Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169821 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tohadi
"Bila dibandingkan dengan masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan pasca Orde Baru relatif berjalan secara reformis dan demokratis. Pada masa Orde Baru, yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, meskipun pada awalnya menunjukkan adanya praktik pemerintahan yang demokratis konstitusional, namun segera dalam waktu berikutnya Orde Baru menampilkan struktur dan praktik politik yang otoriter. Pemerintahan Orde Baru dibangun dan diselenggarakan dengan watak pemerintahan bersifat dominan, intervensionis, dan hegemonik. Seluruh sistem Orde Baru, dalam kenyataannya, kemudian menjadi sistem Soeharto.
Dalam hubungan antara lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR, maka dalam format politik otoritarian Orde Baru, lembaga Kepresidenan mengatasi dan mendominasi lembaga DPR. Kontrol dan intervensi lembaga Kepresidenan atas lembaga DPR paling penting ialah dengan adanya kekuasaan lembaga Kepresidenan yang mengangkat keanggotaan DPR selama masa Orde Baru, selain keanggotaan DPR/MPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum.
Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, pemerintahan pasca Orde Baru utamanya pada masa pemerintahan hasil Pemilu 1999, yaitu pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid sebaliknya kontrol lembaga DPR atas lembaga Kepresidenan sangat kuat. Pada masa ini hampir setiap kebijakan pemerintahan Presiden Wahid selalu mendapat kontrol dari DPR. DPR secara aktif meminta keterangen dan/ atau mengadakan penyelidikan atas kebijakan yang diambil Presiden Wahid.
Hasil penelitian deskriptif-analisis yang menggunakan studi kasus dengan menggunakan analisis kualitatif dan induktif; dan memakai teknik pengumpulan data wawancara mendalam, diskusi dan studi dokumentasi (kepustakaan) menjelaskan bahwa dilihat dari konstitusi, kekuasaan lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR RI pada masa pemerintahan Presiden K.K. Abdurrahman Wahid pasca Orde Baru mengalami pergeseran bila secara komparatif dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Presiden Wahid telah terjadi perpindahan titik pendulum kekuasaan ke arah dominasi lembaga DPR RI.
Demikian dilihat dari praktik penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan lembaga DPP RI hasil Pemilu 1999 pada masa pemerintahan Presiden Wahid lebih kuat mengatasi kekuasaan lembaga Kepresidenan. Selama kurun pemerintahannya, sebagaimana diteliti penulis dengan melihat kebijakan yang diambil Wahid, yaitu likuidasi Depsos dan Deppen; pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roesdihardjo; usaha pemberhentian Gubemur Bank Indonesia Syahril Sabirin; pemberhentian Menperindag Jusuf Kalla dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi; pencalonan Ketua MA; kasus Buloggate dan Bruneigate; dan pelantikan Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Kapolri, lembaga DPR secara aktif dan kuat mengontrol lembaga Kepresidenan (Presiden Wahid) melalui hak interpelasi, hak mengadakan penyelidikan melalui pembentukan panitia khusus (Pansus) dan memorandum DPR.
Lalu, mengapa terjadi pergeseran kekuasaan serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid? Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya pergeseran kekuasaan pada masa pemerintahan Presiden Wahid, yaitu berpindahnya ,titik pendulum kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR, disebabkan oleh tiga faktor: 1). Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Kekuasaan yang dimiliki lembaga Kepresidenan yakni kekuasaan di bidang eksekutif atau penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan di bidang legislatif atau perundang-undangan, kekuasaan di bidang yustisial, dan kekuasaan di bidang hubungan luar negeri, seiring dengan ada dan berlakunya Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945 itu menjadi berkurang. Pada saat yang sama, kekuasaan lembaga DPR menjadi lebih terinci tegas, 2). Konfigurasi Politik di Kabinet Persatuan Nasional. Pada awalnya, konfigurasi politik Kabinet Persatuan Nasicnal secara kuat mendukung pemerintahan Presiden Wahid. Dengan adanya reshuffle kabinet ini, konfigurasi politik kabinet pemerintahan Presiden Wahid menjadi melemah dan kemudian meninggalkan dukungan kepada keberlangsungan pemerintahan yang dipimpinnya, sebagai akibat kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri atas digantinya menteri-menteri yang berasal dari aliansi kekuatan politik itu oleh Wahid; dan 3). Konfigurasi Politik di DPR RI Hasil Pemilu 1999. Seiring dengan kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri sebagai akibat pergantian kabinet ditambah dengan adanya kasus Buloggate dan Bruneigate yang mengindikasikan (patut diduga) keterlibatan Presiden Wahid, membuat Wahid pada akhirnya kehilangan dukungan di DPR. Di DPR, Wahid hanya bertumpu pada adanya dukungan kecil dari PKB di DPR (10,2 %) ditopang NDKB (1,0 %)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patrialis Akbar
Jakarta: Total Media, 2013
320.404 PAT h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Novieta Hardeani Sari
"Seorang Presiden, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintah, dalam menjalankan roda pemerintahan membutuhkan dukungan penuh, tidak hanya dari orangorang didalamnya namun juga dari masyarakat. Beliau sebagai Presiden dituntut memiliki adanya kredibilitas yang positif. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari dia harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana yang dilakukan oleh Public Relations/Humas. Dengan seringnya terjadi kerancuan informasi dan berita, Presiden merasa perlu untuk menyesuaikan diri agar tidak terjadi kesenjangan terutama untuk kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Maka pada Surat Keputusan Presiden No. 255/M/2000 tanggal 9 Oktober 2000, Presiden resmi mengangkat tiga orang juru bicara dan satu institusi pendukung yang menjadi satu kesatuan tim, Tim Media/Juru Bicara Kepresidenan, untuk membantu Presiden dalam mengelola informasi dan hubungan dengan media massa, mewakili apa saja yang menjadi keinginan Presiden yang layak diketahui masyarakat pada umumnya. Hal ini juga sebagai langkah menyikapi tekanan masyarakat yang meminta agar Presiden memiliki seorang juru bicara.
Karena Presiden mempunyai 'kekurangan' dalam masalah penglihatan, maka dengan keberadaan juru bicara akan banyak membantu tugas Presiden sehari-hari. Dalam menentukan suatu strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana, sehingga dapat menunjang tujuan, visi dan misi organisasi, juru bicara perlu menguasai teknik-teknik kehumasan. Penjabaran teknik-teknik kehumasan, dijelaskan didalam kerangka pemikiran yang berisi tentang teori-teori manajemen komunikasi, meliputi reposisi, komunikasi internal, media relations, manajemen berita (cara mengemas pesan), dan manajemen fungsi human.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat evaluatif, dimana pengambilan datanya melalui wawancara tidak berstruktur tetapi terfokus kepada permasalahan, serta studi kepustakaan yang dapat memberikan kelengkapan data penelitian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwasanya penyusunan strategi komunikasipada Tim Medial juru Bicara Kepresidenan masih belum maksimal dan efektif. Dimana pada level individu, permasalahan timbul karena kurangnya pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota Tim Media/juru Bicara Kepresidenan dalam hal kejuru bicaraan.
Pada level insitusi, permasalahan yang timbul banyak berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah yang lebih memperhatikan masalah-masalah politis dibandingkan masalah substantif Selain itu, balk Presiden maupun para juru bicara kepresidenan itu sendiri masih kurang memiliki sense of human relation, dimana mereka lebih mendahulukan emosi dari pada rasionalitas, yang tergambar pada pernyataan-pernyataan Presiden yang sering kali kontroversial.
Opini publik yang seharusnya dijadikan sebagai masukan bagi sebuah institusi untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian, kurang diperhatikan secara serius oleh individu-individu didalam sistem ini, termasuk mereka yang langsung dekat dengan Presiden, dengan alasan peroleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk Partai Kebangkitan Bangsa sangatlah sedikit. Karena faktor-faktor (level socio-political environment) tersebutlah maka Presiden lebih peduli dengan masalah-masalah koalisi maupun kompromi-kompromi politik dibandingkan dengan opini publik, yang beliau nilai bisa ditempatkan diposisi kedua setelah dicapainya kompromi politik."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambrosius Degei
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S25162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Politik Indonesia, 2005
S5673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herinto Sidik Iriansyah
"Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap pertimbangan-pertimbangan anggota DPR/MPR dalam pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Permasalahan yang diangkat dalam Tesis ini diuraikan menjadi tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut : (1) Pertimbangan-pertimbangan apa saja dipakai oleh para anggota DPR/MPR untuk memberhentikan KH. Abdurrahman Wahid sebelum masa jabatannya berakhir?. (2) Diantara pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, manakah pertimbangan yang paling menentukan (dominan) dalam menjatuhkan KH. Abdurrahman Wahid ?. (3) Bagaimana dampak pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid terhadap Ketahanan Nasional Indonesia pada waktu itu ?.
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena sosial dari perspektif para partisipan melalui penelitian ke dalam kehidupan aktor-aktor yang terlibat, kemudian sebagai justifikasi dari hasil analisis kualitatif diuunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP).
Temuan penelitian ini adalah pertimbangan-pertimbangan anggota DPR/MPR RI dalam pemberhentian Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang dominan adalah pertimbangan hukum, lebih spesifik tentang "penegakan hukum" proses pemberhentian tersebut mengandung kelemahan konstitusional.

The research has evaluated of the considerations which Members of DPRIMPR ("Indonesian Parliament/People's Consultative Council") took for discharging Mister KH Abdurrahman Wahid from his chair as President of the Republic of Indonesia. Statement of the problem revealed in this Thesis consists of three questions as follows: (1) What are considerations taken by the Members of DPRIMPR for discharging Mister KH Abdurrahman Wahid prior to the termination of his administrative position?, (2) Which is the dominant among the considerations for discharging his excellency?, (3) Meanwhile, what were the effects of his discharge on the National Stability?
This study, on one hand, applies a Descriptive Qualitative Method for identifying social phenomena viewed from the participants' perspectives by researching into activities of the involved actors while justification for the results of qualitative analysis uses an Analytical Hierarchy Process (AHP) method, on the other.
Research findings are all considerations which Members of DPRIMPR of the Republic of Indonesia take for discharging President KH Abdurrahman Wahid in which the dominant is legal aspect or "law enforcement". However his termination carries some constitutional violence.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rendro Dhani
"Selama menjadi presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengalami begitu banyak permasalahan komunikasi baik yang bersumber dari Gus Dur sendiri maupun kinerja dari para pembantunya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan komunikasi tersebut dan memahami bagaimana konsep dan strategi manajemen komunikasi Presiden KH Abdurrahman Wahid. Selain itu, tesis ini juga meneliti bagaimana peran dari pers/media massa dalam konteks manajemen komunikasi kepresidenan.
Penelitian ini didesain menggunakan metode penelitian kualitatif dan memakai pendekatan studi kasus, dengan tujuan ingin mengetahui lebih dalam permasalahan dalam manajemen komunikasi Gus Dur sebagai Presiden. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif, penulis menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan studi kepustakaan, tale menganalisis data tersebut yang berasal dari beberapa kalangan, yaitu kalangan pemerintah dan birokrasinya, kalangan pers/media pemberitaan, dan sejumtah pakar terkait.
Sebuah konsep yang dijadikan rujukan dalam menganalisis manajemen komunikasi Presiden Wahid adalah konsep yang dikembangkan oleh Mark Fletcher (1999) tentang manajemen komunikasi. Menurut Fletcher, manajemen komunikasi secara sederhana merupakan manajemen atas bentuk, isi, dan konteks dari informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Wahid tidak menjalankan atau menggunakan salah satu teknik atau konsep manajemen komunikasi yang umumnya dilakukan presiden. Selama menjadi presiden Gus Dur sangat sering mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang kontroversial, sehingga hal itu merefleksikan bahwa Presiden Wahid tidak mengolah informasi yang diterimanya dan mempersiapkan pesanpesan yang ingin disampaikan kepada publik. Ada beberapa kekurangan yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi, seperti faktor eksternal dan faktor internal dari Gus Dur sendiri.
Namun demikian, kesimpulan lain dalam penelitian ini menyebutkan bahwa kekurangan yang dimiliki Gus Dur dalam berkomunikasi masih bisa diminimalkan seandainya Presiden Wahid mempunyai asisten atau pembantu-pembantu yang mampu bekerja secara cermat dan professional berdasarkan mekanisme kerja yang jelas dalam menjembatani hubungan presiden dengan media massa, dan secara tegas mampu mendisiplinkan Gus Dur. Dengan kata lain Presiden Wahid membutuhkan suatu manajemen yang ketat luar biasa dan dia harus mematuhi aturan mainnya jika dia ingin menghindarkan, atau paling tidak mengurangi kesalahan-kesalahan dalam penyampaian informasi.

During his term as the fourth Indonesian President, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) had face many communication problems, which derived from Gus Dur himself, and his assistants. This study was carried out in order to understand the concept and strategy of President Wahid in managing his communication. Besides, this thesis also tries to understand the role of the press/mass media in the context of presidential communication management.
This study was designed to use qualitative method, using case study approach that the objective is to understand more deeply some problems in President Wahid communication management. To obtain objective result, the author used in-depth interview of people from various circles, such as government officers, journalists, experts, and other people close to President Wahid.
A conceptual definition about management communication, developed by Mark Fletcher (1999), was used in analyzing President Wahid communication management. According to Fletcher, in order to bring about specific outcome the concept of communication management is put simply three crucial elements: the management of the form, the content, and the context of information.
The result of this study indicate that President Wahid actually has no management in his communication because President Wahid often launching controversial statement and policy, which is reflecting that he did not manage information carefully and prepare his messages before announce it to public. There were some weaknesses that caused this to happen, such as internal and external factors from Presiders Wahid.
However, other conclusion in this thesis indicate that President Wahid's weakness could be minimized if he has some good assistants who can able to work professionally based on a vivid working mechanism, such as able to bridge the relation between president and the press, portray the correct image of the president, and the most important thing is able to discipline the president to follow the rule of presidential protocol."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Abdullah Irvan Masduki
1998: [publisher not identified], 1998
342.05 ABD l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ismah Naqiyyah
"Penelitian ini membahas perkembangan pengaturan tindakan afirmasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada DPR RI dan bagaimana pelaksanaan pengaturan tersebut sejak awal tindakan afirmasi diterapkan pada tahun 2004, hingga terakhir kali tindakan afirmasi untuk DPR diterapkan, yaitu pada tahun 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan sejarah hukum. Pembahasan dimulai dengan menganalisis tindakan afirmasi pada Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu penelitian ini akan membahas pelaksanaan undang-undang tersebut dengan menganalisis peraturan pelaksanaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk tindakan afirmasi untuk perempuan masuk ke dalam DPR RI, yaitu melalui kuota partai politik dan kuota pada proses pencalonan legislatif. Setiap periode pengisian jabatan DPR, peraturan mengenai tindakan afirmasi perempuan tersebut selalu berubah. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, belum menghasilkan peningkatan keterwakilan perempuan yang signifikan di DPR RI.

This research discusses about the development of affirmative action regulations in the increase of women's representation in the House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) of Republic of Indonesia and how the implementation of the regulations since the beginning of affirmative action was applied from 2004 until the last time affirmative action for DPR was implemented in 2014. The research method used is normative juridical with a legal history approach. The discussion begins by analyzing the affirmative action on the Acts of Political Parties, the Acts of the Election for Members of DPR, the Regional Representatives Council (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) and the Local People’s Representatives Council (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), and the Acts of Representatives Council Institutions. In addition, this research will also discuss about the implementation of the regulations by analyzing the implementative regulations. The results of the research show that there are two forms of affirmative action for women to enter DPR, i.e.: through quotas of political parties and quotas in the process of legislative candidacy. In every period of DPR, the regulations on women's affirmative actions have been continuesly changing. However, with those changes, the regulations have not succeeded to increase women's representation in DPR significantly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>