Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djunaedi Hidayat
"Pada kusta lepromatosa hampir semua saraf tepi terinfeksi secara simetris dan biopsi satu saraf memberikan hasil yang sama baiknya dengan biopsi beberapa saraf. Tujuan penelitian adalah mengetahui perubahan histologis, menentukan indeks bakteri (IB) dan klasifikasi histologis saraf kutaneus radialis cabang telunjuk. Sejumlah 40 spesimen saraf dari 40 penderita diwarnai dengan cara hematoksilin eosin (HE) dan Fite-Faraco (FF), dan diperiksa dengan mikroskop cahaya. Ditemukan granuloma makrofag pada semua sediaan; nekrosis kaseosa dan fibrosis masing-masing pada satu sediaan. Jumlah lapisan perineurial bervariasi 7-12 lapis dan indeks bakteri saraf bervariasi 3+ - 6+. Tidak terdapat kesenjangan antara klasifikasi klinis dan histologis saraf.

In lepromatous leprosy almost all peripheral nerves are affected symmetrically, and selection of one of the most involved nerves gives as good result as multiple nerve biopsies. The objective of this study was to determine the histological changes, the bacterial index (B1) and the histological classification of the index branch of the radial cutaneous nerve. Forty biopsy specimens of 40 patients stained with hematoxylin eosin (HE) and Fite--Faraco (FF) methods were studied with light microscope. Macrophage granulonas were found in all specimens caseous neorosis was found in one patient and fibrosis in one patient. Perineurius of the nerves consisted of 7 to 12 layers and the bacterial index of the nerves varied from 3+ to 6+. There was no discrepancy between the clinical and the histological classifications.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Djunaedi Hidayat
"Pada kusta lepromatosa hampir semua saraf tepi terinfeksi secara simetris dan biopsi satu saraf memberikan hasil yang sama baiknya dengan biopsi beberapa saraf. Tujuan penelitian adalah mengetahui perubahan histologis, menentukan indeks bakteri (IB) dan klasifikasi histologis saraf kutaneus radialis cabang telunjuk. Sejumlah 40 spesimen saraf dari 40 penderita diwarnai dengan cara hematoksilin eosin (HE) dan Fite--Faraco (FF), dan diperiksa dengan mikroskop cahaya. Ditemukan granuloma makrofag pada semua sediaan; nekrosis kaseosa dan fibrosis masing-masing pada satu sediaan. Jumlah lapisan perineurial bervariasi 7-12 lapis dan indeks bakteri saraf bervariasi 3+ - G+. Tidak terdapat kesenjangan antara klasifikasi klinis dan histologis saraf.

In Lepromatous leprosy almost all peripheral nerves are affected symetrically, and selection of one of the most involved nerves gives as good result as multiple nerve biopsies. The objective of this study was to determine the histological changes, the bacterial index (BI) and the histological classification of the index branch of the radial cutaneous nerve. Macrophage granulomas were found in all specimens; caseous necrosis was found in one patient and fibrosis in one patient. Perineurium of the nerves consisted of 7 to 12 layersand the bacterial index of the nerves varied from 3+ to 6+. There was no discrepancy between the clinical and the histological classifications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Masduki
"Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan "cross sectional" dengan teknik analisis data kuantitatif. Pengambilan data dilakukan dengan penelusuran kartu penderita di Puskesmas serta melakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik menggunakan teknik analisis distribusi frekuensi, uji Chi-Square, Phi, serta analisis Regresi Logistik.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kuningan, dengan unit analisis para penderita kusta, baik yang masih aktif berobat maupun penderita yang telah pasif berobat dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku kepatuhan berobat penderita kusta di Kabupaten Kuningan, untuk mengetahui pengaruh faktor kharakteristik, faktor non perilaku, serta faktor perilaku penderita terhadap kepatuhan berobat.
Hasil penelitian didapat bahwa 83.5% dari responden ternyata patuh berobat dan sebanyak 16.56 tidak patuh berobat. Berdasar analisis bivariat ternyata ada hubungan antara faktor-faktor pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, pengetahuan, persepsi dan faktor cacat akibat penyakit kusta dengan kepatuhan berobat di Kabupaten Kuningan. Sedangkan faktor umur, sikap penderita terhadap pengobatan penyakit kusta, serta faktor adanya bercak dikulit penderita tidak ada hubungannya dengan kepatuhan berobat. Begitu pula dengan analisis regresi logistik, dari 9 (sembilan) faktor yang diduga ada pengaruhnya ternyata hanya 6 (enam) faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Dari analisis ini pula diketahui bahwa faktor adanya cacat akibat penyakit kusta memberikan kontribusi yang paling besar pengaruhnya diantara ke 6 faktor yang berpengaruh tersebut."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Bachtiar Oesman
"Kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang dengan dampak yang kompleks. Sebagaimana penyakit khronis lainnya maka keteraturan berobat penderita kusta merupakan salah satu masalah pemberantasan penyakit kusta. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita kusta.
Penelitian ini merupakan survey dengan desain kross seksional. Populasi penelitian adalah seluruh penderita kusta yang tercatat di Puskesmas tahun 1909-1991 dan mendapat obat MDT dari Yayasan Bina Sehat Tangerang. Pengambilan sampel dengan simple random sampling. Besar sampel 255.
Dari 17 variabel yang diteliti didapat 4 variabel yang berhubungan dengan keteraturan berobat yaitu kepercayaan penderita, persepsi jarak, kelainan kulit, cara mendapatkan obat. Penderita yang teratur berobat 78.4% . Dari hasil nilai Odds yang tinggi ternyata kepercayaan penderita dan persepsi jarak selalu muncul dalam berbagai kombinasi variabel. Dari perhitungan Exposed Attributable risk diperoleh hasil kepercayaan 85.767% , persepsi jarak 63.42% , kelainan kulit 86.42% , Cara mengambil obat 64.58%.
Keteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Tangerang cukup tinggi. Faktor yang mempunyai peran besar dalam keteraturan berobat adalah kepercayaan penderita dan kelainan kulit.
Disarankan untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam memotivasi penderita, mengintensifkan pencarian penderita baru, mendekatkan tempat mengambil obat kepada penderita dan tetap menjalin kerja sama.dengan pihak swasta."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibagariang, Renta Nilawati
"ABSTRAK
Stigma terhadap penderita kusta masih mempakan masalah utama di
Indonesia, dimana hal ini secara program berdampak pada keterlambatan pendedta
untuk diobati dan secara individu bcrdampak negatif pada kondisi fisik, mental,
sosial, dan ekonominya. Namun sampai saat ini masih sangat sedikit penelitian yang
menggali masalah stigma masyarakat terhadap penderita kusta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang mendalam
tentang pcngetahuan, persepsi, kepercayaan, sikap masyarakat terhadap pendenta
kusta yang berhubungan dengan teljadinya stigma terhadap penderita kusta.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi dengan
menggunakan metode kualitatiil dimana pengumpulan data dilakukan dengan telaah
dokumen, Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara rnendalam. lnforman
kunci terdiri dari wasor kusta, juru kusta, tokoh masyarakat, penderita kusta, mantan
penderita kusta, dan infonnan terdiri dari petugas kcschatan di puskesmas dan
masyarakat non pcnderita kusta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teljadinya stigma bcrhubungan dengan
pengetahuan yang rendah temang cara penularan pcnyakit kusta, persepsi bahwa
penyakit kusta adalah penyakit yang sangat menular dan dapat menyebabkan
mutilasi bahkan kematian. Terjadinya stigma di Kecamatan Simpenan juga
berhubungan dcngan sikap masyarakat yang takut tertular dan ketika melihat
kecacatzm yang mengerikan yang ditimbulkan oleh penyakit kusta. Ditemukan juga
bahwa penderita kusta yang cacat mendapatkan perlakuan negatif yang Iebih berat dibanding dengan penderita yang lidak cacat Selain itu ditemukan juga bahwa
penderita kusta dcngan tingkat kecacatan yang sama namun bcrbeda status sosial
ckonominya, akan mendapatkan perlakuan negatif yang berbeda pula. Dengan
demikian disarankan untuk meningkatkan pengetahuan melalui KIE dcngan metode
dan media yang diinginkan kepada seluruh lapisan masyarakat dan petugas
kesehatan. Lcbih lanjut, penemuan dan pengobatan penderita secara dini oleh
petugas kesehatan dan dibantu dengan peranserta tokoh masyarakat mennpakan hal
yang esensial.

ABSTRACT
Stigma related to leprosy is still a big problem in Indonesia, where regarding
to leprosy control program it influences to patient delay for treatment and regarding
to person affected it aH`eets negatively to his/her physical, mental, social and
economic status. Particularly, studies that have explored stigma in community
toward people aifected leprosy are rare.
The purpose this study was to get deep information of knowledge, perception,
belief, attitude of community toward people affected leprosy relating to occurrence
of stigma. It is based on qualitative study conducted at Simpenan, in Sukabumi
district where data collecting were obtained through document observation, Focus
Group Discussion (FGD), and in-depth interview. Key informant of this study
consists of district leprosy supervisor, leprosy health worker, community leader,
people affected leprosy, ex-leprosy patient and others informant are health worker at
hea.lth center and community (non people affected leprosy).
This study shows that the occurrence of stigma are related to lack of
knowledge about the course of infection of the disease, perception that leprosy is
very contagious disease and might caused mutilation and death. The occurrence of
stigma in Simpenan also related to community attitude who afraid of to be contracted
and Scare t0 the appearance of terrible impainnent due to leprosy. Also found that
people affected with disability get more negative treatment from community
compare to people affected without disability. it is highlight further that even with
similar grade of disability, social-economical differentiation makes significant difference on treatment by community. Therefore it suggests to improve knowledge
of community and health workers through IEC which use appropriate media and
method. One most important in preventing of disability is to find and treat patient
timely by health worker with community leader participation.

"
2007
T34519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamariah
"Penyakit kusta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di samping besamya masalah di bidang rnedis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Menghadapi masalah ini, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan agar pada tahun 2000 penyakit kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi rate kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Penurunan prevalensi rate ini dapat dicapai dengan upaya peningkatan proporsi penderita kusta yang herobat taeratur dalaxn periode waktu tertentu. Pencapaian persentase keteraturan berobat atau RPT rate pcnderita kusta di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1998 (PB: 93,7 %; MB: 91,3 %). Angka ini relatif lebih tinggi dad target RPT rate nasional yaitu 90 % balk untuk penderita ripe PB maupun MIB. Beberapa penelitian, Salah satunya di Tangerang menunjukkan bahwa RFT Rate (1993) mencapai 78,4%, yang berbeda dengan angka keteraturan berobat yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan (RPT Rate : 90%). Prevalensi Rate Kabupaten Aceh Besar cendenmg menunm dari tahun ke tahun, tetapi belum mencapai target Prevalensi Rate yang ditargetkan oleh WHO yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun hal ini berbeda dengan penemuan penderita baru yang cenderung meningkat. Berdasarkan kenyataan ini maka dilakukan penelitian yang rnengkaji bagaimana gambaran keteratumn berobat yang sebenamya dari penderita kusta di Kabupaten Aceh Besar dan hubungannya. dengan faktor-faktor yang diasumsikan melatar belakangi keteraturan berobat penderlta kusta, yaitu faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, keyakinan, sikap, jarak, ketersediaan obat, peran petugas, dan peran keluarga.Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah 134 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang teratuzr berobat adalah 74,6 % (95 % CI; 67,2 % - 82,0 %)_ Secaxa statistik diperoleh hubungan yang bermakna antara keteraturan berobat dengan faktor pengetahuan (OR: 6,73i6;95 % CI: 2,540 - l7,855), keyakinan (OR: 7,169; 95 % CI: 1,167 - 44,040 ), sikap (OR: 4,481; 95 % CI: 1,458 - 13,773 ), dan peran petugas (OR: 3,325; 95 % CI: 1,195 - 9,248). Dari empat falctor yang berhubungan tersebut, maka faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling berhubungan dengan keteraturan berobat. Diperlukan pendidikan kesehatan yang persuasif dengan menggunakan orang yang berpengalaman dalam kesembuhan kusta sebagai pendidik ( Imitation by vicarious learning ).Per1u juga peningkatan kemampuan petugas dalam metode pendidikan dan penyuluhan rnelalui program pendidikan kcsehatan, dan melaksanakan studi eksperimental, untuk melakukan uji cuba beberapa. model yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan yang bersifat persuasif, Hasil studi ini dapat digunakan untuk mendukung program intervensi yang akan meningkatkan RFT Rate.

Leprosy is still a public health problem in Indonesia Besides the medical problems, leprosy disease also gives many social problems. To overcome all those problems ,World Health Organization ( WHO) declared elimination of leprosy by the year 2000,mea.ns leprosy will not be a public health problem anymore when the prevalence rate is less than l per 10.000 population Decreasing prevalence rate could be achieved by increasing the proportion of leprosy patients who could complete the treatment regularly within adequate period of time. The number of patients finished treatment during adequate period of time or RPT rate of leprosy patients in Aceh Besar district in 1998 was relatively high (PB: 93.'7%; MB: 91.3% ). This figure is higher compare to the national target, which is 90 % for both PB and MB types. Several studies, which one of them conducted in Tangerang (1993) showed that RFT Rate was 78,4%, it was different to compliance rate gathered from recording and reporting'(RFl` Rate was 90%). Prevalence Rate in Aceh Besar District tended to decrease from year to year, but it has not reached the Prevalence Rate targeted by WHO, that are less than 1 per 10.000 people. This was different to new cases tinding that tended to increase. Based on this face this study aims to ?rind out the real pictures of the treatment compliance of leprosy patients in Aceh Besar district, and some factors related to the treatment compliance of leprosy patients such as age, sex, education, job, knowledge, confidence, attitude, distance, availability of drugs/MDT, the role of health providers and the role of the patients family. The study was conducted in Aceh Besar district and designed as cross sectional study using primary data. The number of respondents was 134, which was all the population who full [ill the criteria. The study result shows that the proportion of respondent with compliance of treatment was 74.6% (95%CI1 67.2% - 32.0%)_ Statistically the correlation was significant between the compliance of treatment and the knowledge ( OR: 6.736 ; 95%CI 1 2-540 - 17.855 ), the confidence ( OR: 7.169 ; 95%Ci 1 1.167 - 44.040 ), the attitude ( OR 1 4.481 ; 95%CI 1 1.453 - 13-774 ) , and the role of health providers ( OR 1 3.325 ; 95%CI 1 1.195 - 9.243 ). Out of four factors, knowledge is the most factor related to the compliance oftreatment. It is needed to do persuasive health education such as Imitation by Vicarious Leaming using ex leprosy patient. It is also important to improve the capability of health providers in giving health education through formal health school, and conduct an experimental study to try out some models regarding the persuasive health education. The result of the study could be used to support the intervention which could improve RPT Rate."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leny
"Latar Belakang : Indonesia adalah negara peringkat ke-3 di dunia sebagai penyumbang penderita baru kusta terbanyak dengan jumlah penderita cacat tingkat-2 sejumlah 2.025 atau 10.11% (indikator < 5%). Kabupaten Bogor memiliki proporsi cacat kusta yang tinggi bahkan melebihi angka nasional yaitu 15.18 %. Beberapa studi menunjukkan hubungan bermakna antara perawatan diri dengan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawatan diri dengan kecacatan pada penderita kusta di Kabupaten Bogor tahun 2012 setelah dinkontrol oleh faktor-faktor lainnya.
Metode : Desain penelitian kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita kusta tipe MB usia ≥ 15 tahun yang sudah menjalani minimal 8 bulan pengobatan MDT dan tercatat pada register puskesmas tahun 2012 di 10 kecamatan di Kabupaten Bogor. Kasus adalah sebagian dari populasi yang mengalami kecacatan baik tingkat-1 atau tingkat-2 pada saat penelitian dilakukan yang diambil dari puskesmas yang dipilih secara purposive sedangkan kontrol adalah sebagian dari populasi yang tidak mengalami kecacatan pada saat penelitian dilakukan yang diambil secara purposive dari puskesmas yang terpilih. Jumlah sampel 86 orang terdiri dari 43 kasus dan 43 kontrol. Analisis data dilakukan secara bivariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat variabel interaksi antara perawatan diri dengan faktor lama sakit sehingga pada analisis multivariat diketahui bahwa penderita kusta yang melakukan perawatan diri dengan baik dan lama sakitnya < 2 tahun diperoleh OR=0.68 (95% CI: 0.12 ? 3.72). Penelitian ini memberikan hasil bahwa perawatan diri tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi kecacatan penderita kusta melainkan ada interaksi bersama antara perawatan diri dengan faktor lama sakit. Bahwa risiko kecacatan semakin besar pada penderita kusta yang kurang baik dalam merawat diri dan lama sakitnya ≥ 2 tahun dengan OR=10.6 (95% CI: 1.03 ? 109.86).

Background : Indonesia is ranked 3rd in the world as a contributor to the new leprosy patients with the highest number of people with disabilities level-2 or 2.025 (10.11%). Bogor district has a high proportion of deformed leprosy even exceed the national rate is 15.18%. Some studies show a significant relationship between self-care disability in patients with leprosy. This study aims to determine the relationship of self-care with a disability in leprosy patients in Bogor Regency in 2012 after control by other factors.
Methode : Case-control study design. Population in this research is the type of MB leprosy patients aged ≥ 15 years who had undergone at least 8 months of treatment MDT and recorded in the register in 2012 health centers in 10 districts in Bogor Regency. Case is part of the population who have disabilities either level-1 or level-2 at the time of the study were drawn from purposively selected health centers while the control is part of the population who do not have disabilities at the time of the study were taken from the clinic were purposively selected . Number of samples 86 people consisting of 43 cases and 43 controls. Data analysis was performed bivariate and multivariate
Result : There is a variable interaction between self-care with a long illness factor that in multivariate analysis known that leprosy patients who perform self-care and well long illness <2 years obtained OR = 0.68 (95% CI: 0:12 - 3.72). This study provides results that self-care does not stand alone in influencing disability lepers but no interaction with the factor of self-care with a long illness. That the greater the risk of disability in leprosy patients in poor self-care and pain ≥ 2 years old with OR = 10.6 (95% CI: 1.03 - 109.86).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Rahayuningsih
"Stigma merupakan salah satu faktor tertundanya penanganan penyakit kusta yang membuat penderita merasa malu dan terlambat mencari pengobatan sehingga dan sudah mengalami kecacatan yang berakibat terjadinya penurunan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perceived stigma dengan kualitas hidup setelah dikontrol umur, jenis kelamin, pendidikan, dan penghasilan.
Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan data primer menggunakan instrumen WHOQOL-BREF, perceived stigma dan format isian karakteristik. Kualitas hidup penderita kusta lebih banyak yang memiliki kualitas hidup kurang (57,45%). Karakteristik responden sebagian besar perempuan (82,98%), berumur 18-40 tahun (72,34%), lama pendidikan 0-6 tahun sebesar 76,60% dan penghasilan dibawah UMR (91,49%). Terdapat hubungan signifikan antara perceived stigma dengan kualitas hidup setelah dikontrol variabel penghasilan.
Untuk meningkatkan kualitas hidup penderita diperlukan penanganan stigma seperti konseling, terapi kelompok, rehabilitasi fisik dan okupasi untuk mencegah timbulnya cacat dan penderita bisa melakukan pekerjaan yang bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Bagi peneliti lain disarankan untuk mencoba rancangan longitudinal, teknik analisis lain, menambah variabel, melakukan uji instrumen, mencoba instrumen lain dan membuat perbandingan responden. Masyarakat diharapkan lebih terbuka pada informasi kusta agar menambah pemahaman dan memiliki persepsi yang baik tentang kusta.

Stigma is one factor that delayed treatment of leprosy makes people feel embarrassed and too late to seek treatment and have experience of disability that results in decreased quality of life. The purpose of this study was to determine the relationship between perceived stigma to quality of life after controlling for age, sex, education, and income.
The design used was cross sectional with primary data using the WHOQOL-BREF instrument, perceived stigma and formatting characteristics of the field. Quality of life of leprosy patients more likely to have less quality of life (57.45%). Characteristics of respondents most women (82.98%), aged 18-40 years (72.34%), a study period of 0-6 years at 76.60% and earnings below minimum wage (91.49%). There is a significant relationship between perceived stigma to quality of life after the controlled variable income.
To improve the quality of life of patients required treatment stigma such as counseling, group therapy, physical rehabilitation and occupational therapy to prevent the onset of disability and the patient can do the work that could improve the quality of life.
For other researchers are advised to try the longitudinal design, other analytical techniques, add a variable, test instruments, other instruments to try and make a comparison of respondents. Expected to be more open to the public information in order to increase the understanding of leprosy and has a good perception of leprosy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31918
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Qaira Anum
"Kusta sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan dunia, khususnya di negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Walaupun. Indonesia pada tahun 2000 sudah dapat mencapai eliminasi kusta, namun sampai tahun 2005 masih ada 12 provinsi dan 155 kabupaten yang belum mencapai eliminasi. Sehingga untuk mencapai eliminasi ini di semua negara pada tahun 2005, maka WHO (World Health Organization) tahun 1999 membentuk Global Alliance for the Elimination of Leprosy (GAEL).
Selama tahun 2004 di Indonesia ditemukan 18.549 kasus kusta baru dan 12.936 penderita di antaranya adalah kusta multibasiler (78,2%). Tahun 2002 angka prevalensi penderita kusta di Indonesia 0,92 dan tahun 2003 menurun menjadi 0,86 tapi kemudian naik lagi pada tahun 2004 menjadi 0,93. Data ini memperlihatkan bahwa angka prevalensi kusta yang naik turun merupakan suatu masalah yang harus diatasi.
Masalah penyakit kusta diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan banyaknya penderita kusta yang mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan carat. Keadaan tersebut terjadi sebagai aktbat stigma dan kurangnya pemahaman tentang penyakit kusta dan akibatnya untuk sebagian besar masyarakat lndonesia. Dampak keterlambatan pengobatan kusta adalah penularan terus berjalan, sehingga kasus baru banyak berrnunculan. Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan program pemberantasan penyakit kusta. Mengingat kondisi tersebut perlu satu sistem pemberantasan secara terpadu dan menyeluruh, di antaranya adalah pengobatan yang tepat sesuai dengan klasifikasi kusta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Djuanda
"

Kita semua mengetahui bahwa penyakit kusta pada stadium lanjut dapat menyebabkan cacat sehingga mengakibatkan mereka tidak dapat bekerja oleh karena itu mengurangi kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut tidak sesuai dengan tekad Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) II, yakni proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat yang maju, adil, makmur, dan mandiri berdasarkan Pancasila.

Dalam GBHN 1993 tercantum bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta kualitas kehidupan dan usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, serta untuk mempertinggi kesadaran masyarakat atas pentingnya hidup sehat. Perhatian khusus diberikan pada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, daerah kumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil dan kelompok masyarakat yang hidupnya masih terasing, daerah transmigrasi, serta daerah pemukiman baru.

Dampak sosial akibat penyakit kusta sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri, tetapi juga pada keluarganya, dan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka saya pada pidato pengukuhan sebagai guru besar telah memilih judul :

MASALAH PEN YAKIT KUSTA DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA MENJELANG TAHUN 2000 SERTA BEBERAPA ASPEKNYA

Hadirin yang terhormat

Terlebih dahulu marilah kita menelusuri sejarah penyakit kusta secara singkat. Kusta termasuk penyakit yang tertua, kemungkinan besar berasal dari India. Deskripsi autentik pertama berasal dari India. Kata kusta berasal dari bahasa Sansekerta kustlha yang terdapat dalam kitab Veda (tahun 1400 S.M. ) yang berarti merusak.

"
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0126
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>