Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardiati Nadjib
"Dalam kebijakan alokasi sumber daya kesehatan khususnya penyediaan pelayanan rawat jalan, kriteria penilaian keberhasilan adalah efisiensi, kualitas dan pemerataan. Pemerataan di bidang kesehatan telah menjadi aspek penting yang menjadi perhatian organisasi kesehatan dunia seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia, namun aplikasinya belum berjalan dengan baik. Salah satu kendala yang dihadapi adalah cara mengukur pemerataan tersebut.
Pemerataan mengandung unsur keadilan (fairness), sehingga perhatian alokasi subsidi seharusnya diberikan menurut pertimbangan kebutuhan (need) dan kemampuan masyarakat. Mereka yang sakit dan miskin membutuhkan bantuan pemerintah agar dapat mencapai status kesehatan sama baiknya dengan mereka yang tidak miskin. Pemerataan yang berdasarkan unsur keadilan (equity) bukanlah pemerataan sumber daya yang berdasarkan asas ?sama rata' (equality), tetapi kondisi sama rata menurut standar kebutuhan (need). Kesetaraan (equality) merupakan bagian darn pemerataan yang adil (equity) tersebut.
Sebagai upaya untuk mencapai pemerataan akses (equity of access) maka alokasi sumber daya harus mengacu pada 3 kriteria: need, geografi dan sosioekonomi. Kebijakan alokasi sumber daya kesehatan di Indonesia cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. Status kesehatan masyarakat telah meningkat pesat sampai dengan tahun 1997 yang lalu, dimana besaran Angka Kematian Bayi menurun dari 71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 43 per 1000 per kelahiran hidup pada tahun 1997. Demikian pula dengan indikator outcome lainnya. Penyediaan fasilitas meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 jumlah puskesmas tercatat sebanyak 7105 buah, sementara puskesmas pembantu berjumlah 20.672 buah, puskesmas keliling 6514 buah.
Meskipun demikian, ternyata hal tersebut belum menjamin sepenuhnya bahwa seluruh masyarakat di berbagai wilayah telah memiliki akses yang merata (equitable access). Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: bagaimana gambaran pemerataan akses pelayanan rawat jalan di Indonesia dan apa determinannya? Penelitian ini bertujuan agar diperolehnya informasi mengenai pemerataan akses pelayanan rawat jalan di berbagai wilayah di Indonesia serta determinannya.
Hipotesis ditegakkan untuk membuktikan masih terdapatnya ketidakmerataan secara vertikal (vertical inequity) dan ketidakmerataan horisontal (horizontal inequity). Hipotesis pertama yang diajukan adalah probabilitas untuk akses ke pelayanan rawat jalan berbeda diantara kelompok sosioekonomi dan wilayah. Hipotesis kedua adalah akses pelayanan rawat jalan yang diukur dari penggunaan pelayanan menurut need di berbagai wilayah Indonesia belum merata, terdapat disparitas antarwilayah, yang berhubungan dengan faktor pengguna pelayanan, faktor ketersediaan pelayanan, faktor sosioekonomi, serta potensi wilayah.
Penelitian ini merupakan suatu studi cross sectional yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran pemerataan pelayanan kesehatan_ Data yang digunakan adalah data sekunder dan suatu survei nasional rumah tangga di 13 propinsi, yaitu studi IFLS (Indonesia Family Life Survey) atau SAKERTI 1993 (Survai Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia) yang dilaksanakan pada tahun 1993?1994.
Dari jumlah populasi dewasa (14406 individu), setelah melalui proses pembersihan data diperoleh sampel penelitian 9616 individu yang mempunyai need (sepuluh macam gejala penyakit dalam empat minggu terakhir), dan 1627 atau 16,92% di antaranya adalah responden yang menggunakan pelayanan kesehatan rawat jalan. Untuk penyesuaian probabilitas sampel terhadap populasi propinsi, dilakukan pembobotan yang didasarkan atas penyesuaian dalam ekstrapolasi data yang berasal dari sampel cluster (normalized weighted).
Nilai rata-rata met need yang tinggi adalah pada mereka yang sosioekonominya tinggi/tidak miskin atau mereka yang tinggal di Jawa-Bali. Sebaliknya, nilai unmet need yang tinggi adalah pada mereka yang miskin dan tinggal di luar Jawa-Bali, baik didaerah urban maupun rural.
DKI Jakarta memiliki infrastruktur paling maju dan tingkat sosioekonomi masyarakat yang relatif tinggi. Pilihan pelayanan di DKI Jakarta terbanyak adalah pilihan swasta (69,2%) dengan rata-rata waktu menunggu yang tinggi. Hal ini menunjukkan tingginya demand masyarakat akan pelayanan modern, khususnya swasta.
Di propinsi Nusa Tenggara Barat, angka kunjungan sebenarnya relatif tinggi dibandingkan nilai rata-rata, namun pilihan fasilitas utama adalah fasilitas milik pemerintah dan tradisional. Selain itu Nusa Tenggara Barat juga mewakili daerah kemampuan dan kemauan membayar masyarakat untuk kesehatannya rendah, disamping potensi daerahnya juga relatif rendah.
Kalimantan Selatan meskipun memiliki angka rasio use/need yang tinggi, akses belum dapat dikatakan baik, mengingat masih banyak masyarakat menggunakan pelayanan tradisional (45,8%).
Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi sosioekonomi individu, semakin rendah unmet need. Mereka yang tinggal di daerah urban dan memiliki jaminan asuransi kesehatan juga memiliki akses yang lebih baik. Dan seluruh responden yang menyatakan memanfaatkan pelayanan kesehatan milik pemerintah, 67% berasal dari daerah rural. Pada kelompok yang menyatakan tidak mengunjungi pelayanan kesehatan swasta selama empat minggu terakhir, 69,1% berasal dari daerah rural. Dari seluruh responden yang menyatakan pernah mencari pengobatan tradisional selama empat minggu terakhir, 76% berasal dari daerah rural.
Akses pelayanan rawat jalan di 13 propinsi dengan analisis kurva Lorenz menunjukkan gambaran ketidakmerataan horisontal (horizontal inequity) dimana rasio use/need yang tinggi dimiliki oleh kurang dari 20% penduduk terkaya.
Analisis multivariat pada total populasi dewasa sakit ditujukan untuk mendapatkan gambaran perbandingan antara unmet need (tidak akses) dan met need (akses). Analisis logistik regresi memberikan hasil bahwa individu yang tinggal di beberapa propinsi memiliki probabilitas untuk akses lebih tinggi. Namun, bila dilihat akses pada tiap jenis pelayanan, tampak adanya perbedaan. Variabel prediktor yang berhubungan dengan akses ke pelayanan milik Pemerintah adalah need, sosioekonomi, jenis kelamin, jaminan asuransi kesehatan dan status perkawinan. Variabel wilayah (urban-rural dan Jawa Bali-luar Jawa Bali) secara statistik tidak bermakna, berarti fasilitas milik Pemerintah cukup dimanfaatkan secara merata menurut wilayah. Untuk fasilitas swasta, probabilitas untuk akses tertinggi dimiliki oleh propinsi Bali, DKI Jakarta, dan Jawa timur.
Dibandingkan dengan individu yang tinggal di propinsi Sulawesi Selatan, mereka yang tinggal di propinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat terbukti memiliki probabilitas untuk memanfaatkan pelayanan tradisional 5 kali atau lebih. Jadi, pelayanan tradisional di beberapa propinsi masih memiliki daya ungkit tinggi terhadap pemerataan akses pelayanan kesehatan. Pada kelompok tidak miskin, mereka yang memiliki need tinggi memiliki probabilitas untuk akses 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki need rendah. Tetapi, pada kelompok miskin, mereka yang meiliki need tinggi memiliki probabilitas untuk akses 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki need rendah (p
Analisis regresi ganda pada tingkat individu sebelum distandardisasikan, pada kelompok need rendah variabel prediktor yang terbukti secara statistik bermakna adalah pilihan pelayanan, wilayah, waktu perjalanan dan kemauan membayar (R kuadrat= 0,191). Pada kelompok need tinggi, variabel prediktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan rasio use/need adalah umur, pilihan pelayanan, jenis kelamin, kemauan membayar, waktu perjalanan, dan waktu menunggu (R kuadrat~,223). Dengan menggunakan variabel terikat rasio use/need yang distandardisasikan dengan umur, variabel bebas yang terbukti bermakna adalah pilihan pelayanan, kemauan membayar, waktu perjalanan, dan waktu menunggu. Pada kedua subkelompok need, wilayah tidak berhubungan dengan akses (R kuadrat=0,120 dan 0,190), atau dengan kata lain terjadi pemerataan.
Analisis pada data kabupaten membuktikan bahwa variabel wilayah dan kemauan membayar mempengaruhi met need (akses) pada kelompok need rendah (R kuadrat--0,285), namun pada kelompok need tinggi variabel wilayah tidak bermakna secara statistik (R kuadrat=0,134) dengan nilai p<0,01. Analisis pada data kabupaten juga dilakukan dengan menggunakan variabel pengganti yang tersedia di BPS, yaitu PDRB perkapita, persentase penduduk miskin (yang terbukti bermakna secara statistik), dan persentase desa tertinggal (IDT). Hasil uji model membuktikan bahwa variabel yang bermakna secara statistik hanya persentase penduduk miskin pada kelompok need rendah (R kuadrat =0.207). Hal ini membuktikan bahwa status kesehatan belum merupakan salah satu kriteria alokasi sumber daya ekonomi secara makro, sehingga terdapat inequity.
Pengembangan model pemerataan akses pelayanan rawat jalan dalam penelitian ini didasarkan atas berbagai konsep mengenai akses. Konsep utama sebagai acuan adalah model Andersen (1968), Aday et al. (1980), Money (1987), Le Grand (1972), Wagstaff et al, (1989), Penchansky (1977), dan WHO (1995). Hongvivatana (1984) menilai akses sebagai suatu proses berkesinambungan (continuum process) mulai dari ketersediaan pelayanan hingga efektivitas pelayanan melalui pengukuran cakupan/hasil pemanfaatan pelayanan. Pengukuran pemerataan pelayanan hanya berdasarkan pencapaian cakupan yang dibandingkan dengan target populasi yang ditetapkan dari atas belum mencerminkan kenyataan yang sebenarnya pada tingkat pengguna (tingkat yang paling bawah dari proses pemanfaatan pelayanan yang disediakan).
Konsep pemerataan juga merupakan suatu proses berkelanjutan (continuum process). Pemerataan status kesehatan (diukur dengan meratanya angka mortalitas, morbiditas, dan akhirnya tercapainya `sehat untuk semua wellbeing dan kualitas hidup akan dapat dicapai bila pemerataan ketersediaan pelayanan, pemerataan akses, pemerataan kualitas pelayanan, dan pemerataan kemampuan dan kemauan membayar masyarakat telah tercapai.
Pemerataan secara mutlak atau absolut, baik pemerataan horisontal maupun vertikal, adalah tujuan akhir (ultimate goal) yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena, pertama, banyaknya faktor yang mempengaruhi status kesehatan, dan kedua, kebijakan yang dikembangkan cenderung menekankan peran penyedia pelayanan saja. Negara-negara maju pun mempunyai masalah dengan ketidak merataan status kesehatan Mi. Meneliti pemerataan (equity) berarti meneliti ketidakmerataan (inequity), menilai ada tidaknya disparitas antarwilayah dan antarkelompok dalam masyarakat. Hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi disparitas dengan mendorong masyarakat untuk memutuskan sendiri dalarn mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Saran pertama yang diajukan adalah pemetaan pemerataan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Perbandingan status kesehatan dan akses antar wilayah diusulkan untuk dilakukan secara rutin untuk memantau pemerataan hasil pembangunan.Penggunaan data set Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan SUSENAS diusulkan untuk dimanfaatkan secara rutin dalam menilai pemerataan akses. Penelitian lanjutan yang disarankan juga mencakup penilaian pemerataan bukan kuratif saja, tetapi juga preventif promotif dan pelayanan rawat inap.
Saran kedua adalah penelitian lanjutan dengan menyertakan variabel karakteristik dan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk pemetaan pemerataan, variabel ini diusulkan untuk diukur dalam studi nasional seperti SUSENAS dan SKRT. Saran ketiga adalah peningkatan kemampuan untuk melaksanakan penelitian operasional dan survei cepat dalam mengidentifikasi need di wilayah masing-masing.
Saran keempat, agar dapat menjamin subsidi dapat dimanfaatkan oleh mereka yang miskin, diperlukan kemampuan para perencana kesehatan di daerah untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah kantung kemiskinan (geographic targeting) serta analisis tingkat kemampuan masyarakat dan jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu (individual targeting).
Saran kelima adalah realokasi sumber daya kesehatan yang adil. Di daerah-daerah dengan tingkat sosioekonomi relatif baik, subsidi pemerintah perlu direalokasi bagi daerah-daerah yang lebih membutuhkan dengan tingkat sosioekonomi rendah. Sektor swasta dapat meningkatkan perannya di daerah yang mampu. Sementara itu, pelayanan tradisional yang menjadi pilihan masyarakat di beberapa propinsi perlu ditingkatkan pembinaan dan pengawasan kualitas pelayanan medisnya. Demikian pula dengan peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai swamedikasi.
Saran keenam, hambatan akses yang berasal dari faktor infrastruktur dapat diatasi apabila ada kerjasama lintas sektoral yang terpadu antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya. Peningkatan status kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, sehingga upaya peningkatan status kesehatan masyarakat harus merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan demikian pula sebaliknya, dalam upaya alokasi dalam sektor kesehatan sendiri, perlu memperhatikan faktor-faktor need, geografi dan sosioekonomi.
Saran ketujuh, pemerataan (equity) akan dapat dicapai melalui kerjasama yang baik antara pihak penyedia pelayanan dengan masyarakat. Kesenjangan antara perceived need dan normative need dapat dikurangi dengan peningkatan pendidikan formal masyarakat dan penyuluhan kesehatan masyarakat yang intensif.
Usulan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan pemerataan juga diberikan dalam aspek kontrol sosial oleh masyarakat dalam pembangunan kesehatan (good governance). Misalnya, dengan membentuk suatu mekanisme koordinasi kesehatan di tingkat daerah yang terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan penyedia pelayanan (institusi pelayanan dan penentu kebijakan). Hal ini sejalan dengan usul WHO untuk mendorong masyarakat untuk memutuskan sendiri dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan. Saran lain adalah melibatkan masyarakat dalam pemantauan pengobatan tradisional dan pembiayaan pelayanan kesehatan/ kerja sama dana praupaya.
Saran kedelapan adalah bahwa upaya pemberian subsidi melalui sisi demand seperti yang telah dimulai melalui pemberian kartu sehat perlu diteruskan dengan perbaikan pada mekanisme distribusinya. Pemikiran lain adalah dengan memberikan subsidi melalui premi dana praupaya."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
D248
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Adelza Putri
"ABSTRAK
Sejak menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014, masalah ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kondisi universal health coverage. Walaupun berdasarkan data pada 2018 JKN telah dimiliki oleh sekitar 80% penduduk Indonesia, permintaan masyarakat akan akses kesehatan masih terhambat oleh ketersediaan penawaran pelayanan kesehatan yang kurang memadai di berbagai daerah. Dengan menggunakan metode regresi logit serta variabel yang bersumber dari data Podes, Susenas dan data Publikasi BPJS Kesehatan, studi ini akan menunjukan pengaruh signifikan dari ketersediaan faktor-faktor penawaran yang berupa rumah sakit, puskesmas dan dokter dalam meningkatkan probabilitas seseorang untuk mengakses rawat jalan.

ABSTRACT
Since implementing Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) in 2014, availability of facilities and health workers has become challenges for Indonesia Government to achieve condition of universal health coverage. Although based on data in 2018 JKN has been owned by around 80% of Indonesia's population, public demand access to health services is still hampered by inadequate health service in various regions. By using logit regression and variables from Podes, Susenas and publication data published by BPJS Kesehatan, this study will show significant effect of supply factors in the form of hospitals, puskesmas and doctors in increasing someone probability to accessing outpatient care."
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Cipta Sari
"Jakarta Pusat merupakan wilayah dimana jumlah peserta dari Mitra Kesehatan Jaya paling sedikit dibandingkan wilayah lainnya di Jakarta, Bogor, Depok dan Tanggerang. Namun total tagihan klaim dari klinik dengan sistem bayar fee for service di wilayah Jakarta Pusat menduduki peringkat keempat tertinggi. Bagian Utilization Review dan Kepesertaan Mitra Kesehatan Jaya telah melakukan kegiatan telaah utilisasi, namun telaah utilisasi dengan menggunakan parameter biaya pelayanan kesehatan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran biaya rata-rata pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama klinik fee for service wilayah Jakarta Pusat program jaminan pemeliharaan kesehatan Mitra Kesehatan Jaya periode 2007 dilihat dari segi perusahaan peserta, status kepesertaan, jenis kelamin, pemberi pelayanan kesehatan dan diagnosa. Jenis penelitian yang digunakan dalam meneliti gambaran biaya rata-rata pelayanan kesehatan rawat jalan klinik fee for service wilayah Jakarta Pusat Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Mitra Kesehatan Jaya periode 2007 adalah penelitian kuantitatif deskriptif, desain penelitian cross sectional dengan mengambil data sekunder.
Subjek penelitian ini adalah data dari tagihan klaim klinik fee for service, data kepesertaan dan data daftar pemberi pelayanan kesehatan Mitra Kesehatan Jaya Periode 2007. Dari hasil penelitian gambaran biaya rata-rata pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama klinik fee for service di wilayah Jakarta Pusat didapatkan secara umum biaya rata-rata pelayanan kesehatan di Jakarta Pusat bila dilihat terhadap tarif layanan yang ditetapkan pada klinik fee for service terlihat lebih rendah untuk beberapa klinik. Beberapa klinik menetapkan tarif layanan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya rata-rata pelayanan kesehatan dari hasil penelitian ini. Biaya rata-rata tertinggi bila dilihat dari perusahaan peserta adalah PT. Bumibuana Sempurna II, dilihat dari status kepesertaan adalah anak ketiga, dilihat dari jenis kelamin adalah laki-laki, dilihat dari umur adalah kelompok umur muda (0- 14 tahun), dilihat dari pemberi pelayanan kesehatan adalah Klinik Dharma Bakti, dan dilihat dari diagnosa adalah Atopic Dermatitis.
Saran bagi Mitra Kesehatan Jaya adalah data hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan kredensialing ulang terhadap pemberi pelayanan kesehatan yang melakukan kontrak kerjasama dengan Mitra Kesehatan Jaya. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penyesuaian premi terhadap perusahaan peserta yang memiliki risiko untuk mengalami kesakitan cukup tinggi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alirman Sori
"POTRET kekinian kondisi pendidikan di Indonesia masih belum merata. masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Di kota kota besar sarana dan prasarana pendidikan cukup maju. Sedangkan di desa desa dan daerah terpencil, terisolasi dan pembatasan sarana dan prasarana. Mutu pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan dari bangsa tersebut. Jika pendidikannya berkualitas, maka bisa dipastikan bangsa tersebut merupakan bangsa yang besar dan menghargai pendidikannya. Salah satu tolok ukur yang menjadi keberadaban bangsa adalah kualitas pendidikannya yang bermutu. Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang, tingkat pendidikan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara negara lainnya. Sistem pendidikan yang masih berpusat di Kota, merupakan problema bangsa yang hingga saat ini belum terselesaikan."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 007 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
S. Sinansari Ecip
Bandung: Mizan, 1999
303.623 SIN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Rambu Jolie Riyanto
"RSUI adalah Rumah Sakit Pendidikan Tinggi Negeri (RS-PTN) pertama di Indonesia. RSUI memiliki target untuk meningkatkan okupansi pelayanan rawat jalan dari 700 pasien menjadi 1000 pasien. Namun, RSUI belum bisa mencapai target tersebut karena masih ada proses yang belum optimal, yang tercermin dalam indikator nasional mutu yang menunjukkan waktu tunggu rawat jalan masih belum memenuhi standar. Salah satu faktor utama ketidakcapaian ini adalah proses registrasi, di mana pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyumbang 75% dari masalah ini. Oleh karena itu, proses registrasi harus diperbaiki. Penelitian ini menggunakan konsep lean management dan metode value stream mapping (VSM) untuk mengidentifikasi, mengurangi, dan menghilangkan pemborosan dalam proses registrasi. Penerapan VSM menghasilkan beberapa usulan perbaikan, seperti penggunaan visual display, digitalisasi proses pendaftaran melalui mesin APM (Anjungan Pendaftaran Mandiri), penerapan lean 5S, serta perancangan SOP waktu pendaftaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada penurunan waktu layanan sebesar 40,8% dan penurunan lead time sebesar 58,8% dalam proses pendaftaran rawat jalan BPJS.

RSUI is the first State Higher Education Hospital (RS-PTN) in Indonesia. RSUI has a target to increase outpatient service occupancy from 700 patients to 1000 patients. However, RSUI has not been able to achieve this target because there are still processes that are not optimal, which is reflected in the national quality indicators which show that outpatient waiting times still do not meet standards. One of the main factors in this failure is the registration process, where Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) patients account for 75% of this problem. Therefore, the registration process must be improved. This research uses the concept of lean management and the value stream mapping (VSM) method to identify, reduce and eliminate waste in the registration process. The implementation of VSM resulted in several improvement plans, such as the use of visual displays, digitalization of the registration process through the APM (Mandiri Registration Platform) machine, implementation of lean 5S, as well as designing SOPs during registration. The results of this study show that there is a decrease in service time of 40.8% and a decrease in lead time of 58.8% in the BPJS outpatient registration process."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiah Resti
"Meningkatnya Usia Harapan Hidup UHH di Indonesia telah meningkatkan jumlah populasi lansia. Pada 2016, jumlah lansia di Indonesia mencapai lebih dari 7 total penduduk. Meningkatnya UHH menyebabkan angka kesakitan karena penyakit degeneratif semakin tinggi. Akses lansia terhadap pelayanan kesehatan penting untuk diperhatikan karena lansia rentan menderita sakit dan disabilitas. Angka kesakitan lansia tahun 2015 sebesar 25,05 , meningkat dari 24,8 pada tahun 2014. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan pada lansia. Penelitian ini merupakan analisis kuantitatif menggunakan data sekunder Susenas 2016 dengan desain potong lintang terhadap 48.971 lansia yang mengalami keluhan kesehatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa 58,32 lansia sakit memanfaatkan pelayanan rawat jalan ke FKTP, FKTL, dan fasilitas kesehatan formal lainnya. Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan rawat jalan pada lansia adalah usia lebih dari 90 tahun, kepemilikan jaminan, regional, status ekonomi, rasio puskesmas, jarak ke FKTP, jarak ke FKTL, riwayat rawat inap, status rokok, gangguan aktivitas, dan keparahan keluhan. Gangguan aktivitas merupakan faktor yang paling berhungan dengan pemanfaatan rawat jalan lansia. Saran dari studi ini adalah menerapkan strategi jemput bola agar banyak lansia memanfaatkan Posyandu lansia, memperkuat program home care bagi lansia renta maupun lansia tidak mandiri. Selain itu, memperluas cakupan jaminan kesehatan untuk lansia miskin, meningkatkan jumlah Puskesmas santun lansia, serta meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam menciptakan lingkungan yang ramah lansia dan mendukung program kesehatan lansia.

Life expectancy in Indonesia has improved, consequently it increased number of elderly population in Indonesia. In 2016, the number of elderly people reached more than 7 of the total population. In addition, the number of morbidity due to degenerative diseases is increase. In 2015, the morbidity rate of elderly people in Indonesia was 25.05 , increased from 24.8 in 2014. Health conditions of the elderly and their access to care are important for policy makers to develop a better plan This study was conducted to determine the use of outpatient health services among elderly. This research was using secondary data from Susenas 2016. The study design was cross sectional covering 48,971 elderly in Indonesia who experienced perceived health symptom. The results of the study showed that 58.32 of sick elderly used outpatient services to the primary care FKTP , secondary care FKTL , and other formal health facilities. Factors related to the utilization of outpatient health services by elderly were age more than 90 years , health insurance, regional, economic status, availability of health centers, distance to health facilities, history of hospitalization, smoking status, activity disorder and perceived severity of illness. Disorder in doing daily activity is the dominant factor that related to the use of outpatient care among the elderly. This study suggests to initiate effort that proactively involve elderly to utilize Posyandu, strengthen home care program, increase number of elderly friendly health center, expand health insurance coverage for poor elderly, and improve cross sectoral coordination in creating elderly friendly environment as well as supporting elderly health program."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Suryawati
"Waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan merupakan salah satu indikator pelayanan mutu di instalasi farmasi yang seringkali tidak terpenuhi waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan. Berdasarkan SPM yang tercantum dalam Kepmenkes RI Nomor :129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Waktu tunggu obat jadi (non racikan) adalah ≤30 menit. Sedangkan waktu tunggu pelayanan obat racikan adalah ≤60 menit. Penelitian ini dilakukan untuk melihat penyebab dan lama waktu tunggu pelayanan resep di instalasi farmasi rawat jalan rumah sakit. Jenis penelitian ini adalah literature review yang dilakukan pada kepustakaan jurnal dan penelitian asli dengan rentang waktu studi adalah 10 tahun, dipublikasikan pada tahun 2011 hingga 2020. Metode pencarian data menggunakan data online dengan database yang digunakan adalah PubMed, Scopus, Science Direct, Garuda, Google Scholar, dan Lib FKM UI, serta Lib UI. Setelah menggunakan strategi pencarian, didapatkan sebanyak 14 literature, dan dari hasil penelitian didapatkan rentang rata – rata waktu tunggu pelayanan resep pasien BPJS/JKN, Askes dan pasien tanpa penggolongan kategori penjamin. Penyebab lamanya waktu tunggu pelayanan resep di instalasi farmasi antara lain SDM (kurangnya kompetensi, kuantitas dan kecepatan, serta beban kerja SDM) tidak ada dan tidak berlakunya SOP, sarana dan prasarana yang kurang, komponen delay, produktifitas kerja, dan jam praktik dokter di poli. Usulan untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian di fasilitas kesehatan rumah sakit di daerah lain sehingga dapat dilihat dan diidentifikasi hasil lama waktu tunggu di instalasi farmasi rumah sakit beserta faktor – faktor penyebabnya, selain itu juga dapat membandingkan sistem pelayanan farmasi di berbagai rumah sakit.

The waiting time for outpatient prescription services is one of the indicators of quality service in pharmaceutical installations which often does not meet the waiting time for outpatient prescription services. Based on the SPM listed in the Republic of Indonesia Decree Number: 129 / Menkes / SK / II / 2008 concerning Hospital Minimum Service Standards The waiting time for finished drugs (non-concoction) is ≤30 minutes. While the waiting time for concoction drug services is ≤60 minutes. This research was conducted to see the causes and the length of time waiting for prescription services in hospital outpatient pharmaceutical installations. This type of research is a literature review conducted on the journal literature and original research with a study span of 10 years, published in 2011 to 2020. The method of searching data using online data with the database used is PubMed, Scopus, Science Direct, Garuda, Google Scholar, and Lib FKM UI, and Lib UI. After using the search strategy, as many as 14 literatures were obtained, and from the results of the study obtained an average range of waiting times for prescription services for BPJS / JKN patients, Askes and patients without the guarantor category. The causes of the length of time waiting for prescription services in pharmaceutical installations include HR (lack of competence, quantity and speed, as well as HR workload) and non-existent SOP, lack of facilities and infrastructure, components of delay, work productivity, and doctor's practice hours in policlinic . The proposal for further research is expected to carry out research in hospital health facilities in other areas so that it can be seen and identified the results of the long waiting time at the hospital pharmacy installation along with its causal factors, while also being able to compare pharmaceutical service systems in various hospitals."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaznia Adzra
"Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional menggunakan data Indonesia Life Family Survey-5 tahun 2014 (IFLS 2014). Sampel yang diperoleh sebesar 25.212 orang. Uji hubungan dianalisis dengan menggunakan Chi-square. Hasil penelitian didapatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan di Indonesia cukup rendah yaitu sebesar 20,4%. Individu dengan karakteristik lansia (≥46 tahun), berjenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah, tidak bekerja, memiliki tingkat pendapatan tinggi, bertempat tinggal di kota, memiliki asuransi kesehatan, dan memiliki kondisi kronis bermakna secara statistik untuk lebih berkemungkinan memanfaatkan pelayanan kesehatan rawat jalan di Indonesia.

This study analyzes the factors associated with the utilization of outpatient health services in Indonesia. This is an observational study with a cross sectional design using data from the Indonesia Life Family Survey-5 2014 (IFLS 2014). The sample of total 25.212. The relationship test was analyzed using Chi-square. The results showed that the utilization of outpatient health services in Indonesia was quite low, amounting to 20.4%. Individuals with elderly characteristics (≥46 years), female, low education, unemployed, have high income levels, live in cities, have health insurance, and have chronic conditions are statistically more likely to use outpatient health services in Indonesia.
"
2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Indah Pratiwi
"Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Waktu pelayanan yang baik berhubungan dengan kepuasan pelanggan, sehingga rumah sakit harus dapat mengontrol waktu pelayanan untuk mencapai kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis alur pelayanan resep rawat jalan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) sehingga pelayanan dapat memenuhi standar waktu tunggu obat. Waktu tunggu pelayanan resep di Depo Farmasi Rawat Jalan RSUI untuk obat jadi pada bulan Maret dan April berturut-turut sebesar 41,52% dan 45,67%, sementara untuk obat racik sebesar 54,22% dan 61,67%. Dimana hasil tersebut masih belum memenuhi standar waktu tunggu obat jadi yaitu ≤ 30 menit dan obat racik yaitu ≤ 60 menit. Oleh karena itu, alternatif solusi untuk menurunkan waktu tunggu pelayanan obat dapat dilakukan dengan memperbaiki alur pelayanan resep yaitu pada tahap pembayaran pasien umum, penyerahan berkas BPJS/Asuransi lain, konfirmasi resep, pengkajian dan verifikasi resep, pemisahan resep, dan verifikasi obat.

A hospital is a health service institution that provides plenary individual health services that include inpatient, outpatient, and emergency services. Good service time is related to customer satisfaction, so hospitals must be able to control service time to achieve patient satisfaction. The purpose of this study is to analyze the flow of outpatient prescription services at the University of Indonesia Hospital (RSUI) so that services can meet drug waiting time standards. The waiting time for prescription services at the RSUI Outpatient Pharmacy Depot for finished drugs in March and April was 41.52% and 45.67%, respectively, while for mixed drugs it was 54.22% and 61.67%. These results still do not meet the standard waiting time for finished drugs, which is ≤ 30 minutes, or mixed drugs, which is ≤ 60 minutes. Therefore, alternative solutions to reduce waiting times for drug services can be found by improving the flow of prescription services, namely at the stages of general patient payment, submission of BPJS or other insurance files, prescription confirmation, prescription assessment and verification, prescription separation, and drug verification."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>