Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arsyad
"Penelitian ini dimotivasi oleh kondisi Asrama Eks Bataliyon Zeni Konstruksi (disingkat Yon Zikon) 15 pada akhir dekade 90-an memperlihatkan adanya potensi konflik atau ketegangan sosial yang cukup tinggi. Ketegangan itu tidak hanya antar individu tetapi juga antar kelompok dalam komunitas Asrama. Sebelum tahun 1990 sudah terjadi berbagai ketegangan, pertengkaran dan bahkan kekerasan. Keadaan ini terjadi antar komunitas yang berada di luar Asrama, niisalnya dengan Asrama Markas Besar Angkatan Darat (MABAD), Asrama Alat Berat (ALBER) Angkatan Darat dan Kampung Srengseng Sawah. Pada pertengahan tahun 1990-an sampai saat ini relatif tidak ada lagi konflik antara warga asrama dengan warga di luar asrama. Di samping alasan tersebut, ada dua faktor yang mendorong penulis melakukan penelitian ini. Pertama, dinamika yang cukup tinggi antara warga sipil dan militer. Kedua, kurangnya kajian dan penelitian mengenai kehidupan militer dengan masyarakat sipil dalam suatu komunitas yang lebih kecil seperti Asrama Eks Yon Zikon 15.
Penelitian ini mencoba menganalisis kualitas potensi konflik yang ada di Asrama Eks Yon Zikon 15 pada kurun waktu 2000-2002 dan sampai pertengahan tahun 2003. Namun sebelumnya, menelusuri pola hubungan sosial dan proses yang melatari terjadinya berbagai bentuk konflik di komunitas ini.. Selanjutnya penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan sosial atau potensi konflik yang ada di Asrama Teori yang digunakan dalam menganalisis pernasalahan tersebut adalah teori konflik yang bersumber dari kombinasi pemikiran Dahrendorf, Wirutomo, Sujatmiko, Fisher dan kawan-kawan, Harris dan Reilly. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah; observasi terlibat dan wawancara mendalam (indepth interview) yang sebelumnya mengedarkan daftar kuesioner. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 40 orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pemahaman yang berbeda antara anggota Asrama yang sate dengan yang lain mengenai konsep konflik. Walaupun terdapat perbedaan mengenai konsep konflik tersebut, tetapi umumnya konflik difahami sebagai perbuatan atau tindakan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain atau kelompok lain, dengan secara langsung dan sadar saling menyakiti tubuh lawannya, dengan menggunakan suatu alat tertentu (seperti; batu, kayu, besi, pisau, senjata api dan sejenisnya). Walaupun masih ada kecenderungan menganggap tabu istilah atau konsep konflik, tetapi warga yang ada di Asrama Eks Yon Zikon 15 ini, relatif sudah terbiasa mengahadapi berbagai konflik pemahaman konflik di komunitas ini berbeda dengan pendapat dari Dahrendorf, Wirutomo, Sujatmiko, Fisher dan kawan kawan, Harris dan Reilly, Amstutz, dan Suyatna.
Temuan lain adalah semua bidang yang diteliti memperlihatkan. kecenderungan kualitas konflik lebih keras dalam bentuk ketegangan antar individu dan antar kelompok.. Bidang yang berpotensi lebih keras adalah konflik vertikal bidang budaya. Misalnya, kelompok pendatang yang memiliki tingkat sosial-ekonomi relatif lebih tinggi dengan warga Asrama. Bidang politik horizontal dan vertikal, memperlihatkan gejala lebih keras antar individu dan antar kelompok dibandingkan dengan bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi yang horizontal lebih keras pada tingkat individu dibandingkan dengan bidang ekonomi vertical. Keadaan ini, banyak terjadi dalam bentuk ketegangan dan pertengkaran, namun belum sampai pada tingkat kekerasan terbuka. Keseluruhan temuan ini memperlihatkan adanya elaborasi/perluasan bentuk konflik dari yang dikemukakan oleh Dahrendorf, Fisher dick, Harris & Reilly.
Penelitian ini menemukan delapan faktor yang menyebakan peningkatan intensitas konflik di Asrama Eks Yon Zikon 15. Pertama, semakin banyaknya pendatang (khususnya pendatang yang memiliki tingkat sosial-ekonomi yang lebih tinggi dari warga Asrama. Kedua, adanya gejala segregasi tempat tinggal dan jarak sosial antar individu dan kelompok. Ketiga, masih adanya kecenderungan memelihara prasangka dan stereotip sosial yang negatif terhadap kelompok lain. Keempat, adanya gejala segregasi etnik pada organisasi formal yang ada di Asrama ini. Kelima, adanya kecenderungan penguasaan sumber-sumber daya politik dan ekonomi yang bersifat strategis di Asrama. Keenam, adanya gejala ketidakadilan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh wara kepada para pengurus dari berbagai organisasi sosial yang ada di Asrama. Ketujuh, berbagai program bantuan dan kebijakan dari pemerintah daerah, tidak jarang ikut menyuburkan konflik yang sudah ada. Delapan, ketidakjelasan ?status tempat domisili?. Secara umum faktor penyebab konflik tersebut sesuai dengan pendapat Sujatnuko, Dahrendorf, Wirutomo, Fisher dan kawan-kawan, Harris dan Reilly.
Untuk itu sudah saatnya para warga yang ada di Asrama Eks Yon Zikon 15 menyadari dan mewaspadai sedini mungkin munculnya konflik yang lebih keras dan konflik terbuka terutama antar kelompok, baik secara horizontal maupun vertikal. Mekanisme budaya yang ada di Asrama ini perlu dipelihara dan dilestarikan dalam mengantisipasi munculnya kondisi tersebut, melalui hajatan sosial seperti tahlilan dan sejenisnya, korpean dan kepatuhan pada pemimpin informal. Kepada Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya, sudah saatnya mempertimbangkan suatu kebijakan atau peraturan sebelum diberlakukan pada komunitas Asrama Eks Yon Zikon 15 ini.
Perlunya mengembangkan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai komunitas Asrama Eks Militer yang ada lndonesia. Disamping itu, perlunya pengkajian dan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai hubungan "Sipil-Militer", pada tataran yang lebih luas dan lebih makro. Sehingga, akan diperoleh pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif serta tidak berprasangka mengenai hubungan ?Sipil-Militer? di negeri ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chery Sidharta
"Upaya panjang mencari penyelesaian damai konflik di Filipina Selatan melibatkan intervensi dua negara yang berbeda, Libya dan Indonesia, yang berperan sebagai mediator, dalam kerangka Organisasi Konferensi Islam. Namun dalam menjalankan perannya kedua negara tersebut memiliki keberhasilan yang berbeda. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh terutama memahami apa yang menjadi pembeda keberhasilan antara Indonesia dan Libya sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Filipina Selatan, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi.
Dalam penelitian ini dipergunakan konsep Oran Young dan Marvin Ott bahwa keberhasilan mediasi dalam resolusi konflik antara lain tergantung pada kapabilitas mediator yaitu ketidakberpihakan, independensi dan leverage.
Konsep lain yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep Brian Frederking, Andrea Pyatt dan Shaun Randol yaitu, peran jenis aktoraktor regional (Indonesia) dan ekstra-regional (Libya)-dalam upaya mediasi. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai mengenai keberhasilan peran pihak ketiga dalam resolusi konflik, dengan mengambil kasus mediasi Libya dan Indonesia dalam penyelesaian konflik di Filipina Selatan.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Unit analisis penelitian ini adalah negara.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perbedaan kapabilitas antara Indonesia dan Libya memiliki hubungan terhadap resolusi konflik di Filipina Selatan, terutama faktor persepsi keberpihakan atau ketidakberpihakan, ketergantungan, penerimaan dan leverage kedua negara oleh aktor yang memiliki kemampuan menentukan dalam konflik, dalam kasus ini Pemerintah Filipina.
Lebih jauh ini mengindikasikan bahwa efektifitas peran pihak ketiga sebagai mediator dalam konflik ditentukan oleh sifat konflik (internalminoritas) dan distribusi kekuatan (power) antara pihak-pihak yang bertikai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakhrudin
"Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kelompok pemuda keturunan Tionghoa yang ada di masyarakat, ada yang bersifat eksklusif dan ada pula yang bersedia melibatkan dalam organisasi seperti Karang Taruna. Apabila pemuda keturunan Tionghoa yang bersifat eksklusif dibiarkan terus menerus dimungkinkan dapat menimbulkan kesenjangan sosial yang memicu terjadinya konflik antar etnik. Sebaliknya, ada pemuda keturunan Tionghoa yang bersedia melibatkan diri dalam organisasi seperti Karang Taruna yang memungkinkan dapat mempererat hubungan dengan. pemuda pribumi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran mengenai keterlibatan pemuda keturunan Tionghoa dalam kegiatan Karang Taruna di Kelurahan Pasar Baru Jakarta Pusat, yang mungkin dapat berpengaruh terhadap proses pembauran dalam rangka menciptakan integrasi sosial. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diperoleh data mengenai karakteristik informan (pemuda keturunan Tionghoa), minat/motivasi informan dalam kegiatan Karang Taruna, aktivitas informan dalam kegiatan Karang Taruna dan pandangan informan mengenai interaksinya dengan pemuda pribumi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam informan dimana mereka sebagai anggota dan pengurus Karang Taruna, dengan tujuan untuk mendapat kejelasan terhadap informasi yang dibutuhkan yang kemudian disajikan secara deskriptif.
Hasil atau temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pemuda keturunan Tionghoa yang terlibat aktif dalam kegiatan Karang Taruna nampaknya lebih mudah membaur dengan pemuda keturunan pribumi.
Motivasi para pemuda keturunan Tionghoa aktif dalam kegiatan Karang Taruna yaitu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memperluas wawasan dan menambah pengalaman, mengembangkan kreativitas yang mereka miliki serta yang tak kalah penting yaitu untuk memperluas pergaulan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa para pemuda keturunan Tionghoa yang masuk dan aktif dalam kegiatan Karang Taruna mempunyai motivasi yang beragam.
Aktivitas yang dilakukan oleh pemuda keturunan Tionghoa dalam kegiatan Karang Taruna meliputi kegiatan olah raga dan seni, kegiatan rekreatif dan kegiatan sosial. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pemuda keturunan Tionghoa, nampak ada kecenderungan bahwa keterlibatan mereka masih memakai ukuran pertemuan secara fisik, dimana frekuensi tatap muka menjadi tolok ukur dari keaktifan seseorang. Dan ternyata ini masih belum disadari oleh para pemuda keturunan Tionghoa yang aktif dalam organisasi Karang Taruna.
Pemuda keturunan Tionghoa memandang bahwa interaksinya dengan pemuda pribumi, terlihat sudah berjalan cukup bagus. Hal tersebut terlihat dari kohesivitas diantara mereka dalam kegiatan Karang Taruna. Terdapat konflik kecil tetapi itu sebatas pemahaman tentang organisasi dan masalah kaderisasi. Sedangkan di luar Karang Taruna mereka yang aktif dalam kegiatan sosial seperti Karang Taruna lebih mudah diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat sulit menerima mereka yang termasuk dalam Cina Totok, yang selalu menutup dan kurang berinteraksi dengan masyarakat. Pembauran melalui organisasi dipandang lebih efektif karena ada tujuan bersama yang selalu mengikat individu yang ada di dalamnya. Semakin mudahnya komunikasi diantara kelompok-kelompok masyarakat dengan berbagai sarana pendukungnya telah membawa semakin longgarnya sentimen-sentimen kelompok. Masyarakat semakin terdorong dan mampu untuk berfikir dalam lingkup solidaritas kehidupan bersama yang semakin besar. Sehingga dalam setiap tindakannya masing-masing unsur bangsa semakin banyak dilandasi dengan perhitungan untuk kepentingan bersama sebagai suatu bangsa.
Berpijak pada hasil penelitian bahwa pemuda keturunan Tionghoa yang aktif dalam kegiatan Karang Taruna nampaknya lebih mudah membaur dengan pemuda pribumi dan masyarakat yang ada di lingkungannya, maka organisasi kepemudaan Karang Taruna akan dapat menjadi alternatif solusi bagi pembauran dalam rangka mewujudkan integrasi sosial."
2001
T5465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Aris Innayah
"Seiring dengan terjadinya disintegrasi Yugoslavia pada tahun 1990, Republik Bosnia-Herzegovina menyatakan kemerdekaanya pada tanggal 20 Desember 1991, namun 31,4 % penduduknya yang termasuk golongan etnis Serbia tidak mendukung kemerdekaan tersebut. Sehingga terjadilah konflik paling berdarah di Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia kedua.
Banyak upaya yang telah dilakukan pihak-pihak internasional untuk menyelesaikan konflik tersebut, namun ternyata perdamaian sulit untuk dicapai. Keterlibatan NATO dan Rusia yang mempunyai orientasi kebijakan yang berbeda di kawasan terjadinya konflik, telah membawa mereka kedalam suatu upaya yang secara sengaja atau tidak telah menggiring pihak yang bertikai untuk maju ke meja perundingan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menjawab suatu pertanyaan penelitian yakni apakah keterlibatan NATO dan Rusia merupakan faktor utama penyelesaian konflik di Bosnia-Herzegovina.
Bersandar pada kerangkan pemikiran melalui pendekatan power dan sejumlah asumsi penelitian yang dibangun, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa upaya yang dilakukan NATO dan Rusia berkorelasi dengan penyelesaian konflik di Bosnia Herzegovina Hipotesis ini diuji dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-komparatif, sementara pengumpulan datanya dilakukan lewat studi kepustakaan.
Hasil penelitian pada akhirnya mendapati bahwa NATO dan Rusia demi meraih tujuan politik luar negerinya, mereka melakukan kerjasama yang bersifat semu (pseudo-coalition). Hal ini terlihat pada saat NATO menerapkan kebijakan untuk memperluas pengaruh ke Eropa Timur, pada saat itu pula Rusia mencoba kembali mengukuhkan pengaruhnya di kawasan yang sama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T3060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul
"Kerusuhan-kerusuhan etnis yang meledak sejak awal era reformasi berakar dari kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberikan petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan majemuk telah dilanggar dan dihancurkan. Kesenjangan ini merupakan usaha rekayasa class forming pemerintahan Orde Baru yang menempatkan kelompok etnis pendatang tertentu pada lapisan menengah dalam proses pembentukan piramida sosial masyarakat setempat. Kelompok menengah yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) ini telah memaksa etnis pribumi setempat untuk puas di papan bawah, walaupun mereka merasa telah diperas dan dipinggirkan. Potensi konflik antara kedua kelompok telah memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan selama ini.
Gerakan reformasi telah memberikan momentum untuk membangkitkan perlawanan dengan menggunakan label etnis dan agama tersebut. Konflik terbuka seperti di Bagan Siapi-api dan daerah lainnya pada hakekatnya adalah proses budaya untuk mendapatkan keadilan.
Pertanyaan mendasar dalam menganalisa berbagai kerusuhan etnik diberbagai daerah di nusantara ini adalah "mengapa upaya-upaya pembauran belum juga mendatangkan hasil yang optimal ?". Sudah banyak pakar yang mencoba memberikan pandangan mengenai sebab-akibat alotnya proses pembauran etnik di berbagai daerah dan berakhir dengan pertikaian yang setiap pertikaian meninggalkan kesan traumatis yang dalam dari kedua belah pihak.
Warisan sejarah yang ditinggalkan Hindia Belanda, yang dikenal dengan politik "devide de impera", serta mengkategorikan penduduk nusantara kedalam tiga golongan ; orang Eropa (posisi sosial paling tinggi), Timur Asing (posisi sosial menengah) yang terdiri dari orang Cina, India dan Arab, sedangkan golongan pribumi menempati golongan paling bawah. Ketiga golongan ini hidup secara terpisah dalam kantong-kantong dan lingkungannya masing-masing.
Ketika terjadi perubahan sosial besar-besaran akibat bergulirnya era reformasi sekarang ini, berlangsung reaksi yang berbeda di kalangan golongan kedua diatas. Karena jumlah mereka relatif kecil, orang-orang keturunan India, Arab dan minoritas lainnya tidak mengalami goncangan yang berarti. Tetapi, bagi orang-orang keturunan Cina, reformasi merupakan perubahan sosial yang besar yang akibat-akibat psikologisnya menyimpan traumatis yang dalam. Kenyataan ini merupakan akibat status dan perlakuan yang istimewa, seperti diberinya hak memonopoli penjualan candu, sebagai perantara jual beli antara pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan pemerintahan berikutnya dimana etnis Cina diberi kemudahan dengan model hubungan ekonomi politik cukong di zaman Orde Baru. Sebagai akibatnya terjadilah kesenjangan ekonomi yang begitu hebat antara pribumi dan non-pribumi, sehingga berakibat kecemburuan sosial dan berakhir dengan konflik. Belum optimalnya proses pembauran sekarang ini disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor historis, kultural, politis dan upaya penyeiesaiannya hendaklah dengan memahami secara mendasar tatanan sosial kemasyarakatan yang ada serta menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dan dilakukan kajian secara berkesinambungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bob Satyhaprabu
"Fenomena intervensi militer telah berkembang secara signifikan setelah berakhirnya masa Perang Dingin dan hal tersebut juga berpengaruh pada berkembangnya literatur mengenai dampak intervensi militer eksternal pada konflik internal. Perkembangan literatur ini juga sempat menunjukkan adanya penggunaan istilah-istilah serta konsep yang cenderung ditemukan dalam ilmu hubungan internasional dalam berbagai kajian ini. Untuk itu, tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana unsur serta konsep dari ilmu hubungan internasional ini sebenarnya digunakan dalam perkembangan kajian dampak intervensi militer eksternal pada konflik internal. Tulisan ini menggunakan alur tematis yang mengamati dampak intervensi militer eksternal pada unsur kapabilitas militer kedua pihak yang berkonflik, keadaan negara pascakonflik, keberadaan hak asasi manusia dalam konflik internalnya, dan dinamika kawasan yang dapat berubah dari adanya konflik internal ini. Hasil yang ditemukan dari pengamatan literatur dari empat tema tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan unsur power digunakan secara signifikan dalam kajian-kajian ini walau faktor kepentingan yang dimiliki pihak pelaksana intervensi serta bentuk karakteristik dari konflik internal tersebut juga berpengaruh dalam pemakaian power tersebut. Meskipun begitu, hasil pengamatan ini belum memberikan penjelasan yang signifikan mengenai peran bentuk intervensi militer bersifat unilateral maupun multilateral terhadap dampaknya dalam konflik internal ini.

Military intervention as a phenomenon has evolved significantly since the end of the Cold War and this emerging trend has a certain effect on influencing how foreign military intervention's impact on internal conflicts are observed by scholars. This emerging trend also shows something interesting which is the usage of some terms and concepts more commonly found on International Relations' studies in these articles about military intervention and internal conflicts. Because of that, the purpose of this literature review is to look at how International Relations' terms and concepts is implemented by researchers in the development of studies about foreign military intervention's impact on internal conflicts after the Cold War ended. To find how it is used in the literature's development, this literature review uses a thematic structure by forming four different themes in explaining the effects of an external military intervention on a country's internal conflict. By observing the literature's development, it is discovered that the concept of power and its forms is used considerably in the development of its literature although the intervener's interests as well as the characteristics of the internal conflict in question also has its own influence on which form of power is used in the intervention. This, however, does not lead to a detailed explanation about the unilateral or multilateral forms of military intervention's role on defining its effects on the ongoing internal conflict."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vevie Damayanti
"Tesis ini menggunakan teori yang menghubungkan antara pasar, negara, masyarakat dan lingkungan dengan memberikan penekanan pada kerjasama sebagai konsep utama dan selanjutnya dipakai sebagai landasan berpikir penulisan ini. Perspektif neoliberalis digunakan untuk menjelaskan kerjasama pengelolaan ikan tuna yang terjadi di kawasan Pasifik Selatan karena perspektif ini : (1) tidak menyangkal keberadaan konflik dalam dunia politik namun konflik ini sebenarnya dapat dihindari ataupun tidak harus ada; (2) adanya penekanan pada peran institusi untuk membantu menjelaskan mengapa kerjasama tersebut dilembagakan; (3) memfokuskan pada isu-isu ekonomi politik internasional dan lingkungan. Dalam hal ini, perspektif neoliberalis akan mengatakan bahwa kerjasama pengelolaan ikan tuna di kawasan Pasifik Selatan tidak hanya merupakan faktor politik dan lingkungan dimana negara menempati peran penting dalam membuat keputusan (baca: sebagai otoritas hukum), melainkan juga melibatkan pasar dan sebenarnya dari sinilah kerjasama pengelolaan ikan tuna ini bermula.
Negara-negara di kawasan Pasifik Selatan yang pada umumnya lemah sumber dana, manusia dan teknologi dianugerahi oleh alam dengan kekayaan ikan tuna yang berada di wilayah perairannya. Masyarakal yang berada di kawasan Pasifik Selatan menjadikan ikan tuna selain untuk memenuhi kebutuhan protein hewani juga menjadikan ikan tuna sebagai tulang punggung perekonomian mereka karena ikan tuna di pasaran dunia berharga multi juta dollar. Dapat dipahami jika masyarakat di kawasan Pasifik Selatan, terutama yang tergabung dalam Forum Fisheries Agency (FFA) berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dari sumber daya ikan tuna yang berada di wilayah perairan mereka dan sekaligus menjaga serta melestarikan ikan tuna agar senantiasa dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang.
Menyadari bahwa negara-negara anggola FFA ini tidak bisa mengelola sendiri kekayaan ikan tuna yang berada di wilayah perairan mereka, maka mereka melakukan kerjasama pengelolaan ikan tuna dengan negara-negara penangkap ikan jarak jauh (Distant Water Fishing Nations - DWFNs) namun kecenderungannya jumlah tangkapan ikan tuna DWFNs dari tahun ke tahun meningkat dan jumlah tersebut melampaui batas yang telah diperjanjikan sebelumnya. Negara-negara anggota FFA sangat memperihatinkan keadaan tersebut namun mereka tidak dapat berbuat banyak.
Kelahiran United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) dan adanya pengakuan yurisdiksi nasional negara pantai sejauh 200 mil memacu negara anggota FFA untuk melakukan terobosan baru dengan melakukan kerjasama pengelolaan ikan tuna dalam ruang lingkup yang lebih luas. Kerjasama ini dimungkinkan karena selain diantara para pihak lama terjalin kerjasama baik dalam lingkup bilateral, multilateral maupun regional, faktor itikad baik dan adanya keinginan untuk senantiasa mendapatkan keuntungan serta melestarikan ikan tuna membawa mereka untuk duduk bersama dalam satu meja.
Terobosan ini membuahkan hasil dengan diadakannya pertemuan I- VII Multilateral High Level Conference (M1.ILC). Pertemuan selama 6 (enam) tahun ini menghasilkan Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in Western and Central Pacific.
Rentang waktu yang panjang untuk membentuk konvensi ini menunjukkan bahwa suasana sidang diwarnai dengan perdebatan dan tarik menarik terhadap suatu isu. Walaupun tidak semua pihak puas dengan hasil sidang namun semua pihak sepakat untuk melaksanakan isi konvensi tersebut. Pertemuan tersebut juga mencerminkan bahwa telah dilakukan saling bagi pengalaman dan tanggung jawab untuk mengelola ikan tuna di kawasan Pasifik Selatan antara pihak yang mempunyai banyak keterbatasan obyektif dengan pihak yang relatif tidak mempunyai keterbatasan obyektif.
Terbentuknya konvensi menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan Pasifik Selatan yang mempunyai keterbatasan obyektif ternyata mempunyai tawar menawar dengan negara-negara yang lebih kuat baik dari segi dana, teknologi maupun manusia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14371
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suzie Sri Suparin S. Sudarman
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [Date of publication not identified]
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Luar Negeri RI, 2009
303.482 PER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Putri Dewi
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah umum optimal di Poli Umum Puskesmas Lenteng Agung I Jakarta Selatan dengan menggunakan metode Workload Indicators of Staffing Need (WISN). Metode penelitian adalah pengamatan dengan metode work sampling, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Work sampling dilakukan selama lima menit sekali selama 6 hari kerja. Hasilnya adalah produktifitas dokter umum belum mencapai tingkat optimal 80%, yaitu hanya sebesar 72,22%, 13,1% untuk kegiatan non produktif, dan 14,68% untuk kegiatan pribadi. Dengan metode WISN, didapatkan hasil bahwa jumlah dokter umum optimal di poli umum adalah sebanyak dua orang. Jumlah dokter umum yang tersedia saat ini adalah satu orang, artinya ada kekurangan jumlah dokter umum sebesar satu orang.

This study aims to analyze the optimal number of physician need in general practice unit at health care center of Lenteng Agung I Jakarta Selatan 2014 with Workload Indicators of Staffing Need (WISN). This is a qualitative study through observation, in-depth interviews, and documents review. Observation done through work sampling every five minutes in six work days. Findings are physician productivity has not reach the optimal level of 80%, that is only 72,22%, 13,1% are used for non-productive activities, and 14,69% are used for personal activities. With WISN method, result is this general practice unit need two physicians. The available physician is one person, this shows that there is a shortage of staff by one person.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>