Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199830 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Basnida Efrizal
"Penyeragaman bentuk Pemerintahan Desa seperti yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 merupakan awal terciptanya hukum nasional di bidang Pemerintahan Desa. Di Sumatera Barat, lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut telah menyebabkan perubahan yang mendasar bagi penyelenggaran Pemerintahan Nagari, terutama karena ditetapkannya Jorong (wilayah administratif dari Pemerintahan Nagari) menjadi Desa.
Dua puluh tahun kemudian, sejalan dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisisasi di berbagai bidang, Pemerintah mengganti UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 ini membuka pintu seluas-luasnya bagi refomasi bentuk Pemerintahan Desa.
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat dengan judul "Dari Sistem Pemerintahan Desa Kembali Ke Sistem Pemerintahan Nagari" (Studi di Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota). Rumusan masalah dari penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang memotivasi masyarakat untuk kembali ke sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Meskipun perubahan sistem Pemerintahan Desa kembali menjadi Pemerintahan Nagari merupakan perubahan organisasi formal yang menjadi objek kajian dalam administrasi negara, namun dalam tesis ini perubahan Desa kembali menjadi Nagari akan dilihat sebagai proses sosiologis yaitu proses perubahan lembaga sosial baik pada tingkat pranata sosial yaitu perangkat kaidah-kaidah status dan peran dan pads tingkat organisasi yaitu kelompok individu yang terlibat dalam dalam aktivitas lembaga Pemerintahan Desa dan Nagari. Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Kembali Menjadi Sistem Pemerintahan Nagari akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisa dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan fenomena proses pembangunan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuaiitatif. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak digunakan model serta uji statistik angka-angka dan laporan statistik digunakan dalam rangka memperjelas masalah atau gejala yang diteliti.
Penelitian ini hanya akan difokuskan pada tiga faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi motivasi untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari, yaitu :
1) terjadinya krisis kepemimpinan di tingkat Desa dan Nagari,
2) terjadinya disintegrasi sosial masyarakat Nagari dan
3) terlantarnya harus kekayaan Nagari.
Krisis Kepemimpinan adalah merosot atau berkurangnya kewibawan serta kurangnya keleluasaan untuk berinisiatif dari Pemerintah Desa dan Kerapatan Adat Nagari dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibandingkan dengan Pemerintah Nagari. Disintegrasi Sosial adalah suatu keadaan dimana hubungan timbal balik antar sesama warga masyarakat Nagari tidak berlangsung dengan balk yang terlihat dari semakin melemahnya semangat kelompok kekerabatan dalam masyarakat Nagari. Terlantarnya Harta Kekayaan Nagari adalah suatu keadaan dimana Marta kekayaan Nagari tidak terkelola dengan baik sehingga tidak dapat memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat Nagari.
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dalam menata pemerintahan terendah untuk menyikapi aspirasi masyarakat.
Tesis ini berkesimpulan bahwa sepanjang sejarah Minangkabau, belum ada ideologi di tingkat supra Nagari yang secara radikal menghapus sistem otoritas tradisional Minangkabau. Melihat sejarah perkembangan Pemerintahan Nagari sampai dengart berlakunya UU Nomor 22 Tahuh 1999, maka bentuk pemerintahan terendah di Kabupaten Lima Puluh Kota idealnya adalah kembali ke sistem Pemerintahan Nagari, karena sistem itu berakar dari kekuatan dasar-dasar sosiologis, ekonomis dan politis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sardjono Jatiman
"Disertasi ini mengkaji secara sosiologis proses perubahan desa dan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat yang terjadi akibat diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Upaya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru, yang bersifat sentralistis dan top down oriented, memerlukan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai tingkat paling bawah yaitu desa. Dengan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai di tingkat desa maka pembangunan dapat direncanakan dikendalikan secara nasional. Untuk keperluan itu maka selama kurun waktu 25 tahun, yaitu kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama, di seluruh desa di Indonesia telah dibentuk dan dikembangkan sejumlah lembaga dan organisasi baru yang diharapkan mampu menjadi agent of development bagi masyarakat desa. Di samping pembentukan dan pengembangan berbagai lembaga baru yang berkaitan dengan pembangunan sektoral, Pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa desa dan pemerintahan desa sebagai lembaga utama (basic institution) di pedesaan perlu diganti dengan bentuk dan sistem baru yang seragam untuk seluruh Indonesia. sistem Pemerintahan baru yang akan menggantikan sistem pemerintahan desa lama dituangkan dalam UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang berlaku pada tanggal 1 Desember 1979. Kalau berlakunya suatu undang-undang sebagai bagian dari hukum cukup melalui pemuatan dalam Lembaran Negara dan pengumuman melalui media masa, maka substansi sebuah undang-undang, sebagai institusi sosial atau lembaga sosial keberlakuannya memerlukan proses yang panjang yaitu proses pelembagaan. Proses inilah yang menjadi masalah pokok dalam disertasi ini, yaitu bagaimana pemerintah desa sebagai lembaga sosial (social institution) modern dan kompleks ditanamkan pada sistem sosial desa yang tradisional dan sederhana. Dari segi pemerintah bagaimana melembagakan pemerintahan desa dan dari segi masyarakat bagaimana desa mengadopsi lembaga baru tersebut menjadi bagian dari sistem sosialnya.
Puluhan ribu jumlah desa di Indonesia dengan keanekaragaman struktur wilayah serta sistem pemerintahannya menyebabkan proses pelembagaan pemerintah desa tidak sama. Bagi pemerintahan desa di Pulau Jawa dan Madura, yang sistemnya tidak berbeda prinsip dengan sistem yang terdapat dalam UU No. 5/1979, proses pelembagaan desa baru dan pemerintahannya tidak banyak menghadapi kesulitan. Di samping itu, tersedianya sumber daya manusia yang memadai sebagai pendukungnya, turut memberi saham dalam percepatan proses pelembagaan. Di luar pulau Jawa dan Madura, di mana sistem pemeritahan desa berdasarkan UU No. 5/1979 merupakan sistem yang berbeda dengan sistem pemerintahan desa lama, berbagai hambatan dan kendala muncul dalam proses pelembagaannya.
Studi ini mengkaji pelembagaan pemerintahan desa berdasarkan data empirik Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Data dikumpulkan melalui serangkaian wawancara yang tidak terstruktur, baik secara pribadi maupun kelompok terhadap sejumlah informan. Informan terdiri dari pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah, mantan kepala kampung, kepala desa dan perangkatnya, tokoh masyarakat dan warga masyarakat biasa. Di samping data primer digunakan pula data sekunder yang berupa dokumen-dokumen dan laporan penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan makna berbagai phenomena yang terjadi di desa Kabupaten Sambas. Perubahan pemerintahan desa akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisis dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan penomena pembangunan.
Dari penelitian di desa di Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat ditemukan bahwa :
- Tingkat keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh luar berpengaruh terhadap tingkat terlembaganya pemerintahan desa. Desa pantai yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar lebih cepat mengadopsi pemerintahan desa baru dibadingkan dengan desa lainnya.
- Derajat hubungan antara lembaga adat dan lembaga pemerintahan yang terdapat dalam sistem desa lama atau sistem pemerintahan kampung merupakan pula faktor yang berpengaruh terhadap proses pelembagaan pemerintahan desa. Pada desa di mana lembaga adat menyatu dengan lembaga pemerintahan desa, maka pelembagaan lebih sulit terjadi. Desa masyarakat Dayak, di mana hampir tidak ada pemisahan antara lembaga adat dan pemerintahan, pelembagaannya mengalami hambatan.
- Desa di dekat kota atau desa yang terjangkau oleh lembaga pendidikan lebih mudah mengadopsi pemerintahan desa baru. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga modern memerlukan basis sosial masyarakat dengan tingkat pendidikan atau tingkat pengetahuan tertentu.
- Keberadaan pemerintahan desa baru kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat karena pemerintah desa dan perangkat desa yang menjadi bagian dari birokrasi nasional maka cenderung berorientasi pada pemerintah atasan.
- Beban tugas dan tanggung jawab pemerintah desa yang melebihi kemampuannya, baik kemampuan sumber daya mausia maupun kemampuan dana, menyebabkan pemerintahan desa sulit menjalankan fungsinya. Pada saat ini desa di Kalimantan Barat pada umumnya telah kehilangan sumber penghasilannya yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan desa dan pemerintahan-nya. Berbagai undang-undang dan peraturan telah meniadakan hak ulayat yang menjadi sumber hak desa dalam memperoleh berbagai penghasilan yang memungkinkan pemerintahan desa menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
- Pelembagaan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Baru pada tingkat dikenal dan diakui keberadaannya, dan sedang dalam proses untuk menjadi bagian dari sistem sosialnya. Namun untuk sebagian terbesar desa-desa, terutama di daerah pedalaman, pemerintahan desa masih berada pada tahap awal pelembagaan, yaitu baru dalam proses dikenalkan.
- Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang diberikan oleh UU No. 5/1979 kepada desa sulit dapat diwujudkan karena kurangnya sumber daya yang dimiliki desa dan banyaknya campur tangan instansi pemerintahan atasan terhadap desa."
1995
D157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Zul Chairiyah
Sumatera Barat: KP3SB, 2008
352.959 8 SRI n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Akhyar Effendi
"Lahirnya Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang didasarkan pada pasal 93 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa disambut antusias oleh masyarakat Sumatera Barat. Mengingat bahwa pemerintahan nagari telah dilikuidasi sejak tahun 1983, permasalahannya adalah seberapa efektif pemerintahan nagari yang sekarang ini dapat berjalan dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Dengan adanya dua sistem pemerintahan adat di Minangkabau yaitu sistem koto piliang dan sistem bodi chaniago, maka penelitian ini ingin melihat perbedaan penyelenggaraan pemerintahan nagari dengan membandingkan dua nagari sebagai kasus yaitu nagari Batipuah Ateh (menganut sistem koto piliang) dan nagari Lubuk Basung (menganut sistem bodi chaniago).
Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang timbul dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan nagari dilihat dari perspektif kelembagaan, pengalihan aset, keuangan, sumber daya manusia dan manajemen pemerintahan.
Kedua nagari memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan sesuai dengan karakteristik dan pemahaman terhadap adat istiadat masing-masing. Persamaannya antara lain meliputi ; telah memiliki struktur organisasi pemerintahan nagari dan perangkat nagari sesuai dengan peraturan daerah kabupaten masing-masing; belum sepenuhnya mampu menjalankan kewenangan-kewenangan dan ketentuan-ketentuan lain seperti yang diatur dalam perda kabupaten masing-masing; mengalami kesulitan dalam menghasilkan peraturan nagari dan penyusunan rencana pendapatan dan belanja nagari serta lambatnya proses pengalihan harta kekayaan nagari dari Kerapatan Adat Nagari kepada pemerintah nagari. Mengenai pengalihan harta kekayaan ini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu yang mempersamakan antara harta kekayaan nagari dan harta kekayaan pemerintah nagari; dan yang membedakan antara keduanya. Pengetahuan dan kemampuan penyelenggara pemerintahan nagari tampaknya masih sangat terbatas untuk mampu memenuhi tuntutan sebuah sistem pemerintahan dalam arti tata penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
Perbedaan yang menonjol antara keduanya antara lain adalah : potensi keuangan nagari Lubuk Basung lebih besar daripada nagari Batipuah Ateh; dan proses pengambilan keputusan tampaknya lebih sulit dilaksanakan di nagari Batipuah Ateh. Ini terbukti dari berlarut-tanrtnya penentuan lokasi kantor wali nagari yang baru. Wali nagari Batipuah Ateh berasal dari kalangan adat, sedangkan wali nagari Lubuk Basung bukan berasal dari fungsionaris adat. Fakta ini relevan dengan teori bahwa pada sistem koto piliang, nuansa adatnya lebih menonjol. Hanya saja proses musyawarah mufakat - walaupun secara teoritis bersifat hierarkis (bottom-up) sulit dilaksanakan. Sedangkan di nagari Lubuk Basung, tampaknya proses musyawarah mufakatnya tidak sesulit di nagari Batipuah Ateh. Secara kelembagaan, institusi yang terdapat di nagari Lubuk Basung lebih banyak dibandingkan dengan yang dimiliki oleh nagari Batipuah Ateh sehingga dari sisi tugas pokok, fungsi dan unsur-unsur yang duduk di dalamnya tampaknya terjadi overlapping antara satu dengan yang lainnya.
Dari hasil penelitian ini terdapat indikasi adanya perbedaan efektiftas penyelenggaraan pemerintahan nagari pada dua nagari yang memiliki sistem adat yang berbeda tersebut. Namun demikian, untuk membuktikan seberapa jauh perbedaan tingkat efektifitasnya akibat dari sistem adat yang dianut tersebut perlu dikaji 1agi secara lebih mendalam.
xvi + 205 halaman + - Label + 6 bagan + 4 lampiran.
Daffar Pustaka : 40 buku, 19 artikel, 6 Lain-lain (Tahun 1918 sd. 2003)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmi
"

Hak Reproduksi Perempuan pada Masyarakat Matrilinial Minangkabau di Perdesaan Provinsi Sumatra Barat (Studi Kasus Perempuan di Desa Bulakan Tinggi, Kecamatan Perwakilan Situjuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat)

(Anita Rahrnan, M.Hum dan Dr. Rahayu Surtiati Hidayat)
Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang posisi perempuan Minangkabau sebagai penerus keturunan dan kemandirian dalam penggunaan hak reproduksinya.

Kerangka pikir yang melandasi penelitian ini adalah perempuan dalam masyarakat Minang yang patriarkal, hak reproduksi perempuan menurut ICPD Kairo Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berperspektif perempuan, studi kasus wanita Minang perdesaan.

Penelitian ini dilakukan di Desa Bulakan Tinggi, Kecamatan Perwakilan Situjuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Subjek penelitian berjumlah sepuluh orang, perempuan penduduk asli Desa Bulakan Tinggi, suku Minang, berusia 15-48 tahun, menikah dengan laki-laki suku Minang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam rumah tangga mempunyai peran besar dalam bidang ekonomi, namun tidak mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan hak reproduksinya. Dengan kata lain, perempuan dalam masyarakat Minangkabau tetap tersubordinasi dalam posisinya sebagai istri karena kuatnya budaya patriarki. Temuan ini membuktikan kebenaran analisis yang ditawarkan oleh feminis sosialis yang menyatakan bahwa perempuan tetap tersubordinasi sekalipun mempunyai peran besar pada sumber ekonomi sepanjang budaya patriarki masih dominan.


Reproductive Rights of Matrilineal Society of Minangkabau (Case study of the village of Situjuh, Lima Puluh Kota District, West Sumatra Province). (Anita Rahman, M.Hum and Dr. Rahayu Surtiati Hidayat)

Women Studies Program, Post Graduate, University of Indonesia.

This research aims to describe of Minangkabau women's position as the agent of reproductive having autonomous in using their reproductive rights.

The pattern of thoughts as the based on the research are Minangkabau women's in male-dominated society, their reproductive rights according to ICPD, Kairo. This research use qualitative method in women's perspective approach and implemented in case study.

This research conducted in Rural of West Sumatra Province (Case Study of Woman at Bulakan Tinggi Village, Sub District of Situjuh, Lima Puluh Kota District, West Sumatra Province) in total research subject is 10 persons, the natives of Bulakan Tinggi village, Minang Ethnic, between among 15---48 years old, having gotten married with man from Minang.

The result of the research indicates that women for households play a big role in economic sphere, but, they are not able to make decision on reproductive right. In other words, the woman in Minangkabau society is still being subordinated in their position as wifes because patriach culture is really strong. This fact finding prove the real analysis offered by socialism feminist stating that woman is remain subordinated although having big role in economic resource, when the patriarchal culture still prevail.

"
2001
T547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Abdul Rahman
"Desa merupakan suatu entitas budaya yang telah ada sejak dahulu jauh sebelum datangnya penjelajah eropa dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Desa sebagai entitas budaya telah memiliki hukum adat, sistem pemerintahan desa dan berbagai perangkatnya. Seiring dengan pergantian pemerintahan silih berganti maka secara hukum desa berubah menyesuaikan terhadap berbagai kebijakan tentang pemerintahan desa tersebut. Desa yang pada mulanya merupakan desa adat dengan sistem pemerintahan desa adat dan kelembagaannya berubah menjadi desa dengan otonomi dan status hukum yang diakui oleh pemerintah. Perubahan selanjutnya mengarah menjadi desa administrasi yang mengarahkan desa agar menjadi desa yang efektif dan efisien untuk menunjang program dan perintah dari pemerintah pusat. Pergantian pemerintah berlanjut berubah menjadi desa dengan sistem pemerintahan campuran antara desa adat (self governing community) dan desa administrasi (local self government). Perubahan tersebut sesungguhnya telah merubah desa adat yang semula asli menjadi desa-desa yang sesuai dengan kebijakan pemerintah yang pada akhirnya mengarah pada upaya melakukan modernisasi administrasi pemerintahan desa.

The village is a cultural entity that has been around since long ago long before the arrival of European explorers and Netherlands East Indies colonial Government. The village as a cultural entity has had the customary law system of Government, and various device village. Along with the turn of the successive Government then legally changed adapting to various village policy of the Government of the village. The village was originally a village of indigenous governance systems and customary village, turn into a village with autonomy and legal status recognized by the Government. Further changes lead to the direct administration of the village to support effective and efficient programs and commands from the Central Government. The turn of the Government continued to turn out to be a village with a mixed system of Government between village customs (self governing community) and the village administration (local self government). These changes really has changed the original village was originally a custom villages in accordance with government policy that ultimately led to the effort of doing the modernization of public administration of the village."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30153
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alessius Asnanda
"Pemerintahan Desa adalah penyelenggara kegiatan Lembaga Pemerintahan dan Pembangunan di tingkat Desa, terdepan serta paling dekat dengan masyarakat yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing untuk kesuksesan pembangunan dan kemajuan masyarakat. Lebih dari itu, praktek pelaksanaan Pemerintahan Desa sesungguhnya merupakan potret dan cerminan sejauhmana demokrasi diimplementasikan dalam pemerintahan kita.
Adapun formulasi pertanyaan penelitian ini adalah : Bagaimanakah penataan Pemerintahan Desa serta Pandangan Masyarakat Ada( mengenai format struktur dan Fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Landak. Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat adat tentang format Pemerintahan Desa yang sesuai dengan Otonomi Daerah, dan untuk mengetahui faktor penghambat, pendukung serta pro dan kontra dalam pelaksanaan penataan kembali ke Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori dan konsep tentang Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi Daerah, termasuk didalamnya Pembangunan Sosial, Pemerintahan Adat dan Pelayanan kepada masyarakat (public services) serta Pemberdayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Daerah, DPRD, Dewan Adat dan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Landak.
Penelitian ini merupakan studi penataan Pemerintahan Desa dengan kajian tentang struktur dan fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan penataan terhadap Pemerintahan Desa kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung tersebut maka adanya pembuatan sejurnlah Peraturan Daerah, yang mana memerlukan mekanisme dan tahapan serta melibatkan pihak-pihak yang kompeten atau pihak yang benar-benar memahami materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang sesuai asal usul dan adat istiadat masyarakat Kabupaten Landak. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan apabila dipelajari sungguh-sungguh sesuai dengan kepentingan, terutama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Landak dalam penataan Pemerintahan Desa.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan penelitian ini berkesimpulan, bahwa ada sejumlah hat panting dan menarik yang perlu dikaji. Namun dari sejumlah hal panting dan menarik tersebut, maka penelitian ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah diterima dengan balk dan antusias di Kabupaten Landak. Penataan Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah merupakan suatu pemberdayaan dan untuk menciptakan pelayanan yang baik atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, adanya silang pandangan, ide maupun konsep yang berkembang, terutama mengenai penataan format pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Desa yaitu kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung. Semua pihak mempunyai konsep maupun pandangan yang menarik serta baik sebagai pendorong menuju Pemerintahan yang baik dalam rangka untuk mengembangkan demokratisasi, partisipatif, berkeadilan, kemandirian, akomodatif, transparan, bertanggunJ'awab, yang dekat dengan masyarakat. Meskipun secara teknis mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaan penataan tersebut.
Adapun saran-saran dalam penelitian, yaitu :
pertama : Nama, struk-tur dan sistem pemerintahan yang appropriate sebagai pengganti sistem Pemerintahan Desa adalah gabungan format Pemerintahan Adat dan sistem Pemerintahan Nasional, maka perlu diberlakukan kembali Pemerintahan Kampung di Kabupaten Landak.
Kedua Peraturan Daerah yang dibuat bukan hanya untuk menggali Pendapat Asli Daerah (PAD), tetapi yang lebih panting adalah masyarakat memahami bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah untuk kepentingan pembangunan, kelancaran tugas dan fungsi Pemerintah Daerah.
Ketiga : Untuk menghindari lerjadinya konflik akibat adanya pro dan kontra dalam penetaan Pemerintahan Desa sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah maka perlu sharing duduk bersama secara demokratis Pemda, DPRD dan masyarakat dalam membahas sating silang konsep, ide maupun pandangan dimaksud.
Selain itu juga perlu mengadakan assessment terhadap potensi dan materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang benar-benar sesuai dengan asal usul dan adat istiadat masyarakat Daerah Kabupaten Landak. Keempat : Pemerintahan Desa yang ditata menjadi Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak masih sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas - fungsi pemerintahan dan pembangunan. Karena Pemerintahan Binua atauy Kampung adalah pemerintahan yang dekat dengan warga masyarakt dalam rangka pelayanan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Roestandi Ardiwilaga
Bandung: Nasional Firma Pustaka, 1953
352 ROE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Roestandi Ardiwilaga
Bandung: Firma Pustaka, 1954
352 ROE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranan nagari dalam memberdayakan masyarakat dan faktor-faktor yang menjadi kendala terhadap upaya pemberdayakan tersebut. Penelitian ini dipandang panting mengingat transisi dari desa ke nagari merupakan suatu bentuk perubahan sosial di masyarakat. Dalam proses perubahan tersebut sangat dibutuhkan peran agen perubah (dalam hal ini nagari), karena pada dasamya masyarakat masih memiliki berbagai keterbatasan dalam mengikuti perubahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) semi terstruktur dengan para informan di lapangan. Sementara itu pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling, dengan lingkup informan mencakup wali nagarilaparat nagari, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan aparat pemerintah kabupaten.
Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa di lokasi penelitian Situjuah Batua, organisasi nagari telah berkembang balk dan berjalan cukup efektif. Peluang yang ada dengan diberikannya otonomi yang cukup luas kepada nagari dalam mengurus masyarakatnya dapat dimanfaatkan ke dalam tindakan nyata terutama dalam memberdayakan masyarakatnya. Peran sebagai pemberdaya telah terlihat sejak awal proses Kembali ke Nagari, proses pembangunan di nagari, proses pembuatan produk hukum nagari dan dalam mewujudkan berbagai program yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang kalau disimpulkan upaya pemberdayaan masyarakat tersebut tercakup dalam tiga bidang yaitu pemberdayaan di bidang politik, hukum dan ekonomi sebagaimana batasan permasalahan penelitian ini. Kondisi ini bisa tercipta karena ditunjang oleh kapasitas dan karakter kemmimpinan yang dimiliki oleh wall nagari sehingga mampu menjalankan peran sebagai salah seorang agen perubah. Disamping itu kondisi sosial budaya masyarakat yang masih homogen dimana ikatan dan nilai-nilai social seperti kebersamaan, gotong royong dan lain sebagainya, masih me[ekat kuat di masyarakatnya temyata bisa dimanfaatkan menjadi suatu potensi sosial (social capital), sehingga ikut mendorong beijalannya proses pemberdayaan masyarakat nagari tersebut secara bertahap.
Akan tetapi sebaliknya, temyata organisasi Nagari Sarilamak belum berkembang secara baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan belum efektifnya peran yang dijalankan nagari dalam memberdayakan masyarakat, temyata hanya ditemui di beberapa item kegiatan saja. Memang dalam tahap awal pada proses Kembali ke Nagari, peran sebagai pemberdaya sempat mengemuka. Akan tetapi da[am penyelenggaraan berbagai kegiatan nagari seianjutnya, peran pemberdaya tersebut justru cenderung hilang. Dengan kata lain peruhahan yang terjadi di sarilamak baru sekedar berganti istilah dari desa ke nagari.
Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah karena tidak mampunya wali nagari bertindak sebagai agen perubah karena tidak ditunjang oleh kapasitas dan kemampuan serta kualitas kepemimpinan yang memadai. Masalah ini kian dipersulit dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang cenderung heterogen. Heterogenitas masyarakat Sarilamak ternyata memberi kesulitan tersendiri karena masih kuatnya beriaku nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat, sehingga kaum pendatang hams mau menerima internalisasi nilai budaya lokal yang belum tentu sesuai dengan budaya asli mereka seperti yang terjadi di Jorong Purwajaya yang dihuni mayoritas suku Jawa. Akibat adanya heterogenitas ini masyarakat ternyata cenderung apatis dengan berbagai program kegiatan yang ada di nagari.
Persoalan kian bertambah bila dikaitkan dengan perangkat regulasi pemerintah kabupaten yang temyata tidak menciptakan suasana yang kondusif dan malah disadari atau tidak, menimbulkan suatu pola ketergantungan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemberian subsidi kepada nagari, reposisi dan pergesaran fungsi camat maupun upaya pembinaan yang harusnya dijalankan belum dilakukan secara optimal.
Terlepas dari semua itu, upaya pemberdayaan tetap hams dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan (ongoing process). Karena untuk menciptakan suatu masyarakat yang berdaya tidak dapat dilakukan hanya dalam waktu sekejap, akan tetapi tetap harus ada langkah-langkah nyata untuk mewujudkannnya.
Untuk menyikapi kandisi dan permasalahan yang terjadi menyangkut peranan yang idealnya dilaksanakan oleh nagari maka diperlukan berbagai pembenahan. Pembenahan hams dilakukan terhadap kondisi internal nagari terutama peningkatan kapasitas dan kemampuan wali nagarilaparat nagari agar mampu menjalan peran mendasar sebagai agen perubah. Kemudian perbaikan juga ditujukan kepada masyarakat agar mampu mengerti dan menyadari tentang apa yang menjadi permasalahan dan kebutuhan mereka serta potensi yang dimiliki. Selain itu juga diperlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang lebih atas (terutama pemerintah kabupaten) yang mendukung terwujudnya pemberdayaan bagi masyarakat nagari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>