Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193023 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratu Suftiati
"Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), rnenjadikan Kota Bekasi selain melayani kebutuhan penduduknya juga melayani kebutuhan penduduk Jakarta. Tingginya migrasi yang berasal dari orang-orang yang bekerja dan mencari pekerjaan serta penghuni perurnahan sebagai limpahan dari Jakarta, karena semakin terbatasnya tanah dan mahalnya harga tanah di Jakarta. Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dengan berbagai aktivitasnya telah memberikan tekanan pada tanah. Pesatnya pembangunan menyebabkan tingginya perubahan pola penggunaan tanah, yang dulunya rnerupakan tanah sawah maupun tanah kering banyak mengalami perubahan fungsi menjadi tanah terbangun. Kondisi ini mengakibatkan semakin sulitnya mendapatkan tanah dari segi keterjangkauan harga, semakin sulitnya mengalokasikan ruang terbuka hijau pertanian, semakin menurunnya kualitas air sungai di Kota Bekasi terutama Kali Bekasi sebagai sumber air baku air minum dan masih tingginya jumlah penderita penyakit yang berhubungan dengan kondisi lingkungan. Permasalahan pada penelitian ini adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi telah mengurangi tanah agraris maupun tanah alami sehingga mengakibatkan degradasi lingkungan hidup.
Secara ringkas masalah dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
a. Menganalisis hubungan pertambahan jumlah penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, dan tamanljalur hijau.
b. Menganalisis pengaruh perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri terhadap penurunan kualitas air Kali Bekasi untuk parameter-parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), dan Escherichia coli (E.coli).
c. Menganalisis hubungan perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan peningkatan jumlah penderita diare.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
a. Mendapatkan informasi mengenai hubungan pertambahan jumlah penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, tamanljalur hijau bagi penataan kembali tanah di wilayah Kota Bekasi.
b. Mendapatkan informasi mengenai pengaruh perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri terhadap penurunan kualitas air Kali Bekasi (dilihat dari parameter BOD, COD, TSS, Ecoli) bagi penataan kembali kebijakan pembangunan Kota Bekasi.
c. Mendapatkan informasi mengenai hubungan perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan peningkatan jumlah penderita penyakit diare sebagai bahan pedoman untuk pemberdayaan masyarakat.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pertambahan jumlah penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, clan tarnanljalur hijau.
b. Perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri mempengaruhi penurunan kualitas air Kali Bekasi dilihat dari parameter BOD, COD, TSS, dan E.coli.
c. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara perubahan penggunaan tanah permukiman dan tanah industri dengan peningkatan jumlah penderita penyakit diare.
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas: jumlah penduduk dan luas penggunaan tanah (permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, dan tamanljalur hijau).
b. Variabel terikat: kualitas air (konsentrasi BOD, COD, TSS, E.coli) dan jumlah penderita penyakit diare.
Data sekunder yang terkumpul selama periode tahun 1997 - 2001 berupa data time series jumlah penduduk Kota Bekasi, luas penggunaan tanah di witayah Kota Bekasi, nilai konsentrasi BOD, COD, TSS, dan Escherichia cols air Kali Bekasi, clan jumlah penderita penyakit diare di Kota Bekasi, serta data pendukung lainnya.
Analisis statistik menggunakan Analisis Korelasi product-moment Pearson untuk melihat korelasi antar variabel dan Analisis Regresi Linier Sederhana untuk memprediksi nilai konsentrasi BOD, COD, TSS, E.coli akibat penggunaan tanah permukiman dan industri. Sedang analisis deskriptif untuk melihat hubungan pertambahan penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, dan tamanljalur hijau, hubungan perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan perubahan konsentrasi BOD, COD, TSS, E.coli air Kali Bekasi, hubungan perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan peningkatan jumlah penderita penyakit diare, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan dan pelaksanaan RTRW Kota Bekasi.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang sangat kuat antara:
a. Pertambahan jumlah penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman (r = 0,959), industri (r = 0,974), fasilitas umum (r = ,906) , sawah (r = - 0,986), dan tamanljalur hijau (r = 0,929).
b. Perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan perubahan konsentrasi BOD (r = 0,976 dan r = 0,947), COD (r = 0,941 dan r = 0,994), TSS (r = 0,667 dan r = 0,836), E.coli (r = 0,894 dan r = 0,734).
c. Perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan peningkatan jumlah penderita penyakit diare (r = 0,961 dan r = 0,959).
Indeks Kualitas air Kali Bekasi turun dari kategori sedang sampai baik (3,027) pada tahun 1997 menjadi kategori agak buruk sampai sedang (2,282) pada tahun 2001. Sedang persamaan regresinya sebagai berikut:
a. tanah permukiman dan industri terhadap konsentrasi BODY = 0,037X - 338,401 dan Y = 0,052X - 9,221.
b. tanah permukiman dan industri terhadap konsentrasi COD adalah:
Y = 0,152x- 1382,601 dan Y = 0,232X -48,799
d. tanah permukiman dan industri terhadap konsentrasi TSS adalah:
Y = 0,103X -- 886,507 dan Y = 0,186X + 3,779
e. tanah permukiman dan industri terhadap konsentrasi E.coli adalah:
Y = 532,882X - 4.867.886 dan Y = 631,359X - 102.537.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pertambahan jumlah penduduk dengan perubahan penggunaan tanah permukiman, industri, fasilitas umum, sawah, dan tamanljalur hijau. Luas tanah permukiman mengalami peningkatan terbesar akibat pesatnya pernbangunan perumahan, sedang luas tanah sawah mengalami penurunan terbesar akibat pengalihan fungsi tanah.
b. Perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri mempengaruhi penurunan kualitas air Kali Bekasi dilihat dari parameter-parameter BOD, COD, TSS, E.coli.
c. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara perubahan penggunaan tanah permukiman dan industri dengan peningkatan jumlah penderita penyakit diare.
Berdasarkan basil penelitian, disarankan kepada Pemerintah Kota Bekasi untuk:
a. Menata ulang penggunaan tanah agar masyarakat dapat memperoleh tanah secara legal dengan harga yang terjangkau.
b. Menata kembali kebijakan mengendalikan penurunan kualitas air Kali Bekasi, antara lain memberikan sanksi kepada industri yang belum mengolah limbahnya sampai mencapai baku mutu limbah yang disyaratkan sebelum dibuang ke badan air penerima.
c. Memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi penyebarluasan penyakit serta meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
d. Menyediakan dan memelihara sarana sanitasi dan persampahan serta saluran pembuangan limbah cair.
e. Mengendalikan pertumbuhan penduduk alami melalui program Keluarga Berencana.

The Relation Between Population Growth And Environmental Degradation (A Case Study of Bekasi Municipality Area)Presidential Decree no. 13/1976 regarding The Development of Jakarta-Bogor-Bekasi (Jabotabek) Area has affected Bekasi becomes a city that does not only serve its inhabitants but also its neighbour, the city of Jakarta. The increasing migration of those who work in Jakarta but live in Bekasi is caused by the scarcity of land as well as the increasing price of land in Jakarta. The increasing population in Bekasi along with their activities has significant impact to the land. The high development growth causes the changing pattern of land use. The agricultural land and dry land have changed into developed land. As a result, some problems have occured such as very hard to find land with affordable price, difficult to allocate green open space for agriculture, decreasing water quality of especially Bekasi river that serves as drinking water supply, and increasing disease caused by environmental problem. The problem addressed in this research is that high population growth causes decreasing availability of agricultural and natural land which, in turn, causes environmental degradation.
In brief, the scope of this research is to analyse:
a. The relation between the increasing number of population and the land use conversion for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt.
b. The impact of land use conversion for housing and industry to the decreasing water quality of Bekasi river using Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS) and Escherichia tali (E.coli) parameters.
c. The relation between the land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients.
The purposes of this research are to collect information on:
a. The relation between the increasing number of population and the land use conversion for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt aimed for rearranging the land use by evaluating Spatial Plan of Bekasi Municipality.
b. The impact of land use conversion for housing and industry to the decreasing water quality of Bekasi river using BOD, COD, TSS and Ecoli parameters aimed for rearranging the development policy of Bekasi Municipality.
c. The relation between the land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients aimed for developing the guide lines of public empowerment program.
The hypothesis of this research are:
a. There is a significant relation between the increasing number of population and the land use conversion for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt,
b. The land use conversion for housing and industry affects the decreasing water quality of Bekasi river as indicated by the concentration of BOD, COD, TSS and E.coli parameters,
c. There is a significant relation between the land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients.
The variables used in this research are:
a. Independent variable: the number of population and the land use area for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt,
b. Dependent variable: water quality as indicated by the concentrations of BOD, COD, TSS, E.Coli, and the number of diarrhea patients.
The secondary data collected from Bekasi Municipality during 1997 to 2001 period are time series data of: the number population of Bekasi Municipality, the land use area in Bekasi, the concentration of BOD, COD, TSS and E.Coli found in Bekasi river, the number of diarrhea patients, and other relevant supporting data.
For the statistical analysis, this research uses Product-moment Pearson Correlation Analysis to observe the correlation of inter variable and Simple Linear Regression Analysis to predict concentration value of BOD, COD, TSS, E.coli as a result of land use for housing and industrial. The descriptive analysis is used to observe the correlation between: the increasing number of population and the land use conversion for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt; the land use conversion for housing and industry and the changing concentration of BOD, COD, TSS, and E.Coli found in Bekasi river; and the land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients. The descriptive analysis is also used to evaluate the development policy and the implementation of Bekasi Spatial Planning.
The result of the research shows very strong relation among tested variables, they are:
a. The increasing number of population and the land use conversion for housing (r = 0,959), industry (r 0,974), public facilities (r = 0,906), agriculture (r = 0,986), and park or green belt (r = 0,929).The land use conversion for housing and industry and the concentration changed of BOD (r = 0.976 and r = 0,941), COD (r = 0.947 and r = 0,994), TSS (r = 0.667 and r = 0,836), E.coli (r = 0.894 and r = 0,734).
b. The land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients (r = 0.961 and r = 0,959).
The water quality index of Bekasi river degrades from medium-to-good category (3,027) in 1997 to bad-to-medium category (2,282) in 2001. The regression equations are as follows:
a. Land for housing and industry to BOD concentrate is: Y = 0,037X - 338,441 and Y = 0,052X - 9,221
b. Land for housing and industry to COD concentrate is: Y = 0,152X - 1382,601 and Y = 0,232X -- 48,799
c. Land for housing and industry to TSS concentrate is: Y = 0,103X - 886,507 and Y = 0,186X + 3,779
d. Land for housing and industry to E.coli concentrate is: Y = 532,882X - 4.867.886 and Y = 631,359X - 102.537.
Based on the research and discussion, it can be concluded that:
a. There is a significant relation between the increasing number of population and the land use conversion for housing, industry, public facilities, agriculture, and park or green belt.
b. The land use conversion for housing contributes the biggest impact as a result of rapid growth of housing development. The land use conversion for housing and industry have caused the quality degradation of Bekasi river as it can be observed from BOD, COD, TSS, E.coli parameters.
c. There is a significant relation between the land use conversion for housing and industry and the increasing number of diarrhea patients.
Based on the research, it can be suggested that Bekasi Municipality should:
a. Rearrange the land use so that the public could obtain the land legally and with affordable price.
b. Review its policy in managing the water quality degradation of Bekasi river, by, among others, enforce legal sanction to the industries that have not processed their industrial waste water before discharging them to the water shed.
c. Conduct public empowerment program to enhance their capacity in preventing and mitigating the disease as well as to have clean and healthy behavior.
d. Provide and maintain sanitation, waste and sewarage infrastructures.
e. Manage population growth by motivating the community to join the family planning program.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini menjelaskan pertambangan batubara sebagai suatu industri tidak membawa kesejahteraan yang menyeluruh terhadap masyarakat. Pada tataran makro, aktivitas pertambangan memberi kontribusi besar pada perekonomian nasional, termasuk menyediakan lapangan kerja. Akan tetapi, untuk tataran mikro, degradasi lingkungan justru lebih menonjol dengan dampak lingkungan yang diakibatkannya, yang kemudian berdampak pada proses marginalisasi masyarakat lokal, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Degradasi lingkungan mengakibatkan lahan-lahan pertanian menjadi tidak subur, sementara akses petani untuk mendapatkan tanah subur dan sumberdaya ekonomi lain terbatas. Kondisi itu diperparah banyaknya pendatang mencari penghidupan yang lebih baik. Fenomena itu semakin mempercepat degradasi lingkungan. Kehadiran pendatang juga menyebabkan bertambah tingginya kompetisi untuk mendapatkan tanah dan sumber ekonomi lainnya. Proses kompetisi itu akan semakin memarginalkan masyarakat lokal karena kalah berkompetisi itu. Semua fenomena itu terjadi karena politik lingkungan yang dimainkan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mulai dari tingkat lokal sampai nasional lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi semata."
JPKSY 14:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Tigita S.
"Degradasi fotokatalitik menggunakan katalis TiO2 dan sinar UV merupakan metode degradasi zat organik terlarut. Penelitian ini adalah degradasi fotokatalitik senyawaan kompleks asam humat dengan ion logam Fe3+, Pb2+ dan Cu2+ dibandingkan dengan asam humat bebas, dengan menggunakan suspensi TiO2. Prinsip fotokatalitik dengan katalis TiO2 dan sinar UV adalah pembentukan radikal hidroksil dan radikal yang mengandung oksigen lain, yang berfungsi sebagai oksidator pemecah molekul asam humat menjadi molekul karbon yang lebih sederhana CO2 dan H2O.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran larutan Asam humat dengan larutan ion logam Fe3+, Pb2+ dan Cu2+ dengan perbandingan 1:1 sebanyak 500 mL dengan kondisi optimum 10 ppm dan pH 6. Konsentrasi katalis TiO2 yang digunakan adalah 1 mg/mL. Suspensi ini diiluminasi selama 8 jam. Penurunan Konsentrasi Asam Humat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis dan Fluoresensi. Sedangkan kandungan zat organik terlarutnya diukur dengan bilangan Permanganat. Proses degradasi dilakukan dengan tiga variasi perlakuan yaitu iluminasi TiO2/UV, TiO2 saja dan UV saja.
Karakterisasi hasil dilakukan dengan Spektrofotometer UV-Vis dan Fluoresensi pada setiap jam degradasi. Dari data yang diperoleh, terjadi penurunan konsentrasi Asam Humat dengan urutan TiO2/UV > TiO2 > UV. Sedangkan pengaruh ion logam pada proses degradasi fotokatalitik dengan urutan Fe3+ > Cu2+ > Pb2+. Dari data pengukuran bilangan permanganat, terjadi penurunan bilangan permanganat, tetapi tidak memberikan penurunan yang cukup berarti. Sehingga dapat disimpulkan proses degradasi fotokatalitik ini tidak dapat mengurangi Kandungan zat Organik secara optimal. Urutan penurunan bilangan permanganat berdasarkan penurunan konsentrasi asam humat yaitu pada degradasi TiO2/UV > TiO2 > UV. Proses degradasi fotokatalitik dapat mengurangi konsentrasi asam humat tetapi tidak dapat mengurangi kandungan zat organiknya sehingga dapat disimpulkan terjadi zat antara ( intermediate) dimana modelnya mendekati pembentukan intermediate fenol."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim
"Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi sumberdaya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia disebutkan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, adalah: a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan, c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, d) program transmigrasi, e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak, g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan h) introduksi spesies eksotik (UNDP & KMNLH, 1997).
World Resources Institute (WRI) menempatkan masalah kerusakan hutan tropis akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama Indonesia (Yakin, 1997). Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung. Data yang ada memperlihatkan bahwa hutan yang mengalami rusak berat akibat sistem HPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Luas hutan konservasi dan bekas tebangannya yang rusak serta perlu direhabilitasi sekitar 13,7 juta ha, sedangkan lahan kritis mencapai 22 juta hektar (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (dalam UNDP & KMNLH, 1997) menyatakan bahwa 12 juta ha hutan konversi telah diubah menjadi lahan pertanian, dan 4,8 juta ha untuk kegiatan pertambangan, sedangkan hutan konversi yang tersisa hanya 13,2 juta ha.
Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Faktor-faktor yang menekan proses kerusakan hutan Indonesia, diantaranya konversi hutan untuk pengembangan perkebunan. Cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan memperoleh keuntungan dari kayu hasil tebangan. Hampir semua pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang adalah areal pertanaman baru berasal dari areal hutan produksi yang dikonversi (Kartodihardjo, 1999).
Namun dalam pelaksanaan kebijakan pelepasan kawasan hutan, temyata para pengusaha perkebunan besar yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan perkebunan besar kelapa sawit banyak yang tidak memanfaatkan lahan secara optimal dan bahkan lahan tersebut ditelantarkan. Data dari Dephutbun (1999) memperlihatkan banyaknya permohonan yang telah mendapatkan SIC pelepasan kawasan hutan dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan, ternyata tidak/belum dimanfaatkan/tidak ditindaklanjuti dengan baik. Sampai Maret 1998 disebutkan SK pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454 perusahaan), izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654 ha (245 perusahaan) dan realisasi penanaman temyata hanya seluas 1.751.319 ha. Banyak pengusaha yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan namun tidak memiliki HGU. Terdapat 91 perusahaan perkebunan besar swasta nasional (PBSN) di wilayah 14 propinsi yang tidak memiliki HGU padahal pengurusannya sudah melewati batas waktu. Lahan yang tidak memiliki HGU namun telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan luasnya mencapai 661.345,5 ha. Bahkan terdapat perusahaan yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sejak tahun 1987, atau telah 12 tahun tidak memiliki HGU.
Penelitian ini didasarkan atas pertanyaan penelitian, a) mengapa dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perluasan perkebunan besar kelapa sawit terjadi praktek penyimpangan?, b) mengapa penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit berdampak pada peningkatan penggundulan hutan di Indonesia? dan c) bagaimana seharusnya arah perbaikan penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit agar tidak terjadi praktek penyimpangan dan peningkatan penggundulan hutan di Indonesia?
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi jawaban tentang berbagai hal yang telah diungkapkan dalam pertanyaan penelitian. Hipotesis penelitian adalah "praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan yang berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan di Indonesia".
Penelitian ini termasuk penelitian terapan, karena mengkaji penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui proses : a) studi kepustakaan dengan cara penelusuran atau eksplorasi data-data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan b) wawancara dan diskusi mendalam melalui serangkaian wawancara dan diskusi dengan berbagai narasumber yang memahami isi masalah penelitian yang dianalisis, baik narasumber dari kalangan perguruan tinggi, birokrasi maupun LSM yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan.
Pembahasan hasil penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut :a) pemaparan data hasil penelitian. b) data hasil penelitian selanjutnya dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan. dengan menekankan pada pendekatan empiris yang menjelaskan sebab dan akibat dari kebijakan, dan pendekatan evaluatif yang menekankan konsistensi antara nilai-nilai kebijakan dan penerapannya dan c) pembahasan hasil penarikan kesimpulan agar dapat diketahui secara jelas akar masalah kebijakan dan melalui pendekatan normatif diusulkan arah perbaikan kebijakan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan telah dapat mendorong para pengusaha untuk melakukan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit. Namun dalam penerapan kebijakan tersebut terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan pengusaha. Kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pelepasan ternyata tidak direalisasikan dengan persiapan usaha dan penanaman kelapa sawit sehingga lahan tersebut terlantar.
Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yang ada dalam rumusan kebijakan dengan penerapan kebijakan tersebut. Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan menganggu lingkungan hidup, dan kelestarian hutan, memperhatikan usaha konservasi tanah dan air, memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar, khususnya kelapa sawit. Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut, berdampak pada peningkatan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan.
Faktor yang menyebabkan kesulitan dalam penerapan kebijakan secara baik, disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup terutama penerapan kebijakan di lapangan, terdapat berbagai kepentingan yang berbeda atas konversi hutan untuk perkebunan besar khususnya antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan rakyat, dan birokrasi publik yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan masih terlalu kuat sedangkan posisi tawar masyarakat masih lemah. Selain hal tersebut, kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan harus memiliki daya penegakan agar dapat diterapkan secara tegas dan dipersempit ruang bagi terjadinya perilaku penyimpangan kebijakan.
Akibat terjadinya banyak praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan, maka Manteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Edaran Nomor 603 /Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan usaha perkebunan. Dengan surat edaran itu, maka tidak ada lagi permohonan baru konversi hutan alam untuk perkebunan yang dikabulkan atau direkomendasi.
Kebutuhan lahan hutan untuk pengembangan perkebunan mengakibatkan konversi hutan menjadi lahan non hutan berjalan cepat. Namun proses konversi hutan yang dilakukan tidak didasarkan akan kaidah ekologi, ekonomi dan sosial secara seimbang, sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial.
Pengelolaan sumberdaya hutan menyangkut kehidupan rakyat Indonesia dan mengingat nilai penting dari sumberdaya hutan dari segi ekonomi, sosial dan ekologi maka saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah kebijakan yang mengatur sektor ini harus memperhatikan aspek transparansi, pendekatan bawah-atas, dan partisipasi politik semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, kebijakan yang akan diambil dapat memenuhi nilai bagi kebaikan publik, nilai bagi kelestarian lingkungan dan menghargai hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat atas sumberdaya hutan.
Saran lain dari hasil penelitian ini, jika pelaksanaan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit justru memperluas kerusakan hutan alam akibat praktek penyimpangan kebijakan oleh pengusaha, maka pemerintah perlu melakukan perubahan status tata guna hutan. Hutan yang berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dirubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat dikonversi untuk keperluan lain.

The Impact Of Forest Conversion Policy Implementation On Environmental Degradation (Case Study in Forest Conversion for Oil Palm Plantation)Forest in Indonesia has a number of functions: economic, social, environmental and cultural, particularly for the local community. Without balance and equilibrium between the functions, sustainability of the forest will be in danger. It can be shown that in the last 25 years pressure of resources exploitation and development pressure are having influences to the forest. Some factors influencing forest destruction in Indonesia are: a) population growth and the distribution is scatter, b) forest conversion for plantation and mining, c) ignorance or no found out about traditionally land ownership and traditional right to use natural resources, d) transmigration program, e) industrial and agricultural pollution in wetland forest, f) mangrove forest degradation caused by conversion to fishponds, g) species harvested excessively, h) introduction of exotic species.
The World Resources Institute (WRI) has placed tropical forest destruction by deforestation as one of Indonesian main environmental problems (Yakin, 1997). Excessive forest exploitation made possible by the right to a forest concession (HPH) and forest conversion for agriculture especially plantation, have resulted in severe forest destruction. Moreover, the destruction happened to conservation and preservation forest. Data shows, wide of forest area severely damaged by HPH until June 1998 was 16, 57 million ha. (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Conservation forest and its destroyed deforested land that need rehabilitation reached 13,7 million ha and critical lands amounts to 22 million (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (in UNDP and KMNLH, 1997) said that 12 million ha of conversion forest were turned into agriculture areas and 4,8 million ha into mining and leaving only over 13, 2 million ha.
High rate of forest destruction decrease forest ability to play its ecological function causing serious impact, to the environment such as climate change, decreasing biodiversity, water supply and soil erosion.
Much factors intensity Indonesia's forest destruction, such as forest conversion to develop plantation. Methods mostly practiced to get the area for oil palm plantation was changing forest area, since its easy mechanism and the profit from the log. Almost all of oil palm plantations found at present were new plantation by changing allocated production forest (Kartodihardjo, 1992).
In realization, many plantation estates who applied for forest area clearing did not use the area optimally and even just left the area. Data from Department of Forestry and Plantation (1999) showed that many applicants, who have obtained license for forest clearing and permission for opening the forest area, did not use the area rightly. Until March 1998 there were license for opening the forest for 4.012.946 ha (454 companies). Permission for clearing of forest area covered 3.999.654 ha (245 companies) and realization of plantation only 1.751.319 ha. There are many entrepreneurs who have already had the license didn't have HGU . There are 91 national private plantation companies (PBSN) in 14 provinces don't have HGU. Areas that did not have HGU but have already had the license for plantation are 661.345,5 ha. There are also companies that have had the license since 1987 but they do not have HGU.
This research is based on three questions: a) why there were many deviations in implementing the conversion of forest areas for oil palm plantations? , b) why implementation of the policy have impacts to deforestation?, c) how to improve implementation of the policy ?
Result obtained from this research to is expected to answer mentioned questions. The hypothesis is "deviation in implementation policy of clearing forest areas has impacts on the increase of environmental degradation".
Data were collected directly and indirectly through: a) literature study to obtain qualitative and quantitative data, b) interview and discussion with many resource persons from universities, government, and non-government organizations (NGO) interested in environmental issues.
The discussions were conducted in steps such as: a) data expose, b) data analyses and draw conclusion through empiric approach to explain relations between cause and effect of the rule and evaluative approach stressing consistency value of the rule and the implementation, c) conclusion discussion to get the root of problem and through the normative approach to give the way to solve the policy problem.
Based on results obtained, it can be concluded that policy of conversion forest areas for plantation have motivated entrepreneurs to develop oil palm plantations. However, a number of deviations were practiced by the entrepreneurs. Forest areas that have already had the licenses did not make work preparations and oil palm planted and at the end, the area is neglected.
Divert implementation showed there were unbalance or distortion between the exist value in the policy with implementation of the policy it self The values of the policy said that releasing forest area for big plantation not allowed damaging or disturb the environment and forest continuing, pay attention on land and water conservation, pay attention to the Principe of land conservation and the environment and other rules that manage the releasing implementation for big plantation especially oil palm.
Factors that made difficulties to policy enforcement are difficult to enforce in the field. There are different interests on forest conversion for big plantation, government, entrepreneurs and community interests and public bureaucracy. Bureaucracy who has authority in decision making is too strong and the other hand, community bargaining is very weak. Beside that, the policy to open the forest area for plantation has to have enforcement to apply firmly and. make small changes for policy deviates.
Because of many deviations on policy implementation, The ministry of Forestry and Plantation through Surat Edaran Nomor 603IMenhutbun-VIIT12000, May 22, 2000, that purposed to governor and head of regency, instruct them not to make new recommendation for forest opening for plantation. With that letter, no more application can get recommendation.
The requirement of forest areas for plantation development caused alteration forest areas became no forest areas run faster. Unfortunately, the conversion wasn't implemented as balance based on ecology, economic and social principles, so after that gave impacts like environmental degradation, and financial and social loss.
Management of forest resources is related to Indonesian society livelihood. Upon thinking of the important value of forest resources, economic, social, and ecology, and based on this research, it's suggested that policy which is managing this sector has to make considering transparantion and bottom-up approach aspects, also political participation whole stakeholders involved. Thus, the policy can meet values for goodness of society, environmental conservation, and gives respect for everyone rights to get benefit of forest resources.
Other suggestion is, if the implementations of forest conversion for oil palm plantation extend the natural forest degradation, government should change the management of forest utilization. Forest which is in forest production area can be converting but cannot be other use.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trigunawan Jayawardana
"Tumpahan minyak di laut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam dan Iingkungan. Berbagai kasus tumpahan minyak di laut yang mencemari biota laut dan berdampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat telah terjadi di Indonesia. Salah satu kasus pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal adalah tumpahan limbah kerak minyak mentah (sludge oil) dari Kapal MT. Panos G di perairan Balikpapan dan ditemukan terdampar di pantai dan teluk Balikpapan pads tanggal 25 Juni 2004.
Pencemaran minyak di perairan Balikpapan dapat menimbulkan dampak terhadap ekosistem teluk dan aktivitas ekonomi masyarakat pantai Balikpapan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diketahui dampak apa saja dan seberapa besar nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh tumpahan minyak dari Kapal MT. Panos G. Nilai kerugian ekonomi sangat diperlukan sebagai dokumen tuntutan ganti rugi terhadap pihak pencemar. Berkaitan dengan peristiwa tersebut Pemerintah Kota Balikpapan telah mengajukan tuntutan ganti rugi lewat jalur pengadilan sebesar Rp. 6.635.432.804,-.
Penelitian ini bertujuan untuk: (I) mengkaji dampak ekologis dan ekonomi yang terjadi akibat tumpahan sludge oil MT. Panos G di Pantai dan Teluk Balikpapan; (2) menganalisis dan menghitung kerugian ekonomi (materiil) dengan metode valuasi yang sesuai dengan data yang diperoleh di lokasi penelitian; (3) untuk mengetahui prosedur pengajuan klaim ganti rugi dan kerugian apa saja yang dapat dituntut akibat tumpahan minyak di laut sesuai dengan landasan hukum yang ada.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1) Akibat tumpahan sludge oil MT. Panos G sebesar 500 Ton yang mencemari ekosistem pesisir Balikpapan menyebabkan gangguan terhadap penghasilan masyarakat; (2) Metode pendekatan yang digunakan dalam perhitungan nilai kerugian ekonomi tiap variabel kerusakan lingkungan berbeda dengan metode yang digunakan oleh pihak Pemerintah Kota Balikpapan, sehingga besarnya nilai kerugian tidak sama.
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Pantai dan Teluk Balikpapan. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode ekspost fakto, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dianalisis secara deskriptif analitik, sedangkan pendekatan kuantitatif dianalisis dengan metode valuasi yaitu (1) kerugian pemerintah menggunakan metode harga perbaikan; (2) total nilai ekonomi lingkungan (pendekatan penilaian kerugian lingkungan) dengan metode benefit transfer; (3) kerugian masyarakat dihitung bcrdasarkan harga pasar.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dampak tumpahan minyak (jenis sludge oil) di pantai dan teluk Balikpapan pada Tahun 2004 telah menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove seluas 18 ha, rusaknya 4 ha wilayah rehabilitasi mangrove, rusaknya ekosistem lamun seluas 1 ha dan tercemarinya pasir pantai Balikpapan sepanjang 5 km. Kerusakan lingkungan tersebut sebagai akibat matinya anakan mangrove, matinya padang lamun, menimbulkan dampak berupa terganggunya tempat hidup berbagai jenis hewan laut berupa ikan, udang yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan berupa penurunan pendapatan nelayan, pedagang antara, pengolah basil perikanan dan perikanan budidaya. Hasil valuasi ekonomi memperlihatkan nilai total dampak materil sebesar Rp. 10.267.907.465,- (terdiri dari kerugian pemerintah sebesar Rp.1.827.905.000,-, kerugian lingkungan sebesar Rp. 2.166.579.798, kerugian masyarakat sebesar Rp. 6.273.422.667,-). Pengajuan tuntutan ganti rugi melalui proses pengadilan telah dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Balikpapan dan hingga penelitian ini dilakukan keputusan pengadilan belum keluar.
Kesimpulan penelitian ini adalah (1) tumpahan minyak di perairan Balikpapan pada tanggal 25 Juni 2004 telah menimbulkan dampak kerusakan mangrove, padang lamun dan pasir pantai dan menyebabkan gangguan ekonomi masyarakat berupa penurunan penghasilan utamanya nelayan, pedagang perikanan, pengolah basil laut dan perikanan budidaya. (2) pencemaran di pantai dan teluk Balikpapan menyebabkan kerugian ekonomi (materiil) sebesar Rp. 10.267.907.465 yang merupakan penjumlahan kerugian pemerintah, kerugian lingkungan hidup dan kerugian masyarakat;(3) pengajuan klaim ganti rugi akibat tumpahan minyak di pantai dan teluk Balikpapan dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara yaitu melalui jalur pengadilan dan di luar pengadilan, dengan mengajukan kerugian materiil yang terdiri dari kerugian masyarakat, kerugian lingkungan dan kerugian pemerintah sebagai total klaim.
Saran dalam penelitian ini adalah (1) Untuk mendapatkan nilai kerugian lingkungan yang valid akibat kasus pencemaran tumpahan minyak maka sebaiknya setiap daerah dilengkapi data base nilai tiap ekosistem. (2) Sebaiknya tuntutan ganti rugi pencemaran minyak di laut diupayakan melalui jalur di luar pengadilan (negoisasi, mediasi) agar nilai ganti rugi didapatkan sesuai dengan besarnya kerugian, melihat banyaknya kendala apabila melalui jalur pengadilan seperti waktu yang lama, dana besar dan sulitnya pembuktian nilai kerusakan lingkungan. (3) Mengingat tuntutan ganti rugi akibat pencemaran merupakan salah satu instrumen pengendalian kerusakan lingkungan, dan Indonesia telah meratifikasi kesepakatan internasional CLC 1992, maka sebaiknya diikuti dengan peraturan (undang-undang, keppres) yang menjadi payung hukum untuk pengajuan klaim ganti rugi yang sesuai dengan besarnya kerugian.

Oil spilling to the sea causes damage to natural resources and the environment. There- have been many cases of oil spill polluting marine biota and adversely affecting people's social and economic conditions in Indonesia. An example of such incidents was the sludge oil spilling from the Panos G vessel and polluting the waters of Balikpapan. The vessel was found on the coastal area of Balikpapan on June 25, 2004.
The oil spill could have an impact on the ecosystem as well as on the economic activities of the communities living along the coastline. Therefore, it would be necessary to identify the level of impact and the resulting financial losses. Finding out the value of the economic losses would be required in filing a claim for damages against the polluting party. FoIIowing the incident, the city administration of Balikpapan had filed to the court a claim of Rp 6,635,432,804.
This research aims : (1) analyzing the ecologi and economic impact of the Panos G sludge oil spill to the coast and bay of Balikpapan; (2) analyzing and calculating the economic losses with valuation method according to the data taken from research location; and (3) identifying procedures for filing a claim for oil spill damages on the sea according to the exist law.
Hypotheses proposed in the research were as follows: (1) the impact of oil spilled on the coast and bay of Balikpapan amount 500 ton, this had resulted in economic losses suffered by the communities; (2) approaching methode which using in to the calculation of economic amount every single variable of environment damage are different each with methode using by the government of Balikpapan, so the result of every amount are definietely different.
The research was conducted on the coast and bay of Balikpapan using the ekrpost fakto method with qualitative and quantitative approaches. With qualitative approach analysis was done descriptive-analytically; while with quantitative approach analysis was done using economic valuation, i.e. (I) revised price for government losses; (2) benefit transfer for the total of environmental economic value (environmental loss assessment approach); and (3) market value of losses suffered by the communities.
The research results showed that the sludge oil spill on the coast and bay of Balikpapan had damaged the ecosystem of mangrove forest covering an area of 18 hectares, and destroyed the 4-hectare mangrove rehabilitation zone as well as one hectare of sea grass. The spill also polluted approximately five kilometers of sand along the coastline of Balikpapan. The environmental destruction as a result of dead young mangrove trees and sea grass affected the area where a number of marine species live such as fish and shrimp - all have economic value enjoyed by the communities. Social impacts included lower income earned by fishermen, brokers, and people processing fishing and farm-fishing products. The economic valuation results indicated material impact total value of Rp 10.267.907.465 (made up of Rp 1.827.905.000 government losses; Rp 2.166.579.798 of environmental losses and Rp 6.273.422.667 of losses suffered by the communities). A claim for damages had been filed to the court by the city administration of Balikpapan, and by the time this research was on-going, a court decision had not been made.
The research concluded that (1) the oil spill occurred on the sea of Balikpapan had disturbed the life of ekosistem I impact of mangrove, seagrass and beach on the coastal area of Balikpapan, and this had resulted in economic losses suffered by the communities, in particular fishermen, brokers as well as fishing and farm-fishing industries; (2) the Balikpapan oil spill material impact which was valued at Rp 10.267.907.465, which accumulation of government losses, environmental losses, and losses suffered by the communities; (3) the damage claim filing procedure the oil spilled on the coast and bay of Balikpapan can be using 2 methode are settle out of court and in of court, by propose material losses which contain of community losses, environmental losses, and government losses as a total claim.
The research suggests the following: (I) in order to obtain valid environmental loss values resulting from a case of oil spill pollution, each administrative region should have a database of values of all the region's ecosystems; (2) a claim for damages resulting from oil spilling to the sea should be settled out of court (through negotiation or mediation) so that the money paid can cover all the losses. Sawing many problem if claim in the court, such as money, time and value of ecosistem; (3) considering that a claim for pollution damages is an instrument for controlling environmental destruction, and Indonesia has ratified the 1992 CLC international treaty, regulations (laws, presidential decrees) should be stipulated and enforced to provide a legal foundation for filing a damage claim covering all losses.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Rasuna Wibawa
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai estimasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau tiap provinsi di Indonesia dan melihat faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan persamaan PDRB hijau untuk estimasi dan regresi data panel dengan menggunakan data provinsi dari tahun 2010-2012. Hasil yang diperoleh adalah dalam rentang tiga tahun, secara rata-rata PDRB hijau provinsi di Indonesia terhadap PDRB memiliki tren yang menurun. Selain itu, ditemukan bahwa pendidikan, pengangguran, indeks gini, kepadatan penduduk, penanaman modal luar negeri, dan tingkat demokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap komponen PDRB hijau.

The main objectives of this study are to examine the estimates value of Green Gross Regional Domestic Product of Indonesian provinces and to find what drivers which affects to Green GRDP (in the term ratio to GDP). This study is using Green GDP identity to estimate the value of Green GRDP and panel data regressions with province level data from 2010-2012. The results show that on average Indonesian provinces have decreasing trend on Green GRDP value and there are some drivers which significantly affect components of Green GRDP value, which are unemployment, education, gini index, population density, foreign direct investment, and province democracy level."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S58835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The aim of this paper is to understand the political aspects of environmental degradation in developing countries. The data was collected through library and internet research."
300 JWISOS 2:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Dewi Partini
"Penelitian ini menganalisis dampak dinamis dari pertumbuhan ekonomi, penggunaan energi terbarukan dan tingkat pendidikan terhadap jejak ekologis di Negara G20. Jejak ekologis digunakan sebagai ukuran yang lebih komperhensif yang dapat melihat tekanan terhadap lingkungan yang berasal dari aktifitas manusia. Dengan menggunakan metode analisis PMG-ARDL untuk melihat hubungan dinamis antar variabel dan memungkinkan untuk melihat hubungan kointegrasi atau hubungan jangka Panjang. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang peningkatan pendapatan perkapita akan mengikuti hipotesis EKC. Akan tetapi, tingkat pendidikan dari peningkatan rata-rata lama sekolah dari negara G-20 tidak mengikuti hipotesis EKC dan belum dapat menurunkan jejak ekologis secara langsung.

This study analyses the dynamic impact of economic growth, renewable energy, and education on the G20's ecological footprint. The ecological footprint is used as a more comprehensive measure that can see the pressure on environment comes from human activities. By applying PMG-ARDL analysis, cointegration or long-term relationships can be seen. The estimation results show that in the long run an increase in per capita income will follow the EKC hypothesis. However, the educational attainment of the increase in the average length of schooling of the G-20 countries does not follow the EKC hypothesis and cannot directly reduce the ecological footprint"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Andrea Alexandra
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan perkembangan sektor finansial dan digitalisasi terhadap emisi CO2 di enam negara Asia selama periode 2005–2016. Dengan menggunakan estimator feasible generalized least square (FGLS), kami menemukan bahwa peningkatan perkembangan sektor finansial yang diukur dengan kredit domestik ke sektor swasta oleh bank dan nilai pasar saham yang diperdagangkan akan meningkatkan emisi karbon. Selain itu, studi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan digitalisasi di sektor finansial yang diukur dengan menggunakan rasio M1 terhadap M2 akan meningkatkan emisi karbon. Namun, hubungan tersebut berbeda antara kelompok negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda, di mana perkembangan sektor finansial merusak lingkungan di negara-negara berpenghasilan menengah, tetapi berkontribusi pada peningkatan kualitas lingkungan di negara-negara berpenghasilan tinggi.

The focus of this study is to analyse the relationship of financial sector development and digitalization towards the CO2 emission in six Asian countries over the period 2005–2016. By using the feasible generalized least square (FGLS) estimator, we found that the increase in financial development measured by domestic credit to private sector by banks and stock market value traded will increase carbon emissions. Moreover, the study also shows that the increase in financial digitalization measured using the ratio of M1 to M2 will increase carbon emission. However, the relationship differs between group of countries with different incomelevel, where financial development is detrimental to the environment in middleincome countries, but contributes to improvement in environmental quality in highincome countries."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradianti Gavrilia
"ABSTRAK
Kegiatan pertambangan rakyat yang disebut oleh masyarakat Bangka dengan Tambang Inkonvensional (TI), semakin marak hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam baik darat maupun laut yang mana tidak memiliki izin dalam proses kegiatan penambangan. Dengan semakin maraknya kegiatan pertambangan TI dikabupaten Bangka Selatan maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Selatan membentuk Tim Terpadu PETI dalam rangka upaya penanggulangan masalah penertiban serta penghentian segala bentuk pertambangan tanpa izin. Pembentukan Tim Terpadu PETI ini berdasarkan Keputusan Bupati Bangka Selatan No.188.45/67A/SAT POL PP/2014 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penanggulangan Pertambangan tanpa Izin yang mana mengacu pada Perda No 4 Tahun 2011 Tentang Pertambangan Mineral.
Fokus penelitian ini adalah pada implementasi kebijakan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penanganan tambang timah inkonvensional (TI) mengalami berbagai permasalahan berupa keterbatasan Keterkaitan standar dan tujuan, sumberdaya, komunikasi antar organisasi dan aktivitas implementasi, karakteristik badan pelaksana, kondisi sosial, ekonomi dan politik serta disposisi pelaksana sangat mempengaruhi implementasi kebijakan. Ketidakjelasan dalam pelaksanaan standar dan tujuan, masih kurangnya dukungan sumberdaya kebijakan baik itu kurangnya sumberdaya manusia, sumberdaya dana, sumberdaya fasilitas dan sumberdaya informasi, serta aspek diluar organisasi seperti kondisi sosial, ekonomi memberikan hambatan dalam proses pelaksanaan implementasi kebijakan dan pencapaian keluaran implementasi kebijakan.

ABSTRACT
Artisanal mining activities called by the Islands community with Unconventional Mine (TI), the more bloom almost cover all aspects of natural ecosystems to both land and sea which are not authorized in the process of mining activities. With the rise of mining activities, the IT dikabupaten South Bangka Regency Government of South Bangka Integrated Team illegal formed in an effort to curb the problem prevention and cessation of all forms of mining without permission. Integrated Team illegal formation is based on Decree of the Regent South Bangka No.188.45 / 67A / SAT POL PP / 2014 on the Establishment of an Integrated Response Team Mining without a license which refers to Bylaw No. 4 of 2011 on Mineral.
This research focus is on the implementation of the policy. This study uses a qualitative method. The results showed that the implementation of policies to deal with unconventional tin mine (TI) experienced a variety of problems such as limitations of standard linkage and objectives, resources, communication between the organization and implementation activities, the implementing body characteristics, social, economic and political as well as the disposition executive influence policy implementation. The lack of clarity in the implementation of standards and goals, still a lack of resources support good policies that lack of human resources, financial resources, resources, facilities and information resources, as well as aspects of outside organizations such as social conditions, economic provide obstacles in the implementation process of policy implementation and the attainment of policy implementation"
2015
T43898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>