Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainal Arifin
"Harta bersama merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami isteri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta bersama karena perceraian.
Para ahli Hukum Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum harta bersama ini. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada asasnya dalam Hukum Islam tidak ada harta bersama. Seluruh biaya pemenuhan penyelenggaraan kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Walaupun isteri memiliki harta baik berasal dari warisan, hibah maupun hasil usahanya sendiri, ia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penggunaan harta benda isteri oleh suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hukumnya sebagai pinjaman/hutang yang harus dikembalikan.
Kelompok kedua, yang umumnya terdiri dari ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa suami dan isteri dapat membentuk harta bersama guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, apabila pasangan suami isteri tersebut sepakat untuk membentuknya. Kebolehan pembentukan harta bersama ini mereka kiaskan dengan diperkenankannya membentuk usaha dagang bersama (syarikat 'inan).
Menurut pendapat kedua ini, bila suami dan isteri sepakat, mereka dapat membentuk harta bersama. Kesepakatan tersebut tidak harus berupa perjanjian. Jika dalam kehidupan keseharian menun.jukkan adanya harta bersama, secara hukum dapat ditafsirkan sebagai adanya kesepak.atan suami isteri untuk membentuk harta bersama. Secara tersurat, Pasal 85 sampai dengan 97 Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang merupakan produk fikih Indonesia, mengatur kemungkinan bagi para pihak suami isteri untuk membentuk harta bersama dalam keluarga. Pasal 65 Kompilasi tersebut menyatakan pula bahwa adanya harta bersama dalam keluarga itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik pribadi masing-masing suami dan isteri.
Sedang menurut Hukum Adat, harta bersama dalam perkawinan adalah harta lepasan atau pecahan dari harta kerabat yang mengurung keluarga baru tersebut. Harta bersama ini berada di antara dua tarikan kutub, kutub kerabat dan kutub keluarga. Pada suatu ketika tarikan kutub keluarga lebih kuat, dan pada ketika yang lain tarikan kutub kerabat lebih kuat. Unsur-unsur harta dari harta bersama menurut Hukum Adat adalah semua harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama perkawinan dan harta yang diberikan kepada keduanya ketika menikah.
Berkenaan dengan harta bersama, Hukum Perdata Barat (BW) menetapkan bahwa apabila tiada perjanjian khusus dalam perkawinanq maka semua harta yang dibawa oleh suami dan isteri, harta yang diperoleh selama perkawinan, semuanya menjadi harta bersama. Baik Hukum Adat maupun Hukum Perdata Barat (BW) menganut asas persatuan bulat.
Kompilasi Hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta pribadi isteri dan harta pribadi suami sendiri. isteri ikut bertanggungiawab meniaga harta bersama maupun harta pribadi suami yang ada padanya. Tanpa persetujuan pihak, lain, suami atau isteri tidak boleh menjual atau memindahtangankan harta bersama.
Bagaimana prosedur pembagian harta bersama j ika terjadi perceraian, dimana pembagian dilakukan dan berapa bagian masing-masing suami isteri. Kenyataan dalam masyarakat diperkirakan sangat bermacam ragam. Kemungkinan pembagian itu dilakukan dirumah, sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan, kemungkinan kesepakatan pembagian tercapai di Pengadilan, kemungkinan pembagian dilakukan di bawah wibawa keputusan pengadilan, atau kemungkinan harta tersebut tidak pernah dilakukan pembagian sehingga harta bersama tetap dikuasai oleh salah satu pihak. Kemungkinan pihak laki-laki yang menguasai harta bersama itu, kemungkinan pula pihak laki-1aki memperoleh bagian terbesar dari harta bersama itu atau mungkin pula sebaliknya. Besar kecilnya bagian masing-masing ini dipengaruhi oleh hukum yang dianut, kesadaran hukum dan lingkungan masyarakatnya.
Pengetahuan tentang proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur harta, pengelolaan dan pembagian harta bersama akibat perceraian masih sangat kurang. Hal ini dapat dipenuhi melalui kegiatan penelitian yang secara makro akan memberikan gambaran tentang seberapa jauh perjuangan perbaikan nasib kaum wanita, khususnya wanita yang telah dicerai. Selain itu, informasi tersebut diharapkan juga akan bermanfaat sebagai penilaian dan evaluasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Firdaus Tahir
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanthy Prio Utomo
"Seperti diketahui pokok tujuan dari perkawinan adalah bersama-sama hidup pada satu masyarakat dalam suatu ikatan perkawinan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa ikatan perkawinan akan membawa akibat pada suami-isteri, yaitu timbulnya hak dan kewajiban suamiisteri, harta benda perkawinan, kedudukkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak.Pada prinsipnya dalam hukum Islam tidak mengenal adanya istilah harta bersama. Harta benda dalam perkawinan bagi suami-isteri merupakan suatu masalah yang pokok. Hal itu karena harta benda mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan keluarga. Harta benda suami-isteri dalam perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 35, 36, dan 37. Sedangkan menurut hukum Islam, suami dan isteri mempunyai kekayaan masing-masing, misalnya barangbarang yang mereka dapat dari hibah dan warisan. Dalam hal ini kekuasan terhadap barang-barang tersebut tetap berada di pihak yang mempunyai barang-barang tersebut. Mengenai harta kekayaan suami-isteri tidak saling beban membebani, yang artinya dalam hukum Islam harta bawaan masing-masing, tetap menjadi milik dan dibawah kekuasaan masing-masing. Dalam hal kedua belah pihak akan mengadakan penggabungan harta bawaan tersebut, maka penggabungan harta itu diperbolehkan dan sangat dianjurkan. Bentuk penggabungan dan penyatuan harta itu dilakukan dengan syirkah (perkongsian)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sumarjoko
"Lembaga harta bersama seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan baik oleh suami maupun istri. Lembaga ini juga dikenal dalam hukum adat sedangkan dalam hukum Islam ada dua pendapat mengenai harta tersebut, pendapat yang pertama tidak mengenal adanya harta bersama, kecuali dengan jalan syirkah atau perkongsian antara suami istri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan pendapat yang kedua menqenai adanya harta bersama menurut hukum Islam, hal ini didasari dengan sendirinya ada harta bersama antara suami istri selama perkawinan berlangsung. Pembagian harta bersama bila perkawinan mereka (suami istri) itu putus karena perceraian, per1mbangan pembagiannya berbeda-beda, baik menurut hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hal ini bisa saja pencari keadilan bagi para suami pada masyarakat Jawa Tengah itu memilih hukum adat yang lebih menguntungkan (sapikul sagendong), hal ini didasari Pasal 37 jo penjelasan UU . No. 1/1974 tentang Perkawinan. Meskipun para pencari keadilan dapat memilih menurut hukumnya masing-masing, akan tetapi hukum Islam-lah yang harus mereka pergunakan, sebagaimana diketahui bahwa bagi orang Islam, maka berlakulah hukum Islam dan hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Jadi hukum yang tepat bagi masyarakat hukum adat Jawa Tengah yang menganut harta gono gini dan beragama Islam ialah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam, adapun pembagiannya baik suami maupun istri ialah masing-masing berhak 1/2, hal ini sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan melalui lembaga Pengadilan Agama mereka (suami istri) dapat berperkara. Dengan demikian maka Pasal 37 jo penjelasan UU. No. 1/1974 belum mernberikan kepastian serta tidak adanya keseragaman hukum mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi suatu perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Damanhuri
Bandung: Mandar Maju, 2007
346.016 DAM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
J. Satrio
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
346.016 SAT h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Noliza
"Perkawinan yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1974 akan membawa akibat terhadap harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan tersebut. Salah satunya adalah tindakan untuk menjual harta bersama yang berupa tanah dan bangunan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Oleh karena itu bagaimanakah Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pelaksanaan pembuatan akta jual beli harta bersama dalam perkawinan, bentuk persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri dalam pelaksanaan jual beli tersebut dan tanggung jawab PPAT bila terjadi gugatan terhadap akta jual beli yang dalam pembuatannya tidak ada persetujuan suami atau istri.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif. Peranan PPAT dalam pelaksanaan jual beli harta bersama yaitu memberikan penyuluhan hukum, menganalisa dan meneliti data yang diterima, menyatakan dengan tegas persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri dalam komparisi akta atau 'mengisi kolom persetujuan yang disediakan, menentukan bentuk surat persetujuan yang lebih menjamin seperti surat persetujuan dalam bentuk akta notaris dan surat persetujuan dibawah tangan yang dilegalisasi. PPAT tidak bertanggung jawab bila informasi yang diberikan oleh penjual/pembeli tidak benar tetapi PPAT dapat bertanggungjawab bila terjadi kelalaian yang disebabkan oleh PPAT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Muhammad Sjah
"Penulis Isma’il Muhammad Sjah ini menjelaskan adat gono gini berdasar hukum Islam. Juga membandingan hukum Islam dengan hukum adat yang mengatur pencaharian bersama suami isteri.
"
Djakarta: Bulan Bintang, 1965
K 297.14 ISM p
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
"Persatuan harta benda yang berupa harta bawaan dan harta
bersama dalam sebuah perkawinan, terkadang menjadi pemicu
terjadinya perselisihan rumah tangga yang telah dibina sekian
lama yang mengakibatkan perceraian. Timbulnya perselisihan
terhadap harta bersama yang dikaitkan dengan pihak ketiga
dalam penyelesaian masalah utang akan berakibat pada harta
benda milik suami atau harta milik isteri pada saat sebelum
dan sesudah perkawinan berlangsung. Harta bersama dapat
dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya, hal itu didasarkan pada Pasal 91
ayat (4) KHI. Terhadap harta bawaan, suami atau isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap hartanya tersebut, sebagaimana didasarkan pada Pasal
87 ayat (2) KHI. Apabila ada hubungan hukum salah satu pihak
baik suami atau isteri dengan pihak ketiga dalam masalah
utang, maka pertanggungjawaban terhadap utang tersebut
menjadi tanggungan suami atau isteri yang dibebankan pada
hartanya masing-masing, hal itu didasarkan pada Pasal 93 ayat
(1) KHI. Persoalan yang timbul adalah perbedaan pendapat
mengenai mekanisme pengaturan harta bersama dalam KHI, adanya
akibat hukum apabila salah satu pihak yang tunduk pada hukum
yang berbeda serta prosedur penyelesaian kewajiban para pihak
mengenai utang kepada pihak ketiga menurut KHI. Oleh karena
itu untuk meneliti masalah tersebut digunakan metode
penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Kesimpulannya
adalah bahwa harta bersama diatur menurut hukum saat kali
pertama para pihak melakukan perkawinan, jika salah satu
pihak tunduk pada hukum yang berbeda, maka penyelesiannya
diserahkan kepada para pihak hukum mana yang berlaku atau
berdasarkan kali pertama mereka melangsungkan pernikahan,
sehingga masing-masing pihak mendapat keadilan yang wajar.
Sementara penyelesaian masalah utang bergantung pada status
utang tersebut, jika utang tersebut merupakan utang bersama
maka penyelesaiannya menjadi tanggungjawab suami isteri,
akan tetapi jika utang tersebut merupakan utang pribadi,
penggunaan harta bersama dimungkinkan sepanjang ada
persetujuan pihak lainnya."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S21180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ruben Jeffry M.
"ABSTRAK
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
memberikan pengertian secara umum mengenai harta bawaan
dan harta bersama dalam perkawinan. Pengertian yang secara
umum tersebut seringkali menimbulkan permasalahan,
khususnya dalam lingkungan Peradilan Agama yang
menyebabkan perkara mengenai pembagian harta bersama
menjadi berlarut-larut proses penyelesaiannya. Dalam hal
ini pihak isteri menjadi dirugikan karena pada umumnya
pihak suami menguasai secara fisik atas harta bersama.
Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah sejauh
mana suatu harta benda dapat disebut sebagai harta bawaan
atau bersama, khususnya harta benda yang dihasilkan dari
harta bawaan yang diperoleh selama berlangsungnya
perkawinan, dan kompetensi relatif Pengadilan Agama yang
mengadili gugatan atas harta bersama yang diajukan oleh
mantan suami atau mantan isteri. Metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode
penelitian normatif yuridis. Dari sudut sifatnya,
penyusunan yang dipakai dalam tesis ini adalah penelitian
deskriptif analitis. Dalam tesis akan diperoleh suatu
gambaran bahwa segala harta benda yang dihasilkan dari
harta bawaan yang diperoleh selama berlangsungnya
perkawinan merupakan bagian dari harta bawaan, dan
kompetensi relatif Pengadilan Agama yang mengadili gugatan
atas harta bersama yang diajukan oleh mantan isteri atau
mantan suami adalah Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal tergugat.

ABSTRACT
Marriage Law and Islam Law Compilation describe private
property and joint property in general simple definition.
Apparently, this general simple definition cause problems
especially regarding settlement of joint property fission
dispute in Religion Court. Usually, wife party suffer a lot
of damages because husband party physically dominate joint
properties. Problems that will be discussed in this thesis
are the description of join properties that produced from
private property which is gained during the marriage
period, and relative competence of the Religion Court which
has authority to judges the joint property law suit which
is submitted by former husband or wife. This thesis use
jurisdiction normative research method and organized by
descriptive of analysis research type. Furthermore, this
thesis will describes properties which is produced from
private property should be named as private property
although gained during the marriage period, and the
Religion Court that has authority to judge the joint
property law suit is Religion Court of accused domicile."
2008
T37595
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>