Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182574 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryanto
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983
410 SUD l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Montolalu, Lucy Ruth
"Aspek adalah sebuah kategori semantis yang mengandung banyak masalah. Masalah itu disebabkan jarena adanya kontroversi mengenai konsep tersebut. Kontroversi itu ada dalam linguistik umum maupun dalam linguistik Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan menelusuri wujud konsep aspek dalam linguistik umum dan dalam linguistik Indonesia. Tercakup di dalamnya masalah fungsi aspek, cara mengungkapkan aspek, dan ciri-ciri aspek.
Metode penelitian yang diterapkan dalam peneltian ini adalah metode kepustkaan, yakni dengan cara mengumpulkan sebanyak mungkin informasi linguistis mengenai konsep aspek dalam linguistik umum dan linguistik Indonesia serta memperbandingkannya satu sama lain. Hasil perbandingan tersebut dilaporkan dalam penelitian ini.
Dari penelitian ini diketahui apa yang disebut keaspekan, aspek dan apa yang dinamakan aktionsart. Selain itu dari penelitian ini diketahui sampai seberapa jauh penelitian mengenai keaspekan telah tercapai dan apa yang menjadi rumpang dalam penelitian-penelitian terdahulu sehingga penelitian pendahuluan ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang lebih luas lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agnetia Maria Cecilia Hermina Sutami
Jakarta: UI-Press, 2003
PGB 0255
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Bhuana Marthinovianto
"Penelitian ini membahas masalah penilaian terjemahan dialog novel The Da Vinci Code (DVC) karya Brown (2003) dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia melalui pemerian kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis yang ada di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai baik-buruknya terjemahan dialog DVC dengan menggunakan ancangan pragmatis yang terkait dengan kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentukbentuk kegagalan pragmalinguistis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan empat kriteria: (1) kegagalan mengalihkan frasa atau klausa; (2) kegagalan mengalihkan ungkapan rutin; (3) kegagalan mengalihkan deiksis eksofora; dan (4) kegagalan mengalihkan deiksis endofora. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentuk-bentuk kegagalan sosiopragmatis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan tiga kriteria, yaitu (1) kegagalan mengalihkan honorifik petutur; (2) kegagalan mengalihkan pagar; serta (3) kegagalan mengalihkan ungkapan formal.
Penelitian didasari atas metode error analysis, yang dimodifikasi menjadi analisis kegagalan pragmatis. Dialog-dialog di dalam teks sasaran (TSa) DVC diperbandingkan dengan dialog-dialog di dalam teks sumber (TSu) DVC untuk mencari kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatisnya. Setelah ditemukan, empat puluh percontoh data dianalisis dengan menggunakan tilikantilikan pragmatis. Di akhir analisis, usulan terjemahan yang dapat meminimalkan kegagalan pragmatis juga diberikan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan dialog DVC belum memenuhi kriteria ketepatan, kejelasan, dan kewajaran sehingga dinilai tidak baik. Analisis data dan simpulan yang didapat dari setiap data itu membuktikan bahwa tilikan-tilikan pragmatis, seperti daya ilokusioner, tindak tutur tidak langsung, ungkapan rutin, kesantunan positif, kesantunan negatif, deiksis, dan pagar, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai baik-tidaknya terjemahan.

This research discusses the translation evaluation of the dialogues in a novel written by Brown (2003), The Da Vinci Code (DVC), by explaining pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures found in DVC translation from English to Indonesian. This research is aimed at evaluating the correctness of the translation of the dialogues in DVC by using a pragmatic approach related to pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures.
This research is specifically aimed at seeking and explaining the forms of pragmalinguistic failures by using four criteria: (1) failures in translating phrases and clauses; (2) failures in translating conversational routines; (3) failures in translating exophoric deixis; and (4) failures in translating endophoric deixis. In addition, this research is also aimed at seeking and explaining the forms of sociopragmatic failures by using three criteria: (1) failures in translating addressee honorifics; (2) failures in translating hedges; and (3) failures in translating formal expressions.
This research is based on error analysis method, which is modified into pragmatic failure analyses. The dialogues in the target text (TT) DVC are compared with those of the source text (ST) DVC in order to seek for the pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures. After the comparison stage, forty data are selected as samples and are analyzed by using some pragmatic insights. In the final stage of the analysis, each data is given an alternative translation of the TT as an attempt to minimize the pragmatic failures.
The results of this research show that the dialogues in TT have not fulfilled the criteria of accuracy, clarity, and naturalness; hence, they are considered as poorly translated. The data analysis and the conclusion of each data prove that pragmatic insights, such as illocutionary force, indirect speech acts, conversational routines, positive politeness, negative politeness, deixis, and hedges, can be used as tools to evaluate the correctness of a translation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawati Darmojuwono
Jakarta: UI-Press, 2014
PGB 0251
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Apipudin
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadjir
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jossy Darman
"Ihwal tema-rema telah diteliti oleh banyak ahli bahasa, baik untuk bahasa Jerman maupun untuk sejumlah bahasa lain. Struktur tema-rema menarik perhatian para ahli ilmu bahasa karena analisis struktur kalimat secara tradisional kurang memuaskan. Yang dimaksud dengan analisis kalimat secara tradisional ialah pembagian kalimat dalam subjek dan predikat, atau subjek, predikat, dan objek. Istilah subjek, predikat, objek adalah istilah formal atau gramatikal. Bila masih ada keraguan di antara ahli bahasa akan tepatnya menerapkan kategori gramatikal tersebut pada bahasa secara universal, ujaran dalam semua bahasa dapat dipandang secara universal dari segi fungsional atau komunikatifnya, yaitu pengujar memberi keterangan (rema) tentang sesuatu (tema). Ujaran atau secara formal kalimat di bawah ini memiliki persamaan. Pengujar membubuhi keterangan kepada Ani (1.1) dan kepada mobil (1.2).
(1.1) Ani Mama sayang!
(1.2) Mobil itu menabrak sebuah pohon.
Dalam (1.1) seorang anak (2-3 thn) sebagai pengujar yang bernama Ani memberi keterangan tentang dirinya sendiri, yaitu bahwa ibunya harus menyayanginya. Dalam (1.2) pengujar berceritera tentang mobil yang menabrak pohon.
Pada hakikatnya bahasa adalah ciri khas manusia yang digunakan untuk berkomunikasi. Desco dan Szepe (1974:81) berpendapat bahwa topik-komen termasuk sistem semiotis yang universal. la menulis:
'topic-comment' is a substantive universal of semiotical order, i.e. covers an area where language falls into the same class with zoo-semiotical systems ...
Mirip dengan pendapat Desco dan Szepe, Lutz (1981:8) menulis: Jeder Aeusserung - in anscheinend jeder Sprache der Welt - liegt eine Thema-Rhema-Struktur zugrunde.
Istilah topic-comment digunakan sebagai padanan kata untuk tema-rema, tetapi ada juga ahli bahasa yang membedakan kedua dikotomi tersebut.
Dengan meneliti struktur tema-rema yang ada dalam tiap ujaran kita meneliti bahasa dalam fungsi dasarnya, yaitu sebagai alat komunikasi. Meskipun secara umum diakui bahwa semua bahasa memiliki struktur tema-rema, realisasinya dalam ujaran berbeda. Untuk mengetahui seluk beluk struktur tema-rema suatu bahasa, perlu diteliti mekanisme apa yang terkandung dalam struktur tema-rema. Dua ujaran berikut ini mengandung kata-kata dengan bentuk dan makna yang sama, namun maksud komunikatif pengujarnya dalam kedua ujaran di bawah ini berbeda.
(1.3) Amir ialah anak terpintar di kelas V.
(1.4) Anak terpintar di kelas V ialah Amir.
Dengan (1.3) pengujar membicarakan Amir dan dengan demikian Amir menjadi titik tolak ujarannya atau tema, dan ialah anak terpintar di kelas V ialah informasi yang diberikan pengujar tentang Amir. Dengan (1.4) pengujar membicarakan anak terpintar di kelas V. Bagian ujaran itu menjadi titik tolak ujaran atau tema, dan Amir merupakan penjelasan yang diberikan pengujarnya tentang tema. Jadi, bergantung pada sudut pandangan pengujar apakah Amir atau anak terpintar di kelas V yang menjadi titik tolak ujarannya. Pengujar cenderung memilih sebagai tema sesuatu yang diketahui atau dikenal pendengar. Dikenal tidaknya tema bergantung pada konteks bahasa dan situasi. Ujaran tidak bersifat mekanis, artinya tiap ujaran harus dilihat dalam konteks bahasa dan situasi. Bila Amir telah disebut sebelumnya pengujar lebih cenderung memilih Amir daripada anak terpintar di kelas V sebagai tema. Situasi juga penting. Misalnya, bila pada upacara tertentu kepala sekolah memberi hadiah kepada anak terpintar dari tiap kelas, maka pengujar mengambil tema anak terpintar di kelas V."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindawati
"Dalam suatu bahasa, ujaran tanya jawab menduduki fungsi yang sangat penting. Dalam pertuturan sehari-hari, seperti di kelas, di ruang sidang, atau di tempat-tempat umum, peristiwa komunikasi sering terjadi dalam bentuk tanya jawab. Pandangan ini merupakan hal yang universal pada bahasa di dunia. Akan tetapi, Cara mengungkapkan pertanyaan atau jawaban berbeda pada satu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
Ujaran jawaban merupakan suatu cara untuk merespon pertanyaan dalam bentuk verbal. Di samping dengan cara verbal, sebuah pertanyaan dapat juga direspons dengan gerakan tubuh, seperti mengangguk, menggeleng, dan mengangkat bahu.
Dalam bahasa Indonesia, pemakaian ujaran tanya tidak hanya digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui atau sesuatu yang tidak pasti, tetapi sering juga digunakan sebagai ujaran untuk memerintah, mengajak, dan meyakinkan seseorang.
Pentingnya masalah tanya jawab dalam suatu bahasa terlihat dari kajian kebahasaan yang sering membicarakan masalah tanya jawab Goffman <1981:.5>, menyatakan bahwa orang berkomunikasi sehari-hari pada umumnya terjadi dalam bentuk tanya jawab. Tanya jawab merupakan ujaran yang terjadi pada waktu yang berbeda, tetapi dalam satu rangkaian yang tidak terputus. Isi dari suatu pertanyaan bergantung pada apa yang dibicarakan, sedangkan isi jawaban tergantung pada pertanyaan yang mendahuluinya.
Di samping itu, Goffman juga menjelaskan bahwa dalam percakapan paling sedikit terdapat sepasang ujaran, yaitu ujaran pertanyaan dan jawaban yang diujarkan oleb dua orang dalam waktu relatif berbeda. Bagian pertama disebut dengan ujaran pertanyaan dan bagian yang diujarkan setelah pertanyaan disebut dengan ujaran jawaban. Isi atau makna dari pertanyaan ataupun jawaban sangat tergantung pada makna kata yang membentuk pertanyaan atau, jawaban itu.
Dalam Bahasa Indonesia, masalah tanya jawab juga sudah mendapat perhatian dari peneliti. Kridalaksana (1985.78), menjelaskan bahwa jawaban mempunyai hubungan yang bersifat menggantikan sesuatu yang tidak diketahui penanya atau mengukuhkan apa yang diketahui penanya. Apa yang diketahui dan apa yang ingin diketahui disebutnya anteseden. Anteseden ini selamanya berada di luar pertanyaan, dan baru diketahui setelah adanya jawaban?."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>