Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144048 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Roro Upiek Ngesti Wibawaning Astuti
"Ruang lingkup dan cara penelitian.
Pemeriksaan larva B. malayi pada nyamuk secara konvensional (mikroskopis) banyak terdapat hambatan, antara lain nyamuk yang ditangkap harus langsung dibedah, memerlukan waktu yang lama, dan tidak spesifik karena larva dalam nyamuk sukar diidentifikasi terutama bila kepadatan larva dalam nyamuk rendah. Mengingat adanya kendala tersebut dikembangkan cara pemeriksaan nyamuk yang lebih cepat dan mudah yaitu melalui pendekatan biologi molekuler dengan Polymerase-chain reaction (PCR). Cara. PCR ini belum digunakan di lapangan sebagaimana cara mikroskopis. Berdasarkan hal diatas timbul pertanyaan apakah cara PCR dapat mendeteksi larva pada nyamuk dari lapangan. Penilaian angka prevalensi dan densitas mikrofilaria pada penduduk dilakukan berdasarkan pemeriksaan darah tebal (20ml). Proporsi infeksi pada nyamuk dihitung berdasarkan pemeriksaan sebagian sampel nyamuk langsung di lapangan dan cara PCR dilakukan di laboratorium terhadap sebagian sampel nyamuk yang disimpan dalam tabung yang mengandung silika.
Hasil dan Kesimpulan
Hasil pemeriksaan mikrofilaria B. malayi darah-malam penduduk menunjukkan prevalensi 18,3% untuk Desa Rogo dan 5,8% untuk Desa Mahoni. Hasil pemeriksaan nyamuk dengan cara mikroskopis di Desa Rogo adalah 2,6% dan Desa Mahoni adalah 1,1%. Pada pemeriksaan nyamuk secara PCR di Desa Rogo adalah 11,2% dan Desa Mahoni 3,2% positif mengandung DNA larva B. malayi. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan sangat bermakna (X2 = 22,24; P-values=0,001) antara Desa Rogo dan Desa Mahoni untuk pemeriksaan darah-malam penduduk, dengan densitas rata-rata 15,89 untuk Desa Rogo, sedang Desa Mahoni densitas rata-ratanya adalah 6,17. Hasil pemeriksaan nyamuk secara mikroskopis antara kedua Desa tidak menunjukkan perbedaan bermakna, namun pada pemeriksaan nyamuk secara PCR menunjukkan perbedaan bermakna (X2 = 4,74; P-values= 0,029). Perbedaan bermakna ditunjukkan antara cara mikroskopis dan cara PCR (X2 = 6,35; P-values-0,01), dan cara PCR memberikan nilai proporsi positif lebih tinggi yaitu 7,62% sedang cara mikroskopis adalah 1,90%, sehingga cara PCR dapat mendeteksi larva di dalam nyamuk lebih baik dari cara mikroskopis."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Filiariasis limfatik adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Diagnosis secara mikroskopis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah mempunyai sensitifitas yang rendah terhadap penderita infeksi ringan, kronis, maupun pada occult filariasis. PCR merupakan metode invitro untuk mengamplifikasi DNA spesifik secara enzimatik. Disimpulkan bahwa teknik amplifikasi Hha 1 dengan PCR dapat digunakan sebagai alternatif dalam diagnosis filaria Brugia maupun deteksi larva filaria Brugia dalam nyamuk vektor untuk kepentingan epidemiologi."
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handajani
"ABSTRAK
Diagnostik filariasis malayi secara konvensional menggunakan darah malam mempunyai kendala. Pemeriksaan darah vena siang hari dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan hasil positif (Tuda,1999), tetapi cara ini mempunyai kendala di lapangan karena penduduk enggan diambil darahnya venanya. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dikembangkan cara diagnosis baru.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi DNA B. malayi pada kertas filter Whatman dengan menggunakan teknik PCR. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam skala laboratorium. Sampel yang digunakan adalah darah manusia sehat dari daerah non-endemis fialariasis dicampur dengan mikrofilaria (mi.) B. malayi yang diisolasi dari cairan infra peritoneal (IP) gerbil positif filaria. Berbagai konsentrasi pengenceran mf yang diuji adalah: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf dalam total volum masing- masing konsentrasi 60 μl campuran darah dan diteteskan pada kertas filter Whatman 3 mm. Dilakukan pula filtrasi cairan IP gerbil untuk membuang semua mikrofilaria yang ada di dalam cairan, lalu diambil 20 μl fitrat tersebut dan dicampur dengan 40 darah manusia sehat dari derah non-endemis filariasis. Kontrol negatif adalah 20 cairan NaCl 0,9% dicampur 40 μ1 darah manusia sehat dari daerah non-endemis filariasis. Filtrat dan kontrol negatif, masing-masing.diteteskan pada kertas filter Whatman. Setelah dilakukan ekstraksi, sebanyak 2 µl supernatan dari tiap-tiap perlakuan tersebut digunakan untuk PCR. Kontrol positif menggunakan 2μl pBma 68. Hasil PCR diamati pada elektroforesis, lalu divisualisasi menggunakan transluminalor dengan sinar UK
Terlihat pita DNA dengan panjang 322 bp dan 644 bp (dimer) pada konsentrasi : 1,5, 10, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf /60 μl campuran darah serta filtrat cairan IP. Konsentrasi terendah yang dapat terdeteksi adalah 1 mf / 60 μl campuran darah. Teknik PCR dapat mendeteksi adanya DNA B. malayi dalam cairan IP gerbil yang telah difiltrasi.

ABSTRACT
Detection of DNA Brugia malayi on blood dropped on filter paper using Polymerase
Chain Reaction (PCR)
The conventional diagnostic of filariasis malayi using evening blood is handicapped by a certain constraint. The analysis of daytime venous blood using Polymerase Chain Reaction (PCR) shows positive results (Tuda, 1999), but this method confronts field opposition because people are reluctant to surrender their venous blood. To overcome this problem we have to develop a new diagnostic method.
The purpose of this study is to detect DNA B. malayi on Whatman filter paper using PCR technique. This study is a preliminary study in a labolatorium scale. The sample used in the blood of healthy people living in a non-endemic filariasis area, mixed with microfilaria (mf) B. malayi, isolated from filaria positive gerbil intra peritoneal (IP) liquid. Several diluted concentrate tested were: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf, in total volume of each concentrate 60 μl mixed blood, dropped on 3 mm Whatman filter paper. Filtration was conducted on the IP gerbil liquid, in order to get rid of all microfilaria existing in the liquid, after which 20 µl filtrat was taken and mixed with 40 μl healthy people blood from non-endemic filariasis area.
Filtrat and negative control, were dropped on Whatman filter paper. After extraction /isolation process, 2 µl supernatan from each treatment mentioned above were used for PCR. Positive control uses 2 μl pBma 68. The PCR result was scrutinized on electrophoresis, visualized later using transluminator with UV rays.
Observed DNA ribbons of 332 bp and 644 bp (dimmer) length on the concentrate : 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf / 60 μl mixed blood and filtrate liquid IP. The lowest concentration that could be detected was 1 mf / 60 μl mixed blood. Thus the PCR technique was able to detect the existence of DNA B. malayi on the gerbil IP liquid that has been filtrated."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"Penentuan adanya parasit B. malayi dalam darah dengan cara konvensional menggunakan membran filtrasi banyak mengalami kendala. Penyebabnya antara lain karena keengganan penduduk diambil darahnya waktu malam hari saat istirahat. Pengambilan darah waktu malam hari harus dilakukan sesuai periodisitas mikrofilaria, agar mikrofilaria yang berada dalam sistim peredaran darah tepi dapat terdeteksi. Di samping itu kemampuan diagnostik cara konvensional berhubungan dengan tinggi rendahnya densitas mikrofilaria dalam darah, namun cara ini tidak dapat mendeteksi cacing dewasa.
Dengan berkembangnya teknologi deoxyribonucleic acid (DNA), teknik polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA B. malayi (dalam darah) dengan menggunakan sampel darah malam hari. Pada pelaksanaannya teknik tersebut juga terdapat kendala karena harus menggunakan sampel darah yang diambil malam hari.
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah metode PCR dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA parasit B. malayi menggunakan darah slang. Penelitian dilakukan terhadap 141 sampel darah penduduk Desa Rogo dan Desa Mahoni Propinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah endimis filaria B. malayi antropofilik dengan periodisitas nokturna.
Sampel penelitian terdiri dari sampel darah yang diambil pada waktu malam dan siang hari. Sampel darah malam diperiksa dengan cara konvensional (membran filtrasi) dan cara PCR, sedangkan sampel darah slang diperiksa dengan cara PCR. Data diolah untuk mengukur kemaknaan, menggunakan uji McNemar serta dilakukan penilaian sensitivitas dan spesifisitas PCR terhadap cara membran filtrasi.
Hasil penelitian terhadap 141 sampel darah malam menunjukkan bahwa cara konvensional (membran filtrasi) dapat mendeteksi sebanyak 48 sampel pengandung parasit B. malayi, sedangkan cara PCR menjadi 91 sampel. Pada perbandingan hasil pemeriksaan membran filtrasi darah malam dengan uji PCR darah siang, didapatkan cara PCR darah siang lebih sensitif dari cara membran filtrasi. Metode PCR darah siang dapat mendeteksi 87 sampel positif, dari 141 total sampel, sedangkan membran filtrasi hanya dapat mendeteksi 48 sampel positif B. malayi. Dengan uji X2 (McNemar) didapat (p = 0,0000) berbeda bermakna. Nilai sensitivitas PCR 100%, sedangkan nilai spesifisitas 58%.
Hasil penelitian perbandingan uji PCR darah malam dengan uji PCR darah siang, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p = 0,2891). Hal tersebut disebabkan karena antara hasil uji PCR darah malam dan hasil uji PCR darah slang hanya terdapat selisih 4 sampel.

Many problems have encountered in assessing the presence of B. malayi parasite in blood based on conventional method. One reason is the reluctance of people to be bled according to the periodicity of microfilaria. Although the conventional technique is related to microflarial density, it could not be used to detect living adult worm without microfilariae in blood circulation.
The development of deoxyribonucleic acid (DNA) technology enables polymerase chain reaction (PCR) to detect DNA of B. malayi either from microfilaria or adult stage. Nevertheless, the problem of night blood collection was still unsolved. The same problem arouse due to night blood samples collection. The aim of this study is to know whether the PCR assay could be used to detect the DNA of nocturnally B. malayi during day time.
The study was carried out on 141 blood samples collected twice, at night and the next day from people of Rogo and Mahoni villages, Central Sulawesi, which are endemic for anthropophilic B. malayi with nocturnal periodic. Night blood samples were examined by conventional method (membrane filtration) as well as PCR assay whereas day blood samples were only processed by PCR.
The PCR assay in night blood samples could detect 91 positive samples contained B. malayi and the day time detected 87 samples out of the total samples. The conventional method could only detect 48 positive samples. McNemar analysis showed significantly difference between those two methods (p= 0,0000). The sensitivity of PCR assay in the day blood samples compared to membrane filtration was 100 % and the specificity was around 55 %. There was no significant difference shown between PCR results in night blood compared to day blood samples (p=0,2891).
It was concluded that the PCR assay in day time could replace the conventional method without considering the periodicity of microfilaria in blood.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP 2000 134a
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"ABSTRAK
Penelitian respon imun terhadap larva stadium empat (L4) jarang dilakukan. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan materi larva stadium empat yang cukup untuk pembuatan antigen.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan larva stadium empat (L4) pada kultur in vitro dengan menggunakan candle jar sebagai pengganti inkubator C02.
Larva infektif (larva stadium tiga) Brugia malayi berhasil dikultur in vitro menjadi larva stadium empat dalam medium NCTC 135 dan lstove's modified Dulbeccos yang diperkaya dengan 10% serum manusia selama 3 minggu. Larva infektif dikultur dalam candle jar dan diinkubasi pada suhu 37C.
Pada kultur in vitro dengan candle jar 52,99% larva infektif menjadi larva stadium empat; sedangkan dengan Cara in vivo pada mongolian jird hanya 10,8% dan larva infektif menjadi larva stadium empat dan perbedaan ini adalah bermakna ( Uji t, p < 0,001).

ABSTRACT
Immunological studies against the fourth stage larvae (L,4) are still scarce because it is difficult to collect enough L4 material produced in vivo for antigen.
The aim of this study is to produce the fourth stage larvae (L4) of B. malayi by using in vitro culture in candle jar.
Third stage larvae of Brugia Malayi has been successfully molted into fourth stage larvae in an in vitro culture medium composed of NCTC 135 and Iscove's modified Dulbecco's supplemented with 10% human serum for 3 weeks. The in vitro culture was done in a candle jar and incubated at 37C.
Of the infective larvae 52.99 % transformed into fourth stage larvae in an in vitro culture by mean of candle jar whereas only 10.8% of the infective larvae transformed into fourth stage larvae in in vivo using mongolian jird and this result differed significantly (t test, p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Widyasmara
"Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan untuk mendeteksi Salmonella dalam sampel makanan dan minuman. Primer yang digunakan didesain berdasarkan gen invA spesifik Salmonella untuk amplifikasi. Dua puluh satu sampel dikoleksi dari pedagang kaki lima di Jalan Margonda Raya Pondok Cina Depok dari bulan Maret 2008 hingga pertengahan April 2008. Persiapan sampel sebelum PCR, meliputi langkah prapengayaan dalam Buffered Peptone Water dan diikuti ekstraksi DNA menggunakan metode boiling. Dari hasil ekstraksi DNA, fragmen berukuran 244 pb diamplifikasi dengan PCR. Sampel juga diuji menggunakan metode kultur standar untuk mengkonfirmasi hasil pengujian sampel dengan metode PCR. Batas uji deteksi metode PCR dalam penelitian ini adalah 2,85 x 106 CFU/ml. Sebanyak empat dari dua puluh satu sampel terdeteksi mengandung Salmonella dengan metode PCR, tiga diantaranya tidak terdeteksi dengan metode kultur standar dan satu sampel lainnya terdeteksi dengan metode kultur standar yang dilanjutkan metode PCR. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan metode deteksi Salmonella yang mudah, cepat dan dapat dipercaya pada sampel makanan dan minuman."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2008
S32640
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eustachius Hagni Wardoyo
"Latar belakang : Angka kejadian infeksi menular seksual (IMS) dengan pengeluaran duh genital di Indonesia didasarkan pada modalitas diagnosis yang masih terbatas. Survey IMS di kota besar pada kelompok resiko tinggi secara periodik memberikan gambaran infeksi klamidia dan gonore yang dominan. Perubahan patogenesis infeksi klamidia dan gonore yang disebabkan karakteristik demografik, perilaku seks dan pengobatan sendiri menyebabkan diagnosis pendekatan sindrom tidak lagi akurat.
Tujuan : Mengembangkan sistem deteksi C. trachomatis dan N. gonorrhoeae menggunakan PCR dupleks pada penderita IMS dengan pengeluaran duh genital.
Metode : Penelitian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap I adalah tahap optimasi terhadap suhu dan waktu annealing, konsentrasi primer, waktu sentrifugasi dan volume elusi akhir. Tahap II merupakan uji spesifisitas pemeriksaan terhadap bakteri lain dan ambang deteksi dupleks PCR dan tahap III adalah aplikasi PCR dupleks terhadap spesimen klinik.
Hasil : Hasil optimasi yang didapatkan adalah sebagai berikut: suhu annealing 54°C, waktu annealing 60 detik, konsentrasi baik primer CTR dan CTF masing-masing 0,7μM sedangkan konsentrasi baik primer NGR dan NGF masing-masing 0,5μM, waktu sentrifugasi 10 menit dan volume elusi 60 μl. Ambang deteksi DNA terendah untuk C. trachomatis adalah 0,927 pg/reaksi PCR dan untuk N. gonorrhoeae adalah 1,19 pg/reaksi PCR. PCR dupleks terhadap 23 spesimen endoserviks memberikan hasil pita yang sesuai untuk C. trachomatis sebanyak 10 kasus (43,5%) dan pita yang sesuai untuk N. gonorrhoeae sebanyak 10 kasus (43,5%) dengan 4 kasus koinfeksi. PCR dupleks pada 18 swab uretra laki-laki memberikan hasil pita yang sesuai untuk C. trachomatis sebanyak 1 kasus (0,5%) dan pita yang sesuai untuk N. gonorrhoeae sebanyak 12 kasus (66,7%). Pemeriksaan PCR dupleks terhadap N. gonorrhoeae memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut 100%, 61,9%, 20%, dan 100% pada spesimen endoserviks dan 75%, 40%, 50%, dan 66,67% pada spesimen uretra pria. PCR dupleks terhadap C. trachomatis dibandingkan uji deteksi antigen klamidia memiliki hasil positif lebih banyak baik pada spesimen swab endoserviks maupun uretra pria (10:3 dan 1:0).

Background : The incidence of sexually transmitted infections (STIs) with discharge in Indonesia is based on limited diagnostic modalities. STIs survey periodically in large cities of Indonesia to high-risk groups provide dominant pattern of C. trachomatis and N. gonorrheae infection. Pathogenesis change of C. trachomatis and N. gonorrheae infection due to demographic characteristic, sexual and self-medication behavior may reflect routine syndromic approach diagnostic is no longer accurate.
Objective : To develop detection system of C. trachomatis and N. gonorrhoeae using duplex PCR assay to genital discharge in patient with sexual transmitted infection.
Methods : Three steps research were done. Firstly was PCR assay optimalization to annealing time and temperature, primer concentration, centrifugation time and elution volume. Secondly, specificity test and thirdly duplex PCR assay application to clinical specimen.
Results : Duplex PCR assay optimalization gave results as follow: annealing temperature was 54°C, annealing time was 60 detik, C. trachomatis primer concentration both reverse and forward were 0,7μM and N. gonorrhoeae primer concentration both reverse and forward were 0,5μM, centrifugation time was 10 minutes and elution volume elusi 60 μl. Detection limit of duplex PCR to C. trachomatis was 0.927 pg / PCR reaction, and N. gonorrhoeae was 1,19 pg / PCR reaction. Duplex PCR application to 23 endocervical swab which corresponds to C. trachomatis were 10 cases (43.5%) and corresponds to N. gonorrhoeae were 10 cases (43.5%), with 4 coinfection cases. Duplex PCR to 18 male urethral swab which corresponds to C. trachomatis was 1 case (0.5%) and that corresponds to N. gonorrhoeae were 12 cases (66.7%). Duplex PCR to detect N. gonorrhoeae had sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value of 100%, 61.9%, 20%, and 100% in endocervical specimens, respectively and 75%, 40%, 50%, and 66.67%, in male urethral specimens respectively. Duplex PCR to detect C. trachomatis was compared with chlamydial antigen detection test were show positive results higher both in endocervical and male urethral specimens (10:3 and 1:0).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Yanuar Senjaya
"Bahan utama dari cangkang kapsul obat dihasilkan dari gelatin. Kulit dan tulang sapi atau babi merupakan sumber utama yang paling banyak digunakan untuk pembuatan gelatin. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia bersertifikat halal, hal ini termasuk tidak boleh mengandung fragmen babi. Keberadaan DNA di dalam gelatin cangkang kaspul hanya sekelumit sebagai akibat dari pembuatan gelatin yang menggunakan pH dan suhu yang ekstrem. Oleh karena itu diperlukan metode peroleh DNA yang optimum dan deteksi molekuler yang sensitif terhadap keberadaan DNA porsin di dalam cangkang kapsul.
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi perolehan DNA lewat ekstraksi, mengoptimasi dua metode PCR, yaitu duplex PCR dan nested PCR dan membandingkan sensitivitas kedua metode tersebut serta mendeteksi kandungan porsin pada empat sampel cangkang kapsul obat herbal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polymerase Chain Reaction PCR yang merupakan metode deteksi molekular berbasis DNA. Optimasi ekstraksi dilakukan dengan mengubah jumlah replikat ekstraksi DNA yang terdiri dari jumlah sampel yang diekstraksi, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel serta jumlah replikat saat tahap akhir pengisolasian DNA. Jumlah sampel yang diekstraksi memberikan hasil optimum pada 8 replikat.
Optimasi metode PCR dilakukan dengan mengoptimasi suhu annealing dan komposisi komponen PCR. Metode nested PCR mempunyai sensitivitas lebih baik dibandingkan dengan duplex PCR. Metode nested PCR masih dapat mendeteksi hingga 1 fg/ L cetakan DNA sementara duplex PCR hanya sampai 1 ng/ L. Analisis dilakukan dengan bantuan software dan pengamatan visual. Namun, dalam hal efisiensi metode duplex PCR lebih baik dibandingkan nested PCR. Ditemukan kandungan DNA porsin pada keempat sampel cangkang kaspul obat herbal menggunakan metode duplex maupun nested PCR.

Capsule shell is mainly composed by gelatin. Most gelatin is made by skin and bone of porcine or bovine. All products in Indonesia are obliged halal certified by Law Number 33 Year 2014 on Halal Product Assurance, included free porcine fragment. DNA in capsule shell gelatin remain in a trace amount as a result of manufacturing of gelatin with extreme pH and temperature. Therefore, optimum DNA acquisition method and sensitive molecular detection method are required for tracing DNA in capsule shell gelatin.
This study was aimed to optimize DNA acquisition method through extraction, optimize duplex and nested PCR and compare sensitivity for two PCR methods also detect porcine in four herbals capsule shell samples. Method for this study is Polymerase Chain Reaction PCR, molecular detection based on DNA. Optimization of extraction method was carried out by changing the number of DNA extraction replicate, consist of number of extracted samples, modification composition of resuspension and lysis process, and number of replicate in final stage of isolation DNA process. The number of extracted samples gave optimum result in 8 replicates.
Optimization of PCR method was carried out by optimizing the annealing temperature and composition component of PCR. Nested PCR method has better sensitivity than duplex PCR method. Nested PCR method could detect as low as 1 fg L DNA template while duplex PCR until 1 ng L DNA template only analysed with software based quantification and visual quantification. On the other hand, duplex PCR method showed better efficiency process than nested PCR method. Through two optimization of those two PCR methods, nested and duplex PCR, trace of porcine DNA in four herbals capsule shell samples was detected.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Karunia Putri
"Momentum disahkannya UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi acuan awal pengembangan metode deteksi molekuler DNA porsin terhadap kehalalan produk. Undang-undang ini mewajibkan seluruh produk yang masuk dan beredar di Indonesia tersertifikasi halal, termasuk tidak boleh mengandung fragmen babi. Deteksi dilakukan pada jumlah sekelumit jejak DNA yang masih tersisa di dalam gelatin cangkang kapsul setelah melalui proses pembuatan yang panjang dengan pH dan suhu ekstrim. Untuk itu, optimasi metode ekstraksi sangat berperan penting agar mendapatkan jumlah DNA yang memadai.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode optimal perolehan DNA dan menentukan kondisi optimal metode deteksi molekular DNA porsin menggunakan metode Polymerase Chain Reaction yang sensitif. Metode PCR yang digunakan adalah PCR duplex dan PCR nested dengan target sekuens DNA ATP8 dan Cytb. Optimasi dilakukan pada metode ekstraksi DNA dengan mengubah jumlah replikat sampel, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel, jumlah campuran saat tahap awal isolasi DNA, serta pemekatan pada tahap akhir pengisolasian DNA.
Hasil optimasi menunjukan jumlah replikat gelatin optimum adalah delapan sampel ekstraksi. Optimasi PCR dilakukan dengan membandingkan metode PCR duplex dan PCR nested pada uji sensitivitas, serta optimasi kondisi masing-masing PCR tersebut. Hasil positif mengandung DNA porsin dinyatakan dengan terbentuknya dua amplikon 212bp dan 398bp pada PCR duplex atau satu amplikon 387bp pada PCR nested. Dari enam titik konsentrasi DNA yang diujikan pada uji sensitivitas, PCR nested dapat mendeteksi konsentrasi DNA hingga 1 fg/ ??l sedangkan PCR duplex yang hanya dapat mendeteksi hingga 1 ng/ ??l. Deteksi terhadap sampel kapsul suplemen menunjukan bahwa terdeteksi DNA porsin dalam sampel dengan metode PCR nested dan PCR duplex. Metode duplex dan nested PCR dapat diterapkan sebagai metode deteksi awal secara kualitatif namun tidak kuantitatif.

Halal product assurance regulation, which was established under Law no. 33 year 2014, gave a major impact for the development of molecular detection method of porcines DNA in a product. This law obliges all products in Indonesia to have halal status, included no pigs fragment at all. Traces amount of DNA from gelatin and capsule shell which was still remaining after long manufacturing process under extreme pH and temperature, were detected and amplified. Thus, optimization of DNA extraction method is important to get the sufficient amount of DNA.
The aims of this study are to obtain an optimum DNA collection method and to determine optimum condition of sensitive molecular detection method of porcines DNA using PCR. The sequence DNA targets ATP8 and Cytb were amplified using duplex and nested PCR methods. The optimization on number of sample replication, on composition mix in resuspension and cell lysis process, on the amount of the solution used when starting the DNA isolation process, and the final concentration of DNA isolation process have done.
Result showed that the optimum numbers of replication for gelatin are eight times. Optimization of PCR was done by comparing nested PCR and duplex PCR for sensitivity test, also for both PCR conditions. Two amplicon of 212bp and 398bp in duplex PCR or one amplicon of 387bp in nested PCR were obtained only in sample that positive contains porcines DNA. Six different concentrations of template DNA that has been carried out for sensitivity test in both methods showed that nested PCR can detect as low as 1fg l DNA while duplex PCR can only detect 1ng l DNA concentration as the lowest. Porcines DNA has been detected in all capsule shell samples. Optimized duplex and nested PCR method could be applied as early qualitative detection.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Ika Saskia
"Disahkannya UU NO. 33 tahun 2104 tentang jaminan Produk Halal menjadi latar belakang dilakukannya pengembangan metode deteksi molekuler terhadap DNA porsin untuk penentuan kehalalan produk. DNA yang diamplifikasi adalah sekelumit DNA yang masih terkandung dalam gelatin asal porsin setelah melalui proses pembuatan dengan melibatkan suhu dan pH ekstrem. Oleh karena itu, optimasi metode ekstraksi adalah tahapan terpenting untuk memperoleh jumlah DNA yang memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode optimal untuk memperoleh DNA, menentukan metode deteksi molekular DNA porsin menggunakan metode Polymerase Chain Reaction PCR yang sensitif, serta untuk mendeteksi fragmen DNA porsin yang terdapat pada sampel sediaan obat antibiotik.
Jenis metode PCR yang digunakan adalah PCR duplex dan PCR nested yang merupakan metode deteksi molekuler berbasis DNA dengan dua target sekuens DNA, yaitu DNA cyt b dan ATP8. Optimasi perolehan DNA dilakukan dengan mengubah beberapa parameter yang terdiri dari jumlah replikat sampel yang akan diekstraksi, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel, jumlah campuran saat tahap awal isolasi DNA, serta tingkat kepekatan dalam pengisolasian DNA tahap akhir. Jumlah replikat gelatin optimum untuk mendapatkan DNA yang memadai adalah sebanyak delapan sampel ekstraksi.
Pada penelitian ini dilakukan optimasi kondisi dua jenis PCR yaitu PCR duplex dan PCR nested, serta membandingkan sensitivitas antara kedua metode PCR tersebut. Hasil dikatakan positif mengandung DNA porsin jika terbentuk dua pita hasil amplifikasi 212bp dan 398bp untuk PCR duplex dan satu pita 387bp untuk PCR nested.
Hasil uji sensitivitas yang dilakukan di enam titik konsentrasi menunjukan bahwa PCR nested mampu mendeteksi hingga 1 fg/ L sedangkan PCR duplex hanya mampu mendeteksi hingga 1 ng/ L. Hal ini disebabkan oleh PCR nested melalui dua tahapan sedangkan PCR nested hanya melalui satu tahapan PCR. Deteksi yang dilakukan terhadap sampel antibiotik menunjukkan bahwa DNA porsin tidak mampu terdeteksi menggunakan PCR duplex namun mampu terdeteksi mengguunakan PCR nested, sehingga PCR nested lebih efektif untuk diterapkan sebagai metode deteksi awal secara kualitatif namun tidak kuantitatif.

The establ shment of Law No. 33 years 2104 on the guarantee of halal products became the background of the development of molecular detection methods of DNA porsin for the determination of halal products. The amplified DNA is a trace of DNA still contained in the porcine gelatin after going through a manufacturing process involving extreme temperature and pH. Therefore, the optimization of the extraction method is the most important step to obtain adequate amount of DNA.
The aim of this study was to obtain the optimal method of obtaining DNA, to determine the method of detecting molecular DNA of porcine using sensitive Polymerase Chain Reaction PCR method, and to detect porcine DNA fragments found in the sample of antibiotics.
The type of PCR method used is duplex PCR and nested PCR which is a DNA based molecular detection method with two DNA sequence targets, DNA cyt b and ATP8. Optimization of DNA acquisition was done by changing some parameters consisting of the number of replicate samples to be extracted, the modification of the resuspension and cellular composition, the amount of mixture at the initial stage of DNA isolation, and the level of concentration in final stage of DNA isolation. The optimum amount of gelatin replicates to obtain sufficient DNA is eight extraction samples.
This research conclude optimization of two PCR conditions, PCR duplex and PCR nested, and also comparing the sensitivity between the two PCR methods. The results are said to positively contain porsin DNA if two amplified bands 212bp and 398bp are formed for duplex PCR and one band 387bp for nested PCR.
Sensitivity test results performed at six points of concentration showed that nested PCR was able to detect up to 1 fg L while the duplex PCR was only capable of detecting up to 1 ng L. This is caused by PCR nested through two stages while PCR is nested only through one PCR stage. Detection of antibiotic samples showed that porcine DNA could not be detected using duplex PCR but was able to be detected using PCR nested, so that nested PCR was more effective to be applied as a qualitative, but not quantitative, method of early detection.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>