Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142773 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rima Cempaka
"Saat ini, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tidak dapat dilihat hanya sebagai wacana tetapi kiranya harus dipandang sebagai tantangan besar yang harus dihadapi, ditangani dan dimanfaatkan. Sebagai suatu fenomena ekonomi, globalisasi dan liberalisasi terlihat dalam perubahan dunia yang semula merupakan sekumpulan ekonomi nasional menjadi satu ekonomi dunia dimana produksi menjadi bersifat internasional dan arus keuangan melintasi batas secara bebas. Tentunya fenomena ini semakin mengembangkan ekonomi pasar yang mendasarkan pada orientasi keuntungan dan tidak memperhatikan biaya-biaya sosial dan kemanusiaan yang ditimbulkannya. Terlepas dari hal tersebut, fenomena globalisasi juga memunculkan aktor-aktor baru dalam tatanan internasional, yang memperkuat pengelompokanpengelompokan dalam konsentrasi isu-isu kontemporer, seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dll.
Berbagai persoalan terkait dengan degradasi lingkungan muncul sebagai keprihatinan global pasca Perang Dingin. Diyakini bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan secara terpisah tanpa mengkaitkannya secara erat dengan masalah sosial dan ekonomi. Dengan dilandasi oleh keyakinan tersebut, telah disepakati suatu paradigma pembangunan baru yang dikenal dengan ?pembangunan berkelanjutan? yang diartikan sebagai: ?pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengganggu kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka?. Paradigma baru tersebut menyepakati suatu pendekatan yang terintegrasi terhadap pembangunan yang memperhatikan tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.
Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, tesis ini disusun sebagai upaya untuk mengidentifikasikan persoalan-persoalan muncul sebagai. akibat persinggungan kepentingan antara entitas-entitas utama dalam fenomena globalisasi, yaitu rezim perdagangan multilateral sebagai ujung tombak liberalisasi perdagangan dan rezim lingkungan hidup, yang merupakan akumulasi kelompok-kelompok kepentingan pelestarian lingkungan hidup. KTT Pembangunan Berkelanjutan menjadi momentum global dalam penegasan kembali komitmen pembangunan berkelanjutan, sebagai hirauan masyarakat global dalam upaya mempertahankan kesinambungan peradaban manusia di muka bumi. Terkait dengan hal tersebut, penulis mencoba mengulas karakteristik kedua rezim, prinsip-prinsip utama yang terkandung didalamnya, serta dinamika interaksi kedua rezim tersebut dalam menanggapi isu-isu spesifik, seperti isu hak atas kekayaan intelektual, kepemilikan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik hak komunal masyarakat tradisional terhadap kekayaan hayati, serta menelaah mekanisme pengelolaan konflik kedua rezim tersebut, dan alternatif-alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengatasi timbulnya perbenturan kepentingan antar rezim.
Penulis juga bermaksud mengangkat pentingnya pemanfaatan pendekatan multilateralisme dalam penyelesaian konflik antar rezim. Gagasan utama yang hendak ditegaskan dalam tesis ini yaitu pentingnya multilateralisme sebagai solusi untuk menanggulangi permasalahan global, tanpa adanya pemaksaan nilai-nilai dari satu negara ke negara lainnya. Prinsip multilateralisme yang diatur oleh oleh Piagam PBB dalam pembahasan isu-isu hubungan internasional kontemporer menjadi wahana tepat untuk mengantisipasi "unpredictability" dalam hubungan internasional, mengatasi ketimpangan yang lebih jauh dalam hubungan negara maju dengan negara berkembang, dan kerusakan yang lebih jauh terhadap lingkungan hidup."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwana Firdaous
"Perdagangan regional (RTA) menjadi fenomena umum yang menyebar luas ke seluruh dunia. Gelombang besar inisiatif perdagangan regional terus berlajut sejak awal tahun 1990-an. Banyak negara memilih membuat komitmen di tingkat regional karena lebih mudah dilakukan daripada komitmen bidang yang sama di tingkat multilateral. RTA merupakan bagian dari sistem perdagangan global (multilateral trading sistem), namun dalam kenyataanya persyaratan Pasal XXIV GATT 1994 sering kali diabaikan. Beberapa kelompok regional memiliki persetujuan perdagangan barang, persetujuan perdagangan jasa, persetujuan investasi, dan kerjasama ekonomi, diantaranya adalah ACFTA. Liberalisasi ACFTA akan meningkatkan kinerja perdagangan antara negara anggota, namun karena China jauh lebih siap dengan daya saing lebih tinggi, menyebabkan pertumbuhan kinerja ekspor China akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Kementerian Perindustrian pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa liberalisasi ACFTA berdampak buruk terhadap kinerja beberapa industri nasional. Sektor elektronik merupakan salah satu sektor yang mengalami defisit neraca perdagangan paling buruk semenjak liberalisasi ACFTA. Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum pengaturan RTA dalam kerangka WTO, sedangkan dalam kegiatan menggali dan mengkualifikasi fakta-fakta sebagai dipergunakan kajian empiris. Hasil penelitian ini adalah bahwa Pasal XXIV GATT 1994 memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. ACFTA bukan merupakan sistem terpisah, namun merupakan bagian dari sistem perdagangan global WTO, keduanya mengejar tujuan yang sama yaitu liberalisasi perdagangan secara substansial yang tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian WTO. Ketidakberhasilan Indonesia memanfaatkan liberalisasi ACFTA untuk meningkatkan kinerja perdagangan, khususnya sektor elektronik, mengakibatkan China akan memperoleh manfaat lebih besar dari liberalisasi ACFTA sebagai akibat daya saing industri mereka yang lebih tinggi. Dengan demikian, industri elektonik di Indonesia harus melakukan serangkaian perbaikan berupa investasi tenaga kerja, fisik dan teknologi untuk meningkatkan daya saing mereka dalam menghadapi produk dari China.

Regional Trade Agreement (RTA) to be a common phenomenon that widespread throughout the world. A surge of regional trade initiatives has continued since the early 1990s. Many countries have chosen to make a commitment at the regional level because it is easier to do than the same field commitments at the multilateral level. RTA is part of the multilateral trading system, but in fact the requirements of Article XXIV of GATT 1994 is often times overlooked. Some regional groups have consent of trade in goods, trade in services agreements, investment agreements, and economic cooperation, including the ACFTA. ACFTA liberalization will improve the performance of trade between member states, but because China is much better prepared with higher competitiveness, led to the growth of China's export performance will be much higher than the ASEAN countries. Ministry of Industry in 2010 revealed that the liberalization ACFTA adversely affect the performance of some of the national industry. The electronics sector is one sector that suffered the worst trade deficit since the liberalization of the ACFTA. The study used a normative legal studies to understand the application of legal norms within the framework of the WTO RTA arrangements, whereas in digging activities and qualify the facts as used empirical study. The result of this is that Article XXIV of GATT 1994 allows WTO members to trade freely with faster among certain members that form a group. ACFTA is not a separate system, but is part of the multilateral trading system the WTO, both pursuing the same goal of trade liberalization substantially subject to the provisions of the WTO agreements. The failure to take advantage of the liberalization of Indonesia in ACFTA to improve trading performance, particularly the electronics sector, China will result in a greater benefit from the liberalization of the ACFTA as a result of their industrial competitiveness higher. Thus, the electronic industry in Indonesia must make a series of improvements in the form of investment of manpower, physical and technology to improve their competitiveness in the face of the product from China.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Donny Suhana Somawidjaya
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai konsep keamanan nasional (National Security) dalam kerangka liberalisasi perdagangan World Trade Organization yang diadopsi dalam Pasal XXI General Agreement On Tariffs And Trade dan Pasal XIV bis General Agreement On Trade Of Services, serta bagaimana konsep tersebut dapat mempengaruhi proses liberalisasi perdagangan yang bersifat hambatan terhadap liberalisasi perdagangan itu sendiri, dan bagaimana konsep tersebut menyebabkan pencapaian tujuan World Trade Organization yaitu kesejahteraan tidak akan tercapai sehingga aturan-aturan GATT dan GATS menjadi sia-sia dalam praktiknya

ABSTRACT
This thesis discusess the analysis of National Security concept in related to the trade liberalization framework on World Trade Organization (WTO) adopted by it rules in Article XXI General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and Article XIV bis General Agreement on Trade in Services, studying how the concept affected the trade liberalization as an obstacle for trade liberalization itself, and how the concept doesn't support for reaching prosperity for all WTO members which is it?s a main purpose of World Trade Organization"
2016
T45601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessi Vadila
"Tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan antara liberalisasi perdagangan dan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan data panel 26 propinsi wilayah kota-desa selama kurun waktu 1996-2005, Setelah melakukan pengujian dan analisa hubungan antara hDeralisasi perdagangan dan kemiskinan di Indonesia dapat disimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan pengaruh negatif secara langsung terhadap kemiskinan, dimana liberalisasi perdagangan dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Sementara secara tidak langsung, liberalisasi perdagangan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat kemiskinan. Meskipun liberalisasi perdagangan terbukti marnpu meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita, namun pendapatan perkapita sendiri tidak signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Demikian pula dengan ketidakmerataan, liberalisasi perdagangan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan ketidaktuerataan di Indonesia, meskipun ketidaktmerataan berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan.

This study aims to investigate the relationship between trade liberalization and poverty in Indonesia This study focuses an 26 provincial level data over the period 1996-2005. Simultaneous equation estimation is applied to investigate the trade poverty helps to reduce poverty directly. Meanwhile, it's indirectly impact is not clear. Trade liberalization shows no significant impact on poverty indirectly neither through trade--growth-poverty linkage, nor trough trade-inequality-poverty linkage. Although thatrade liberalization helps to promote income growth in Indonesia, but the poverty equation estimation has confirmed the insignificant role of growth in reducing urban poverty. The estimation for the inequality equation shows that although a positive impact of inequality on poverty is found in the regression, there is no apparent interaction effect exist between trade and inequality in Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T21068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Diana. author
"ABSTRAK
In the Treaty of Rome 1957, agriculture sector has been recognized as an important feature regarding its strategic values, such as the natural factor with its major role, food endurance and its susceptibility toward competitive pressures although its contributions on economics declined.
On 30 July 1962, Common Agricultural Policy (CAP) was introduced after three years of negotiations in line with the mechanism settlement and its organizations as a whole. Various agricultural problems in member states were the causes of the difficulties in achieving agreements on CAP mechanism.
Protectionism through market mechanism (price intervention and subsidies) which tried improving the welfare of farmers was the central focus of CAP. But as time goes, this mechanism burdens the European Union's budget. The EU's budget allocation to CAP in 1990 was almost 60% which lead to debates between France and United Kingdom on Budgeting 2007-2013. The EU's enlargement in 2004 was also a cause that burdens the budget. Other factors are the demand from the international trade regulations in GATT, then WTO which tried to establish international trade liberalization through reducing protectionism such as reducing tariffs and subsidies. Various requests on environment conservations, rural development and biotechnology improvement were backgrounds of Mac Sharry Reformations, Agenda 2000 and Reformation 2003.
Pros and Cons on CAP within the European Unions didn't affect the EU's integration because of the common perspectives on uniting Europe as a whole. Less debates within the CAP would shift the focus on external issues therefore strengthen the international positions of EU. But even though EU is powerful enough, deadlock against United States would still remain.
These days international trade is already relative free where barriers in trade are declined. Therefore CAP is no longer a relevant issue. It can block the international trade liberalization because the protectionism still exists. It will be a difficult task for the European Union to completely remove CAP because of its importance for the member states. Currently the European Union is only able to reduce its protection value in phase."
2007
T17934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
"Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung.
Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan.
Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi.

This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact.
Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent.
The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif
"Tugas Karya Akhir (TKA) ini merupakan kajian literatur yang meninjau pandangan pakar dalam ekonomi politik internasional tentang gagasan proteksionisme dan penerapan kebijakannya di tengah liberalisasi perdagangan dunia. Secara teoritis terdapat perdebatan yang mengkritisi pandangan ekonomi neo-klasik sebagai landasan dari perkembangan liberalisasi perdagangan dunia saat ini. Pandangan teoritis ekonomi neo-klasik yang bersifat statis dalam memandang nilai-nilai perdagangan yang liberal, multilateral, bebas hambatan, dan non-diskriminatif sulit berhadapan dengan perubahan ekonomi politik dunia yang sangat dinamis. Temuan secara teoritis konsiten dengan tinjauan empiris dari penerapan kebijakan perdagangan di negara maju dan negara berkembang. Dinamisnya faktor ekonomi politik, membuat negara tidak bisa menerapkan konsep perdagangan bebas secara utuh untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan dunia. Proteksionisme akan selalu hadir dengan berbagai instrumen kebijakannya ditengah liberalisasi perdagangan dunia.

This thesis is a literature review that looked at the views of experts in international political economy about the idea of protectionism and its policy implementation in world trade liberalization. Theoretically there is a debate in criticizing the classical economics liberal thought as the basic idea of the development of today's world trade liberalization. Theoretical view of neo-classical economics which are static in looking at the liberal, multilateral, barrier-free, and nondiscriminatory values of world trade having some difficulty in dealing with dynamic changes in the world political economy. Consistently, theoretical findings have been approved by empirical review of the implementation of trade policies in the developed and developing countries. The dynamic of political economy factors makes the country can not apply the concept of free trade as a whole to win the competition in world trade. Protectionism will always be present, with its variety of policy instruments, in the liberalization of world trade.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Setiawan Cahyo Nugroho
"Tesis ini membahas tentang sejauhmana hak asasi manusia internasional diperhitungkan dalam hukum perdagangan internasional di World Trade Organization (WTO). Penelitian ini adalah penelitian yuridis-kualitatif. Perjanjian multilateral di WTO dikaji kesesuiannya dengan hokum hak asasi manusia dan pasal-pasal pengecualian umum sistem hukum perdagangan internasional serta perlakuan berbeda dan khusus bagi negara berkembang ditimbang sejauhmana telah memanifestasikan hak asasi manusia. Penelitian ini menyimpulkan hukum perdagangan internasional di WTO belum memberi perhatian yang serius kepada nilai hak asas manusia. Penelitian ini merekomendasikan nilai hak asasi manusia dijadikan rambu-rambu untuk mencapai keadilan global dalam liberalisasi perdagangan betapapun kompleks dan sulitnya hal tersebut terwujud

The current thesis discusses the extent of international human rights law being accounted within the international trade law of World Trade Organization (WTO). The current study takes on a juridical qualitative research approach: multilateral agreements at WTO are analyzed in their consistency with the human rights law as well as articles on general exemptions within the international trade law system additionally, special and differential treatments to developing countries are also assessed on the extent of their manifestation on human rights. Current findings concluded that international trade law of WTO has not provided sufficient attention towards human rights values. Therefore, the study recommends for the value of human rights law to be established as guidelines toward global justice within trade liberalization despite of the complex and intricate-natured challenges that may arise."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Ruhut Marhata
"Skripsi ini membahas pengaturan tindakan safeguard dalam ketentuan World Trade Organization (WTO), yaitu Pasal XIX The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Safeguards (SA). Dalam menerapkan tindakan safeguard, harus diperhatikan unsur prosedural dan substantifnya. Dalam unsur prosedural, harus dipenuhi langkah-langkah investigasi, notifikasi, dan konsultasi. Dalam unsur substantif harus diperhatikan kenaikan impor yang menyebabkan kerugian serius atau ancamannya terhadap industri domestik. Selain itu, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam mengenakan tindakan safeguard terhadap negara lain, khususnya terhadap negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang memiliki hak khusus berdasarkan Pasal 9.1 SA yang dapat dikecualikan atas dikenakannya tindakan safeguard, jika memenuhi persyaratan de minimis levels. Selanjutnya, skripsi ini membahas kasus tindakan safeguard di negara-negara berkembang terkait Pasal 9.1 SA, yaitu kasus US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), dan Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).

This thesis studies the regulations concerning safeguard measure under the provisions of World Trade Organization (WTO), which are Article XIX of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and Agreement on Safeguards (SA). In order to apply safeguard measure, the procedural and substantive elements must be observed. Procedurally, it shall meet the requirements of investigation, notification, and consultation. Substantively, it shall consider the increase of import that causes a serious injury or threat thereof to the domestic industry. Furthermore, there are limits in applying safeguard measure to other countries, especially developing countries.
Developing countries have special rights pursuant to Article 9.1 SA, where they can be excluded from the safeguard measure application, if they fulfill the requirement of de minimis levels. This thesis, additionally, studies some cases of safeguard measure in developing countries pursuant to Article 9.1 SA, which are US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), and Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>