Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189685 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pojoh, Ingrid Harriet Eileen
"ABSTRAK
Belakangan ini masalah gender menjadi bahasan yang tampaknya tidak habis-habis. Persoalannya sekarang adalah, apakah isu gender ini yang menempatkan perempuan subordinat terhadap laki-laki memang sudah ada sejak dahulu, ataukah baru belakangan ini bersamaan dengan berjalannya pembangunan nasional. Dalam pendidikan sejarah Indonesia, umumnya kita dikenalkan dengan raja-raja besar yang berkelamin laki-laki, misalnya Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Kertanagara, Hayam Wuruk, dan lain-lain. Padahal, data sejarah masa Jawa Kuna mencatat tentang pernah adanya raja atau penguasa berkelamin perempuan di masa lalu, ataupun perempuan yang menjalankan peran-peran dalam kehidupan sosial, politik, agama, ekonomi, dan hukum. Catatan-catatan seperti ini memang tidak kita temukan dalam buku-buku pelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kedudukan-kedudukan dan peran-peran apa raja yang pernah dipegang perempuan di masa lalu, khususnya di Jawa.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan yang merupakan tinggalan dari masa Jawa Kuna. Periode Jawa Kuna, yang juga dikenal sebagai masa pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa, mencakup waktu yang sangat panjang, yaitu sekitar 10 abad. Walaupun cukup banyak prasasti yang ditinggalkan dari masa ini, tidak semuanya digunakan melainkan hanya yang memuat keterangan tentang perempuan. Karya sastra yang dipakai dalam penelitian ini sangat terbatas, karena memang karya sastra tertua barn ada pada masa Kadiri. Akan halnya gambar pahatan, yang diambil sebagai sumber data adalah gambar-gambar pahatan yang ada pada bangunan-bangunan suci yang sudah jelas masanya.
Pembacaan prasasti tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui alih-aksaranya yang sebagian besar sudah dilakukan oleh ahli-ahli epigrafi, yang dihimpun dalam Oud Javaansche Oorkonden (disingkat OJO). Bersamaan dengan pembacaan tersebut, diperhatikan juga koreksi-koreksi yang pernah dilakukan oleh ahli-ahli sejarah kuna. Bagian prasasti yang menjadi pusat penganalisaan adalah sambandha-nya, yaitu bagian inti yang memuat alasan-alasan prasasti dibuat, pejabat-pejabat yang menghadiri, dan pihak-pihak yang menerima pasekpasuk (hadiah dari raja). Dalam bagian yang membicarakan tentang pejabat desa serta penerima pasdk pask itu, pada beberapa prasasti tercantum nama-nama perempuan atau kata sandang jenis feminin, yang dapat dikenal dari penulisan huruf vokal terakhir sebagai vokal panjang [a) atau [1]. Untuk mengetahui kedudukan perempuan yang namanya tercantuin dalam prasasti, selain diketahui dari jabatannya (apabila disebutkan dalam prasasti) juga dengan memperhatikan konteks kalimat lainnya.
Hal yang sama dilakukan terhadap karya sastra. Bedanya dari prasasti adalah bahwa dalam karya sastra jelas disebutkan apakah seseorang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, untuk mengenali tokoh perempuan tidak sulit. Sementara itu, untuk mengetahui kedudukannya, sering dalam karya sastra disebutkan apa pekerjaan atau fungsi seseorang, apakah is seorang dayang-dayang, abdi, atau pendeta perempuan. Terhadap gambar pahat, pengenalan penggambaran figur perempuan diketahui dari ciri pinggang yang lebih kecil dibandingkan pinggul, payudara, dan kadang-kadang pakaiannya. Untuk mengetahui aktivitas perempuan yang digambarkan pada gambar pahatan, sesekali digunakan karya sastra yang kisahnya merupakan alur cerita gambar pahat. Baik terhadap isi prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan, ketiganya dianggap sebagai wacana sehingga dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan kritik teks.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha, perempuan mempunyai kedudukan yang baik, yang diperolehnya secara tergariskan (ascribed) maupun dengan upaya (achieved). Di kalangan golongan bangsawan, melalui garis kekerabatan, kesempatan untuk memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan golongan bukan bangsawan, karena kedudukan tersebut merupakan kedudukan yang digariskan. Contohnya adalah putri raja dari permaisuri yang bisa menjadi putri mahkota (prasasti Cane, Munggut, Kakurugan, Baru, dan Kamalagyan) dan menjadi ratu (prasasti Pucangan). Seorang cucu perempuan raja yang diperolehnya dari anak selir maupun adik perempuan seorang raja bisa menjadi penguasa daerah (bhre, bhra i) di negara bawahan (punpunan) sebagaimana bisa diketahui dari kitab Nagarakertagama. Kerabat raja lainnya, seperti nenek raja/ratu, ibu, maupun selir mempunyai kedudukan yang penting pula karena mereka sesekali dipercayai oleh raja untuk meresmikan penetapan sima (prasastiprasasti Rukam, Poh, Sukun).
Hasil lainnya menunjukkan bahwa ternyata perempuan Jawa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha sudah menjalankan perannya di bidang sosio-ekonomi, hukuxm, dan keagamaan. Perempuan bukan hanya melulu bertanggungjawab atas urusan domestik, melainkan juga menjadi salah satu pihak yang menanggung ekonomi rumahtangga, dibuktikan oleh adanya pedagang, penari dan pesinden, dan petani. Begitu pula ternyata di masa itu, seorang perempuan bisa menjadi salah satu pihak pengambil keputusan pengadilan (prasasti Guntur).
Tampaknya, pembedaan gender yang terjadi sekarang tidak bisa dilepaskan dari latar agama yang dianut masyarakat kita. Dalam masa pengaruh agama Hindu dan Budha, yang mengenal tokoh dewi sebagai pasangan dews, kedudukan perempuan tidak dibedakan dari saki-laki. Masuknya Islam maupun Kristen yang bernuansa patriakhat menyebabkan "pembedaan gender" antara perempuan dan laki-laki, yang pada akhirnya menjadi semacam "norma" dalam tatanan masyarakat kita. Sesungguhnya pembedaan itu tidak perlu karena sejarah telah memberikan bukti kepada kita bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan lakilaki. Hanya saja, yang terjadi sekarang adalah, bahwa perempuan jarang diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki.

ABSTRACT
The Status And Roles Of Women In The Hindu Buddhist PeriodThe issue of gender has become very favourite lately. The problem we face now is whether this issue - which put women subordinative to men - is really a matter of recent problem or not. In schools wherein ancient history was taught under the subject Ancient History of Indonesia, students are acquainted to our (an ecx tecx t kings such as Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Krtanagara, Hayam Wuruk whose sex are all male. Actually, in historical data we find female kings or female rulers which unfortunately never been put in the astory of ancient history°. We also find in such data about the roles conducted by women during the old Javanese period. This research is about that, focusing on the identification of the status and roles of women in the old Javanese periode which is also known as the Hindu-Budhist period of Java.
Data used in this research are inscriptions (especially those which contain informations connected to women), literary-text and story-reliefs engraved in chandi or pethirtan from old Javanese period. In reading the inscriptions, we used those that already transcripted (from Old javanese to Latin) and compiled in Oud Javaansche Oorkonden.
Analysing is focused at the part of the inscriptions known as sambandha, in which we can find the names of rulers or persons who received tokens (pasek-pasek) from the king at the ceremony of establishing a lima. The difference between male-ruler and female-ruler written on inscriptions is known from the long vowel [I] or [a] at the end of a name. Differentiating male from male in literary-text is not as difficult as in inscriptions. Since literary-text is a narrative-text, it is clearly written whether a person is a male or female. On the other side, identificating the difference between male figure and female figure in story-reliefs is based on this criteria: waist, chest, and clothes. Female waist is carved smaller than the hips while in men it's almost the same, male chest is flat while female has their breast, underpart-cloths [kain, sarungj are mostly longer at female compared to men. Content analysing and text critiques are used in analysing the content of the three kinds of data: incriptions, literary-text and story-reliefs. This analysing technique is possible to be used since the content of these data is treated as a discourse.
The result of this research shows us that women of the old-Javanese period had a good status and played important roles in socio-political, socio-economical, socio-religuous and law lives. Some of the status they got by gynealogical line (ascribed-status) as shown in the Cane inscription, Munggut inscription, Kamalgyan inscriptions, etc.; but some are achieved.
The problem of gender we are facing now seemingly is caused by the social structure, which is "patriarchy-based". It could be possible that the religious institutions (pranata instead of institusi) had played its role in the making of social structure where we are in now. It seems that during the old-Javanese period, where dewa and dewi were put at the same level, either women or men could have the same status and played the same role except for reproduction role which is only belong to women. This is not the same to the recent condition. Although some women may already have jobs with good pay (that means the may play the public role), but stil we find differences since we still hear the saying about 'because women are powerless than men so not all men's work is appropriate for women". In this case, maybe we should believe what Jungh said about women: " women have the same capability as men"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sevilla Putri
"ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji pembagian peran antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik maupun ranah publik pada masyarakat Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Latar belakang penelitian ini didasari oleh pandangan yang menyebutkan bahwa peran utama seorang perempuan berada di sekitar aktivitas rumah tangga domestik dan peran laki-laki ialah sebagai pencari nafkah utama di luar rumah publik . Hal tersebut menciptakan ketergantungan ekonomi istri terhadap suami. Pada faktanya perempuan di Desa Singosari aktif terlibat dalam mengelola usaha peternakan sapi, keadaan ini diperkirakan berdampak langsung pada kehidupan perempuan, keluarga dan masyarakat. Meskipun pandangan dikotomi masyarakat mengenai ranah domestik dan ranah publik serta peran produktif dan peran reproduktif masih kuat, dari hasil studi ditemukan bahwa keberadaan perempuan dalam mengelola usaha peternakan sapi perah sektor publik diterima secara terbuka oleh masyarakat karena kemampuan kontribusi finansial yang diberikan kepada keluarga. Tingkat pemberdayaan perempuan yang terjadi di sana pun menuju kearah yang lebih positif. Keterlibatan perempuan secara aktif dalam ranah publik menunjukkan hal yang positif di mana keberhasilan perempuan telah menempatkan posisi sosialnya pada posisi yang dihargai dan dihormati baik di dalam keluarga maupun lingkup masyarakat.

ABSTRACT
This thesis discusses about the division of labor between men and women in Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali both in terms of domestic and public affairs. The research was conducted due to some views saying that the main role of women is centered in domestic affair only whereas the main role of men is to become the main breadwinner of the household public affair which led to an economical dependence of housewives to their husbands. In fact, women in Desa Singosari has an active role in managing the cattle breeding business in society. This situation thus affects the lives of the women, their family, and the society in general. Although there is a dichotomy in society regarding the roles in domestic and public affairs also regarding the roles in productive and reproductive affairs in this study I found that the fact that women actively participate in the cattle breeding business public affair can be openly accepted by society due to the financial contribution it can bring to their family. The women empowerment in Desa Singosari has also become more positive. The active involvement of women in public affairs has shown a positive development in which they can put themselves in a position where they can be appreciated and respected both in the family and in the society."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Berninghausen, Jutta
London: Zed Books Ltd, 1992
305.42 BER f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016
920.72 SIS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Sektor pertanian merupakan tulang punggung kehidupan ekonomi kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia pada kurun waktu abad 4 sampai dengan abad 15 Masehi. Tampilnya sektor partanian di tempat teratas ini tentu saja tidak hanya disebabkan oleh keunggulan teknologi berladang atau bersawah masyarakat masa lalu saja semata-mata. Namun keterkaitan dari banyak komponen kehidupan sangat menunjang keunggulan pertanian pada masa tersebut.
Komnonen-komponen tersebut antara lain adalah faktor cuaca /iklim, faktor ekologi, faktor religi (dalam hal ini adalah pemujaan pada tokoh dewi ibu) kemudian faktor pengaruh asing, misalnya adalah dikenalnya teknologi bersawah atau berladang dan kemudian faktor sosial masyarakat petani di pedesaan, yang terakhir adalah faktor distribusi dan distribusi hasil pertanian.
Ketergantungan yang erat antar komponen secara fungsional menyebabkan proses bertani untuk mata pencaharian pokok berlangsung sebagaimana mestinya. Namun perubahan kecil pada suatu unsur di dalam komponen itu dapat menyebabkan terganggunya komponen yang lain. Misalnya, bencana alam yang terjadi di suatu daerah yaitu letusan gunung yang terjadi pada tahun 827 Saka atau 906 Masehi disebutkan telah menghancurkan desa Rukam (terletak ,di kaki gunung Merapi) dan lahar menutupi daerah tersebut sehingga untuk beberapa lama daerah tersebut tidak bisa ditanami. Kemudian muncul prasasti-prasasti sejaman yang berisi tentang permohonan pengurangan pajak dari daerah-daerah di sekitarnya, yaitu desa Rumwiga. Adapula prasasti-prasasti yang berisikan protés warga desa terhadap kecurangan para pemungut pajak yang menarik pajak lebih banyak dari aturan yang ditetapkan. Selain itu ada pula perintah raja pada rakyat desa Rukan agar membangun sebuah bangunan suci untuk nenek moyang raja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Indri
"Relief adalah sualu karya seni yang dipahatkan pada materi atau bahan yang mempunyai permukaan rata dan menggambarkan serangkaian adegan mempunyai tekstur menonjol. Terdapat pembatas atau pemisah adegan, baik berupa garis vertikal. Horizontal, bulat, lonjong, dan lain-lain. Pada umumnya relief berfungsi sebagai visualisasi kehidupan pada masa atau zaman itu. Penempatan setiap relief tersebut juga dapat menentukan status dari satu tokoh pada gambaran kehidupan yang tampak dalam relief tersebut.
Skripsi ini berisi tentang bentuk, hiasan, keletakan relief makhluk kayangan candi Hindu dan Buddha. dan melihat persamaan dan perbedaaaannya, serta diharapkan dari penelitian ini menambah pengetahuan mengenai perbedaan bentuk fisik yang terdapat di candi Hindu dan Buddha. Dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian secara umum (bentuk hiasan), dan diklasifikasikan lagi berdasarkan kronologi relatif yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pada tahap pengolahan data hasil klasifikasi tersebut dianalisis dengan cara perbandingan terhadap masing-masing relief makhluk kayangan pada candi Hindu, masing-masing relief makhluk kahyangan pada candi Buddha, dan perbandingan di antara keduanya untuk mendapatkan hasil akhir.
Masalah-masalah yang diajukan terhadap relief makhluk kayangan dari candi_candi di Jawa Tengah antara lain: bagaimana penggambaran bentuk dan jenis, serta fungsi relief makhluk kayangan itu, baik di candi Hindu maupun di candi Buddha; bagaimana penempatan dari relief makhluk kayangan di candi Hindu maupun candi Buddha (variasi penempatan), Dari permasalahan yang telah diuraikan tersebut, tujuan yang hendak dicapai adalah segala permasalahan tersebut dapat terjawab. Variasi bentuk yang, dihasilkan dari tiap tokoh berbeda-beda, hal tersebut berhubungan dengan keletakannya di suatu candi.
Berdasarkan hasil dari analisis keletakan maka dapat diambil kesimpulan bahwa makhluk-makhluk kayangan yang berada di wilayah Jawa tengah hampir sebagian besar terdapat pada bagian tubuh dari sebuah candi. Hal tersebut menggambarkan bahwa sebagai makhluk kayangan atau makhluk setengah dewa, tokoh ini dipahat pada bagian Bhuwarloka atau dunia tengah, alam manusia yang telah disucikan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vevi Ratna Sari
"Skripsi ini berisi tentang bentuk, hiasan, dan keletakan relung-relung candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah pada abad ke-8--10. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk, hiasan, dan keletakan relung-relung candi Hindu dan Buddha dan melihat persamaan dan perbedaannya, serta diharapkan dari penelitian ini menambah pengetahuan mengenai perbedaan fisik yang terdapat di candi Hindu dan Buddha. Dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian relung-relung yang terdapat di candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah pads abad ke-8-10, balk itu berupa data lapangan maupun studi kepustakaaii. Hasr1 penelitian lapangan dan kepustakaan ini kemudian diklasifikasikan secara umum (bentuk, bingkai relung, dan hiasan), dan diklasifikasikan lagi berdasarkan kronologi relatif yang telah dilakukan oleh peneliti.-peneliti sebelumnya. Pada tahap pengolahan data, hasil klasifikasi tersebut dianalisis dengan cara perbandingan terhadap masing-masing relung Hindu, masing-masing relung Budhha dan perbandingan di antara keduanya untuk mendapatkan hasil akhir. Hasil penelitian menunjukkan dari 28 jenis relung Hindu dan enam belas jenis relung Buddha terdapat tujuh bentuk relung, yaitu bentuk empat persegi panjang, empat persegi panjang dengan puncak busur lemah, empat persegi panjang dengan puncak busur tinggi, empat persegi panjang dengan puncak segi tiga, empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M, empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M ganda, dan empat persegi panjang dengan puncak lengkung kurawal. Diketahtu bentuk yang dominan dari relung Hindu adalah bentuk empat persegi panjang, sedangkan untuk bentuk relung Buddha adalah empat persegi panjang dengan puncak busur lemah dan empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M. Untuk hiasan relung, umumnya pada candi Hindu dan Buddha sama, yaitu hiasan kola-makara dengan lidah api atau pilaster. Keletakan yang paling umum pada relung Hindu adalah tiga relung utama yang masing-masing berada pada dinding luar bagian utara, selatan, dan timur atau barat sesuai dengan arah hadap candi dan dua relung penjaga yang masing-masing terletak di kanan-kiri pintu masuk, sedangkan pada relung Buddha setiap candi memiliki keletakan yang berbeda-beda dan umumnya berada di dalam bilik. Sehingga dapat dikatakan untuk membedakan relung Hindu dan Buddha tidak dapat dilihat dari bentuk dan hiasannya, tetapi dapat dilihat dari keletakan relung-relung tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12038
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Rima Dewi
"Masyarakat Jawa merupakan penganut bentuk dasar sistem terminologi bilateral dan generasional yang menyamaratakan kedudukan ayah dan ibu. Namun, pada kenyataannya tetap saja ada perbedaan mengenai pola persaudaraan ini yaitu pembedaan dalam senioritas dan jenis kelamin. Dalam budaya Jawa pun dikenal istilah Kanca Wingking bagi perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat kedudukan perempuan Jawa dalam keluarga yang tergambar novel Hati Sinden karya Dwi Rahyuningsih dilihat dari perspektif gender. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa diskriminasi gender seperti marginalisasi, stereotipe, dan subordinasi melahirkan berbagai kekerasan ekonomi, fisik, psikis, dan seksual.

The Javanese follow the basic rules of bilateral and genarational terminology system which balance the position of men and women in society. However, there is still differentiation found in this type of family pattern, which is the differentiation in seniority and gender. There is also "Kanca Wingking" terminology for women raised in Javanese culture. Therefore, this research analyzes the position of women in Javanese families based on gender perspective illustrated in Hati Sinden, a novel written by Dwi Rahyuningsih. This research, using analytical descriptive method, finds out that the gender discrimination such as marginalization, stereotyping, and subordination often result in economic, physic, psychological, and sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42852
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"ABSTRAK
Di Jawa Barat peninggalan-peninggalan keagamaan
yang bersifat monumental, seperti Candi misalnya relatif sedikit, namun oukup banyak sumber tertulis yang menguraikan perihal keagamaan, misalnya kitab Sewaka Darma, Sanghyang Sihsakanda ng karesian, Amanat
Galunggung, dan Serat Dewabuda. Banyak sarjana telah
menulis keagamaan di Jawa Barat, namun yang menulis
secara khusus dapat dihitung dengan jari, di antaranya
J.L. Moens, Hariani Santiko dan Agua Aris Mnnandar.
Moens dan Hariani Santiko menulis tentang agama yang
mungkin dianut raja Poernawarman dari kerajaan Taruma,
dan Agus Arismunandar mengenai keagamaan masa kerajaan
Sunda.
Peneliti yang menulis khusus keagamaan di Jawa
Barat, umumnya di Jawa secara menyeluruh dapat dikatakan belum ada. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode fenomenolo-
gi dengan data-data berupa sumber-sumber tartulis, yaitu prasasti dan karya susastra Serta berita~berita Cina.
Untuk dapat mengungkapkan suatu pengertian tentang
pemujaan atau keperoayaan yang tersirah dari isi
prasasti, penulis berusaha memperbandingkannya dengan
kitab-kitab keagamaan dan kitab-kitah susastra, serta
berita-berita Cina.
Atas dasar sumber-sumber tertulis tersebut diduga
bahwa kehidupan keagamaan masyarakat Jawa Barat masa
Hindu Buddha, yaitu masa kerajaan Taruma, lebih kurang
abad V sampai dengan abad VII Masehi adalah agama Veda
(Hindu Kuna) yang mengutamakan pamujaan terhadap Visnu
Triwikrama. Adapun keadaan keagamaan sesudah kerajaan
Taruma, masa kerajaan Sunda dan sesudahnya, sejak awal
abad kedelapan Masehi hingga akhir abad keenambelas
Masehi kehidupan keagamaan di Jawa Barat adalah agama
Hindu Buddha yang telah berbaur dengan unsur-unsur agama leluhur, yaitu ajaran patikrama sebagai "agama pribumi"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>