Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208195 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Very Aziz
"Era pasca Perang Dingin (post-Cold War) yang diwarnai oleh banyaknya konflik internal telah memberi kesempatan kepada PBB untuk memainkan peran dan strategi yang baru dalam menghadapi gangguan dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Pada konflik etnis internal di Rwanda, PBB inengambil tindakan intervensi yang didasari alasan-alasan kemanusiaan. Tindakan intervensi kemanusian PBB dalam upaya menangani konflik internal merupakan sesuatu yang relatif masih baru, dan sangat jarang dilakukan pada era Perang Dingin. Oleh karena itu, intervensi kemanusiaan menjadi perdebatan dan masih belum memiliki aturan hukum yang tetap. Demikian pula, dalam pelaksanaanya masih terdapat banyak permasalahan dan kendala.
Tesis ini menjelaskan kerangka manajemen konflik yang digunakan oleh PBB dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional, khususnya melalui mekanisme intervensi kemanusian. Dalam tesis ini juga dijelaskan justifikasi intervensi kemanusiaan, dan alasan-alasan justifikasi intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik di Rwanda. Dengan menggunakan konsep manajemen konflik dan intervensi kemanusiaan, penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik etnis di Rwanda, serta menjelaskan adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam intervensi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptip analitis, dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisis data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis data yang ada, penelitian ini menyimpulkan inefektifitas intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik Rwanda. Tidak efektifnya peran PBB dalam konflik tersebut diakibatkan oleh lemahnya mandat yang diberikan kepada misi PBB di Rwanda, dan lemahnya kekuatan pasukan PBB. Sumber utama kelemahan-kelemahan ini sebenamya terletak pada faktor politis, yaitu kurangnya political will dari negaranegara besar, dan proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Aty Rachmawaty
"Setelah berakhimya perang dingin, konflik intra-state semakin mengemuka sehingga menimbulkan banyak masalah di negara-negara yang belum mapan perekonomian serta politiknya. Pada akhirnya konflik internal ini kemudian menjadi berkepanjangan dan mengakibatkan stabilitas keamanan menjadi terancam dan pada akhirnya mempengaruhi perdamaian dunia. Somalia merupakan salah satu negara yang terlibat dalam konflik berkepanjangan sehingga mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan. Konflik yang berkepanjangan ini juga menimbulkan krisis kemanusiaan yang mengakibatkan rakyatnya menderita.
PBB sebagai organisasi intemasional, merasa berkewajiban untuk menyelesaikan konflik yang dianggap telah mengancam perdamaian dan stabilitas keamanan ini dengan melakukan intervensi. Intervensi ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung tidak hanya oleh pihak yang melaksanakannya namun juga oleh negara yang menjadi target. Intervensi PBB di Somalia sering dikatakan sebagai suatu bentuk intervensi kemanusiaan karena dilandaskan pada aspek kemanusiaan. Namun begitu, intervensi kemanusiaan ini tidak terlepas dari pengerahan pasukan bersenjata sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang aspek hukum, moral, dan politik di dalamnya.
Berdasarkan dari analisa penulis, intervensi PBB di Somalia sudah merupakan sebuah intervensi kemausiaan jika didasarkan pada fakta yang ada. Berdasarkan aspek hukum, intervensi PBB di Somalia dalam pelaksanaannya selalu dilandasi oleh isi Piagam PBB yang merupakan salah satu sumber hukum internasional. Aspek moral dari intervensi PBB di Somalia didasari oleh konsep just war yang terdiri dari dua hal penting yaitu ius ad bellum dan ius in bello. Tidak semua kategori dari kedua hal ini bisa dipenuhi oleh pelaksanaan intervensi PBB di Somalia. Namun begitu, ketidaksempurnaan ini menunjukkan sisi kemanusiaan dari para pengambil keputusan di PBB. Adapun aspek politik intervensi kemnusiaan di dasarkan pada cara pengambilan keputusan hingga bisa menjadi sebuah resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh situasi politik yang berkembang serta pendapat dari pihak-pihak yang kompeten. Bila dilihat dari aspek politik ini, intervensi PBB dianggap tidak berhasil menjalankan misinya. Walaupun mengalami beberapa perkembangan di bidang kemanusiaan, tetapi dibidang keamanan dan politik hal ini tidak bisa dicapai. Kegagalan ini menyebabkan PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S8053
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini membahas Mahkamah Kriminal untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda. Pembahasan kedua Mahkamah Kriminal Internasioanl tersebut bertitik tolak dari sudut pandang hukum intenasioanl. Resolusi Dewan Keamanan No. 827 Tahun 1993 menjadi dasar pembentukn Mahkamah Intenasioanl untuk bekas Ygoslavia (ICTY). Dasar hukum bagi Mahkamah Internasional untuk rwanda (ICTR) adalah Resolusi Dewan Keamanan No. 995 Tahun 1994. Kedua mahkamah internasional tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah bangsa-bangsa, karena Pengadilan Nurenberg telah mengadili penjahat-penjahat perang berkebangsaan Jepang dan Jerman karena kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II."
Hukum dan Pembangunan Vol. 31 No. 2 April-Juni 2001 : 105-129, 2001
HUPE-31-2-(Apr-Jun)2001-105
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Non-intervensi merupakan suatu prinsip/norma dalam hubungan internasional dimana suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal-hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri (yurisdiksi domestik) negara lain. Urusan atau permasalahan tersebut misalnya menyangkut penentuan sistem politik, ekonomi, sosial, sistem budaya dan sistem kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam Piagam PBB keberadaan prinsip non-intervensi dapat dilihat antara lain pada pasal 2 (7), beberapa pasal lain dalam Piagam PBB misalnya pasal 42 dan 51 juga mengatur mengenai hal ini. Prinsip non-intervensi yang ada di dalam Piagam PBB diperkuat dengan adanya deklarasi tahun 1970 (resolusi Majelis Umum PBB 2625 (XXV) tahun 1970), prinsip non-intervensi dalam deklarasi 1970 ini terdapat pada pasal 1 ayat (3). Melalui instrumen tersebut dapat dilihat bahwa tiap bentuk intervensi yang merugikan negara yang diintervensi adalah suatu pelanggaran hukum internasional. Dalam realitas pergaulan internasional, prinsip non-intervensi ini belum dijalankan secara penuh oleh negara-negara dalam hubungan antar negara yang mereka lakukan. Setiap negara pada saat ini berusaha untuk menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dalam pergaulan mereka, namun dalam pelaksanaannya prinsip ini sering disalahgunakan, terutama oleh negara-negara besar yang cenderung ingin memberikan pengaruhnya kepada negara-negara kecil. Efektivitas berbagai peraturan prinsip non-intervensi yang ada didalam berbagai instrumen hukum internasional hingga saat ini masih dapat dikatakan belum dapat berjalan dengan baik."
Universitas Indonesia, 2007
S26056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Gracias Ruth Hasianna
"ABSTRACT
Tugas karya akhir ini menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya intervensi militer Perancis di dalam konflik C te d rsquo;Ivoire tahun 2002. Konflik yang terjadi di dalam politik C te d Ivoire berawal dari masalah perekonomian dan juga masalah rasisme yang mengakar di dalam politik C te d rsquo;Ivoire. Masalah tersebut mengalami puncak di pemberontakan tahun 2002. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan studi literatur. Di dalam memahami faktor pendorong kebijakan intervensi Perancis, penelitian ini menggunakan konsep kepentingan nasional di dalam pendekatan realisme. Digunakan pula faktor-faktor pendukung terjadinya intervensi militer yang dikemukakan oleh Neil MacFarlane. Penelitian ini menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang mendorong terjadinya intervensi militer yang dilakukan oleh Perancis. Ketiga faktor tersebut adalah faktor ekonomi, faktor hubungan historis, serta faktor pengaruh tokoh atau aktor politik.

ABSTRACT
This study tries to analyze the causes of Frances intervention in C te d rsquo Ivoires 2002 conflict. The conflict which occured in C te d Ivoire caused by economic issues and also racism problems which have rooted in C te d Ivoires politics. These problems reached its peak in the 2002 rebellion in C te d Ivoire. The qualitative method was used in this study by conducting a study of literature. In understanding the the causes of Frances policy of intervention, this study uses the concept of national interests in realism approaches. This study also use the causes of military intervention which put forward by Neil MacFarlane. In conclusion, there are three factors which caused Frenchs military intervention. They are economic factors, historical factors, and the political actors. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmahanto Juwana
"Berbicara tentang masyarakat internasional apabila dikaitkan dengan kepentingan ekonomi maka masyarakat internasional terbagi dalam kategori negara-negara berkembang (selanjutnya disebut "Negara Berkembang") dan negara-negara maju (selanjutnya disebut "Negara Maju"). Negara Berkembang yang tergabung dalam Kelompok-77 (Group-77) dapat didrikan sebagai negara yang memperoleh kemerdekaan setelah tahun 1945, sedang dalam proses membangun, dan kebanyakan berada di Benua Asia, Afrika dan sebagian Benua Amerika (Amerika Latin). Sementara Negara Maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dapat didrikan sebagai negara yang telah berdiri sebelum tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Negara Maju, kecuali Jepang, juga diistilahkan sebagai negara Barat (Western stares).
Hukum Internasional yang Lebih Mengakomodasi Kepentingan Ekonomi Negara Maju. Negara Berkembang kerap mengargumentasikan bahwa hukum internasional merupakan produk dari negara Barat yang saat ini menjadi Negara Maju. Argumentasi ini didasarkan pads fakta bahwa hukum intemasional pada awalnya merupakan hukum yang berlaku antar negara di Benua Eropa. Oleh karenanya tidak heran apabila hukum internasional sangat terpusat pada apa yang terjadi di Eropa (Eurocentric). Merekalah yang menentukan bentuk dan jalannya hukum internasional.
Munculnya Negara Berkembang setelah Perang Dunia II telah membawa perubahan. Keinginan Negara Berkembang untuk terbebas secara politik dan ketergantungan ekonomi dari mantan negara jajahan mereka telah membawa pengaruh pada hukum internasional pada umumnya. Dalarn menyikapi eksistensi hukum intemasional, mereka menganggap bahwa hukum internasional yang ada tidak mencerminkan nilai-nilai yang mereka anut. Negara Berkembang mengargumentasikan bahwa pembentukan hukum internasional sebelum Perang Dunia II sama sekali tidak melibatkan mereka."
Jakarta: UI-Press, 2001
PGB 0371
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Niwa Rahmad Dwitama
"Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan. Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM, review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up.

The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect (R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention. Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of international relations scholars, international law and human rights intellectuals, this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and constructivism. This can be explicated through following points: (1) material factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down actor versus bottom-up agent.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Sulistia
"War and armed conflicts have been the major problems in international law especially for their defected impacts such as physical, psychological, and material loss for the victims. Wars and armed conflicts are subject to international humanitarian law so that people are protected from the soldiers violence where they kill each other in defending their national interests. Humanitarian law also has a purpose to protect wounded soldiers and prisoners of war from inhuman treatments. However, these wars and armed conflicts should be prevented because they have more disadvantages than advantages to human beings."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
JHII-4-3-Apr2007-526
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"disampaikan pada seminar tentang perlindungan tenaga kerja indonesia di luar negeri yang diselenggarakan pada tanggal 30-31 Agustus 2005 di surabaya"
300 MHN 1:2 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>