Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61271 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Augustine Sukarlan Basri
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai pengalaman perempuan sebagai pejuang selama perang kemerdekaan dans setelah indonesia merdeka berdasarkan penurunan dari pelaku sejarah itu sendiri. Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa masih banyak hal-hal mengenai pengalaman perempuan yang tidak terkemand dalam buku-buku sejarah indonesia. Dua hal yang diduga dapat menerangkan hal ini adalah kurangnya tradisi menulis dan kurangnya minat para sejarawan terhadap pengalaman-pengalaman perempuan sebagai pelaku sejarah. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang akan menggali lebih banyak mengenai pengalaman perempuan dari pelaku sejarah itu sendiri. Penelitian ini memilih tiga orang perempuan pejuang yang telah dikenal sepak terjangnya dalam lingkungan organisasi perempuan. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam.
Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa pengalaman dan kepedulian yang kurang lebih sama yang dimiliki oleh tiga pejuang ini. Pertama, dalam perjuangannya perempuan pejuang ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya. Kedua, mereka peduli terhadap isu perempuan, terutama masalah hak perempuan dalam perkawinan dan kesejahteraan ibu dan anak. Ketiga, sifat perjuangan mereka juga dipengaruhi oleh konsep perempuan sebagai ibu abgnsa. Keempat, oleh karena perjuangan mereka sangat diwarnai oleh konsep tersebut, mereka tetap menempatkan identitas mereka sebagai ibu rumah tangga walaupun pada saat bersamaan mereka adalah tokoh publik. Penelitian ini juga menampilkan pengalaman khas perempuan baik sebagai pejuang maupun sebagai istri pejuang. Dalam penelitian ini juga terungkap bagaimana perempuan ini menyikapi kelanjutan perjuangan mereka dalam masa sekarang.

ABSTRACT
This study was conducted to obtain a more complete description about women's experience during Indonesian Independence movement and thereafter based on personal life story. This study was based on the assumption that there are still lots more to say about women experience than those we can find in history books. Lack of written tradition and of historians' concerns on women's experience as actor in history are likely to be the reasons behind all this missing information. Therefore, it is necessary to conduct a study which will explore more about women's experience based on the actors' own experience. The method employed in this study is in-depth interviews and three women who are well-known among members of women's organizations, were selected as informants.
This study has identified some common experiences and concerns shared by three women who come from different backgrounds. First, have been greatly influenced by their parents and their families in their struggle. Second, they all concern about women's issues especially on women's right in marriage, mother's and children's welfare. Third, the nature of their struggle are greatly influenced by the concept of women as "ibu bangsa" (mother nation). Fourth, therefore, eventhough they have invaded "public" space successfully, they still retain their niches in "domestic sphere." This study also recaptures and reveals women's unique experience both as fighters and wives of fighters. Some concerns on women's situation in particular and the nation present Indonesia are also raised by the women, such as people's lack of morality and the government's lack of interest in social welfare."
Depok: Universitas Indonesia. Program Pascasarjana, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Nurliana
"Masa pendudukan Jepang yang lamanya sekitar tiga setengah tahun, telah membawa pengaruh yang besar pada rakyat Indonesia. Sejarah telah merekam berbagai pengalaman pahit sebagai akibat penjajahan itu. Namun tidak sedikit pula aspek positif yang ditinggalkannya antara lain semangat juang dan semangat kebangsaan. Salah satu dampak yang luas akibatnya adalah mobilisasi masyarakat yang ditujukan untuk membantu usaha perang balatentara Jepang. Segala lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memandang usia dikerahkan pemerintah pendudukan untuk menjalankan tugas-tugas berdasarkan instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah Militer. Sudah tentu hal ini tidak dapat dihindari juga oleh kaum wanita di Jawa. Baik dari kalangan elit maupun rakyat umum, di kota maupun pedesaan mereka tidak bisa mengelak dari kewajiban melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan oleh penguasa. Tugas-tugas itu baik yang bersifat politis, ekonomis maupun sosial dan budaya tujuannya adalah kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Sehubungan dengan itu Pemerintah Militer Jepang yang telah membubarkan semua organisasi politik dan kemasyarakatan ketika datang, mulai membentuk organisasi baru seperti Tiga A, Poetera dan Jawa Hokokai. Sedangkan untuk wanita dibentuk Fujinkai (yang artinya Perkumpulan Wanita) yang memobilisasi kaum ibu dan kaum gadis. Sifatnya herarkis karena yang diangkat sebagai ketua atau pimpinan adalah istri pejabat setempat. Tugasnya adalah membantu garis depan dan memperkuat garis belakang. Bantuan untuk garis depan antara lain latihan PPPK atau kepalang merahan dan dapur umum. Sedang kegiatan di garis belakang seperti menambah persediaan bahan pangan dan pakaian. Namun, latihan kemiliteran diberikan juga kepada para gadis yang tergabung dalam Barisan Srikandi.
Mobilisasi kaum wanita ini telah membawa pengaruh pada terjadinya perubahan sosial, hampir di semua sektor kehidupan. Terjadi interaksi yang intensif antara golongan elit dengan rakyat dan antara berbagai kelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang terorganisir telah memungkinkan terjadinya perubahan peran dari kaum wanita. Kesemuanya ini sangat penting bagi usaha mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17-8-1945. Kaum wanita turut berperan aktif dalam revolusi yang terjadi kemudian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Uziana Paramita
"Peranan wanita dewasa ini semakin berkembang dalam berbagai bidang pekerjaan termasuk dalam bidang militer, Tetapi keinginan wanita militer untuk dilibatkan dalam perang menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam di masyarakatnya keinginan ini dianggap sangat kontroversial karena melampaui batas-batas kewajaran seorang wanita, Padahal keikutsertaan mereka dalam perang adalah sangat penting bagi seorang militer dalam meningkatkan karirnya. Oleh karena itu sikap ambivalensi masyarakat Amerika telah menjadi hambatan bagi militer wanitanya. Permasalahan yang dikemukakan penulis adalah hal-hal yang menyebabkan masyarakat Amerika bersifat ambivalen terhadap keinginan wanita militer untuk diikutsertakan dalam perang. Padahal bila ditinjau dari sejarah keterlibatan mereka bukanlah hal yang baru walaupun dengan tugas-tugas yang terbatas.
Untuk menjawab permasalahan ini penulis menggunakan teori patriarki gender dan demokrasi sebagai landasan dalam menjawab permasalahan yanga ada. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan, film Courage Under Fire dan G.I. Jane, majalah-majalah koran dan media elektronik internet. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahannya yaitu penyebab sikap ambivalensi masyarakat Amerika terhadap wanita dalam perang.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab sikap ambivalensi masyarakat Amerika terhadap wanita dalam perang adalah karena adanya benturan nilai-nilai budaya dalam masyarakatnya. Nilai budaya patriarki yang sudah ada jauh sebelum deklarasi kemerdekaan dikumandangkan dan datangaya nilai demokrasi yang menjadi bagian dari berdirinya bangsa Amerika. Kedua nilai tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakatnya, sehingga memunculkan sikap pro dan kontra, yang pada akhirnya menyebabkan sikap ambivalensi terhadap wanita dalam perang.

The Ambivalence of American Society Towards Woman in CombatNowadays, American women take part a lot in any fields of jobs including in the military services. Yet, women's involvement in combat is still highly controversial in American society. In this thesis I want to address the ambivalence in American attitude towards women in combat. As a matter of fact, historically, women's contribution to war is not something new even though the military duties are still limited.
Addressing the issue, the writer applies theories of gender, patriarchy and democracy. The methodology used is qualitative, done through literary research, and analysis of two films: Courage Under Fire and G.I. Jane.
This thesis concludes that the cause of the ambivalence in the American society is the clash of the patriarchal and the democratic values. These values have been a great influence to the American society. As a result, of the clash of these values, American society shows ambivalent attitude about the woman in combat."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Rahmawati
"Saat pertama kali disahkan sebagai sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 2000, Agenda Perempuan dalam Perdamaian dan Keamanan merupakan sebuah terobosan yang diharapkan mampu mengubah pemahaman mengenai keamanan internasional secara masif sehingga mampu memperbaiki taraf hidup perempuan dalam konflik dan perang. Meskipun begitu, setelah 22 tahun berlalu, terlihat bahwa pada nyatanya agenda ini masih belum bisa membawa perubahan yang signifikan. Berangkat dari premis tersebut, maka tulisan ini berkomitmen untuk meninjau bagaimana Agenda Perempuan dalam Perdamaian dan Keamanan ini sebenarnya dimaknai dan diimplementasikan semenjak dua dekade terakhir. Menggunakan 121 literatur serta metode taksonomi, tinjauan ini mengidentifikasi tiga kategori bahasan utama dalam kajian mengenai Agenda Perempuan dalam Perdamaian dan Keamanan, yaitu: 1) konseptualisasi agenda; 2) implementasi agenda; serta 3) evaluasi agenda. Ditemukan bahwa terlepas dari kandungan serta visi yang dianggap revolusioner, masih banyak permasalahan yang belum dibahas dengan baik oleh agenda ini. Selain itu, pemaknaan sekaligus pengimplementasian dari agenda ini juga dapat dikatakan eksklusif, terbatas pada kelompok-kelompok atau entitas-entitas tertentu saja. Dengan begitu, masih banyak evaluasi yang perlu dilakukan terhadap pemaknaan sekaligus pengimplementasian agenda tersebut, baik secara normatif maupun pragmatis.

When first adopted as a UN Security Council Resolution in 2000, the Women in Peace and Security (WPS) Agenda was a breakthrough that was expected to massively change the understanding of international security as well as to improve the standard of living of women in conflict and war. Even so, after 22 years, it appears that in fact this agenda has not been able to bring about significant changes. Departing from this premise, this paper is committed to reviewing how the WPS Agenda has been interpreted and implemented since the last two decades. Using 121 literature and taxonomic methods, this review identifies three main discussion categories in the study of the WPS Agenda, namely: 1) conceptualization of the agenda; 2) agenda implementation; and 3) agenda evaluation. It was found that apart from the revolutionary content and vision, there are still many issues that have not been properly addressed by this agenda. In addition, the interpretation and implementation of this agenda can also be said to be exclusive, limited to certain groups or entities. In this way, there are still many evaluations that need to be carried out regarding the interpretation as well as the implementation of this agenda, both normatively and pragmatically."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Astuti
"Penelitian ini membahas tentang sisi lain kehidupan Ilbongun Wianbu Korea dilihat dari sudut pandang budaya pada masa kolonialisme Jepang. Secara epistemologi, wianbu memiliki makna sebagai pendamping, atau sebagai pekerja perempuan sukarela yang mengikuti para tentara Jepang selama berperang. Namun setelah The Rape of Nanking yang terjadi pada tahun 1937, interpretasi istilah wianbu selalu identik dengan budak seks tentara Jepang. Sementara itu, Laporan Komisi Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Ilbongun Wianbu bukan budak seks, melainkan pekerja yang mendapat bayaran dan fasilitas berupa makanan, pakaian, dan kesehatan di wianso (barak resmi). Penelitian ini menekankan pada dialektika pemakaian istilah Ilbongun Wianbu dan comfort women yang dianalisis berdasarkan fakta kehidupan yang dialami oleh Ilbongun Wianbu asal Korea dengan menggunakan korpus transkrip wawancara Laporan Kesaksian Ilbongun Wianbu oleh Kementerian Kesetaraan Gender Korea tahun 2002. Penelitian ini memakai metode kualitatif eksplorasi yang dipadukan dengan pendekatan diakronis. Hasil penelitian ini menunjukan ada perbedaan makna antara wianbu dan comfort women yang dibuktikan oleh sisi lain kehidupan seorang Ilbongun Wianbu di wianso yang tidak murni hanya menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang.

This paper discusses the other side of Ilbongun Wianbu Koreans life from a cultural point of view during the Japanese colonial era. Epistemologically, wianbu means a companion, or a voluntary female worker who follows Japanese soldiers during war. But after The Rape of Nanking which occurred in 1937, the meaning of wianbu was identical to Japanese army sex slaves. Meanwhile, United Nations Commission of Human Rights reported that Ilbongun Wianbu is not sex slaves, but workers who get paid and given food, clothing, and health at wianso (comfort station). This paper focus on the dialectics use of the terms Ilbongun Wianbu and comfort women which analyzed based on the facts of life experienced by Ilbongun Wianbu from Korea using the corpus transcript of the interview of Ilbongun Wianbu Testimony Report by the Korean Ministry of Gender Equality. This paper uses the qualitative exploration method combined with diachronic approaches. The results of this study indicate that there are differences in meaning between wianbu and comfort women as evidenced by the other side of the life of an Ilbongun Wianbu in wianso who is not only becomes sex servants for Japanese soldiers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Fathin
"Skripsi ini membahas peran dan kontribusi tenaga kerja perempuan pada masa Perang Dunia pertama di Victoria pada khususnya dan di Australia pada umumnya. Perempuan bekerja di berbagai bidang selama berlangsungnya Perang Dunia I. Mereka juga memberikan peran dan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada jalannya perang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah, yakni proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan yang terdapat di perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Freedom Institute, dan koleksi pribadi. Hasil penulisan menunjukan bahwa perempuan Australia telah banyak memberikan peran dan kontribusinya terhadap negara dan masyarakat Australia. Data menunjukan terlah terjadi perubahan sosial sebagai akibat banyaknya tenaga kerja perempuan di masa perang. Eksistensi mereka semakin diakui dan mereka dapat membantu keluarganya meskipun upah yang diterima belum juga sejajar dengan laki-laki di akhir masa perang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12134
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ainul Qalbi
"Perang selama ini dalam pemikiran masyarakat awam dikenal sebagai suatu peristiwa yang memilukan, tidak adil, dan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Namun, perang sebenarnya dapat menjadi suatu peristiwa yang adil. Dalam upaya mencapai keadilan tersebut, Agustinus mencetuskan sebuah teori yang mengatur apa saja yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang berperang, yang dikenal sebagai Just War Theory. Ada pun teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Michael Walzer pada abad 20. Just War Theory yang dikembangkan oleh Walzer ini menjadi alat analisis yang akan penulis pergunakan untuk membuktikan pelaksanaan Perang Dunia II di Eropa sebagai sebuah perang yang adil.

War is commonly known as an event that only brings misery, injustice, and a tragedy of humanity. But, war actually can become an event which is just. In order to make war as a just war, Augustine arranged some theories that can make a war become a just war, which is known as “Just War Theory”. In the 20th century, Michael Walzer has successfully developed the just war theory into a whole new level. In my opinion, this theory can become an instrument to prove that there are justice that contained in World War II in European Region, and this war is a just war that happened in the 20th century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Binkor Jenbise
"Artikel ini menekankan pentingnya mengangkat isu pemberdayaan perempuan Papua dan perjuangan keadilan. Penelitian ini untuk menjawab, apa itu keadilan menurut perempuan Papua dan bagaimana upaya perempuan Papua untuk mencapai keadilan atas identitasnya dan tanah Papua? Dalam menjawab pertanyaan dan realitas yang dihadapi perempuan dalam mencapai keadilan, penelitian ini mencari kebebasan berbicara tentang hak-hak perempuan Papua dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun, ada sistem patriarki dan negara yang menyulitkan dalam mendengarkan dan menanggapi suara perempuan tentang keadilan. Dibutuhkan waktu dan upaya untuk mengubah paradigma lama ini. Melalui bentuk penceritaan yang pertama, kita dapat menempatkan kisah tentang identitas seorang wanita Papua dan harga dirinya sebagai simbol cenderawasih dengan kulit gelap dan rambut keriting. Perempuan Papua tidak boleh tinggal diam dan harus memperjuangkan keadilan. "
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2021
305 JP 26:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
"Penelitian dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang (1) isu perempuan yang muncul dalam kunin waktu 1928 - 1965 dan sikap perempuan pejuang menghadapinya; serta (2) masalah-masalah subjektif yang dihadapi perempuan pejuang dalam kegiatan yang ditekuninya. Masuk dalam batasan di atas, semua masalah dan/atau isu yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan perempuan karena nilai, posisi, peran, stereotip dan tuntutan-tuntutan yang dilekatkan kepadanya sebagai manusia berjender perempuan. Metode yang digunakan adalah analisis wacana, yakni analisis terhadap narasi personal seperti biografi dan cuplikan kisah, maupun analisis terhadap buku-buku sejarah yang relevan.
Sebagian besar gerakan perempuan di Indonesia yang dibentuk sebelum kemerdekaan sampai tahun-tahun awal kemerdekaan memusatkan perhatian pada upaya membebaskan bangsa dari penindasan bangsa lain. Ciri-ciri ini sama dengan yang tampak pada gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan asing. Meski perjuangan memperbaiki kondisi hidup perempuan menjadi bagian penting perjuangan, hal tersebut tampaknya kalah penting dalam pembandingannya dengan upaya memperkuat barisan nasional menghadapi penjajah, dan mengisi tahun-tahun awal kemerdekaan. Untuk menggalang partisipasi aktif perempuan didengungkan konsepsi "perempuan sebagai Ibu Bangsa", dengan ide bahwa kemajuan bangsa sebagian besar tergantung pada kaum perempuan Indonesia. Konsepsi "meninggikan derajat perempuan sebagai Ibu Bangsa", meskipun mungkin diperlukan di masa lalu, dalam perkembangan sejarah selanjutnya tampaknya justru merugikan posisi perempuan, karena perempuan kemudian dilihat dan dikungkung hanya dalam kaitan perannya sebagai Istri dan Ibu, bukan sebagai warganegara yang sepenuhnya memiliki hak yang sama di segala bidang.
Di balik perjuangan bangsa, ada isu-isu perempuan yang berbeda untuk periode yang berbeda. Periode 1928 - 1942 kelompok perempuan menjadi satu kelompok penting yang mendukung perjuangan bangsa mengakhiri penjajahan. Di balik perjuangan bersama tersebut, ada masalah besar yang dihadapi kaum perempuan, yakni rendahnya kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan dan keluarga. Banyak terjadi perkawinan muda, perkawinan paksa, pergundikan, poligami, perceraian sewenangwenang dan masalah-masalah lain yang memunculkan banyak penderitaan bagi perempuan. Kondisi ini diperburuk dengan feodalisme yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat Jawa. Periode 1942 - 1945 (1950) yang menjadi ciri utama masa ini adalah dimobilisasinya kekuatan masyarakat dengan berbagai cara yang sangat eksploitatif dan merendahkan kemanusiaan, untuk membantu Jepang mencapai cita-citanya menguasai Asia. Terjadi banyak penipuan dan kejahatan seksual pada perempuan, dengan dimasukkannya perempuan-perempuan muda dalam kamp-kamp tentara, dipaksa menjadi pemuas nafsu seksual serdadu Jepang. Yang menonjol pada zaman Jepang adalah kelihaian pejuang mengembangkan berbagai strategi dalam menghadapi pemerintah Jepang, dengan salah seorang perempuan pejuang yang lihai dalam hal tersebut, yakni S.K. Trimurti. Dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan, perempuan ikut turun dalam perjuangan fisik dengan berbagai peran pentingnya.
Periode 1945 (1950) - 1965: Selain masalah-masalah rendahnya kedudukan perempuan dan eksploitasi terhadap seksualitasnya seperti yang juga mewarnai periode sebelumnya, isu yang menonjol adalah masalah-masalah organisasional yang pertentangan kepentingan di antara organisasi-organisasi yang ada, Kepentingan politik memecah-belah dan melemahkan organisasi perempuan. Perlu disebutkan mobilisasi massa yang sangat berhasil dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang berafiliasi dengan PKI, dan yang berbeda kepentingan dengan kelompok-kelompok lain, baik kelompok agama maupun kelompok nasionalis seperti Perwari. Kudeta berdarah 30 September 1965 dan situasi politik setelahnya yang membawa banyak korban menandai masa baru yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengalaman subjektif pejuang perempuan adalah (1) adanya model peran yang memberi contoh dan memotivasi perjuangan; (2) pembedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki, dan rendahnya kedudukan perempuan yang memotivasi perjuangan keadilan bagi perempuan; (3) kesadaran bahwa feodalisine berkait dengan bertahannya diskriminasi terhadap perempuan; dan (4) adanya dilema antara mendahulukan kepentingan perempuan dengan kepentingan nasional. Para pejuang menunjukkan komitmen tinggi pada nilai-nilai yang diyakini, sehingga rela menomorduakan kepentingan pribadi, hidup susah, dimusuhi keluarga dan dikucilkan, ditahan dan dipenjara. Ada pula pejuang yang demikian besar komitmen perjuangannya sehingga "mengalahkan kodrat biologis"nya sebagai perempuan yang baru melahirkan dan harus menyusui anak, tampil sebagai super woman, termasuk dalam menjalankan peran (beban) ganda dengan menjadi penanggungjawab utama dalam keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pejuang, baik sebagai individu maupun anggota organisasi berperan penting dalam perjuangan bangsa. Meski demikian, perjuangan memajukan kepentingan-kepentingan perempuan sendiri tidak banyak mendapat dukungan masyarakat Indonesia pada umumnya, ataupun pejuang nasional (pria) dan pemerintahan yang terbentuk setelah Indonesia merdeka. Yang lebih memprihatinkan, gerakan perempuan harus mengalami pertentangan dan perpecahan sebagai dampak kondisi perpolitikan negara dalam konteks yang lebih luas, seperti tampil setelah proklamasi kemerdekaan dan memuncak dengan meletusnya dengan kudeta 30 September 1965.

This content analysis focuses on two main questions: the issues faced by Indonesian women during national struggle 1928-1965, and how women reacted and positioned themselves in regard to the issues. To be included and focused, any problems directly and indirectly faced by women as gendered human beings.
The content analysis reveals that there are periods of Indonesian women activism, in which each period has its characteristic. In the period 1928-1942, people began to realize that they had to be united nationally to face the colonization. In this period, women activists began to realize many issues faced by women, especially in regards to their very low status in family law and in society in general There were polyginy everywhere, child and forced marriages, as well as women abuse in the family. With the sensitivity of the issue, conflicts between organzations existed, to be escalated more by the Dutch colony for their own benefits.
In the period of 1942-1945, Japan occupied Indonesia, and there were so many exploitative and humiliating mobilization of force to help Japan achieve its aim to dominate Asia. Many young women were sexually assaulted, raped, and forced to go to prostitution, as sexual reliefs for Japan soldiers. Also in this era, women involved in physical struggle and strategy in response to Japan's domination.
In the period of 1945-1965, beside other issues faced by women, there were also conflicting interests between different organizations. Women's organizations were manipulated by the political elites for their own purposes.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
LP 1998 39
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
305.4 PER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>