n =5); Group B using Na CI 0.9% as a control group (n= 5); Group C was negative control (n=2). Group A and B underwent 3 hours of total ischemia of the lower limb by clamping proximal left common iliac artery, follow by 3 hours of reperfusion. The dose of intravenous PTX was 40mg1kgB W bolus followed by 1 mg/kg BWlhour maintenance dose. PTX was given 30 minutes before reperfusion. Group B was given normal saline and in Group C, no intervention done. Histopathologic section of iskernic skeletal muscle, liver, and lung tissue were taken at the end of experiment before( 3 hours of reperfusion) euthanasia was done.
Results. The mean numbers ofneutrophil in ischemic skeletal musle, liver and lung tissue consecutively were as follow ; In Group C were, 0.67 t 0.75; 2.00 f 1.41; and 4.33 ± 1.49. In group Awere,3.53 ±6.0]; 7.20±5.29; and 13.87±7,84, and in groupB (control)were 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39; and 34.13 ± 12.83. There was significantly lower number of netrophil in lung tissue of group A compare to group B (p< 0.009). Although not statistically significant (p= 0.075), there were a trend to have lower neutrophil counts in ischemic skeletal muscle and liver tissue in group A rabbits compared to group B.
Conclusion. Pentoxifylline has attenuating effect on neutrophil infiltration in rabbits undergoing ischemic-reperfusion injury of lower limb."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luly Nur El Waliy
"Latar Belakang: Cedera reperfusisaat IKPP dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel miokard hingga 50% dari luas infark. Oleh karena itu, diperlukan tatalaksanayang mampu mengurangi dampak cedera reperfusi. Pengkondisian iskemia dari luar jantung(remote ischemic conditioning/RIC) telah berkembang menjadi perlakuan non invasif, murah dan mudahyang dapat membatasi cedera reperfusi.
Tujuan Penelitian: Mengetahui efek perlakuan pengkondisan iskemia pada ekstremitasterhadap luas infarkyang diukurdengan resonansi magnetik jantung padapasienIMA-ESTyang menjalani IKPP.
Metode: Uji klinis ini merandomisasi117pasien infark miokard denganelevasi segmen ST onset kurang dari 12 jam untuk menerimapengkondisian iskemia dari luar jantung (4 siklus 5 menit inflasi dan deflasi manset tekanan darahpada ekstremitas bawah) atau kontrol (manset dibiarkanselama 40 menit) sebelum IKPP. Luaranprimer penelitianiniadalahluas infark akhir yangdiukur dengan RMJ pada mingguke4-6pasca IKPP yang dilakukan pada40pasien. Luaran sekunder yaitufraksi ejeksi ventrikel kiri dan adanya obstruksi mikrovaskular yang dinilai olehRMJ.
Hasil: Penelitian:RIC mengurangi luas infark sebesar 35% dibandingkan dengan kontrol (14,7% [n = 19] vs 22,7% [n = 21]; p = 0,049) pada pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam fraksi ejeksi ventrikel kiri pada minggu ke 4 sampai 6 setelah IKPP (EF RMJ, 52,6% vs 48,3%; p = 0,476) dan keberadaan obstruksi mikrovaskular (1 vs 4; p = 0,345) antara kelompok RIC dan kontrol.
Kesimpulan: PerlakuanPengkondisian Iskemia Ekstremitas sebelum tindakan IKPP pada pasien IMA EST mengurangi luas infark yang dinilai dengan pencitraan RMJ.

Background: Reperfusion injury during PPCI contributes up to 50% of the final myocardial infarct size. Therefore, novel therapeutic interventions are required to protect the heart against myocardial reperfusion injury. Remote ischemic conditioning has emerged as a simple, low cost, non-invasiveintervention for protecting the heart against acuteischemia-reperfusion injury.
Objectives: To determine whether RIC initiated prior to PPCI could reduce myocardial infarct MI size in patients presenting with ST-segment elevation myocardial infarction.
Methods: We randomly assigned 117 ST-segment elevation myocardial infarction patients with onset less than 12 hours to receive RIC (4 5-min cycles of cuff inflation/deflation on lower extremities) or control (uninflatedcuff for 40 minutes) protocols prior to PPCI. The primary study endpoint was final infarct size, measured by CMR in40subjects on weeks 4 to 6 after admission. Secondary endpoints was the left ventricular ejection fraction and presence of microvascular obstruction assessed by CMR.
Result: RIC reduced MI size by35%, when compared with control subjects (14,7% [n= 19] vs22,7% [n= 20]; p=0.049)in STEMI patient underwent PPCI. There was no significant difference in LV function at4 to 6 weeks after admission (EFCMR, 52,6%versus48,3%; p = 0,476) and presence of MVO (1 vs 4; p = 0,345) between the RIC andcontrolgroups.
Conclusion: This randomized study demonstrated that in ST-segment elevation myocardial infarction patients treated by PPCI, RIC, initiated prior to PPCI, reducedfinalMI size, however it has no effect on left ventricular function and the presence of MVO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang: Iskemia dan cedera reperfusi pada tungkai dapat berdampak sistemik sampai kegagalan fungsi organ. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencegah komplikasi jauh atau remote dari cedera reperfusi, namun hal ini masih banyak diperdebatkan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan kerusakan tubulus ginjal pada iskemia tungka bawahi akut yang tanpa perlakuan, perlakuan prekondisi iskemik dan perlakuan hipotermia Penelitian ini merupakan Metode: Penelitian eksperimental yang dilakukan pada 18 ekor kelinci New Zealand White, dengan ligasi arteri iliaka komunis kanan selama 4 jam dan reperfusi selama 8 jam, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1, tanpa perlakuan sebagai kontrol; kelompok 2, diberikan perlakuan prekondisi iskemik sebelum tindakan iskemik: dan kelompok 3; diberikan perlakuan hipotermia pada tungkai kanan selama iskemia. Setelah euthanasia, diambil sampel ginjal untuk pemeriksaan histopatologi.
Hasil: Perbandingan kerusakan tubulus ginjal antara kelompok iskemia saja dengan kelompok perlakuan prekondisi iskemik tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna (p= 0.092), sedangkan perbandingan antara kelompok iskemia saja dengan kelompok perlakuan hipotermia menunjukkan hasil perbedaan yang bermakna (p = 0.033).
Kesimpulan: Perlakuan hipotermia dapat mengurangi kerusakan tubulus ginjal akibat cedera remote reperfusi iskemia tungkai bawah akut., Background: Ischemia and reperfusion injury of the lower limb may cause a systemic effect to multi-organ failure. Several studies have been done to prevent distant or remote complication from reperfusion injury, but it is still in debate. This study was conducted to see the differences in renal tubular damage in acute limb ischemia without treatment, treatment of ischemic precondition and treatment of hypothermia.
Methods: An experimental study in 18 New Zealand White rabbits, who performed right common iliac artery ligation for 4 hours and reperfusion during 8 hours, divided into 3 groups: group 1, no treatment as a control; group 2, given the treatment of ischemic precondition before ischemic action: and group 3; given the treatment of hypothermia on the right leg during ischemia. After euthanasia, kidney samples were taken for histopathological examination.
Results: Comparison of renal tubular damage among any group of ischemia with ischemic preconditioning treatment group showed no significant difference (p = 0.092), whereas the comparison between groups ischemia alone with hypothermia treatment group showed a significant difference (p = 0.033).
Conclusion: Treatment of hypothermia may reduce renal tubular damage due to remote reperfusion injury in acute limb ischemia.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Marolop
"Cedera iskemik reperfusi merupakan suatu kondisi yg sering dijumpai, dan dapat menyebabkan gangguan secara sitemik pada organ tubuh. Antara lain dapat menyebabkan kerusakan ke jaringan hepar secara remote.
Tujuan: Mengetahui manfaat perlakuan prekondisi iskemik dan hipotermia pada cedera iskemik reperfusi tungkai bawah guna mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan hepar.
Metode. Dilakukan penelitian eksperimental pada kelinci New Zealand White (n=18) dengan satu kelompok kontrol (iskemia) dan dua kelompok perlakuan (hipotermia dan prekondisi iskemik). Dilakukan ligasi a. iliaca communis selama 4 jam, hipotermia (28oC), dan prekondisi iskemia pada masing-masing kelompok. Kemudian ligasi dilepas untuk reperfusi selama 8 jam. Lalu kelinci di euthanasia, jaringan hepar diambil untuk pemeriksaan histopatologi (Skoring penelitian).
Hasil: Terdapat kerusakan jaringan hepar yang dinilai secara histopatologi sebagai efek cedera iskemik reperfusi jauh yang di akibatkan oleh iskemik tungkai akut pada hewan coba kelinci. Dengan melakukan skoring terhadap sel hepatosit, sitoplasma, sinusoid, batas interselular, mikrohemoragik, dan infiltrasi leukosit. Skor kelompok kontrol dengan median 89,50 min-max 75-91, Kelompok perlakuan IPC mean 49,17, SD 15,53. Kelompok perlakuan hipotermia mean 42,83 SD 22,02. Prekondisi iskemik dan hipotermia dapat mengurangi terjadi kerusakan jauh pada hepar secara bermakna dengan nilai p=0,002 dan p=0,004.
Simpulan: Terbukti terjadinya kerusakan remote iskemik reperfusi pada hepar akibat cedera iskemik reperfusi tungkai akut, Hipotermia dan iskemik prekondisi secara signifikan dapat mengurangi terjadinya kerusakan itu.

Background: ischemic reperfusion injury is a common condition that may disrupt systemic organs, especially causing liver damage remotely.
Objectives: to evaluate the benefit of ischemic preconditioning and hypothermia on ischemic reperfusion injury of the lower limbs from liver tissue damage.
Methods: this experimental study was performed using New Zealand White Rabbits (n=18) that were grouped into control group (ischemia) and treatment group (ischemic preconditioning and hypothermia). Iliaca communis artery was ligated for 4 hours and treated group had topical cooling until 28oC and performed ischmeic preconditioning. The ligation was released for reperfusion for 8 hours. The rabbits were then euthanized and liver tissue was taken for histopathologic examination.
Result: liver tissue damage was found histopathologically caused by remote ischemic reperfusion of rabbit limbs. By performing scoring of hepatocyte cells, cytoplasm, sinusioids, intercellular cells, microhemorrhage, and leucocyte infiltration. The median score for control group was 89.50 (ranged 75-91), and 49.17 for IPC group (SD 15.53).mean score for hypothermia group is 42.83 (SD 22.02). IPC and hypothermia showed to reduce liver damage significantly (p = 0.002 and p = 0.004).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, David
"Latar Belakang : Iskemia yang terjadi di suatu lokasi di tubuh mengakibatkan kerusakan pada lokasi yang berjauhan yang dikenal dengan sebutan cedera remote reperfusi. Paru merupakan salah satu organ target utama terjadinya kerusakan pada cedera remote reperfusi. Penelitian ini bertujuan melihat efek protektif hipotermia dan ischemic preconditioning (IPC) terhadap cedera remote reperfusi di paru.
Metode : Dilakukan penelitian eksperimental pada kelinci New Zealand White (n=18) dengan satu kelompok kontrol (iskemia) dan dua kelompok perlakuan (preconditioning dan hipotermia). Dilakukan ligasi a. iliaca communis kanan selama 4 jam, hipotermia sedang (28oC), dan iskemia pre-conditioning pada masing-masing kelompok. Kemudian kelinci dibiarkan hidup selama 8 jam. Sampel jaringan paru di ambil untuk pemeriksaan derajat kerusakan paru secara histopatologi.
Hasil : Terdapat perbedaan bermakna derajat perubahan histopatologik jaringan paru yang di berikan perlakuan IPC (p : 0,000) dan perlakuan Hipotermi (p : 0,015) terhadap kelompok kontrol.
Kesimpulan : Ischemic preconditioning dan Hipotermi memberikan efek protektif pada paru dari akibat iskemik reperfusi tungkai bawah akut.

Introduction. Acute lower limb ischemia may induced ischemia reperfusion injury to the lung and also initiate a systemic inflammatory response syndrome. The aim of this study was to proofed whether IPC and hypothermia of the limb before I/R injury would also attenuates the acute lung injury in rabbit model of hind limb I/R.
Method. This prospective, randomized, controlled, experimental animal study was performed in a university-based animal research facility with 18 New Zealand White Rabbit. The rabbits were randomized (n=6 per group) into three groups: I/R group (4 hours of hind limb ischemia and 8 hours of reperfusion), IPC group (three cycles of 5 minutes of ischemia/5 minutes of reperfusion immediately preceding I/R), and hypothermia ( 28oC) together with 4 hours of hind limb ischemia and 8 hours of reperfusion. Lung tissue were examined based for their histopathological changes. The changes were assessed based on the grading as normal, mild, moderate, and severe damage.
Result. Rabbit treated with IPC (p : 0,001) and hypothermia (p : 0,015) have demonstrated a significant decrease in histopathological features of acute lung reperfusion injury.
Conclusion. Ischemic preconditioning and hypothermia have shown protective effect for the lung from remote ischemic reperfusion injury induced by lower limb ischemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Effita Piscesiana
"Pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan jumlah pasien ST-Elevation Miocard Infarct (STEMI) tetapi terdapat peningkatan presentasi pasien dengan tindakan reperfusi yang mengalami penundaan. Penundaan ini berakibat pada pemanjangan waktu reperfusi yang memengaruhi Health Related Quality of Life (HRQOL). Penelitian cross-sectional ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi HRQoL pada pasien STEMI yang menjalani terapi reperfusi selama masa pandemi. Sampel penelitian berjumlah 110 responden dengan teknik consecutive sampling. Analisa bivariat menunjukkan jenis kelamin, status hubungan pernikahan, ketepatan waktu reperfusi, tingkat depresi, dan persepsi sakit berhubungan signifikan dengan HRQoL. Analisis multivariat menunjukkan persepsi sakit, ketepatan waktu reperfusi dan status pernikahan merupakan faktor dominan yang memengaruhi HRQoL. Ketiga faktor tersebut menjelaskan variabel HRQoL sebesar 32,6% dan selebihnya 67,4% dijelaskan oleh faktor lain. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih representatif untuk mendapatkan hasil prediktor R2 yang lebih baik dalam mengidentifikasi faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap HRQoL, evaluasi paska tindakan reperfusi menggunakan HRQoL yang multidimensional, edukasi kepada pasien maupun pasangannya, serta evaluasi secara berkala terhadap efektivitas screening COVID-19 untuk pasien STEMI yang datang ke IGD dalam mempertahankan target terapi reperfusi.

The COVID-19 pandemic has resulted decreasing in the number of ST-Elevation Myocardial Infarct (STEMI) patients but there has been an increase in the presentation of patients with delayed reperfusion. This delay results in a prolonged reperfusion time which affects Health-Related Quality of Life (HRQOL). This cross-sectional study aims to identify the factors that influence HRQoL in STEMI patients undergoing reperfusion therapy during the pandemic. The research sample was 110 respondents with consecutive sampling techniques. Bivariate analysis showed that gender, marital relationship status, the timeliness of reperfusion, level of depression, and illness perception were significantly related to HRQoL. Multivariate analysis showed illness perception, timeliness of reperfusion and marital status were the dominant factors influencing HRQoL. These three factors explained the HRQoL by 32.6% and the remaining 67.4% was explained by other factors. Researcher suggests further research to be conducted using a more representative sample size to obtain better R2 predictor results in identifying other factors that more contribute to HRQoL, post-reperfusion evaluation using multidimensional HRQoL, educating patients and their partners, as well as comprehensive evaluation on the effectiveness of COVID-19 screening for STEMI patients who come to the ED to maintain the target of reperfusion therapy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Kurniawan
"Latar Belakang: Cedera reperfusi akibat dilepaskannya reactive oxygen species(ROS) saat penggunaan Cardiopulmonary bypass(CPB) dan kembalinya mengalir darah yang kaya oksigen pada miokard yang iskemia, dapat menyebabkan kerusakan miokard. Allopurinol sebagai penghambat xanthine oksidase, telah diteliti sebelumnya mengenai efektivitas dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah jantung terbuka yang belum menunjukkan hasil yang konklusif, meskipun pada beberapa penelitian memberikan hasil yang cukup baik pada pemulihan dari stunningmiokard, biomarker cedera reperfusi maupun kejadian atrial fibrilasi pascabedah (AFPB). Metilprednisolon juga dipakai untuk mengurangi efek inflamasi dan cedera reperfusi pada pasien bedah jantung terbuka karena perannya dalam menghambat secara indirek pengaktifan enzim NADPH oksidase.Tujuan penelitianini adalah untuk membandingkan efektifitas pemberian allopurinol peroral 600 mg pada malam hari dan 1 jam sebelum pembedahan dengan metilprednisolon intravena 15 mg/kgbb saat induksi anestesi dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.
Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner menggunakan CPB antara bulan Oktober 2019 hingga Maret 2020, yang dialokasikan ke dalam kelompok allopurinol atau kelompok metilprednisolon.Pemeriksaan biomarker cedera reperfusi dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah malondialdehyde(MDA) yang dilakukan sesaat setelah pemasangan kateter vena sentral (basal) dan 5 menit setelah klem jepit aorta dilepas (pascareperfusi). Pemeriksaan MDA dilakukan dengan metode ELISA. Penilaian skor inotropik dan vasoaktif (SIV) dilakukan pada 24 jam pertama perawatan pascabedah. Sedangkan penilaian kejadian atrial fibrilasi pascabedah dilakukan selama 48 jam pertama pascabedah. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai dengan piranti lunak program SPSS 21. Uji hipotesis pada variabel kadar MDA akan menggunakan uji T tes tidak berpasangan bila sebaran data normal. Pada variabel skor inotropik dan vasoaktif akan menggunakan uji T test tidak berpasangan (bila sebaran data normal) atau dengan uji mann whitney(bila sebaran data tidak normal). Dan uji hipotesis untuk variabel kejadian AFPB menggunakan uji chi-squared(bila syarat x2terpenuhi) atau dengan uji fisher(bila syarat x2tidak terpenuhi).
Hasil : 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner yang memenuhi kriteria penerimaan, 40 pasien dianalisis karena 2 pasien meninggal sebelum 48 jam pertama pascabedah. Karakteristik demografi dan kadar MDA basal seimbang pada kedua kelompok. Peningkatan kadar MDA pascareperfusi lebih rendah pada pemberian allopurinol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,379). Nilai SIV pascabedah pada pemberian allopurinol secara statistik lebih rendah bermakna (median 6 vs 22, p=0,009). Kejadian AFPB pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p=0,231).
Simpulan : Allopurinol tidak lebih efektif daripada metilprednisolon dalam upaya mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.

Background: Reperfusion injury due to the release of reactive oxygen species (ROS) when using cardiopulmonary bypass (CPB) and the return of oxygen-rich blood flow to ischemic myocardium after the release of aortic clamps, can cause myocardial damage. Allopurinol as an inhibitor of xanthine oxidase, has been studied previously about its effectiveness in reducing reperfusion injury in open heart surgery which shows inconclusive results, although in some studies it has given quite good results in recovery from myocardial stunning, biomarkers of reperfusion injuries and postoperative atrial fibrilation (POAF). Methylprednisolone is also used to reduce the effects of inflammation and reperfusion injury in open heart surgery patients because of its role in indirectly inhibiting the activation of the enzyme NADPH oxidase. The aim of this study was to compare the effectiveness of oral administration of allopurinol 600 mg at night and 1 hour before surgery with 15 mg/kg intravenous methylprednisolone during anesthesia induction in reducing reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
Methods: A double-blind randomized clinical trial study was conducted on 42 patients undergoing coronary artery bypass surgery using CPB between October 2019 and March 2020, which was allocated to the allopurinol group or the methylprednisolone group. Examination of biomarkers of reperfusion injury is carried out by examination of a blood sample of malondialdehyde (MDA) which is performed shortly after the installation of a central venous catheter (basal) and 5 minutes after the aortic clamp are removed (post-reperfusion). MDA examination is done by the ELISA method. Assessment of vasoactive-inotropic scores (VIS) was carried out in the first 24 hours of post-surgical treatment. While the assessment of the incidence of POAF was performed during the first 48 hours after surgery. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical tests using SPSS 21 software program. Hypothesis testing on MDA variables will use the T test unpaired if the data distribution is normal. In the VIS variables will use the T test unpaired (if the data distribution is normal) or with the Mann Whitney test (if the data distribution is not normal). And hypothesis testing for POAF variables will use the chi-square test (if the x2 requirement are met) or with the fisher test (if the x2requirements are not met).
Results:42 patients who underwent coronary artery bypass surgery who met the admission criteria, 40 patients were analyzed because 2 patients died before the first 48 hours after surgery. Demographic characteristics and basal MDA levels were balanced in both groups. The increased levels of MDA post-reperfusion were lower in allopurinol administration, but the statistics were not significantly different (p = 0.379). The postoperative VIS value in the administration of allopurinol was significantly lower than in the administration of methylprednisolone (median 6 vs 22, p = 0.009). The incidence of AFPB in the two groups showed no differences were statistically significant (p = 0.231).
Conclusion:Allopurinol is not more effective than methylprednisolone in an effort to reduce reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>