Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161812 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Widiwanto
"LATAR BELAKANG. Kondisi hipoksia menyebabkan peningkatan sistem simpatis yang membuat produksi air mata meningkat, sedangkan pada orang dengan tingkat kesamaptaan jasmani (VO2max) yang baik terjadi peningkatan sistem parasimpatis yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi air mata. Penelitian ini untuk menentukan rentang VO2max agar produksi air mata optimum pada awak pesawat TNI AU.
METODE. Desain penelitian adalah studi korelasi, yang dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta. Dengan menggunakan populasi sernua awak pesawat yang melaksanakan ILAIMedek selama bulan Januari-Mei 2003. Semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil, Sampel yang didapat sebanyak 35 orang. Data penelitian didapat dari rekam medis dan pencatatan di RUBR. Hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik berupa analisis regresi linear untuk melihat hubungan VO,max terhadap produksi air mata. Model akhir yang didapat digunakan untuk menentukan nilai minimum dan maksimum VO2max. HASIL. Rata-rata produksi air mata 23mm f 4,17mm. Dari beberapa faktor faali yang berhubungan terhadap produksi air mata ternyata hanya VO2max yang bermakna dengan koofesien regresi sebesar - 0,434 dan kemaknaan p = 0,000. Rentang VO2max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum.
KESIMPULAN. Produksi air mata berhubungan dengan VO2max. Rentang V02max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12361
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulrosyid
"Latar Belakang: Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya. Salah satu dari fungsi yang mungkin akan terganggu adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus mampu melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat. Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketingggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras calon penerbang. Disain penelitian adalah Kuasi Eksperimen Pre dan Post Test menggunakan ruang udara bertekanan rendah. Jumlah responden yang diteliti adalah 101 orang yang merupakan total sampel dari calon penerbang PLP-Curug yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA).
Hasil: Ditemukan adanya perbedaan bermakna pada uji t berpasangan (paired A), dimana variabel Sa02, Nadi dan Sensitivitas kontras pada "Ground Level" dan "FL180" dimana p 0,05. Dengan analisis multivariat ditemukan adanya perbedaan bermakna (p ? 0,05) pada variabel Sant yang merupakan faktor penentu utama terhadap penurunan sensitivitas kontras.
Kesimpulan: Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras, namun penurunan kemampuan penglihatan sensitivitas kontras ini masih dalam batas normal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya pengaruh hipoksia terhadap penglihatan sensitivitas kontras.

Pilots needed a good vision on their work because of visual malfunction will cause fatality. Hypoxia influence several aspects of visual function. Sensitivity contrast is one major aspect which influence by hypoxia. Pilots have to identify a target fast and accurately. This research would identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity. The design of this study was a quasi experiment, a pre and post test 18.000 ft in a hypobaric chamber. The sample was 101 respondents carried out of total civil pilot candidates from PLP Curug.
Results: A t-test analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) among variables Sa02 , Pulse rate and contrast sensitivity. Multivariate regression analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) between Sa02 to decreasing of contrast sensitivity. Nevertheless the decrease was still in the range of normal value of sensitivity contrast.
Conclusions: This study concluded that hypoxia at simulated altitude 18.000 ft caused decreasing of contrast sensitivity, although the decreasing was still normal. Further research are needed to continue exploring the influence of hypoxia on contrast sensitivity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Charles P.J.
"Latar Belakang: Waktu Reaksi adalah suatu pengukuran kecepatan reaksi, suatu proses mental dari pengaliran rangsang di dalam sel-sel otak dan saraf, sering digunakan untuk menilai kemampuan pelaksanaan tugas mental seseorang. Berkurangnya suplai oksigen, terutama dalam jaringan otak dan saraf oleh pengaruh hipoksia akan memperpanjang waktu reaksi seorang penerbang dalam misi penerbangan. Keadaan ini merupakan faktor utama meningkatnya risiko terjadinya kecelakaan dalam misi penerbangan.
Metodologi: Penelitian ini adalah suatu eksperimen kuasi dengan desain pra dan pasca tes terhadap 64 orang calon siswa sekolah penerbangan TN1 Angkatan Udara dengan usia 21-26 tahun. Kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi kardio respirasi, kadar gula darah, dan waktu reaksi di ketinggian permukaan diukur. Subyek diintervensi ke ketinggian simulasi 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah untuk mencapai kondisi hipoksia, yaitu dengan nilai saturasi oksigen 64-72%. Dilakukan pengukuran waktu reaksi di ketinggian permukaan dengan waktu reaksi di ketinggian simulasi 18.000 kaki.
Hasil: Terjadi pemanjangan waktu reaksi yang signifikan di ketinggian simulasi 18.000 kaki. (100.11 mdet ± 15,76) dibandingkan dengan waktu reaksi di ketinggian permukaan (90.98 mdet ± 14.53) (p < 0.05). Pemanjangan waktu reaksi ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan pengaliran rangsang di dalam jaringan otak dan saraf akibat berkurangnya suplai oksigen. Kadar hemoglobin mempunyai hubungan yang kuat dengan terjadinya pemanjangan waktu reaksi ini.
Kesimpulan: Hipoksia pada ketinggian simulasi 18.000 kaki menyebabkan pemanjangan waktu reaksi.

The Effect of Hypoxia on Reaction Time Among Indonesian Military Pilot's Candidates at a Simulated Altitude of 18.000 feet in the Hypobaric Chamber, 1999Background: Reaction time is a measure of the speed of reaction, it's a mental process that results from the impels processing through brain and nerves. It is often used to assess the ability of mental tasks performance. The lack of oxygen supply especially in the brain and nerves through hypoxia will prolong reaction time of the pilot which is a main factor to increase the risk of catastrophic in the flight mission.
Methodology: A quasi experiment study with a pre and post test design on 64 Indonesian Military Pilot's candidate's age 22-26 years was conducted. Hemoglobin, oxygen saturation, cardio respiratory function, blood sugar and reaction time at ground level was measured. Subjects were exposed to a simulated altitude of 18.000 feet for hypoxia condition in the hypobaric chamber. Hypoxia condition was indicated by 65-72% oxygen saturation. Reaction times at ground level and at 18.000 feet were measured.
Results: Reaction time was significantly longer at 18.000 feet (100.11 m sec ± 15.76) compared to ground level (90.98 m sec ± 14.53) (p < O.05). Prolonged reaction time at 18.000 feet is due to decrease of the speed of mental process in brain and nerves caused on reduced oxygen supply. Hemoglobin level showed strong correlation with prolonged reaction time (p-0,000).
Conclusion: Hypoxia at a simulated altitude of 18.000 feet prolonged reaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charto Susanto
"Latar Belakang: Pesawat terbang sekarang sudah canggih, dengan dilengkapi perangkat oksigen dan kabin bertekanan. Ketinggian jelajah pesawat terbang komersial berkisar antara 18.000-30.000 kaki, bahkan pesawat terbang militer bisa lebih tinggi, sehingga apabila terjadi kegagalan perangkat tersebut akan menyebabkan hipoksia. Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen, terutama sel otak dan retina, maka bila terjadi kekurangan oksigen sedikit saja akan terjadi penyempitan penglihatan perifer yang merupakan gejala dini pada tubuh manusia. Hendarseto menyebutkan 84% subyek mengalami penyempitan penglihatan perifer 5° akibat pengaruh hipobarik dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) setara ketinggian 18.000 kaki. Fungsi mata sangat penting dalam penerbangan, maka pengetahuan mengenai rentang waktu hipoksia awal yang ditandai dengan penyempitan penglihatan perifer sebesar 5° perlu diketahui dan diteliti.
Metodologi: Disain penelitian ini adalah studi eksperimental, dengan memajankan sebanyak 94 talon penerbang PSDP TNI AU sebagai subyek dalam ruang udara bertekanan rendah (RIJBR) setara ketinggian 18.000 kaki, guna mengetahui hubungan kadar hemoglobin, kapasitas vital paksa, frekuensi denyut nadi ground level serta faktor faali tubuh lainnya dengan rentang waktu penyempitan penglihatan perifer sebesar 5°, sedang untuk analisis data digunakan analisis korelasi dan regresi linear.
Hasil dan kesimpulan: Rata-rata rentang waktu penyempitan penglihatan perifer sebesar 5° (RWP5) ialah 201,85 detik dengan simpang baku 33,16 detik, 95% Cl: 195,15-208,55. Dari hasil analisis antara RWP5 dengan hemoglobin mempunyai korelasi positif dan bermakna (r= 0,62; p = 0,0000), 95% CI: 15,46-15,82, berarti makin tinggi kadar Hb akan semakin panjang RWP5. Antara RWP5 dengan KVP mempunyai korelasi positif dan bermakna (r= 0,16; p = 0,0164), 95% CI: 90,7-94,6, berarti makin tinggi KVP akan semakin panjang RWP5. Antara RWP5 dengan frekuensi denyut nadi ground level(GLNadi) mempunyai korelasi negatif dan bermakna ( r= - 0,28; p = 0,0000), 95% CI: 75,53-78,55, berarti makin tinggi GLNadi akan semakin pendek RWP5. Regresi metode stepwise yang sesuai untuk prediksi RWP5 terdin dan faktor hemoglobin, denyut nadi `ground level' dan kapasitas vital paksa, sedangkan variabel lain tidak berkorelasi dan tidak bermakna dengan RWP5.

Background : The recent aircraft's technology is growing sophisticatedly, equipped with pressurized cabin and oxygen equipment. The cruising altitude of the commercial air line is in between 18.000 feet to 30.000 feet, although the military aircraft even higher. The human being are very sensitive to lack of oxygen, especially the brain cells and the retina, malfunction of cabin-pressure or oxygen equipment will cause a hypoxia and narrowing of peripheral vision is an early symptom. The eye have a very important role in flying, the research done by Hendarseto stated that 84% subjects experience narrowing the peripheral vision 5° or more due to hypoxia in hypobaric chamber. The elapsed time of an early hypoxia recognized by 5° narrowing of the peripheral vision should be explored.
Methodology : The research was designed as an experimental study, 94 PSDP Indonesian Air Force's pilot candidates (PSDP TNI AU), they were exposed in hypobaric chamber equal to 18.000 feet, measuring the elapsed time of 5° narrowing peripheral vision correlated with hemoglobin, forced vital capacity, pulse rate etc. Correlation analysis and linear analysis were used to analyze the data.
Results and Conclusion : The average elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5) is 201,85 seconds with standard deviation 33,16 second, 95% Cl : 195,15 - 208, 55. The analysis of the results of the relationship between RWP5 and hemoglobin had a positive correlation and statistically significance ( r = 0,62; p = 0,0000 ), 95% Cl: 15,46-15,82. It means that the higher the Hb concentration, the longer elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). RWP5 and forced vital capacity (KVP) have positive correlation and statistically significant ( r = 0,16; p =0,0164 ), 95% Cl: 90,7-94,6 which means that the higher the forced vital capacity (KVP), the longer elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). RWP5 and the frequency of ground level pulse rate (GLNadi) have negative correlation and statistically significance ( r = - 0,28; p = 0,0000 ), 95% CI: 75,53- 78,55 which means that the higher the frequency of ground level pulse rate (GLNadi), the shorter the elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). Stepwise method of regression appropriate for RWP5 prediction consists of factors of hemoglobin, ground level pulse rate and forced vital capacity, other variables are not correlated and not significant related to RWP5.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Arini
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian
Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen terutama mata dan sel otak dengan kepekaan paling tinggi pada kortek dan retina. Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya, salah satunya adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat.
Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras talon penerbang militer TNI AU/PSDP. Disain penelitian adalah kuasi eksperimen pre dan post tes, sedangkan jumlah subyek yang diteliti adalah 94 calon penerbang militer TNI AU/PSDP dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR), yang merupakan total sampel dari calon penerbang militer yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi.
Hasil Penelitian : ditemukan perbedaan bermakna dengan uji T berpasangan, pada variabel Sa02, nadi dan sensitivitas kontras (SK) pada ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis silang didapatkan hubungan yang bermakna pada kadar Rb dengan sensitivitas kontras (SK) di ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan : Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras.

ABSTRACT
The Influence of Hypoxia on Contrast Sensitivity among Military Pilot Candidates at 18.000 ft in Lakespra Saryanto, Jakarta 1997
Human being is a very sensitive to the lack of oxygen especially eyes cells and brain. Cortex and retina are the most sensitive. Vision has an important role for the pilot because visual malfunction will cause a fatal accident. One mayor aspect which influenced by hypoxia is sensitivity contrast. A Pilot needs good contrast sensibility of his eyes because he must have a capability identifying the target fastly and accurately.
METHODE
The objective of this research was to identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity of pilot candidates at 18.000 ft simulated altitude. The design of this study is a quasi experiment, a pre and post test at ground level and at simulated 18.000 ft. The total sample was 94 respondents, are Military Pilot candidates which come to Lakespra Saryanto for aerophysiological training exercise.
RESULT
T pair analysis showed that there were significant differences (p < 0,05) among variables Sa02, pulse rate and contrast sensitivity at ground level and at FL 180. Cross analysis revealed a significant correlation between hemoglobin value with contrast sensitivity at ground level and at simulated altitude 18.000 ft. The multivariate regression analysis showed a significant correlation the level of Sa02 related to the decrease of contrast sensitivity.
CONCLUSION
Hypoxia at simulated 18.000 ft will decrease contract sensitivity, although the deviation was still within normal range.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar Belakang. Meskipun kondisi pesawat terbang saat ini sudah mengalami modernisasi dengan antematisasi dan disertal dengan kabin bertekanan. Bukan berarti menyingkirkan bahaya hipoksia di dalam dunia penerbangan. Terbukti dengan masih banyaknya angka kecelakaan yang disebahkan oleh karena sebab hipoksia yang terntama disebabkan karena kegagalan sistem kabin bertekanan. Bahaya hipoksin dibidang penerbangan dapat menyebabkan inkspasitas bagi penerbangaya sehingga accident adalah hasil akhimya. Manusia tidak memiliki sistem peringatan dini untuk mengenali adanya hipoksia, sehingga diperlukan pengalaman dalam demonstrasi yang dilakukan di hipobarik chamber. Hasil dari pengalaman itulah ynng diharapkan dalam latihan !LA yang diselenggnrnkan oleh Lakespra Satfanlo TNI AU nntuk dapat segera mengantisipasi ketika terjadi situasi hipoksia baik yang disengaja ataupun tuk disengaja.
Metode. 45 orang perwira penerbang dari berbagai usia melaksanakan latihan demostrasi hipoksia di hipobarik chamber di FL 250 lalu melaksanakan tugas hitungan matematika ringan dalam jangka waktu 5 menit. Setiap subjek yang berhenti ditengah selang waktu tsb maka saat itulah waktu sadar efektif (WSE) dicatat. Sebagai parameter fisiologi yang ingin dicari adalah umur, Hb, p.."'tlrentase FVC terhadap ref, persentase FEVJIFVC, dan VO,max sebaga1 variabel independan untuk dicari korelasinya dengan WSE. Setelah diketahui korelasi masing-masing variabel dilakukan ana1isis multivariat untuk menilai faktor dan kekuatan korelasi dan untuk mendapatkan model.
Kesimpulan. Dengan diketahuinya model dalam memprediksikan WSE maka akan sangat membantu dalam proses pemilihan dan pembinaan personel dan diharapkan dapat menurunkan angka kejadian akibat hipoksia.

Background. Even though the condition of the aircrafts have been modernized with automatically equipment and pressured cabin. It doesn't meant we can neglect the danger of hypoxia in aviation as there are a large number of accident bad occurred, caused by hypoxia, particularly due to failure of the system of pressured cabin. The danger of hypoxia in aviation can cause the pilots are incapacity then they can get accident. Human doesn't own early warning system to identifY hypoxia so it requires experience to demonstrate in hypobaric chamber. The result of experience are obtained during hopefully. The training ofil-A which is held in Lakespr:a Saryanto; Indonesian Air Force on the purpose of anticipating the danger of hypoxia whether it occurs consciously or not.
Method. 45 Pilot officers with different ages conduct the training of Hypoxia demonstration in Hypobaric Cbember at FL 250, to complete the test in the form of moderate mathematics in five minute. Every single subject which stops in the mid of time that's the TUC recorded. As parameter of physiology being observed are age<, Hb, percentage of FVC to the reference, percentage of FEVIIFVC, aod V02 as independent variable to find the correlation with rue. After finding the correlation of each variable then there's analysis of multivariate to score the factors, the strength of correlation, and find the model.
Conclusion. After we found the model of predicting TUC, hopefully it can help to selecting and manage the personnel, finally it can reduce the number of accident due to the danger of hypoxia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T31653
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Bahtiar
"Pada organisme aerob, oksigen direduksi sempurna menjadi air di akhir rantai pernafasan di mitokondria yang menyediakan energi untuk menjaga fungsi normal set. Tetapi di dalam mitokondria ada molekul oksigen yang direduksi sebagian membentuk superoksida. Superoksida adalah radikal bebas, senyawa kimia yang mempunyai elektron tidak berpasangan. Radikal bebas sangat penting untuk banyak proses biologi seperti untuk melawan mikroorganisme yang patogen. Namun radikal bebas dapat merusak bila tidak dikontrol dan menyebabkan stres oksidatif.
Stres oksidatif terjadi pula di jantung saat direoksigenasi setelah hipoksia, cedera yang terjadi disebut reperfusion injury. Jantung akan kehilangan fungsinya terutama kontraktilitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kurkumin pada cedera reperfusi. Kurkumin adalah antioksidan yang mempunyai 2 cincin fenol. Kurkumin diduga' dapat mencegah ceders reperfusi setelah hipoksia jantung yang dilakukan pads model the isolated working heart. Penelitian ini menggunakan marmut jantan yang terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok kurkumin 0,25 1.tM, clan kelompok kurkumin 0,5 µM. Efek proteksi kurkumin dilihat dengan mengukur aliran darah koroner, aliran darah aorta, tekanan sistolik dan pengamatan histopatologi jantung.
Aliran darah koroner meningkat selama reoksigenasi setelah 60 menit hipoksia, dengan kurkumin aliran darah koroner cenderung menurun. Aliran darah aorta dan tekanan sistolik menurun selama reoksigenasi setelah hipoksia 60 menu, dan cenderung meningkat setelah pemberian kurkumin. Histopatologi jantung yang direoksigenasi setelah hipoksia 60 menit memperlihatkan perubahan pada sel jantung. Kurkumin dosis 0,25 p.M cenderung iebih balk clan pada dosis 0,5 p.M dalam memproteksi jantung selama reoksigenasi setelah hipoksia 60 menit.

The Effect of Curcumin Toward Coronary Flow, Aortic Flow, And Systolic Pressure in Hypoxia and Reoxygenation Isolated Working Heart Guinea PigIn aerobic organisms oxygen is converted to water at the end of the respiratory chain in mitochondria which provide the energy needed to maintain normal body function and metabolism. However, in the same mitochondrial respiratory chain, oxygen is "partially reduced" to form super oxide. Super oxide is a free radical, a chemical species with an unpaired electron. Free radicals are essential for many normal biological processes, i.e., they are essential in the response of tissue to invading microorganisms. However, they can be destructive if they are not tightly controlled.
The oxidative stress also changes the heart in reoxygenation after hypoxia, which is called as reperfusion injury. The heart loses its function, especially contractility.
The present study was conducted to find out the effect of curcumin in reoxygenation injury. Curcumin is an antioxidant, a symmetrical compound with two phenyl rings. It is hypothesized that curcumin is active to reduce reperfusion injury after hypoxia in the heart, assayed by the working guinea pig heart model. Three groups of male guinea pigs were used in this study, consisting of control group, curcumin 0, 25 µM, and curcumin 0,5 pM groups. The protective effect of curcumin was investigated by measuring coronary flow, aortic flow and systolic pressure, and by observing the histopathology of the heart.
Reoxygenation of the heart after 60 minutes of hypoxia resulted in increased coronary flow, and curcumin decreased the coronary flow. Aortic flow and systolic pressure decreased during reoxygenation after 60 minutes of hypoxia, and curcumin increased aortic flow and systolic pressure. histopathology of the heart after reoxygenation and 60 minutes of hypoxia showed changes of the myocardium. Curcumin 0,25 µM was better than curcumin 0,50 p.M as a protective agent during reoxygenation after 60 minutes of hypoxia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riskyana Dewi Intan Puspitasari
"Perekaman gambaran Denyut Jantung Janin (DJJ) dan kontraksi uterus ibu merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk pemantauan kesehatan ibu dan janin. Pemantauan gambaran DJJ dan kontraksi uterus biasanya didukung dengan alat elektronik yang disebut Kardiotokografi (KTG). Tujuan dari pemantauan menggunakan KTG, terutama bagi kesehatan janin, adalah untuk mencegah terjadinya mobiditas dan mortalitas pada janin yang memiliki resiko mengalami hipoksia. Dalam penggunaannya, pergerakan ibu atau janin serta pergeseran sensor pada saat pengambilan data menyebabkan sinyal KTG bersifat non-stasioner dan memuat noise. Noise dan bentuk non-stasioner yang muncul menurunkan kualitas perekaman sinyal KTG sehingga dapat menimbulkan kesalahan interpretasi oleh dokter atau bidan. Deteksi otomatis dapat ditambahkan pada sistem KTG untuk memudahkan obgin dan bidan dalam melakukan interpretasi serta membantu mengurangi resiko kesalahan interpretasi gambaran DJJ. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah deteksi otomatis terjadinya hipoksia pada janin mengunakan sinyal DJJ pada data KTG yang robust terhadap noise. Pada penelitian ini digunakan pendekatan metode Higher Order Spectral (HOS) Bispektrum. Hasil evaluasi menunjukkan dari penelitian ini diperoleh hasil akurasi, sensitivitas, spesifisitas, f1-score, dan AUC sebesar 60.02%, 60.91%, 57.75 %, 60.02 %, dan 60.23 %.

Recording signal of Fetal Heart Rate (FHR) and maternal uterine contractions is one of the examinations conducted for monitoring maternal and fetal health. The monitoring of FHR and uterine contractions signal is usually supported by an electronic device called Cardiotocography (CTG). The purpose of monitoring using CTG is to prevent morbidity and mortality in the fetuses who are at risk of developing hypoxia. In the mechanism of the occurence of FHR, changes that occur at FHR are also effected by uterine contractions. In its use, the movement of the mother of fetus, and shifts of the sensor during data collection cause CTG signal to be non-stationary and noisy. Noise and non-stationary shape that appear in signal reduce the quality of CTG signal so that it can cause misinterpretastion by doctor and midwives. Automatic detection can be added to the CTG system to make easier for midwives to interpret and help reduce the risk of misinterpretation of FHR and uterine contractions signal. This study aims to solve the problem of automatic detection of hypoxia in the fetus using FHR and uterine contraction signal from CTG data. Besides, a detection process that is robust to noise is also carried out. Bispektrum cross-correlation wavelet approach was used in this study. Evaluation results show that the method proposed in this study obtained accuracy, sensitivity, specificity, f1-score, and AUC 60.02%, 60.91%, 57.75 %, 60.02 %, dan 60.23 %."
Depok: Fakultas Ilmu Kompter Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabela Andhika Paramita
"Banyak penduduk yang tinggal di dataran tinggi mengalami keadaan hipobarik hipoksia intermiten IHH . Kondisi tersebut bahkan diciptakan sedemikian rupa untuk pelatihan pilot, atlit dan pendaki gunung. Dalam percobaan ini, akan dilihat apakah efek perlindungan IHH dimediasi oleh enzim glutathione peroksidase GPX . Sampel percobaan adalah ginjal tikus Sprague-Dawley sehat usia 2 bulan dengan berat 200-250 g. Perlakuan IHH diterapkan dengan menggunakan Hypobaric Chamber tipe I yang dapat mengondisikan tekanan udara seperti pada ketinggian 35,000 1 menit ; 30,000 3 menit ; 25,000 5 menit ; dan 18,000 30 menit kaki. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol, kelompok hipobarik-hipoksia, dan kelompok hipobarik-hipoksia intermiten 1x, 2x, dan 3x dengan jumlah tikus masing-masing 3 ekor/kelompok. Aktivitas spesifik GPX diukur menggunakan metode RANDOX dan RANSEL. Analisa statistik ANOVA-one way menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok P>0.05 walaupun aktivitas spesifik GPX ginjal tikus pada kelompok dengan perlakuan hipobarik hipoksia lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan terjadi karena aktivitas antioksidan lain. Kesimpulan penelitian penerapan IHH tidak mempengaruhi aktivitas GPX pada ginjal tikus.

Many people live in high altitude experiencing a condition called intermittent hypobaric hypoxia IHH . Some people even create IHH condition as an exercise for pilot, athletes, and mountaineers. In this experiment, we wanted to see whether the protective effect of IHH is mediated through glutathione peroxidase GPX enzyme. The experiment rsquo s sample is 2 months old healthy Sprague Dawley rat rsquo s kidney weighing 200 250 g. Intermittent hypobaric hypoxia treatment is done by using Hypobaric Chamber type I that can mimic air pressure at certain altitudes 35,000 1 minute 30,000 3 minutes 25,000 5 minutes and 18,000 30 minutes feet. The rats were divided into five treatment groups such as control group, hypobaric hypoxia group, and intermittent hypobaric hypoxia 1x, 2x, and 3x groups with each group consisting of 3 rats. The specific activity of GPX was measured using RANDOX and RANSEL methods. Statistical analysis of one way ANOVA did not show significant difference between the groups P 0.05 even though specific activities of renal GPX of rats exposed to hypobaric hypoxia were higher compared to the control group. This may be caused by the other antioxidants rsquo activities. In conclusion, the IHH treatment did not affect GPX activity in rat rsquo s kidney."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70354
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Christian
"Saat hipoksia, tubuh memproduksi radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Radikal bebas, salah satunya, dapat menyerang protein sehingga menghasilkan dikarbonil. Namun, terdapat mekanisme adaptasi tubuh yang mungkin diinduksi hipoksia hipobarik intermiten, termasuk antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat dilihat, salah satunya dengan penurunan produksi dikarbonil. Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental dengan melibatkan 25 ekor tikus yang dibagi ke dalam 5 kelompok, yakni kelompok Hipoksia Hipobarik Intermiten (HHI) 7 kali, kelompok HHI 14 kali, kelompok HHI 21 kali, kelompok HHI 28 kali, dan kelompok kontrol. Terjadi fluktuasi kadar dikarbonil dan dapat terlihat tren perubahan kadar dikarbonil antara kelompok-kelompok perlakuan walaupun hasil uji statistik tidak memiliki perbedaan signifikan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari kadar dikarbonil pada jaringan hati tikus di kelompok yang diberikan perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dengan kelompok kontrol sehingga hipotesis “jumlah paparan hipoksia hipobarik intermiten yang berbeda mengakibatkan perbedaan kadar dikarbonil yang bermakna pada jaringan hati tikus” dan adanya efek perlindungan HHI terhadap radikal bebas tidak terbukti.

During hypoxia, the body produces free radicals which are harmful to the body. Free radicals can attack proteins to produce dicarbonyl. However, there are body adaptation mechanisms that may be induced by intermittent hypobaric hypoxia, including antioxidants that protect the body from free radicals and can be seen, one of which is by decreasing dicarbonyl production. This study was conducted using an experimental design involving 25 rats which were divided into 5 groups, namely the Intermittent Hypobaric Hypoxia (HHI) group 7 times, the HHI group 14 times, the HHI group 21 times, the HHI group 28 times, and the control group. Fluctuations in dicarbonyl levels occurred and a trend of changes in dicarbonyl levels could be seen between the treatment groups, although the results of the statistical tests did not have a significant difference. The results showed that there was no significant difference in dicarbonyl levels in rat liver tissue in the group that was given intermittent hypobaric hypoxia treatment with the control group so that the hypothesis "different amounts of intermittent hypobaric hypoxia exposure resulted in significant differences in dicarbonyl levels in rat liver tissue" and there was an effect HHI's protection against free radicals is not proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>