Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213605 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tobing, Nehemia
"Penelitian ini mencoba melihat bagaimana ekspose foto-foto dalam media massa dalam melihat perang terutama mengenai Invasi Amerika Serikat (AS) dan koalisinya yaitu Inggris, Australia, dan Spanyol terhadap Irak. Seperti diketahui bahwa AS dan koalisinya tidak memperdulikan pendapat banyak negara yang menentang terjadinya kekerasan di Irak yang selama ini telah porak poranda karena Perang teluk pertama serta embargo ekonomi yang dilakukan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Bahkan AS dan koalisinya meninggalkan kursi dialog di PBB lalu menyerang sendirian tanpa persetujuan Dewan Keamanan (DIG) PBB.
Ketika melakukan penyerangan, pasukan koalisi terutama dari AS mengikutsertakan para wartawan untuk menyaksikan perang. Penyertaan wartawan ini kemudian disebut embedded, dimana beberapa wartawan "ditanam" dalam pool atau kelompok pasukan tertentu yang diberangkatkan ke medan perang. Tentunya semua dalam kelompok tentara AS. Dan pemberitaannya mau tidak mau berasal dari sudut tentara AS. Walaupun begitu ternyata ada juga yang bukan termasuk kelompok penyertaan. Hanya saja pemberitaannya tetap bias karena tidak ada yang berani langsung masuk ke jantung pertahanan musuh kecuali jaringan televisi A1-Jazeera maupun kontributor-kontributor wire services atau agen foto yang berkewarganegaraan Arab. Karena kemampuan kelompok wire services (jaringan penyedia berita) dan media massa barat dalam bidang SDM, Dana, dan Teknologi maka mereka bisa mendapatkan banyak berita dan foto-foto penting dari segala penjuru dunia. Lalu mereka menjual dan mendistribusikannya ke seluruh dunia. Konsumen yang paling sering menggunakan jaringan wire services ini adalah media massa Asia yang memiliki keterbatasan dalam segala hal. Sehingga untuk menampilkan berita yang menarik dan cepat mereka tinggal membelinya dari jaringan media massa luar negeri ini.
Pembelian ini sayangnya terkadang tidak melihat ideologi dari penyedia berita tersebut. Karena jaringan penyedia berita tersebut bahkan kebanyakan berasal dari negara pendukung invasi ke Irak. Namun sebenarnya mereka bisa menyeleksinya, sehingga tidak semua berita ataupun foto yang disediakan diambil begitu saja. Penyeleksian berita inilah yang menjadi bagian penting dari ideologi media, dimana mereka hidup bergantung kepada khalayaknya, pengiklan, budaya organisasi, dan lain sebagainya.
Maka ketika Kompas menampilkan foto berita yang kebanyakan dari jaringan penyedia berita Barat bahkan dengan menampilkannya secara berwarna maka dapat dipastikan bahwa Kompas berusaha menampilkan foto berita yang secara garis besar mendukung Invasi negara-negara koalisi ke Irak. Perhitungannya adalah bahwa foto berita yang di dapat dari jaringan penyedia berita barat ada sebanyak 136 foto dibandingkan foto dari kontributor langsung yang hanya berjumlah 1 buah. Bahkan ketika dihitung berasarkan isi foto, maka dapat dilihat bahwa foto yang mendukung ada sebanyak 80 dibandingkan dengan foto yang menentang yang hanya sebanyak 57 foto."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nasrul Hamdani
"Dalam sejarah Indonesia, tahun 1950-1963 disebut sebagai periode paling dinamis. Pada masa ini, integrasi nasional yang dilandasi asas Berdikari (akronim dari berdiri di atas kaki sendiri) sebagai “ideologi” utama dalam pembentukan ekonomi nasional, menasionalisasi perusahaan asing, dan menumpas pemberontakan daerah mulai terbentuk dengan jelas. Dalam proses ini, peran penggiat kebudayaan daerah menjadi penting terutama dalam usaha-usaha merepresentasikan daerah di tingkat nasional, sementara pada saat yang sama berhadapan dengan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah. Dengan mengambil Sauti, tokoh penggiat kebudayaan Melayu, penelitian ini bertujuan memahami perjuangan Sauti dalam merepresentasikan kebudayaan Melayu sebagai produk “Kebudayaan Nasional”. Dengan pendekatan sejarah, sebagian besar data diperoleh melalui sumber-sumber dokumentasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini ingin menunjukkan peran dan kontribusi Sauti yang menentukan dalam penyebarluasan Serampang XII. Namun dalam upaya itu, ia menghadapi tantangan dari sesama orang Melayu dan kesultanan Melayu yang menganggap dirinya sebagai pemilik kebudayaan besar Melayu."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2020
900 HAN 3:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Roby Irsyad
"Surat kabar dalam menurunkan beritanya, baik berita tulis atau foto, selalu melakukan seleksi terlebih dahulu. Seleksi tersebut selain berdasarkan teknis juga berdasarkan ideologi media yang bersangkutan.
Penelitian ini berupaya meganalisis representasi tentara AS di surat kabar nasional. penelitian ini mengunakan pendekatan konstruktivis dengan mengunakan analisis semiotika foto yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Objek penelitian adalah foto berita tentang tentara AS di halaman satu surat kabar Republika selama 21 hari pertama perang Irak.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa representasi tentara AS tampil sejalan dengan kebijakan Republika yang anti AS dalam pemberitaan Perang Irak. Tentara AS direpresentasikan sebagai tentara penjajah, pihak yang ingin menguasai sumber daya minyak Irak, tentara yang tidak kompeten sehingga mengakibatkan rekannya sendiri menjadi korban, dan tentara yang bisa dikalahkan meskipun didukung dengan persenjataan yang cangih."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.H.A. Saleh
"Kerajaan Jepang yang sejak akhir abad ke-19 telah berkembang menjadi negara modern, sudah memperlihatkan sifat-sifat imperialismenya.
Negara itu telah mulai dengan ekspansinya untuk menguasai negara-negara tetangganya di daratan Asia, dimulai berturut-turut dari Manchuria, Korea dan China. Rupanya Jepang telah menganggap dirinya sebagai pemimpin Asia dan menghendaki agar seluruh bangsa Asia berhimpun dibawah pimpinan Jepang untuk bersama-sama menentang hegemoni bangsa Barat atas bangsa Asia.
Pada waktu pecah Perang Dunia Kedua yang dimulai di Eropa, pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang,pangkalan angkatan laut Amerika di Pearl Harbor, untuk selanjutnya bergerak secara cepat ke selatan untuk mencaplok sejumlah negara di kawasan Asia, diantaranya nusantara Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Dalam peperangan yang menentukan di pulau Jawa, sejak kapitulasi Belanda pada tanggal 9 Maret 1942, Jepang berhasil menduduki dan menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda.
Seluruh Tentara Hindia Belanda yang disebut KNIL di pulau Jawa menjadi takiukan Jepang, dan anggota-anggotanya, terutama yang berwarga Belanda, dijadikan tawanan perang. Mereka dikurung dalam sejumlah kamp khusus, tidak saja di pulau Jawa, bahkan sampai dibawa ke luar wilayah Indonesia, dimana mereka banyak dipekerjakan sebagai buruh kasar di berbagai proyek pertahanan di tempat-tempat yang mempunyai nilai strategis militer. Tidak hanya anggota militer, Jepang juga menginternir seluruh penduduk warga Belanda dan mengasingkan mereka dalam kamp-kamp tertutup yang dijaga keras oleh tentara Jepang.
Sejak dimasukkan dalam kamp-kamp tahanan itulah para penghuni kamp mulai merasakan penderitaan-penderitaan tak terhingga akibat perlakuan Jepang yang diluar perikemanusiaan selama masa pendudukan Jepang hingga akhir perang. Jepang secara terang-terangan telah menunjukkan sikapnya yang anti Barat dan ambisinya untuk menjadi Pemimpin Asia, yang dimanifestasikannya pada perlakuannya terhadap orang-orang Barat yang dapat ditaklukkannya. Pihak Sekutu menamakan para tawanan-perang dan interniran itu APWI.
Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 ternyata belum berarti pembebasan dari penderitaan bagi para tawanan-perang dan interniran yang selama ini hidup dalam kamp-kamp tertutup, karena para penghuni kamp kini terpaksa menghadapi situasi baru yang sama sekali tidak terperkirakan sebelumnya.
Bangkitnya bangsa Indonesia untuk merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah menggerakkan suatu revolusi yang dahsyat untuk mengusir Jepang dari tanah airnya dan menentang penjajahan kembali oleh Belanda.
Sikap anti Belanda dan anti Jepang pada para pemuda pejuang Indonesia telah membawa mereka ke ekses-ekses revolusi, sehingga banyak orang Belanda dan Jepang menjadi sasaran keganasan revolusi. Tentara Sekutu yang datang di Jawa dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan para tawanan-perang dan interniran Sekutu, telah memicu pecahnya bentrokan-bentrokan fisik berdarah antara para pejuang Indonesia dengan tentara Sekutu yang secara kentara melindungi kembalinya kolonialis Belanda di Indonesia.
Pada tahun 1946 persengketaan antara Indonesia dengan Sekutu akhirnya dapat diredakan melalui kerjasama Indonesia dan Sekutu dalam penyelesaian bersama atas pemulangan APWI dari pulau Jawa. Dengan menggunakan aparat POPDA dan dengan segala keterbatasan sarana, pada pertengahan tahun 1946 pemerintah Indonesia berhasil dalam menangani suatu tugas kemanusiaan untuk memulangkan sebanyak 36.280 APWI, yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.

Allied Prisoners-Of-War And Internees (A.P.W.I.) In Java and Their Repatriation after The End Of The War
The Japanese Empire that had grown to be a modern country since the end of the 19`h century, had shown its imperialistic character. They began their expansive behavior to conquer neighboring countries in the mainland of Asia, beginning consecutively from Manchuria, Korea, and China. It seemed that Japan had viewed itself as the leader of Asia and wanted to unite the entire nations of Asia under its leadership to challenge the hegemony of the Western Nations over the Asian Nations.
At the time the World War II was raging in Europe, on the 8`h of December 1941 the Japanese attacked the United States naval base at Pearl Harbor, in order to be able to move swiftly southward to annex a number of countries in the Asian region, among which was the Indonesian archipelago that was then called the Netherlands-Indies. After a decisive battle in the island of Java, the Dutch colonial army surrendered on the 9`h of March 1942. Since then Japan managed to conquer and control the entire territory of the Netherlands-Indies.
The entire Dutch armed forces in the island of Java named KNIL, was captured by the Japanese. Members of the KNIL, especially the Dutch nationals, were made as prisoners of war. They were not only confined in several camps located in Java but also moved to other territories outside of Indonesia, where they were employed as forced labor in many defense projects which has a military strategic value. Not only military members, Japan also interned the entire Dutch citizens and exile them into closed camps, heavily guarded by Japanese soldiers.
Since the moment being placed in the prisoner's camps, the Dutch camp occupants experienced immense sufferings as the result of the Japanese inhuman conduct during the time of the Japanese occupation until the end of the war. Japan had blatantly demonstrated its anti-western attitude and ambition to become the leader of Asia, which was manifested on their conduct upon the conquered westerners. The Allies named the prisoners of war and internees as APWI.
The surrender of Japan on the 15th of August 1945 was not automatically meant freedom from persecutions for the prisoners of war and internees lived in closed camps, because these camp occupants had still to face other new unpredictable situations outside their camps. The rising spirit of independence among Indonesian people since the 17'h of August 1945, had created a massive revolution to expel Japan from their homeland and to denounce the return of Dutch colonialism.
The anti Dutch and anti-Japan attitude on the young Indonesian freedom fighters had lead them to the excess of revolution, so much that a great many Dutch people and Japanese became the target of the savage of revolution. The Allied Forces which had landed in Java with the official task of disarming the Japanese Forces and releasing the prisoners of war and internees, triggered the outbreak of bloody physical clashes with the Indonesian freedom fighters who believed that the Allied Forces were clearly protecting the return of Dutch colonialism.
On 1946 the dispute between Indonesia and the Allies was finally subdued through cooperation between Indonesia and the Allies in a joint solution on the repatriation of the APWI from Java. By utilizing the POPDA apparatus within the limitation of the means available, in the middle of 1946 the Indonesian government succeeded in achieving the task for humanity to evacuate as many as 36,280 APWI, who mostly were women and children, to their assembly points in Allied controlled areas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T9037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainul Qalbi
"Perang selama ini dalam pemikiran masyarakat awam dikenal sebagai suatu peristiwa yang memilukan, tidak adil, dan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Namun, perang sebenarnya dapat menjadi suatu peristiwa yang adil. Dalam upaya mencapai keadilan tersebut, Agustinus mencetuskan sebuah teori yang mengatur apa saja yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang berperang, yang dikenal sebagai Just War Theory. Ada pun teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Michael Walzer pada abad 20. Just War Theory yang dikembangkan oleh Walzer ini menjadi alat analisis yang akan penulis pergunakan untuk membuktikan pelaksanaan Perang Dunia II di Eropa sebagai sebuah perang yang adil.

War is commonly known as an event that only brings misery, injustice, and a tragedy of humanity. But, war actually can become an event which is just. In order to make war as a just war, Augustine arranged some theories that can make a war become a just war, which is known as “Just War Theory”. In the 20th century, Michael Walzer has successfully developed the just war theory into a whole new level. In my opinion, this theory can become an instrument to prove that there are justice that contained in World War II in European Region, and this war is a just war that happened in the 20th century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bean, Charles Edwin Woodrow
Sydney: Allen & Unwin, 1990
940.425 BEA f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bean, Charles Edwin Woodrow
Sydney: George Allen and Unwin, 1985
940.481 9 BEA g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Soffie Andriani Hadi
"Penelitian dilakukan dengan menggunakan sumber primer yaitu Surat Kabar Asia Raja dilakukan dari bulan Juni 2002-Februari 2003 (di bawah bimbingan Dwi Mulyatari, M.A. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003). Tujuannya ialah untuk mengetahui peran foto dan teks berita yang terdapat pada Surat Kabar Asia Raja yang digunakan oleh Jepang untuk melakukan propaganda politiknya. Dalam melakukan penulisan menggunakan metode sejarah. Pengumpulan data dengan menggunakan sumber primer dalam hal ini Surat Kabar Asia Raja yang hanya terdapat pada Perpustakaan Nasional RI dan juga mewawancarai saksi-saksi sejarah seperti H. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dari Surat Kabar Asia Raja, S.K Trimurti seorang Jurnalis dan Yudhi Irawan Soerjoatmodjo seorang Kurator Foto ANTARA. Sumber primer dan sekunder yang didapat kemudian dikritik dan diinterprestasikan berdasarkan data yang didapatkan. Kemudian dituliskan berdasarkan penulisan sejarah.
Hasilnya menunjukkan bahwa memang Jepang menggunakan berbagai media yang ada ketika itu, dan salah satu medianya adalah surat kabar Asia Raja. Surat Kabar ini sangat efektif dalam melancarkan dengan apa yang dinamakan publik opini, di mana foto dan teks berita yang diberitakan harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Pemerintah Jepang, terkait dengan kebijakan yang Jepang lakukan setiap tahunnya pada masa pendudukannya di Indonesia. Sehingga jelas terlihat pola-pola kebijakan pemerintah Jepang di Indonesia ketika itu dituangkan dalam pemberitaan_-pemberitaan yang terdapat di surat kabar Asia Raja. Antara foto dan teks berita sangat terkait erat, karena bentuk visualisasi dari teks berita adalah foto. Foto tidak bisa berbicara banyak bila tidak digandengkan dengan teks berita, sedangkan berita bila tidak digandengkan dengan foto menyebabkan berita kurang diminati untuk dibaca. Akhirnya antara foto dan teks berita adalah dua hal yang tidak bisa terpisah, walaupun bisa terpisah menyebabkan salah satunya menjadi kurang diminati."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pocock, Tom
London: The Bodley Head, 1990
920.5 POC a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>