Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryanto
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983
410 SUD l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Montolalu, Lucy Ruth
"Aspek adalah sebuah kategori semantis yang mengandung banyak masalah. Masalah itu disebabkan jarena adanya kontroversi mengenai konsep tersebut. Kontroversi itu ada dalam linguistik umum maupun dalam linguistik Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan menelusuri wujud konsep aspek dalam linguistik umum dan dalam linguistik Indonesia. Tercakup di dalamnya masalah fungsi aspek, cara mengungkapkan aspek, dan ciri-ciri aspek.
Metode penelitian yang diterapkan dalam peneltian ini adalah metode kepustkaan, yakni dengan cara mengumpulkan sebanyak mungkin informasi linguistis mengenai konsep aspek dalam linguistik umum dan linguistik Indonesia serta memperbandingkannya satu sama lain. Hasil perbandingan tersebut dilaporkan dalam penelitian ini.
Dari penelitian ini diketahui apa yang disebut keaspekan, aspek dan apa yang dinamakan aktionsart. Selain itu dari penelitian ini diketahui sampai seberapa jauh penelitian mengenai keaspekan telah tercapai dan apa yang menjadi rumpang dalam penelitian-penelitian terdahulu sehingga penelitian pendahuluan ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang lebih luas lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agnetia Maria Cecilia Hermina Sutami
Jakarta: UI-Press, 2003
PGB 0255
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Bhuana Marthinovianto
"Penelitian ini membahas masalah penilaian terjemahan dialog novel The Da Vinci Code (DVC) karya Brown (2003) dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia melalui pemerian kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis yang ada di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai baik-buruknya terjemahan dialog DVC dengan menggunakan ancangan pragmatis yang terkait dengan kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentukbentuk kegagalan pragmalinguistis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan empat kriteria: (1) kegagalan mengalihkan frasa atau klausa; (2) kegagalan mengalihkan ungkapan rutin; (3) kegagalan mengalihkan deiksis eksofora; dan (4) kegagalan mengalihkan deiksis endofora. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentuk-bentuk kegagalan sosiopragmatis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan tiga kriteria, yaitu (1) kegagalan mengalihkan honorifik petutur; (2) kegagalan mengalihkan pagar; serta (3) kegagalan mengalihkan ungkapan formal.
Penelitian didasari atas metode error analysis, yang dimodifikasi menjadi analisis kegagalan pragmatis. Dialog-dialog di dalam teks sasaran (TSa) DVC diperbandingkan dengan dialog-dialog di dalam teks sumber (TSu) DVC untuk mencari kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatisnya. Setelah ditemukan, empat puluh percontoh data dianalisis dengan menggunakan tilikantilikan pragmatis. Di akhir analisis, usulan terjemahan yang dapat meminimalkan kegagalan pragmatis juga diberikan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan dialog DVC belum memenuhi kriteria ketepatan, kejelasan, dan kewajaran sehingga dinilai tidak baik. Analisis data dan simpulan yang didapat dari setiap data itu membuktikan bahwa tilikan-tilikan pragmatis, seperti daya ilokusioner, tindak tutur tidak langsung, ungkapan rutin, kesantunan positif, kesantunan negatif, deiksis, dan pagar, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai baik-tidaknya terjemahan.

This research discusses the translation evaluation of the dialogues in a novel written by Brown (2003), The Da Vinci Code (DVC), by explaining pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures found in DVC translation from English to Indonesian. This research is aimed at evaluating the correctness of the translation of the dialogues in DVC by using a pragmatic approach related to pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures.
This research is specifically aimed at seeking and explaining the forms of pragmalinguistic failures by using four criteria: (1) failures in translating phrases and clauses; (2) failures in translating conversational routines; (3) failures in translating exophoric deixis; and (4) failures in translating endophoric deixis. In addition, this research is also aimed at seeking and explaining the forms of sociopragmatic failures by using three criteria: (1) failures in translating addressee honorifics; (2) failures in translating hedges; and (3) failures in translating formal expressions.
This research is based on error analysis method, which is modified into pragmatic failure analyses. The dialogues in the target text (TT) DVC are compared with those of the source text (ST) DVC in order to seek for the pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures. After the comparison stage, forty data are selected as samples and are analyzed by using some pragmatic insights. In the final stage of the analysis, each data is given an alternative translation of the TT as an attempt to minimize the pragmatic failures.
The results of this research show that the dialogues in TT have not fulfilled the criteria of accuracy, clarity, and naturalness; hence, they are considered as poorly translated. The data analysis and the conclusion of each data prove that pragmatic insights, such as illocutionary force, indirect speech acts, conversational routines, positive politeness, negative politeness, deixis, and hedges, can be used as tools to evaluate the correctness of a translation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiati Soetomo
"Ada dua hal yang sekaligus hendak dikemukakan di dalam disertasi ini, yaitu,
1. Teori yang dipermasalahkan, dan
2. Penelitian yang disimpulkan.
Mengawali uraian kedua hal tersebut, akan ditampilkan suatu kontinuum yang merangkum seluruh kegiatan para ahli ilmu pengetahuan pada umumnya.
A 1 AB 2 B
Penelitian Teori
Adalah merupakan pilihan pribadi seorang ilmuwan untuk menentukan di nana is akan menempatkan kegiatan dirinya dalam mencari kebenaran ilmiah. Ia berada ujung kiri dart kontinuum, bila yang dilakukan adalah mengamati gejala-gejala yang ada di sekelilingnya untuk dirampatkan/digeneralisasikan, diabstraksikan, dan dikonsepsikan lewat prosedur ilmiah yang telah ditetapkan. Banyak aktivitas ilmuwan yang tidak bertolak pada suatu teori tertentu, jika memang belum ada teori yang menopang persoalan yang akan diteliti, misalnya pada penelitian-penelitian deskriptif atau penjelajahan. Bahkan, akhirakhir ini banyak ilmuwan yang tertarik pada kegiatan penelitian yang sengaja mengesampingkan semua teori yang telah ditemukan tentang masalah yang sama, yang terkenal dengan nama grounded research . Jika kegiatan ilmiah itu ditempatkan dalam kontinuum di atas, maka is berada di ujung kiri texat pada titik A.
Jika suatu penelitian menggunakan satu-dua teori untuk mendasari hipotesis-hipotesis yang akan diuji, maka kegiatan itu dapat ditempatkan di titik A1 dalam kontinuum. Penelitian yang bersifat menerangkan adanya hubungan positif antara gejala-gejala yang diteliti dengan faktorfaktor tertentu yang lain berdasarkan suatu teori dapat menjadi contoh untuk kegiatan ilmiah yang ada di titik A1.
Suatu.penelitian dengan teori-teari yang ditempatkan sama pentingnya dengan gejala yang diamati terletak di tengah kontinuum, dengan titik AB. Sebagai contoh, adanya kesadaran dari ilmuwan bahwa suatu gejala dapat ditanggapi dari beberapa teori yang berbeda memungkinkan is menafsirkan gejala itu dari berbagai teori yang dimiliknya. Teori yang didasarkan atas pengertian integrasi masyarakat, misalnya, barang tentu akan menghasilkan tafsiran yang berbeda dari teori yang berdasarkan atas pengertian pertentangan, jika keduanya digunakan untuk menafsirkan gejala tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
Makin bergeser ke arah kanan kontinuum, makin penting kedudukan teori dibandingkan dengan kedudukan penelitian. Akhirnya pada ujung kontinuum, yaitu titik B, terjadilah keadaan yang sebaliknya. Di sini, seorang ilmuwan tidak lagi berbicara tentang penelitian atas gejala-gejala yang terjadi di sekitarnya. la tidak lagi berbicara tentang perampatan, abstraksi ataupun konsepsi, yaitu proses-proses yang harus dilaluinya dalam upaya ilmiah untuk mendapatkan kebenaran. la hanya akan berbicara tentang teori-teori: apakah sebuah teori perlu ditinjau kembali, diperbaiki, diformulasikan kembali atau diperjelas lewat teori yang lain karena telah ketinggalan jaman, dan atau tidak dapat lagi menanggapi gejala-gejala masyarakat yang makin menjadi kompleks atau rumit selang sepuluhadua puluh tahun.
Sekali lagi, disertasi ini membahas dua masalah, yaitu teori dan penelitian Di bawah judul-sub: Sosiologi Bahasa, peneliti akan mempermasalahkan teori-teori yang telah ditampilkan oleh para sosiolinguis sampai pada saat ini. Artinya, ia menempatkan dirinya pada titik B2 dalam kontinuum itu, di mana masalah teori lebih panting daripada masalah penelitian atas gejala tuturan yang terjadi di sekelilingnya. Kalau pun ia menampilkan data, yaitu tingkah-laku berbahasa responden dalam domain keluarga dan kerja, maka data itu sesungguhnya hanya merupakan ilustrasi belaka untuk menjelaskan tentang kemampuan teori yang telah dipilihnya sebagai teori yang dianggap berkemampuan lebih besar dalam menanggapi tingkah-laku berbahasa.
Di samping mempermasalahkan teori, penulis juga membicarakan tentang penelitian ketika ia bergeser ke arch A1 (dalam kontinuum) dengan melakukan kegiatan ilmiah yang telah umum dilakukan oleh para ilmuwan di Indonesia pada waktu ini. la telah reneliti peristiwa interferensi dan integrasi sebagai proses internalisasi maupun proses institusionalisasi. Laporan penelitian yang menghasilkan sejumlah kesimpulan itu ditempatkan di bawah judul-sub: Sosiolinguistik.
Masih ada masalah lain yang memerlukan kejelasan di sini, yaitu, perbedaan antara konsep Sosiologi bahasa dengan konsep Sosiolinguistik. Jika objek kaji.an Sosiologi bahasa adalah Manusia yang melakukan interaksi sosial dengan bahasa, maka objek kajian Sosiolinguistik adalah Bahasa yang digunakan manusia dalam interaksi sosialnya. Perbedaan objek kajian ini barang tentu mengakibatkan perbedaan metode pemilihan percontohan maupun metode pengumpulan data dalam penelitian. Dengan demikian, analisis yang delakukan atas dan kesimpulan yang didapatkan dari kedua macam data itu pun telah dibicarakan secara terpisah.
Maka kesimpulan yang dapat ditampilkan dalam disertasi ini ada dua macam:
1. Dari aspek Sosiologi bahasa, di mana penulis menempatkan kegiatan ilmiahnya pada titik B2 dalam kontinuum, ia menyimpulkan, bahwa kerangka pemikiran Talcott Parsons benar-benar berkemampuan lebih besar daripada teori-teori yang lain untuk menanggapi gejala-gejala tuturan, khususnya interferensi, alih-kode dan tunggal-bahasa.
2. Dari aspek Sosiolinguistik, di mana penulis menempatkan kegiatan ilmiahnya pada titik A1 dalam kontinuum, dua macam kenyataan tentang interferensi-integrasi dapat diungkapkan di sini, yakni:
2.1.Penelitian tentang interferensi sebagai proses internalisasi menghasilkan kesimpulan,bahwa, keinterferensian atau keintegrasian suatu un sur asing dalam tuturan bahasa Indonesia dwibahasawan hanya dapat ditentukan oleh penutur dan masyarakat penutur itu sendiri, oleh karena perasaan-bahasa penutur sebagai tolok ukurnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-budaya masyarakat di mana is hidup dan bergaul dengan sesama anggota dan de - ngan demikian mengembangkan kepribadiannya.
2.2. Penelitian tentang interferensi sebagai proses institusionalisasi menghasilkan kesimpulan, bahwa terus masuknya unsur-unsur asing dalam sistem bahasa kita umumnya menandakan terus berlangsungnya penyerapan konsep-konsep baru dari budaya barat ke dalam sistem budaya kita, sehubungan dengan pengambilalihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia yang sedang membangun ini."
1985
D326
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawati Darmojuwono
Jakarta: UI-Press, 2014
PGB 0251
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Muta`ali
Arabic Teachers Assosiation of Indonesia, 2011
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Apipudin
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadjir
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>