Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120882 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suma Riella Rusdiarti
"Bourdieu memberikan pemaknaan baru pada banyak konsep-konsep filsafat sosial sebelumnya. Tidak sekedar memberi makna baru, tetapi juga melalui pengolahan kembali, Bourdieu meletakkan konsep-konsep tersebut di atas konteks sosial yang baru pula, Hal itu juga yang dilakukan Bourdieu ketika membahas bahasa. Berbeda dengan perdebatan-perdebatan bahasa sebelumnya, yang lebih menekankan pada makna, hakikat, dan logika bahasa, maka Bourdieu mengembangkan lebih lanjut karakter sosial bahasa yang telah lebih dulu diangkat ke perrnukaan oleh Wittgenstein dengan language game-nya. Bourdieu mengkritik pendapat Ferdinand de Saussure yang lebih memusatkan perhatiannya pada analisa semiotik dengan dikotominya langue dan parole. Bourdieu juga berbeda dari Levi-Strauss atau Roland Barthes yang meminjam terminologi linguistik dan menerapkannya pada berbagai fenomena kebudayaan, seperti mitos atau fenomena sosial, seperti iklan, komik, atau mode.
Bagi Bourdieu, pertama, bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan kapital simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih atas bahasa, memungkinkan seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial.
Kedua, bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks. Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi, nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga kita bawa, sadar atau tidak. Maka bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya dengan kepentingan. Bagi Bourdieu, semua praktik sosial memiliki "pamrih" meskipun pelaku sosial terkadang tidak menyadarinya dan meskipun praktik ini jauh dari keuntungan materi sekalipun.
Ketiga, bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Bourdieu adalah intelektual yang selalu melihat interaksi sosial di dalam arus dominasi dan pertarungan. Pertarungan dalam pemikiran Bourdieu bukanlah pertarungan hobbesian atau darwinis yang lebih mengarah pada tindakan bertahan hidup atau survive, tetapi lebih dari itu. Pertarungan Bourdieu adalah pertarungan yang membuat manusia lebih berarti yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi juga keuntungan yang bersifat simbolik. Di dalam pertarungan inilah, ditentukan identitas individu dan sosial, juga kekuasaan simbolik, yaitu tercapainya kapital simbolik kehormatan dan mendapatkan pengakuan atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital simbolik dan kekuasaan simbolik sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk menentukan wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita sendiri.
Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan. Mekanisme penyembunyian atau mecornraissance inilah yang oleh Bourdieu di sebut sebagai kekerasan simbolik yang dilakukan dengan cara eufemisasi dan sensorisasi. Les mots ne sont jamais innocents. Selalu ada sesuatu di balik kata-kata. Kesadaran akan hal itu akan membantu kita untuk tetap kritis, selalu mempertanyakan wacana-wacana dominan yang secara sadar atau tidak ternyata telah kita terima sebagai sesuatu yang seakan-akan terberi, atau seakan-akan memang seharusnya demikian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11224
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novriantoni Kahar
"MQ Corporation is one of phenomenal business institutions led by a prominent Muslim preacher KH Abdullah Gymnastiar, familiarly called Aa Gym. However, many have neglected the existence of MQ Corporation as an outstanding business institution and paid more attention on Aa Gym's religious preaching. There is no specific academic research on the phenomenon of MQ Corporation in sociological perspective.
This thesis, therefore, constitutes an attempt to highlight MQ Corporation into the analysis of symbolic capital, a theoretical framework developed by French sociologist, Pierre Bourdieu. Throughout this theory, the research assumes that development of MQ Corporation is high-correlated with symbolic capital, namely mass recognition. At first, this wide mass recognition obtained by Aa Gym as the central figure and it afterward affects on his business units.
Additionally, this research attempts to explore how that symbolic capital obtained, how it benefits the owner, and how it maintained. This research furthermore predicts the future of MQ Corporation in case the deflation of symbolic capital as regards the rise and fall of Aa Gym's popularity whose personal brand is much greater than MQ corporation's
corporate brand.
This research concludes that development of MQ Corporation is very much correlated with the symbolic capital of Aa Gym. Therefore, the development of MQ Corporation correlated highly with the maintenance of symbolic capital as well as the invention of qualified products as any other commercial activity.
This research finds that deterioration of Aa Gym's popularity would influence MC business units. Those units which depends much on the figure of Aa Gyim would be hard to develop whenever his popularity declines. While those which do not depend on his figure and able to invent their products well and innovatively would continue to exist.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwizatmiko
"Pierre Bourdieu, dalam bukunya, Language and Symbolic Power, menunjukkan bahwa bahasa merupakan instrumen simbolik yang berhubungan dengan kekuasaan. Praktik bahasa dihasilkan oleh habitus dan selalu terjadi dalam arena berkesenjangan sosial. Bahasa sebagai praktik sosial berkaitan erat dengan kepentingan, dan pertarungan kekuasaan. Bahasa bukanlah medium yang bebas nilai dalam mengkonstruksi realitas. Bahasa sebagai satu bagian dari instrumen simbolik berperan bagi sarana praktik kekuasaan yang memungkinkan dominasi dan kuasa simbolik. Kuasa simbolik ialah kuasa yang tak nampak dengan mensyaratkan salah pengenalan (ketidaksadaran) pihak yang menjadi sasaran. Namun, kondisi kesadaran dan ketidaksadaran dapat terjadi bagi sang aktor dalam menjalankan praktik kekuasaan tersebut.

Pierre Bourdieu, in Language and Symbolic Power, argues that language is a symbolic instrument relate to power. Practice of language (utterence) produced by habitus and occurs in fields. Language as social practices relates to interests, and battle or struggle for power. Language is not value-free medium for constructing realities. Language as a part of symbolic instrumen roles as power_s main instrument to gain domination and symbolic power. Symbolic power is invisible power which can be exercised only with the complicity of those who misrecognition (unconsciousness) that they are subject to it. However, unconsciousness and consciousness both possible condition for actors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S15987
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Eka Qamara Yulianthy Dewi Hakim
"Walaupun nilai-nilai dalam kesenian-kesenian daerah lazimnya bersifat sakral namun pada prakteknya mengalami perubahan dengan adanya arus globalisasi dan logika pasar. Hal ini mendorong para pelaku seni berupaya menghadapi masa transisi dengan melakukan strategi-strategi adaptasi untuk bisa bertahan hidup.
Studi ini tentang Tingkilan. Beberapa pertanyaan pokok yang hendak dijawab Pertama, bagaimana para pelaku musik Tingkilan memaknai karya-karya musik mereka sepanjang perkembangan Tingkilan? Kedua, bagaimana kaitan antara adat, logika pasar dan kekerasan simbolik? Ketiga, kekerasan simbolik yang bagaimanakah yang membuat para pelaku musik Tingkilan berstrategi dalam menjaga kontinuitas musiknya?
Konsep-konsep yang digunakan dan muncul dalam temuan lapangan serta berkaitan adalah secara teoritis : adat, logika pasar, dan kekerasan simboIik. Sedangkan istilah "modern", "tradisional" dan sindiran bagi masyarakat Kutai tidaklah sama dengan istilah yang sebelumnya ada. Penelitian ini dimaksudkan melakukan tinjauan analisis konseptual teori yang digunakan oleh Bourdieu dan logika pasar. Walaupun konsep teori Bourdieu banyak dikritik mengenai keberadaannya di tengah dikotomi subyektivisme dan objektivisme, namun dalam konteks Tingkilan konsep teori ini relevan dan tidak secara keseluruhan serta disesuaikan dengan temuan lapangan.
Kutai Kartanegara merupakan lokasi penelitian di mana Tingkilan terbagi atas tiga wilayah dan jenis kebudayaan. Waktu penelitian selama 5 bulan : Juni-November 2004 dan menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Peneliti mempunyai peran utama sebagai instrumen kunci dalam penelitian, akan tetapi untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam melakukan pembahasan dan analisis, peneliti dikontrol oleh batasan landasan teori, dan memperhatikan hasil-hasil penelitian sejenis. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam, diskusi interaktif dengan informan dan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Analisis data dilakukan dimulai dengan membaca, menelaah dan menganalisis data yang diperoleh, dari berbagai sumber atau informasi baik melalui wawancara, dialog interaktif, observasi maupun dokumen/rekaman hingga pada tahap triangulasi. Mengingat budaya tradisi Iisan maka analisis struktur musik menggunakan pendekatan analisis musik Barat.
Kekerasan simbolik yang dilihat scbagai kesadaran palsu bagi kognitif individu-individu karena meluasnya kekuasaan simbolik yang berjalan dengan halusnya dan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Inilah yang dinamakan doxa, "kebenaran" yang diterima akal sehat inilah yang menjadi hal yang lumrah menuju mekanisme budaya bersama. Tradisi yang menjadi bagian kebudayaan, Tingkilan menjadi bagian kebudayaan Kutai Kartanegara memiliki 3 jenis Tingkilan mengikuti 3 jenis kebudayaan di Kutai Kartanegara. Social claim, pemberian mama atas "tradisional" dan "modern" tersebut dilakukan setelah adanya keberadaan kelompok "modern".
Cara pandang para pelaku musik Tingkilan adalah berpijak pada kekinian terlebih dahulu barulah membandingkan dengan masa lalu, dengan berkaca pada modern memunculkan tradisional. Kekuatan bertahannya para pelaku musik Tingkilan adalah legitimasi adat yang menjadi legitimasi kekuasaan untuk menunjukkan kekuasaan simbolik. Walaupun Tingkilan "tradisional" dan "modern" bersisian namun sehenarnya terjadi pertarungan secara simbolik. Pada pelaksanaannya dikenal dengan kekerasan simbolik. "Tradisional" memiliki legitimasi adat dan pantun spontanitasnya, "modern" menciptakan legitimasi adat baru dengan kekuatan bahasa Kutai dalam liriknya. Kaitan antara adat, logika pasar dan kekerasan simbolik adalah adat merupakan kebudayaan masyarakat di Indonesia termasuk Kutai yang masih dipegang teguh. Adanya globalisasi dengan strategi kaum kapitalis (neoliberalisme) menjanjikan kesejahteraan sosial terhadap negara-negara dunia ketiga dan menanamkan kekuasaan simboliknya yaitu kekuatan pasar di benak masyarakat sehingga membudaya. Jadi, dalam menghadapi globalisasi dan Iogika pasar, Tingkilan "tradisional" dan Tingkilan "modern" sama-sama telah mengalami dan melakukan kekerasan simbolik di dalam mempertahankan keberadaan musik Tingkilan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Hanafi
"[ ABSTRAK
Artikel ini membahas pertukaran kapital antara Garuda Indonesia dan Liverpool FC dengan menggunakan kerangka pemikiran Pierre Bourdieu. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa pertukaran kapital yang dilakukan oleh Garuda Indonesia dan Liverpool FC, mencakup kapital ekonomi, kapital budaya, dan kapital simbolik, memberikan keuntungan pada masing-masing pihak sesuai dengan kebutuhan dan kepemilikan kapitalnya, serta posisi yang ingin mereka capai di arena sosial masing-masing.
ABSTRACT This article analyzes the capitals exchange between Garuda Indonesia and Liverpool FC using the context of Pierre Bourdieu?s notion. The result of this study shows the capitals exchange conducted by Garuda Indonesia and Liverpool FC, include economic capital, social capital and symbolic capital, which provide benefits to each party according to the needs and ownership of the capitals, as well as the dreamed position in their own social arenas.;This article analyzes the capitals exchange between Garuda Indonesia and Liverpool FC using the context of Pierre Bourdieu?s notion. The result of this study shows the capitals exchange conducted by Garuda Indonesia and Liverpool FC, include economic capital, social capital and symbolic capital, which provide benefits to each party according to the needs and ownership of the capitals, as well as the dreamed position in their own social arenas., This article analyzes the capitals exchange between Garuda Indonesia and Liverpool FC using the context of Pierre Bourdieu’s notion. The result of this study shows the capitals exchange conducted by Garuda Indonesia and Liverpool FC, include economic capital, social capital and symbolic capital, which provide benefits to each party according to the needs and ownership of the capitals, as well as the dreamed position in their own social arenas.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Martono
Depok: Rajawali Pers, 2018
370.15 NAN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agnes Erlisa Sarianto
"Artikel ini membahas pertukaran kapital antara PT Freeport Indonesia dan klub sepak bola Persipura Jayapura yang didasarkan pada konteks pemikiran yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik deskriptif. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah profil masing-masing institusi dan keputusan pemerintah daerah dan perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, PT Freeport Indonesia dan klub sepak bola Persipura Jayapura. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa pertukaran kapital yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dan klub sepak bola Persipura Jayapura memberikan keuntungan pada masing-masing pihak sesuai dengan kebutuhan dan kepemilikan kapitalnya. Hanya saja, apabila tidak hati-hati, ketergantungan Persipura Jayapura yang sepenuhnya mengandalkan dana dari PT Freeport Indonesia dapat mengarah pada bentuk-bentuk dominasi.

This article analyzes the capitals exchange which occur in an intertwined relation between Freeport Indonesia Co. and Persipura Jayapura Football Club along with the context of Pierre Bourdieu’s notion. This research is classified as a qualitative research by using a descriptive argumentative methods. The data collected are based on the profile of each institutions, Freeport Indonesia, Co. and Persipura Jayapura Football Club, also on the newest regional government policy, and the Memorandum of Understanding (MOU) which has been signed by both parties. As the result, this research would like to show that the capitals exchange deliver some advantages to each parties according to their needs and capitals. Simply if this action is not taken carefull, the dependency of Persipura Jayapura FC, which totally relies on the fund from Freeport Indonesia, Co. , would lead to a form of domination.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Swartz, David
Chicago: The University of Chicago Press, 1997
301.019 SWA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rahman Alamsyah
"Tesis ini hendak meneliti demokratisasi pasca-Soeharto (2004-2006) yang terjadi di Serang, Banten, dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur atau habitus ranah dari Bourdieu. Yang menjadi subyek penelitian adalah Partai Golkar dan jawara (PG-Jawara) serta Partai Keadilan Sejahtera dan tarbiyah (PKS-Tarbiyah). Mereka adalah agen-agen signifikan dalam ranah politik Serang. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, penelusuran dokumen, dan studi pustaka. Dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur, demokratisasi tersebut dapat diawali dengan penjelasan tentang posisi-posisi obyektif PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah dalam ranah politik Serang. Berdasarkan ukuran jenis, volume dan bobot relatif dari empat jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik), PG-Jawara menempati posisi obyektif dominan daripada PKS-Tarbiyah. Sedangkan untuk habitus politik, yang melekat pada PG-Jawara adalah kekerasan, pragmatisme, dan Islam simbolik. Pada PKS-Tarbiyah, hal itu meliputi habitus politik islamisme dan modernis. Posisi-posisi obyektif dalam ranah mengondisikan habitus politik PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah, tetapi habitus tersebut juga membantu mereka untuk menyesuaikan diri dengan ranah politik yang dihadapi. Hasil dari dialektika tersebut adalah praksis politik. Inilah dialektika habitus-ranah atau agen struktur, yang berbeda dengan determinisme pendekatan agen (Diamond) maupun pendekatan struktur (Huber dkk.). Ranah politik adalah medan pertarungan wacana (simbolik) antar agen untuk memperoleh kekuasaan simbolik (kekuasaan yang diakui keabsahannya). Wacana tersebut adalah praksis politik yang dihasilkan dari dialektika habitus-ranah dan ditawarkan oleh para agen politik kepada masyarakat demi memperoleh dukungan. Ia mencakup doxa (wacana dominan yang absah), orthodoxa (wacana yang mendukung doxa) dan heterodoxa (wacana yang menentang doxa). Doxa dalam ranah politik Serang adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, modernisasi, dan prosedur demokrasi. Ia didukung oleh PG-Jawara yang memproduksi dan mereproduksi orthodoxa, yang meliputi nasionalisme pasca-kolonial, Islam simbolik yang dekat dengan keislaman tradisional, modernisasi untuk kejayaan bangsa dan negara, dan demokrasi dalam kerangka Pancasila. PKS-Tarbiyah memproduksi heterodoxa, yang meliputi nasionalisme dalam kerangka Islam, Islam sebagai ajaran total yang memandu perilaku, dan prosedur demokrasi untuk kepentingan Islam. Wacana yang diproduksi para agen politik tersebut ada yang merupakan perwujudan dari habitus politiknya, namun ada juga yang merupakan hasil penyesuaian (dengan bantuan habitus politiknya), sesuai dengan batas-batas yang dimungkinkan oleh ranah yang memproduksi habitus politik tersebut, terhadap ranah politik yang dihadapinya. Inilah pertarungan wacana antara PG-Jawara dengan PKS-Tarbiyah yang terjadi dalam ranah politik Serang. Ranah politik Serang mengalami ?bantenisasi demokrasi? karena ia dirumuskan ulang oleh agen-agen politik yang ada di dalamnya, sesuai dengan habitus dan posisi obyektifnya dalam ranah politik. Alhasil, pada tingkat subyektif (wacana, simbolik), ranah politik Serang penuh sesak dengan aneka wacana dengan posisi yang berbeda-beda. Yang dominan adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, beberapa nilai demokrasi yang ditawarkan PG-Jawara, dan modernisasi dalam rangka nasionalisme. Ia memberi nuansa yang lebih tebal pada ranah politik tersebut. Namun, berbagai wacana yang diproduksi PKS-Tarbiyah, yaitu nasionalisme dalam kerangka Islam, islamisme, beberapa nilai demokrasi yang diusung PKS-Tarbiyah, modernisasi dalam konteks islamisme, juga mulai mengancam wacana-wacana dominan tersebut. Hal ini membuat demokratisasi dalam ranah politik Serang menjadi begitu dinamis. Wacana-wacana tersebut adalah dimensi subyektif yang berfungsi memberi legitimasi terhadap dimensi obyektif dari ranah politik. Pada tingkat obyektif, ?bantenisasi demokrasi? menghasilkan demokrasi yang ditandai dengan penerapan berbagai prosedur demokrasi (pilkada, pemilu, kontrol DPRD atas pemerintah kabupaten) dan beberapa prinsip demokrasi, seperti jaminan atas partisipasi publik, kebebasan berpendapat, berorganisasi, kebebasan pers, pengelolaan pemerintahan yang transparan, penghargaan terhadap keragaman, dan sebagainya. Namun pada saat yang bersamaan, ia juga kerap harus berhadapan dengan praksis politik kekerasan dan politik uang PG-Jawara, islamisme PKS-Tarbiyah yang cenderung memarjinalkan non-Islam, oligarki elit parpol, dan partisipasi publik yang sifatnya formalistis.

This thesis is about the democratization post-Soeharto (2004-2006) in Serang, Banten, using dialectical theory of agency-structure or habitus field from Bourdieu. The subjects are Partai Golkar and jawara (PG-Jawara), Partai Keadilan Sejahtera and tarbiyah (PKS-Tarbiyah). They are significant agencies in Serang political field. This research is using qualitative approach with case study. The datas are collected with deep interview, observation, document study, and literary study. Using dialectical theory of agency-structure, the democratization will begin with the explanation about the objective positions between PG-Jawara and PKS-Tarbiyah in Serang political field. According to form, volume and relative weight from four capital form (economic, social, cultural, and symbolic), PG-Jawara has more dominant objective position than PKS-Tarbiyah. Otherwise, the political habitus for PG-Jawara are violance, pragmatism, and Islam symbolic. The political habitus for PKS-Tarbiyah are islamism and modernism. The objective conditions in field conditioning the political habitus of PG-Jawara and PKS-Tarbiyah, but it also help them to make the adaptation to the political field. The result of dialectical is political praxis. This is the dialectical of habitus-field or agency structure, which is different from determinism of agency approach (Diamond) or structure approach (Huber and friends). Political field is the arena of discourse (symbolic) struggle between agencies to obtain symbolic power (the legitimate power). The discourse is political praxis which produced by dialectical habitus-field and offered by political agencies to the society to get their support. It consist of doxa (the legitimate discourse), orthodoxa (the discourse supporting doxa) and heterodoxa Bantenisasi demokrasi (the discourse aggainst doxa). Doxa in Serang political field are post-colonial nasionalism, traditional islamic, modernism, and procedure of democratization. It supported by PG-Jawara which produce and reproduce orthodoxa, including post-colonial nasionalism, Islam symbolic that close to traditional islamic, modernisation to the glory of nation and country, and democracy of Pancasila. PKS-Tarbiyah produce heterodoxa, consist of islamic nasionalism, Islam as a total religion to guide the attitude, and the procedure of democracy for islamic importance. There are some discourses which produced by the political agencies are manifestation from their political habitus, but there also are a production from adaptation (with their political habitus support), in accordance with the limitations that able by field which produce the political habitus, towards the political field. This is the discourse struggle between PG-Jawara with PKS-Tarbiyah that happen in Serang political field. Serang political field is becoming ?bantenisasi demokrasi? because it reinterpreted by their political agencies, in accordance with habitus and objective position in political field. At subjective level (discourse, symbolic), Serang political field is crowded with some discourses with different positons. The dominant are post-colonial nasionalism, traditional islamic, some democratic values that offered by PG-Jawara, and modernisation in nasionalism. It gives strong nuance in political field. Although some discourses that produced by PKS-Tarbiyah, such as nasionalism in islamic framework, islamism, some democratic values of PKS-Tarbiyah, modernisation in islamic framework, also threaten the dominant discourses. It makes democratization in Serang political field more dynamic. The discourses are subjective dimension that gives legitimation to objective dimension of political field. At objective level, ?bantenisasi demokrasi? produce a democracy that marked with the application of procedure of democracy (local election, general election, the controling of local government by DPRD) and some principles of democracy, such as guarantee on public participation, freedom of expression, freedom of organization, freedom of the press, transparent government, guarantee on pluralism, etc. But at the same circumtance, it also has to face political violance and money politic of PG-Jawara, the islamism of PKS-Tarbiyah that marginalize non-Islam, the elite oligarcy in political party, and pseudo-public participation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>