Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188708 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yohanes Hanan Pamungkas
"Sembonyo adalah upacara bersih laut yang dilakukan nelayan di dusun Karanggongso, desa Tasik Madu, Kecamatan Prigi, kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Dalam upacara tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang disertai dengan beberapa sesaji. Sekalipun dalam skala kecil (di tingkat dusun) upacara ini cukup menarik untuk dikaji. Selain bentuk sesajinya unik, upacara ini cenderung untuk dipertahankan. Mengacu pada Geertz dan Turner, fenomena simbolik dalam upacara semacam itu merupakan gambaran nilai-nilai sosial yang ideal dan menjadi pusat pendorong Bari berbagai kegiatan sosial ekomoni masyarakatnya. Sementara itu warga masyarakat menginterpretasikan "teks-teks simbolik" dalam upacara itu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian permasalahan penelitian ini adalah apa sebenarnya makna simbol sembonyo, bagaimanakah warga masyarakat menginterpretasikan makna simbol upacara tersebut, serta apa fungsi upacara bagai masyarakat Karanggongso.
Melalui analisa simbol seperti yang dilakukan Turner, yakni dengan menganalisis simbol dominan dan instrumental dalam upacara Sembonyo, maka diketahui adanya perpaduan unsur pemujaan kesuburan dan pemujaan nenek moyang sebagai konsep utama dari upacara. Tema besar dari upacara Sembonyo adalah slametan yang oleh Geertz dilukiskan sebagai terciptanya keseimbangan psikososial manusia Jawa dalam hubungan antar manusia dan alam. Tatanan ideal ini diperlukan masyarakat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan teknologi nelayan dalam mengatasi krisis alam (laib) serta adanya krisis sosial sebagai akibat konflik diantara warga masyarakat nelayan di luar upacara. Karena itulah Sembonyo berfungsi sebagai "pembersih" warga masyarakat dari ganguan alam maupun ganguan moral. Selain memiliki fungsi integratif semacam itu, sembonyo juga berfungsi memperkokoh peranan elit dusun, melalui rangkian upacara yang diciptakan. Setiap tahunnya upacara sembonyo, yang oleh Turner disebut "drama sosial", diperingati agar nilai-nilai yang ideal itu teraktualisasikan. Tidak semua warga memberi makna sakral kepada simbol upacara sembonyo tidak lebih dari kegiatan rekreatif."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hanief Saha Ghafur
"Suatu hal yang menarik untuk dikaji dewasa ini adalah pembangunan kepariwisataan. Pembangunan Pariwisata telah banyak menyuguhkan berbagai tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Kegiatan ini telah menjadi agenda kegiatan resmi dari berbagai biro dan agen perjalanan wisata, perhotelan dan organisasi-organisasi kesenian di daerah. Semua bentuk kegiatan tersebut didukung oleh pemerintah, yang memang membutuhkan masukan devisa bagi pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan besar dibalik semua perhelatan besar tersebut. Untuk itu, pemerintah akan berbuat apa saja bagi kesuksesan upacara-upacara tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia banyak suguhan berupa macam-macam bentuk tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Namun yang menjadi persoalan, yaitu apabila bentuk pertunjukannya berupa upacara ibadah keagamaan, seperti Hudoq. Bagi masyarakat dayak di pedalaman Kutai upacara Hudoq masih di anggap sakral dan dihayati sebagai upacara religius. Namun dilain pihak para penyelenggara, para turis asing, dan kebanyakan para penonton melihat upacara tersebut dengan sikap areligius, profan dan dianggap sebagai tontonan biasa.
Penelitian ini mengkaji dampak pembangunan pariwisata terhadap upacara perladangan dan upacara ritual Hudoq khususnya. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan mendesakralisasi upacara ibadah keagamaan. Proses itu terjadi manakala Hudoq tercerabut dari basis sosial dan kulturalnya, sehingga menjadi sekedar sebuah tontonan yang areligius dan profan. Ketercerabutan tersebut karena Hudoq sudah kehilangan nuansa religio-culturalnya melalui proses pembangunan yang telah disekularisasikan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
I. Made Pantja
"Pendahuluan
Secara simbolis tujuan hidup orang Bali tercermin dalam kosmologi Hindu tentang pemutaran Gunung Mandaragiri di lautan susu untuk mendapatkan air suci kehidupan yang disebut tirta amrta. Untuk mengaduk lautan susu dipergunakan gunung tersebut dan untuk menjaga keseimbangan bagian bawah gunung disangga oleh seekor kura-kura raksasa yang dibelit oleh seekor ular naga. Pemutaran gunung tersebut dilakukan oleh para dewa yang dipimpin oleh Dewa Wisnu.
Arti simbolis kosmologi tersebut bahwa kehidupan di dunia ini selalu berputar dan berubah-ubah. Agar manusia selalu dapat mengikuti perubahan yang terjadi diperlukan keseimbangan dengan cara menghayati ajaran-ajaran agama.
Secara konseptual ajaran Hindu menyebutkan bahwa tujuan hidup beragama adalah moksartam jagaditayaca, iti dharma artinya hidup ini untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan di akhirat (moksa) dan kebahagiaan di dunia ini (jagadita) (Mastra, 1982:24). Kebahagiaan tersebut dianggap sebagai penghubung untuk bisa kembali kepada asal mula manusia yaitu Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu sebutan untuk Hyang Widhi adalah Sangkan Paran yang artinya asal mula. Orang Bali amat percaya bahwa kehidupan di dunia ini berpengaruh terhadap kehidupan di dunia baka setelah meninggal dunia sehingga ada anggapan umum bahwa hidup di dunia ini untuk mencari bekal nanti setelah meninggal.
Bakal tersebut berupa hasil perbuatan yang dilakukan selama hidup yang disebut karma phala yaitu karma berarti perbuatan dan phala berarti hasil atau buah. Hasil yang akan diterima nanti tergantung pada baik buruknya karma. Dalam pengertian ini bukan saja perbuatan nyata tetapi juga termasuk berpikir dan berkata. Ketiga perbuatan ini berbuat, berkata dan berpikir yang baik dan benar merupakan pedoman yang tercakup dalam konsep trikaya parisuda isinya manacika yaitu berpikir yang baik; wacika yaitu berkata yang benar dan kayika artinya berbuat yang benar (Mastra, 1982:56).
Kehidupan beragama adalah fenomena sosial budaya yang dapat diamati di dalam kehidupan sehari-hari. Agama bagi penganutnya dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang memuat ajaran dan dipakai sebagai pedoman hidup yang amat diyakini kebenarannya sehingga didalam menghayati ajaran-ajaran tersebut para penganut bukan saja tidak menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang rasional tetapi juga melibatkan emosi dan perasaan yang dampaknya penganut suatu agama menyerahkan keseluruhan jiwa dan raga kepada agama yang dianutnya (Suparlan,1982:76).
Ajaran-ajaran agama yang dipakai sebagai pedoman hidup di dalam kehidupan sehari-hari berisikan nilai-nilai aturan-aturan, resep-resep dan sebagainya yang mendorong prilaku dan kelakuan manusia. Ajaran-ajaran tersebut bersifat normatif yaitu sebagai tolak ukur untuk menentukan mana perbuatan yang sebaiknya bisa dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, gejala mana yang harus dipertahankan dan mana yang tidak baik dilanjutkan dan sebagainya.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
"ABSTRAK
Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia.
Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat.
Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rauf Suleiman
"Suatu kenyataan ialah bahwa walaupun masa prasejarah telah berakhir secara formal di Indonesia, namun demikian kelangsungan tradisi tersebut masih jelas tampak di beberapa tempat. Bahkan beberapa bagian daerah Irian Jaya dan Nusatenggara, belum mengalami perubahan yang berarti, sehingga terkesan masih berada dalam kehidupan prasejarah (Soejono, 1990: 306).
Salah satu tradisi prasejarah yang masih hidup hingga saat ini ialah tradisi megalitik. Perkembangan tradisi ini, berlangsung cukup lama yaitu dari masa neolitik hingga sekarang (Van Heekeren, 1958: 44). Oleh karena itu tidak mengherankan jika tradisi megalitik ini telah memberikan dasar yang kuat bagi budaya bangsa Indonesia. Bahkan tradisi megalitik, dengan sangat dinamis mengikuti corak perkembangan budaya yang masuk ke Indonesia.
Pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Pendukungnya. Tradisi pemujaan ini berlangsung dan perkembangan terus menerus sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai sekarang. Persebarannyapun pada waktu Sekarang Menjangkau Wilayah Yang Cukup Luas, Seperti: Nias, Flores, Sabu, Timor, Sumba dan lain-lain (Soejono 1990: Sukendar, 1981/1982).
Pemujaan Terhadap Arwah Nenek Moyang Dari Tradisi Megalitik, Dilatar Belakangi Oleh Anggapan Bahwa Nenek Moyang yang meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya (soejono, 1977). Prinsip inilah yang tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi.
Di sulawesi selatan, peninggalan megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu (rantepadang, 1989: 40). pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi kepada pemujaan arwah leluhur (soejono, 1990: nadir, 1980).
Ada dugaan bahwa tradisi serupa pernah juga berkembang di daerah-daerah seperti sengkang dan sidenreng (sidrap) (tjitrosoepomo, 1987: 82)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005
306.1 IND m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Subarno
"The Meiji restoration indicated an early process of modernization in Japan, a major political, economic, and social change that took place rapidly in the second half of the 19th century, by which Japanese society was transformed into the modern one. This process of modernization continued up to the end of Pacific War when Japan was defeated by the allied forces. In the post war era, Japan rushed to catch up with the industrialized west by focusing on her industrial and economic development. Consequently, less than two decades Japan has become a rich country.
Even though Japan has been an advanced and modern country, and accepted modern culture of the west and developed advanced industries based on what she has learned, she has at the same time, maintained her own culture, that has many characteristics, like: multi-layered, homogeneity, Japanization, and pragmatism. These features can be seen in religion too. Buddhism is absorbed side by side with Shinto and the two religions become harmoniously interwoven in the lives of the Japanese. This phenomenon strengthens folk religion, an indigenous primitive religion into which elements from Shinto, Buddhism, Taoism, Confucianism and other religions have been grafted and is expressed in the daily ritual and matsuri. Among them is the 0-Bon Matsuri.
0-Bon Marsuri is a part of ancestor worship, observed between 13-15th day of the seventh month, by placing offerings on the bondana and by otherwise seeking to please the ancestral spirits. For contemporary Japanese people, this observance has many functions, such as: to fulfill basic human needs, to strengthen solidarity among family groups, to be recreational event, and to break monotonous. That's why the phenomenon changes from religious ceremony to social custom."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Catatan R.M. Suwandi yang rupanya disusun dalam rangka kerja sama dengan Dr. Th. Pigeaud di Surakarta, kemudian diserahkan kepada Pigeaud secara bertahap antara bulan Februari hingga Juni 1938. Catatan Suwandi tentang kehidupan dan tata cara kraton Surakarta maupun kaum bangsawan ini terdapat dalam lima buah naskah yang kini tersimpan di koleksi FSUI (UK.12-16). Teks ini berisi berbagai hal, di antaranya uraian tentang penyelenggaraan Sekaten, Garebeg Mulud, Garebeg Puasa, Garebeg Besar, dan Bakda Sawal. Dilanjutkan dengan tatacara peringatan ulang tahun ratu Belanda Wilhemina yang diselenggarakan oleh raja Jawa dan tatacara penyambutan Gubernur Jendral ketika berkunjung ke Surakarta."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
UK.15-W 61.01
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Yuliani Kurnia
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh ajaran Buddha dan Konfusianisme yang berkembang di Korea terhadap tata cara dan makna ritual pemakaman dan peringatan arwah yang dilakukan masyarakat Korea. Namun, penulis membatasi masalah ini pada ritual yang dilaksanakan sebelum mendapat pengaruh agama Kristen dan perkembangan modernisasi. Sebelum membahas topik tersebut, penulis juga membahas mengenai pandangan masyarakat Korea mengenai kematian dan kehidupan setelah kematian yang dijadikan dasar dilaksanakannya kedua ritual tersebut. Dari penelitian kualitatif deskriptif ini, disimpulkan adanya pengaruh yang kuat dari ajaran Buddha dan Konfusianisme dalam makna dan pelaksanaan ritual pemakaman dan peringatan arwah dalam masyarakat Korea dan kedua ritual tersebut tetap dilaksanakan secara turun-temurun hingga sekarang ini.

Abstract
This thesis discusses the influence of Buddhism and Confucianism that developed in Korea toward the procedure and meaning of funeral and memorial services performed in Korean society. However, the author limits this problem in the rituals conducted prior to the influence of Christianity and the development of modernization. Before addressing the topic, the author also discussed the Korean society views of death and life after death which is used as the basis of the implementation of both the ritual. From this descriptive qualitative research, we can conclude the existence of the strong influence of Buddhism and Confucianism in the meaning and implementation of funeral and memorial services in Korean society and the rituals are still carried out by generations until today."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S500
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Azure Ivana
"Masyarakat Hindu-Bali merupakan masyarakat yang memiliki ciri religius. Adanya ciri-ciri tersebut menjadikan kehidupan masyarakat itu sendiri tidak terlepas dari tradisi, seni-budaya, ritual, dan berbagai nilai yang terkandung dalam ajaran Agama Hindu-Bali sendirian. Kedatangan modernisasi yang dibawa oleh tingginya aktivitas pariwisata berjalan seiring waktu di pulau Bali nyatanya menimbulkan ketakutan tersendiri (meski tidak secara eksplisit) bagi masyarakat dalam mempertahankan ciri atau identitas Bali mereka. Salah satu upaya yang dirasa bermanfaat adalah dengan terus melaksanakan ritual adat dan agama, termasuk peraturan Banten Canang Sari. Secara tidak langsung, membentuk makna yang berasal dari stimulasi yang dianggap bermanfaat oleh masyarakat situasi modernisasi saat ini. Dari sini maknanya ada dalam ritual pengaturan Banten Canang Sari relevan dengan permasalahan masyarakat. Ritual peraturan Banten Canang Sari sendiri merupakan simbol religiusitas dalam upaya masyarakat mempertahankan karakteristik Bali mereka.

The Hindu-Bali community is a society that has religious characteristics. The existence of these characteristics makes the life of the community itself inseparable from traditions, arts-culture, rituals, and various values ​​contained in the teachings of the Hindu-Balinese Religion alone. The arrival of modernization brought about by high tourism activity goes hand in hand The time on the island of Bali in fact caused its own fear (although not explicitly) for the people in maintaining their Balinese characteristics or identity. One effort that has been deemed beneficial is to continue to carry out traditional and religious rituals, including the Banten Canang Sari regulations. Indirectly, forming meaning that comes from stimulation that is considered beneficial by society the current modernization situation. From here the meaning is in the ritual setting of Banten Canang Sari which is relevant to community problems. The Banten Canang Sari ritual ritual itself is a symbol of religiosity in the community's efforts to maintain their Balinese characteristics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>